16.
Gladis duduk di depan Jeffrey sambil mengobati luka-luka di wajahnya. Ia diam saja. Gladis bahkan tak peduli Jeffrey mengamatinya lamat-lamat.
Perkelahian Jeffrey dan Niko menarik perhatian banyak orang. Mereka tidak bisa dipisahkan oleh Gladis. Keduanya bagai tuli. Jeffrey dan Niko saling umpat. Luka Jeffrey saat ini tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang didapat Niko. Mantan Gladis itu babak belur.
Pertarungan memalukan itu berhasil dihentikan dengan bantuan sekuriti. Memang dasarnya badan Jeffrey lebih terlatih, dia hampir saja lepas kendali dan kembali menghajar Niko yang sudah nyaris sekarat. Gladis langsung melempar diri ke tengah peperangan. Ia memeluk tubuh jangkung Jeffrey sambil memohon agar pria itu segera sadar. Setelah dimintai keterangan, mereka langsung diusir dari mall.
"Kamu marah sama aku?" suara berat Jeffrey sukses membuat Gladis membalas tatapannya.
Gladis masih diam. Ia memilih mengambil kasa bersih dan menekan luka memar di sudut bibir Jeffrey kencang-kencang. Gladis marah dan kesal.
"Aw!" Jeffrey meringis dan menahan tangan Gladis.
Gladis tidak bicara. Ia malah sibuk menggunting plester untuk membalut luka di wajah Jeffrey.
"Itu cowok nggak bener, Shasha. Dia sudah nyakitin kamu sama Jingga. Enak aja, dia bisa lepas gitu. Dia sudah bikin kamu menderita. Ditambah, dia ngomong cerai mudah banget di depan istrinya yang lagi hamil."
Gladis membanting gunting di tangannya ke atas kasur. Ia balas memandang ke dalam mata Jeffrey.
"Terus, dengan kamu hajar dia kayak gitu, kamu nggak salah?"
Jeffrey diam. Rahangnya mengeras.
Gladis menghela napas panjang. Ia mengatur emosinya. Dia cukup waras untuk tidak ikut tersulut amarah Jeffrey.
"Ini masalah antara aku sama Niko, bahkan Jingga nggak masuk di dalamnya. Apalagi kamu," lanjut Gladis.
Raut wajah Jeffrey melunak. Ia menunduk. Dia menyadari kesalahannya. Melihat hal itu, Gladis ikut luluh.
"Lihat ke depan," perintah Gladis. "Aku belum selesai ngobatin luka kamu."
Jeffrey menurut. Ia membiarkan Gladis menempel plester di mukanya.
"Maaf."
Gladis menurunkan tangannya. Permintaan maaf Jeffrey terdengar sangat tulus.
"Iya, aku maafin."
"Segampang itu?" pekik Jeffrey tak percaya.
Gladis mendengus geli. "Kamu maunya gimana? Nggak aku maafin?"
"Beneran nih, aku sudah dimaafin?"
"Jeffrey," keluh Gladis. "Diem. Kamu bikin aku kesel, tahu nggak?"
Jeffrey meringis lebar. Ia mengaduh kemudian. Jeffrey lupa kalau sudut bibirnya robek.
Gladis menyingkirkan poni Jeffrey dari dahi cowok itu dengan telunjuknya agar tidak ikut menempel bersama plester yang akan ia pasang. Tangannya kembali bekerja mengobati luka-luka kecil yang tersisa.
"Di sirkuit kamu sehat-sehat saja, di luar sirkuit malah luka-luka," komentar Gladis. "Harusnya kamu bisa jaga diri. Luka yang didapatkan atlet di arena pertandingan itu sebuah kebanggaan. Tapi, luka kamu sekarang ini menunjukkan kebodohan."
Jeffrey mendengus geli. "Dapet quotes darimana?"
