15.

Sudah tujuh hari Jeffrey berada di kota gudeg. Ia bahkan memilih menyewa unit apartemen daripada menginap di hotel. Jeffrey tidak sekedar omong kosong ketika mengatakan akan menghabiskan waktu liburannya bersama Gladis. Sayangnya, si gadis kelewat sibuk dan tidak bisa terus-menerus berada di dekatnya.

Hari libur Jeffrey bertepatan dengan saat-saat ujian akhir semester dua Gladis. Jeffrey pun pasrah tidak bisa bertemu Gladis terlalu sering. Pernah satu kali dia nekat datang ke rumah sakit sambil membawa roti bakar sebagai kejutan untuk Gladis yang sedang jaga malam. Bukannya senang, Gladis malah segera menyuruhnya pulang. Malu katanya.

Akhirnya kesempatan itu tiba juga. Jadwal Gladis tidak lagi padat. Masuk pukul enam, pulang pukul empat. Jeffrey tidak menyia-nyiakannya. Pria itu mengajak Gladis makan malam bersama.

"Sudah lama nggak nonton, ada film bagus nggak ya?"

Gladis menoleh ke arah Jeffrey. Ia lalu menggeleng. "Kalau kamu mau nonton, sendiri aja ya. Aku nggak bisa pulang terlalu malam."

"Kenapa?"

"Mau jagain Ayah."

Jeffrey melepaskan pandangannya dari pintu masuk bioskop dan melihat Gladis. Ia tersenyum. "Kapan-kapan kita bisa nonton bareng."

"Memang siapa yang mau nonton bareng kamu?"

"Kamu, kan?"

"Dih, percaya diri banget."

Jeffrey tertawa. Mereka kembali melanjutkan langkah. Saat ini mereka sedang jalan santai menyusuri deretan toko-toko di dalam mall. Untuk menurunkan isi perut, kilah Gladis.

"Kita ketemu pertama kali di situ tuh," tunjuk Jeffrey pada sebuah toko mainan.

"Nggak usah diingat."

"Malu, ya?" goda Jeffrey. "Aku di mata kamu kok nggak ada keren-kerennya sama sekali ya. Dicap arogan karena beliin mainan untuk Raka. Dicap bandel karena dikira ikut balapan liar. Dicap menyedihkan karena nyaris nggak bisa ikut kompetisi."

"Aku nggak pernah bilang gitu kok."

"Tapi iya, kan?"

Gladis diam, tidak mengelak lagi. Jeffrey mengutuk diri sendiri. Dia telah mematikan suasana.

"Kamu keren kok," lirih Gladis, nyaris tak terdengar. Jeffrey sampai harus menunduk, mendekatkan telinganya.

"Apa?"

"Kamu keren waktu lagi tanding."

"Apa? Nggak dengar."

Gladis tahu, Jeffrey hanya main-main. Ia mendorong kepala cowok itu agar menjauh. Gladis berjalan cepat, meninggalkan Jeffrey yang kini sedang tertawa menyebalkan.

"Shasha! Tungguin!" Jeffrey segera mengejar gadis itu. Mereka kembali berjalan bersisian.

"Kamu kalau siang ngapain?" tanya Gladis mencari bahan obrolan.

"Main ke tempat Om Ilham, ke gym, tiduran di kamar," jawab Jeffrey. "Oh, kemarin-kemarin aku sempat antar-jemput Raka dari sekolahnya. Bingung mau ngapain dan gabut banget sendirian."

"Kenapa di Jogja lama-lama?"

Jeffrey tersenyum penuh arti. "Perlu aku jawab, nih?"

Wajah Gladis memerah. Ia merona. Gadis itu menggeleng kecil.

"Aku kan... sibuk. Kasihan kamu."

"Memang aku ke Jogja cuma untuk kamu?" goda Jeffrey.

Gladis memberikan tatapan tajam. Iya, dia sebenarnya malu, tapi enggan mengaku. Jeffrey terbahak puas menikmati perubahan ekspresi gadis di sebelahnya.

Gladis hela napas panjang. Ia menggeleng. "Bodo amat."

