11.
"Sudah punya ringkasan pemeriksaan fisik Neuro lengkap?" tanya Gladis pada salah satu adik koas bimbingannya.
"Belum punya, Dok."
Gladis menarik satu lembar tisu dan membersihkan tangannya yang basah sehabis cuci tangan. Ia mengeluarkan ponsel. Ada notifikasi pesan masuk dari Jeffrey, namun ia abaikan. Gladis membuka folder dokumen dan mencari e-book di sana.
"Aku kasih ya," ucap Gladis. Ia menyerahkan ponselnya pada si adik koas. "Masukin email kamu. Besok pagi kita latihan bareng pemeriksaan fisik lengkap ke pasien yang stroke tadi. Jam setengah enam stand by ya."
"Siap, dokter Gladis. Makasih ya, Dok."
Gladis mengangguk dan tersenyum ramah. Ia menerima ponselnya dan menekan kata "kirim". Sebelum memasukkan benda itu ke saku, Gladis menyempatkan diri membuka pesan dari Jeffrey. Ada dua.
"Kamu ketiduran ya? Maaf. Aku lupa di Indo sudah malam, di Itali masih sore soalnya. Tidur yang nyenyak ya."
Gladis senyum-senyum sendiri membaca pesan itu. Jempolnya bergerak membuka pesan lainnya yang baru saja masuk.
"Di sana sudah pagi, kan? Selamat beraktivitas, Shasha! Nanti malam kita ngobrol lagi, okay?"
Italia? Hm, Gladis tidak tahu kalau semalam Jeffrey meneleponnya dari negara lain. Yah, apa pedulinya? Menyangka akan ditelepon pun tidak.
"Gladis, ayo. Nanti telat morning report lho," ajak salah satu residen seangkatan dengan Gladis.
"Okay." Gladis menjejalkan ponselnya ke dalam saku jas dokter tanpa membalas pesan Jeffrey.
Gladis menutup buku rekam medis setelah menulis jawaban konsul di dalamnya. Ia mengangkat wajah, mencari residen bedah di nurse station. Gadis itu berdiri untuk menghampiri orang yang dimaksud sambil menenteng satu map berwarna merah.
"Mas, jawaban konsulnya sudah saya tulis ya. Pesan dari dokter Andre kasih manitol dulu, terus kita lihat responnya gimana. Dosis obat sudah saya hitung dan tulis di lembar konsul," ucap Gladis menjelaskan sembari memberikan map di tangannya.
"Jadinya gimana? ACC raber Neuro?"
"Iya, Mas," Gladis mengangguk. "Kalau TIK nggak turun-turun, kayaknya sih bakal dilempar ke bedah saraf."
"Okay, makasih ya."
"Kalau gitu saya balik ya, Mas," Gladis tersenyum sopan. Ia juga menyapa perawat yang ada di sana sebelum kembali ke bangsal saraf di lantai satu.
Seharian ini sudah banyak hal yang Gladis lakukan. Berangkat pagi untuk follow up sekaligus membimbing mahasiswa profesi, mengikuti morning report, visit besar bersama profesor, presentasi kasus siang hari, menemani visit dokter Furqon di sore hari, lalu lanjut jaga bangsal dari sore hingga pagi keesokan harinya. Fisik maupun psikis Gladis sudah terasah sejak kuliah tahap pre-klinik. Keluarganya merasa kasihan melihat jadwal Gladis yang begitu padat, bahkan kadang untuk makan atau istirahat pun harus mencuri-curi waktu.
Gladis tidak keberatan dengan itu semua. Ia tahu konsekuensi menjadi dokter sejak awal kuliah. Tidak ada yang instan di dunia ini. Lagipula, dengan menyibukkan diri seperti ini, Gladis jadi tak lagi memikirkan Niko. Rasa sakit hatinya berhasil teralihkan.
"Dari mana, Dis?" tanya Bowo, residen senior yang berjaga bersamanya.
"Dari bangsal Cendana, Mas. Nulis jawaban konsul."
"Banyak pasien raber?"
Gladis mengerutkan dahi, ia mencoba mengingat. "Yang raber cuma dua, terus yang di bangsal luar ada satu."
"Sudah bikin sensus?"
"Belum selesai, Mas. Ini tadi sekalian muter. Baru mau diketik."
Bowo mengangguk paham. Ia berdiri dari kursi di balik meja nurse station. "Malam Minggu nih, santai aja kerjanya, yang penting selesai."
Gladis tertawa. "Iya, Mas."
"Aku mau beli minum di kantin, mau nitip nggak?"
"Makasih, aku sudah bawa minum sendiri."
Bowo mengangguk. "Titip bangsal ya." Gladis mengiyakan dengan santai.
Sepeninggal si senior, Gladis bisa bertingkah dengan lebih leluasa. Ia mengambil laptop miliknya di kamar residen dan membawanya kembali ke nurse station. Gladis mulai mengerjakan sensus pasien tanpa terganggu sedikit pun oleh suara televisi yang ditonton para perawat.
