13.

Kekuatan cinta itu hebat. Terbukti pada Jeffrey. Ia cepat pulih dari cederanya. Dia juga cepat menyesuaikan diri dengan sederet latihan fisik yang sempat ia tinggalkan selama masa terapi. Konon katanya, rasa bahagia adalah obat terbaik yang pernah ada, lalu cinta itu membuat bahagia.

Berbagai latihan mengisi keseharian Jeffrey. Bukan berarti ia melupakan Gladis begitu saja. Di sela waktu luangnya, pasti ia akan mengirim pesan pada gadis itu. Entah akan dibaca kapan, yang pasti Jeffrey selalu mengingat keberadaan Gladis di hidupnya.

Lucu memang. Jeffrey tidak pernah menyangka akan jatuh hati semudah ini pada orang yang tidak ia kenal sebelumnya. Dalam hidupnya, Jeffrey tentu selalu bertemu dengan banyak orang baru. Ia mudah dekat pada siapa saja. Namun, entah mengapa, hatinya memilih Gladis.

Awalnya, ia hanya meladeni rasa ketertarikannya pada pertemuan pertama. Tak disangka, mereka bertemu kembali dalam kondisi yang jauh berbeda, sebagai dokter dan pasien. Hati Jeffrey makin tercuri saat dirinya diselamatkan dari amukan Adam oleh gadis itu.

Gladis gadis yang lembut dan tegas, dingin dan hangat, ramah dan tertutup. Dualismenya membuat Jeffrey terheran. Menurutnya, Gladis menyimpan banyak misteri.

Rasa penasaran, berkembang menjadi rasa suka. Perlahan perasaan itu terpupuk oleh rasa nyaman. Kini, Jeffrey semakin yakin bahwa Gladis adalah orang yang tepat untuknya.

Jeffrey bukan tipe orang yang gampang menyerah. Ia terus berusaha membuat Gladis agar membuka diri padanya. Selama Gladis tidak menunjukkan penolakan secara besar-besaran, Jeffrey akan terus maju. Perlahan tapi pasti. Pendekatan penuh taktik.

Anggaplah Jeffrey pengecut. Ia mengorek informasi mengenai gadis itu dari Ian. Menggunakan ketenarannya sebagai pembalap taraf internasional, Jeffrey tahu banyak keadaan Gladis dari si penggemar. Mulai dari masalahnya dengan si mantan, melanjutkan pendidikan berbekal beasiswa, hingga sang ayah yang mengalami stroke akibat komplikasi dari tekanan darah tinggi setelah mengetahui kabar batalnya pesta pertunangan si putri bungsu.

Mengetahui itu semua, membuat Jeffrey makin salut pada Gladis. Bisa dibilang, Jeffrey benar-benar telah terjerat. Bahkan, pria itu tidak lagi tidur dengan wanita sewaan seperti dulu.

"Minum ya, Ayah," ucap Gladis sambil mendekatkan sedotan ke arah mulut sang ayah. Ia baru saja selesai menyuapinya. Mumpung sedang libur dan tidak mendapat jadwal jaga, Gladis memutuskan untuk mengurus Ayah selama seharian ini.

"Sini dulu, dek," panggil Ayah tak begitu jelas karena mulutnya yang masih pelo.

Gladis menurut. Ia duduk di kursi sebelah Ayah. Piring kotor yang awalnya mau ia bawa ke bak cuci piring, kembali ia letakkan di atas meja.

"Iya, Yah?"

"Kamu sudah dekat dengan laki-laki baru?"

Gladis tersenyum. Ia malah menggoda sang ayah dengan akrab. "Kok Ayah tanya gitu? Cemburu ya?"

"Ayah nggak cemburu. Ayah cuma mau bilang, cari laki-laki yang baik, yang bisa jaga kamu dan keluarga kamu nanti. Ayah nggak selalu bisa ada di sebelah kamu."

Senyum Gladis berubah sendu. "Ayah selalu ada untuk aku sama Mbak Silvi. Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri baik-baik, Ayah."

"Maafin Ayah, ya. Ayah malah nambah beban kamu kayak gini."

"Ayah bukan beban," ucap Gladis dengan perasaan terluka. Ia meraih tangan kiri Ayah yang terkulai lemas. "Kita kan keluarga, nggak akan pernah ada beban. Kalau dihitung-hitung, justru aku yang harusnya minta maaf sama Ayah. Dari kecil sampai sekarang aku selalu ngerepotin Ayah."

"Jangan gini ya, Ayah. Aku yakin Ayah pasti sembuh," tambah Gladis optimis.

Ayah mengangguk kecil. Dari sorot matanya, Gladis tahu, Ayah merasa bangga padanya.

"Kalau malam kamu teleponan sama siapa?"

Gladis tersipu. Ia malah meringis. "Sama temen, Yah. Suara aku ganggu ya?"

Ayah menggeleng. "Akhir-akhir ini kamu makin sering ketawa. Ayah kira kamu sudah ketemu pengganti Niko."

"Masih dalam tahap kenalan. Aku nggak mau buru-buru, Ayah."

"Coba bawa ke rumah, kenalin ke Ayah."

Gladis tersenyum. "Nanti ya, Ayah."

Obrolan ayah dan anak itu terpotong. Gladis meraih ponselnya dari atas meja. Wajahnya memerah. Panggilan masuk dari Jeffrey. Setelah sampai di Jepang, jadwal telepon Jeffrey jadi lebih cepat, dekat jam makan malam. Karena perbedaan waktu yang tidak terlalu jauh, jam mereka beraktivitas pun tidak terlalu berbeda.

"Kok nggak diangkat?" tanya Ayah.