"Jangan ngambek dong."

"Nggak kok."

"Terus?"

"Ya, nggak ngambek," tegas Gladis. "Buang-buang tenaga aja aku ngeladenin orang kayak kamu."

"Kayak aku tuh, kayak gimana?"

"Nyebelin."

Jeffrey mengulum senyum. Sejujurnya ia senang. Perkembangan hubungan dirinya dengan Gladis menunjukkan ke arah yang menjanjikan. Gladis secara perlahan mulai terbuka. Gadis itu juga tak jarang memulai topik obrolan, tidak melulu Jeffrey yang bertanya duluan.

"Aku kemarin menang, kontrak juga berhasil diamankan. Aku ke sini untuk memperjuangkan hal lain," ucap Jeffrey penuh arti. Gladis memilih diam.

"Aku memperjuangkan kamu, Shasha," lanjut Jeffrey terang-terangan.

"Wah, bulan lalu aku ke sini sama temenku lho," Gladis menyetir pembicaraan ke arah lain. "Tahu nggak? Temenku ini bisa hamil meskipun sudah pakai alat kontrasepsi. Aku kaget banget. Kita cerita-cerita sambil jalan, terus iseng masuk ke toko peralatan bayi."

Jeffrey menghela napas panjang. Dia merasa tertolak. Ketika Gladis menoleh ke arahnya, Jeffrey buru-buru memasang senyum.

"Kamu mau masuk? Mau lihat-lihat?"

"Boleh?"

"Boleh lah," jawab Jeffrey. "Ayo, aku temenin."

Gladis berjalan beriringan dengan Jeffrey. Mereka tampak santai melihat berbagai benda imut berukuran kecil. Gladis juga bercerita bagaimana pendapat temannya yang mengatakan bahwa peralatan anak zaman sekarang harganya lebih mahal daripada baju untuk orang dewasa. Jeffrey berlaku menjadi pendengar yang baik.

"Bayinya cewek atau cowok?" tanya Jeffrey.

"Nggak tahu, masih hamil muda. Belum bisa lihat jenis kelaminnya."

"Kirain sudah lahir," timpal Jeffrey. Ia menunjuk ke arah deretan gaun kecil lucu-lucu. "Aku mau lihat ke sana ya. Kali aja ada yang bagus untuk Lala."

"Jangan beliin ponakan aku macem-macem!"

"Iya, cuma lihat." Gladis memicingkan matanya. Ia tahu bagaimana sifat spontanitas Jeffrey sering kali mengalahkan logikanya. "Beneran, Shasha. Kalau aku mau beli, aku bilang kamu."

"Ya sudah, sana pergi."

"Kamu nggak ikut?"

Gladis menggeleng. "Aku mau lihat alat makan aja. Macem-macem banget sekarang isinya."

Jeffrey mengerti. Ia pun pergi dari sisi Gladis.

"Gladis?" Mendengar namanya dipanggil, gadis itu menoleh. "Beneran Gladis ternyata!"

Mata Gladis membulat lebar. Ia memandang jauh ke sisi lain ruangan. Jeffrey masih serius melihat-lihat baju anak cewek. Aman. Dengan segera, Gladis menarik sebelah tangan orang yang baru saja menyapanya keluar toko.

"Dis, mau kemana?"

"Ikut aja," ucap Gladis dingin. Setelah dirasa cukup aman menghilang dari radar penglihatan Jeffrey, Gladis menghempaskan tangan di genggamannya. "Ngapain kamu kesini, Niko?"

Tatapan mata Niko begitu susah diartikan. Ada kerinduan yang tersirat di dalam sana. Perasaan bersalahnya makin menumpuk.

"Aku ke sini sama istri. Sebentar lagi dia melahirkan. Dia lagi cari-cari barang."

Gladis menghela napas gusar. Ia membuang pandangan ke arah lain.

"Kamu masih ingat kan janji kamu? Anggap kita ini orang asing. Jangan pernah sapa aku di tempat umum."