"Bikin sendiri." Gladis tersenyum tipis. Ia lalu membereskan peralatan balut luka yang sengaja dibeli karena kejadian hari ini. "Nih, disimpen. Siapa tahu kamu luka lagi."
"Kamu kok doain yang jelek-jelek sih?"
Gladis tertawa kecil. Ia menggeleng. Keduanya masih duduk saling berhadapan.
"Kamu nggak papa?"
"Aku nggak luka."
"Maksud aku bukan itu. Setelah ketemu sama mantan, kamu beneran nggak papa?"
Gladis tersenyum masam. "Mau jawaban jujur atau bohong?"
"Bohong."
"Aku nggak papa."
Jeffrey mengatupkan bibirnya, membentuk garis lurus. Gladis selalu memakai topeng. Jeffrey benci hal itu.
"Kenapa?" tanya Jeffrey. "Kenapa kamu ada apa-apa?"
Gladis terkekeh. "Aneh ya ngomong kebalikan gini."
"Jawab, Shasha."
Gladis menghela napas panjang. Percuma, Jeffrey itu keras kepala. Apalagi saat ini dia tidak terlihat sedang bermain-main.
"Cuma sedikit kok." Gladis tersenyum, seolah menyiratkan bahwa itu bukan hal besar baginya. "Sejak pisah sama Niko, aku sudah berusaha keras menyembuhkan luka sendiri. Pertahanan aku sedikit goyah waktu ketemu dia lagi. Sudah gitu aja."
"Apa karena dia bilang masih sayang sama kamu?"
Gladis menunduk. Ia diam. Kepalanya mengangguk perlahan. Ketika Gladis kembali mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Jeffrey, terdapat air mata yang menggenang di pelupuk mata.
"Aku seneng, miris, marah. Aku bahkan nggak tahu kenapa aku bisa gitu lagi setelah sekian lama. Aku kesel sama diri aku sendiri." Gladis berpaling. Ia mengipasi wajahnya dengan sebelah tangan. "Hah, nggak, nggak boleh. Ini untuk terakhir kalinya aku kayak gini."
Jeffrey hanya diam. Tangannya mengepal. Dirinya ingin diandalkan oleh gadis itu, tapi Jeffrey tak tahu harus berbuat apa.
"Maaf ya, acara jalan-jalan kita jadi hancur gini," ucap Gladis. Ia tersenyum manis. "Akhir minggu ini gimana kalau kita jalan bareng keluarga aku? Sama Raka, sama Lala. Biar lebih ramai."
"Sama Ayah kamu juga?"
Gladis mengangguk. "Nggak papa, kan? Kasihan Ayah di rumah terus. Sesekali jalan bareng makan di luar."
Jeffrey tersenyum manis. "Ya nggak papa, lah. Aku kan malah jadi tamu."
"Ya sudah, kalau gitu aku pulang ya," Gladis berdiri dari kursinya.
"Aku antar."
"Nggak usah, nanti malah bolak-balik. Lagian mudah kok cari taksi dari apartemen ini."
Jeffrey menyentil dahi Gladis main-main. Ia mengambil jaketnya.
"Mau ditaruh dimana muka aku kalau Ayah kamu tahu anaknya ditelantarkan pulang sendiri?"
"Kamu berani ketemu Ayah dengan muka kayak gitu?" tantang Gladis. "Lagian Ayah pasti sudah tidur jam segini."
Jeffrey meringis kecil. "Tetap saja. Aku mau antar kamu sampai depan rumah. Aku perlu persiapan mental mau ketemu Ayah weekend nanti."
Gladis tertawa mendengarnya. Jeffrey tersenyum melihat gadisnya telah kembali ceria.
"Jef, selamat ya!"
Jeffrey mengurut keningnya dengan sebelah tangan. Ia mendengar hingar-bingar di seberang sana. Jeffrey mengira, Ten pasti sedang berada di sebuah club.
"Thanks, Bro!" balas Jeffrey.
"Lo dimana?"