Ponsel Gladis bergetar di saku baju jaga. Ia menariknya keluar. Jeffrey. Gladis lupa bahwa tadi pagi cowok itu mengirim pesan padanya. Gladis bahkan belum mengirim balasan.
"Halo," sapa Gladis setelah menyambungkan ponsel dengan earphone wireless yang telah terpasang di telinga kirinya.
"Hai, Shasha," Jeffrey balas menyapa dengan suara beratnya yang menenangkan. Gladis jadi tahu alasannya semalam ia bisa ketiduran. Suara Jeffrey di telepon membuatnya mudah mengantuk.
"Ada apa?"
"Cuma pengin ngobrol, semalam kan jadinya aku ngomong sendiri," keluh Jeffrey. Gladis hanya mendengus geli, tatapan matanya tak lepas dari layar laptop.
"Kamu lagi dimana? Kenapa berisik?"
"Aku lagi jaga malam. Itu suara sinetron yang ditonton rekan kerja aku," jawab Gladis.
"Jaga malam?"
"Iya."
"Aku ganggu, nggak?"
Tangan Gladis melayang di udara. Sebenarnya ia bisa bilang iya, lalu Jeffrey akan mengakhiri sambungan telepon. Namun, Gladis ingin merasakan malam minggu memiliki teman mengobrol seru.
"Nggak, kok. Aku baru aja selesaiin tugas aku."
"Tugas apa?"
"Bikin sensus pasien," jawab Gladis sekenanya, entah Jeffrey mengerti atau tidak. "Sekarang tinggal print nih."
"Aku temenin, ya?"
"Hm," jawab Gladis. Ia berdiri dan menghampiri komputer di meja lain. Gadis itu mulai melakukan pekerjaannya.
"Dokter Gladis, itu Bu Ani mulai tap off Dexa kapan?" tanya seorang perawat yang baru kembali dari kamar pasien.
Gladis melihat jam. "Satu jam yang lalu sudah saya tap off, Bu. Besok jam enam pagi saya cek lagi."
"Sudah ditulis di rekam medis?"
"Sudah dong," jawab Gladis sambil tersenyum lebar.
"Wes mantap lah, jaga sama dokter Gladis tuh semuanya beres. Nggak usah diingetin sudah jalan sendiri," sambar perawat lain yang sedang duduk menonton TV.
Gladis hanya menjawab dengan tawa kecil. Ia kembali fokus pada printer yang telah berhenti bekerja. Tangannya mengambil tumpukan kertas dan menulis beberapa kode di sana.
"Asyik deh, dokter Gladis."
Gadis itu hampir lupa bahwa Jeffrey masih ada di seberang sana. Ia malu. Berarti, dari tadi Jeffrey mendengar percakapannya dengan para perawat.
"Ih, apaan sih," bisik Gladis membalas ledekan Jeffrey.
"Seneng deh, punya pacar pinter."
"Pacar apaan?" sewot Gladis. Jeffrey tertawa bahagia mendengarnya.
"Dis," panggil Bowo yang telah kembali dari kantin. "Aman?"
Gladis mengangkat wajah. Percakapannya dengan Jeffrey lagi-lagi terinterupsi.
"Aman, Mas. Nggak ada panggilan apa-apa."
"Sip lah."
"Mas, aku izin ke kantin ya?" pinta Gladis sambil menutup layar laptopnya. "Mau cari cemilan."
"Lho, tadi nggak titip aku aja. Biar sekalian."
Gladis meringis. "Baru kerasa mai sekarang. Sambil jalan-jalan dikit lah. Nggak lama kok."
"Okay, okay. Santai saja."
"Ini sensusnya ya, Mas. Aku taruh di tempat biasa."
"Sip."
Gladis membawa laptopnya dan berlalu ke kamar jaga. Setelah itu, ia pergi ke kantin dengan langkah-langkah lambat. Sengaja, Gladis ingin menikmati suasana malam tanpa tergesa.
"Shasha," panggil Jeffrey.
"Iya?"
"Aku juga mau dipanggil Mas dong."
Kening Gladis berkerut. "Hah? Kok tiba-tiba?"
"Kedengaran lebih romantis daripada dipanggil Sayang."
"Jeffrey, kamu jatuh waktu lagi latihan ya? Kamu lupa nggak pakai helm lagi?"
"Beneran ini. Aku mau dipanggil Mas," ucap Jeffrey dengan nada kesal karena dianggap main-main. "Aku jarang punya teman dari daerah Jawa Tengah. Main ke arah timur juga jarang. Diem terus di Jabodetabek atau Bandung."
"Ya, terus?"
"Aku mau dipanggil Mas," rengek Jeffrey.
"Nggak pantes, ah," tolak Gladis. "Lagian, kamu kan nggak ada keturunan darah Jawa."
"Kamu tuh ya, aku minta panggil Jef, nolak. Minta panggil Mas, juga nolak. Aku ditolak terus."
Gladis terkekeh. "Kita tuh belum sedekat itu. Teman aja bukan."
"Nggak deket?" tanya Jeffrey. "Terus, ini apaan? Malam mingguan sama orang asing, gitu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top