Gladis mematikan dering ponselnya dan meletakkan benda berbentuk segi empat itu ke atas meja. Saat ini Gladis sedang ingin menghabiskan waktu dengan Ayah. Jeffrey pasti bisa menunggu.

"Nanti aku telepon balik," ucap Gladis sambil berdiri. "Kita nonton berita yuk, Yah. Sudah lama nggak nonton TV bareng, kan?"

"Shashaaa."

Gladis tertawa kecil mendengar suara Jeffrey di seberang sana. Belum juga ia menyapa, Jeffrey sudah memanggil namanya dengan imut. Entahlah, cowok itu terlihat makin manja padanya.

"Kangennn."

"Maaf ya, tadi aku lagi sama Ayah."

"Sekarang Ayah kemana?"

"Sudah tidur."

"Kamu lagi ngapain?"

"Lagi teleponan aja nih."

"Video call, yuk."

"Hm," Gladis terdengar enggan. "Nggak ah. Aku sudah persiapan tidur soalnya."

"Sekali aja, ya? Aku kan lagi persiapan mental nih."

"Maksudnya?"

"Besok aku tanding. Aku mau lihat kamu, biar makin semangat."

Gladis baru ingat. Setelah sekian lama, akhirnya hari itu akan tiba juga. Sudah di depan mata. Jantung Gladis jadi ikut berdebar kencang, seperti dirinya saja yang akan menghadapi hari besar itu.

"Ya? Boleh, ya?"

"Okay," Gladis menuruti keinginan Jeffrey.

Begitu video call tersambung, Gladis langsung merona disambut oleh senyuman lesung pipi Jeffrey. Ia berpaling. Terakhir kali melihat wajah pria itu ketika perpisahan di rumah Raka. Sudah lebih dari tiga bulan yang lalu.

Reaksi yang ditunjukkan Jeffrey tak jauh berbeda. Telinganya memerah. Matanya yang menyipit karena terus-terusan tersenyum lebar tak lepas sedikit pun dari memandangi wajah Gladis. Jeffrey menikmati keindahan yang terpampang di depan mata.

"Sudah lama nggak lihat wajah kamu," komentar Jeffrey.

Kalau kalimat tersebut diucapkan tiga bulan yang lalu, Gladis pasti akan menganggapnya sebagai gombalan biasa. Namun hari ini berbeda. Gadis itu menyukainya.

"Sudah lupa ya?"

"Mana mungkin aku lupa sama kamu," Jeffrey tertawa kecil. Ia membenahi posisi bantal di belakang kepalanya. "Hah, salah ya? Aku malah makin kangen setelah lihat kamu."

"Ya sudah. Aku tutup aja nih."

"Jangan!" seru Jeffrey kaget. "Kamu tuh nggak bisa biarin aku seneng dikit ya?"

"Iya, soalnya kamu maruk. Senengnya jadi kebanyakan."

Jeffrey menggeleng. Ia melepas tatapannya sejenak, lalu kembali menatap ke arah Gladis. Pria itu terus tersenyum, namun tak kunjung bicara.

"Jangan gitu. Serem."

"Iya, iya," Jeffrey berdeham. "Gimana kabar kamu hari ini?"

"Baik. Seharian aku di rumah. Santai-santai aja," jawab Gladis. "Kalau kamu?"

"Hari ini aku free practice, nyoba sirkuit."

"Gimana?"

"So so."

"Nggak susah?"

"Lumayan."

Gladis tersenyum simpul. "Hati-hati ya. Aku mau bilang jangan ngebut, tapi nggak mungkin juga nggak ngebut."

Jeffrey tertawa. "Tenang. Besok kan bukan balapan liar."

"Ih, jangan ungkit-ungkit masa lalu!"

"Lucu aja. Dulu kamu nuduh aku balapan liar," timpal Jeffrey bebal. "Yang namanya pebalap pro, mau itu balapan di sirkuit atau balapan ilegal, keamanan tetap nomor satu. Paling nggak, bakal pakai helm."

"Kamu nggak usah aneh-aneh!"

"Iya, aku nggak aneh-aneh," Jeffrey mengulum senyum mendapat perhatian Gladis. "Aku balapan yang bener aja."

"Iya, bagus. Pinter."

Mereka kembali saling tatap. Keheningan menyelimuti keduanya. Kerinduan tercurah melalui pandangan mata. Padahal, dari kemarin, tak pernah ada sesi diam dalam rutinitas telepon mereka. Gladis dan Jeffrey bisa mengobrol banyak hal tanpa terputus.

"Setelah championship besok selesai, aku ke sana ya."

Gladis mengangguk. Jeffrey tidak bisa dilarang. Lagipula, Gladis diam-diam juga ingin bertemu.

"Aku... nervous," ucap Jeffrey jujur.

"Kamu sudah latihan keras, Jeffrey. Kamu pasti bisa."

"Aku harus menang kejuaraan besok, untuk perpanjangan kontrak di tim ini."

Gladis mengangkat kedua alisnya. "Katanya, kalau kamu nggak di Yamaha, kamu bakal gabung Ducati."

"Kontraknya ribet. Kalau aku gabung tim sebelah, aku nggak bisa pulang ke Indonesia sebebas sekarang," ungkap Jeffrey. "Aku nggak bakal tahan."

"Bukannya kamu memang jarang balik Indo?"

Jeffrey mengangguk. Raut wajahnya berubah serius. "Tapi sekarang aku sudah nemu alasan untuk pulang."

Gladis tersenyum, ia mengerti. "Kalau gitu, besok kamu harus menang, terus pulang dengan selamat."

Jeffrey balas senyum. "Siap, Shasha! Aku usahain di sesi kualifikasi nanti aku bakal ada di top five."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top