"Di Jogja."
"Oh, ngapel?"
"Yo'i," jawab Jeffrey santai. Ia memandangi langit-langit kamarnya yang bersih. "Ada apaan? Cari temen minum ya lo?"
"Iya nih. Sepi di Bandung," keluh Ten. "Joni nemenin bininya. Yuta sudah balik ke Osaka. Lo juga di Jogja." Jeffrey menertawakan penderitaan temannya itu. "Balik Bandung lah, Jef. Nongki bareng."
"Ogah," tolak Jeffrey. "Kemarin gue sudah sempat madol latihan tiga hari untuk balik Indo buat dengerin curhatan patah hati Yuta. Nggak sempat ke Jogja, lagi. Giliran punya waktu luang, mending gue di sini lebih lama."
"Yah, nggak friend nih."
"Ada masalah apaan? Cerita aja lewat telepon, tapi maboknya sendirian ya."
"Si kampret," Jeffrey tertawa mendengar makian sohibnya.
"Lo lagi minum-minum kan, nih?" tebak Jeffrey.
"Iya."
"Bareng cewek?"
"Nggak."
"Tumben."
"Nggak mood." Terdengar helaan napas dari seberang. "By the way, gue mau curhat."
"Bahasanya aneh banget dah."
"Bodo," sahut Ten tak peduli. "Gue nggak tahu sih ini curhat atau pengakuan dosa."
"Apaan tuh?"
"Gue suka sama adeknya Yuta."
Hening. Jeffrey tidak tahu harus membalas ucapan Ten seperti apa. Pasalnya, dari tiga bersaudara, hanya Yuta yang belum menikah. Itu pun sekarang sedang patah hati karena baru diputusin ceweknya. Pernyataan Ten barusan hanya akan menambah murka Yuta, jika cowok itu tahu.
"Lo mau digorok sama Yuta?"
"Seriusan, Jef," Ten menghela napas berat. "Di Jakarta ini gue jadi dekat adeknya Yuta. Gue juga awalnya nggak sadar kalau gue suka sama dia. Tiba-tiba gue jadi orang kasmaran gitu. Bantuin ngurus anaknya. Bawain dia makanan. Nemenin belanja."
"Jangan main-main sama rumah tangga orang, Ten."
"Gue juga nggak mau, tapi tangan gue gerak sendiri," jelas Ten. "Aneh banget dah. Gue bahkan pernah secara nggak sadar nyetir mobil malam-malam ke rumah dia."
"Dilempar granat sama suaminya, baru tahu rasa lo."
"Gue harus gimana, Jef? Gue tahu ini perasaan terlarang, tapi gue nggak bisa berhenti."
"Lo tahu buah khuldi?" Jeffrey bertanya. "Buah terlarang itu memang menggoda, tapi konsekuensinya besar kalau lo makan."
Ten menghela napas panjang. Sepertinya cowok itu benar-benar kebingungan.
"Gue saranin, lo menjauh dari adeknya Yuta. Kalau perlu, jangan tinggal di Jakarta, pindah ke Bekasi kek, Bogor kek, mana aja lah."
"Kerjaan gue?"
"Ya resiko." Jeffrey melanjutkan. "Jangan memulai permainan api. Nggak bagus. Mending lo mulai serius cari pasangan hidup. Umur kita juga sudah nggak muda lagi."
"Kalau lo, sudah serius nih sama yang sekarang?"
"Sudah yakin banget gue mah. Kalau bisa malah mau gue ikat, biar nggak senasib sama Yuta," Jeffrey tertawa kecil. "Tapi kayaknya gue harus nunggu sedikit lebih lama. Dianya belum siap."
"Orang-orang kok dapat jodoh pada gampang bener ya," keluh Ten. "Gilirannya gue, gue malah suka sama bini orang."
"Karma is real, Bro. Lo kelamaan main-main sih, jadi seret jodoh, kan."
"Anjim!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top