"Nggak bisa, Gladis. Aku sudah kenal kamu dari lama, nggak mungkin aku pura-pura nggak tahu."

Gladis memicingkan mata. "Seenggaknya, pikirin perasaan istri kamu! Sebagai pendatang di hubungan orang, dia pasti merasa inferior. Aku lakuin ini semua biar pernikahan kamu awet. Semua telepon dan pesan yang kamu kirim ke aku selama ini, aku tolak, karena aku menghargai istri kamu."

Niko menggeleng. "Dia nggak butuh itu semua, Gladis."

"Maksud kamu?"

"Kita sudah sepakat. Setelah anak itu lahir, kita akan bercerai," jawaban Niko membuat Gladis melotot. "Kamu tahu, aku cintanya cuma sama kamu. Pernikahan aku ini sebuah kesalahan. Aku maunya nikah sama kamu."

"Brengsek," maki Gladis. Ia tidak pernah mengumpat sebelumnya. Namun kali ini darahnya benar-benar sedang mendidih. "Memangnya aku mau sama kamu? Nggak!"

"Gladis, maafin aku," Niko meraih kedua tangan Gladis dan menggenggamnya erat. "Aku tahu aku salah. Tapi, tolong kasih aku kesempatan kedua. Ya? Selama sepuluh tahun kita jalan bareng nggak ada masalah. Cuma karena alkohol mimpi kita berdua hancur. Please, Dis, aku masih sayang banget sama kamu."

"Cuma?" sinis Gladis. Ia melepaskan tangannya. "Kelakuan kamu itu bejat, Niko! Dan kamu bilang cuma?! Kamu nyakitin hati aku. Kamu bikin Ayah celaka. Kamu menghancurkan masa depan wanita lain. Semua itu kamu bilang cuma?"

"Gladis, please, maafin aku," Niko berlutut di depan Gladis, tak peduli dirinya menjadi tatapan orang-orang.

"Niko!" Gladis segera menarik tangan Niko, menyuruhnya berdiri. "Bangun! Niko!"

"Nggak mau sampai kamu maafin aku," lanjut Niko. "Ini kesempatan langka. Aku nggak tahu kapan bisa ketemu kamu lagi."

"Shasha?"

Gladis menoleh cepat. Ada Jeffrey tak jauh dari tempat mereka berada. Di sebelahnya seorang wanita yang tengah hamil tua memandangi Niko dengan tatapan sulit diartikan. Dalam sekejap, Gladis tahu, itu istri Niko.

Gladis menghempaskan tangan Niko dan menghampiri wanita yang masih diam terpaku. Tangan gadis itu terulur. Ia tersenyum tulus.

"Kenalin, aku Gladis. Ini pertama kalinya kita ketemu ya?"

Si wanita menjabat tangan Gladis. Ia tersenyum tipis. "Jingga. Aku sering dengar tentang kamu dari Niko."

"Gladis," panggil Niko. Cowok itu sudah berada di antara Gladis dan Jingga, ia melepaskan rangkaian tangan mereka. "Kita belum selesai bicara."

"Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, Niko," tegas Gladis. Ia tersenyum pada Jingga. "Jingga, baik-baik sama Niko ya. Beneran. Aku sama Niko sudah nggak ada hubungan apa-apa."

"Nggak perlu ngomong sama Jingga!" suara Niko meninggi. Dadanya naik turun menahan emosi. Tatapan tajam ia berikan pada Gladis. "Aku sudah bilang, setelah anak itu lahir, pernikahan aku selesai. Kita bakal cerai. Iya kan, Jingga?"

Bug! Jeffrey yang sedari tadi diam mengamati drama di depan matanya ikut nimbrung. Tanpa sadar, tangannya sudah lebih dulu berbicara. Gladis terkejut melihat Niko tersungkur di bawah kakinya setelah mendapat bogeman mentah Jeffrey.

"Jadi ini orangnya?!" Jeffrey mulai kalap. Ia menarik kerah baju Niko, menyuruhnya berdiri. "Bajingan!"

"Jeffrey, stop!"

Terlambat. Adu jotos itu tak terelakkan lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top