10.

"Halo, Kak."

"Halo, gimana kabar, Jef?"

Jeffrey tersenyum. Ia mengelap peluh yang membasahi dahinya dengan handuk. Cowok itu mengangguk kecil, membalas sapaan gym trainer-nya yang pamit pulang.

"Baik nih, Kak. Aku sudah mulai ke gym lagi."

"Kakinya sudah benar-benar sehat?"

Jeffrey menunduk. Ia memandangi kaki kirinya.

"Sejauh ini nggak ada masalah. Kadang suka nyut-nyutan, tapi nggak terlalu parah."

"Kata dokter gimana?"

"Oke, kok. Tiap hari latihan secara bertahap, buktinya nge-gym aja boleh nih. Besok aku mulai latihan kardio juga."

"Ya sudah, bagus deh kalau gitu."

Jeffrey tertawa kecil. Ia menyandarkan punggungnya di kursi. Pria itu merilekskan diri setelah olahraga.

"Kabar Raka sama Lala gimana?"

"Mereka baik-baik aja. Raka kemarin sempat keceplosan nanyain kamu di depan Silvi. Hampir aja ketahuan."

"Namanya juga anak-anak. Memang, Raka tanya apaan?"

"Tanya Om Jef bakal ikut tanding atau nggak, gitu."

Jeffrey tersenyum masam. Hingga kini belum ada keputusan apakah dirinya boleh diterjunkan ke sirkuit. Jeffrey memang sedang menyiapkan diri untuk berlaga, tapi waktu yang ia miliki tetap saja lebih sedikit daripada atlet lainnya. Biaya sudah siap, tinggal mengajukan nama ke pihak penyelenggara.

"Minggu depan aku ke Itali, kita baru akan bahas masalah ini bareng sama jajaran petinggi lain." Jeffrey menghela napas berat. "Yang pasti, mereka bakal lihat kemampuanku dulu, mumpuni atau nggak."

"Hm, rumit juga."

Jeffrey hanya membalas dengan kekehan. Pria itu teringat dengan tujuan utamanya menelepon Ian.

"Kak, kabar Gladis gimana?"

"Dia baik-baik saja kok. Sekarang mulai bisa senyum sama ketawa lepas, nggak pura-pura lagi. Kalau nggak salah minggu lalu dia juga diajakin jalan sama temen-temennya," jelas Ian. "Kamu fokus aja sama kerjaan kamu di sana. Gladis aman bareng kita. Ada kakaknya, ada temen-temennya. Ada ponakannya."

"Aku nggak mungkin nggak mikirin Gladis. Dia motivasi terbesar aku untuk cepat pulih."

"Kamu beneran suka sama Gladis, Jef?"

Jeffrey tersipu. Telinganya memerah. Untung saja saat ini ia sedang terlibat pembicaraan melalui sambungan telepon, bukan tatap muka langsung.

Sejujurnya, Jeffrey lupa kapan terakhir kali ia merasa berbunga-bunga ketika mendapat perhatian tulus dari seorang wanita. Ia terlalu fokus mengejar karier. Selama ini Jeffrey selalu berganti-ganti pasangan tidur, tanpa ada perasaan khusus. Sepertinya, terakhir kali Jeffrey merasakan euforia menyukai seseorang adalah sebelum dirinya terjun di dunia balap. Cinta pertama sekaligus cinta masa kecilnya, Jingga.

"Boleh, kan, Kak? Aku suka sama Gladis."

"Kalau dari aku sih nggak papa, nggak tahu deh gimana tanggapan induk betinanya anak-anak," jawaban Ian membuat Jeffrey tertawa. "Kadang ada beberapa hal mengenai cewek yang kita nih para cowok suka nggak ngerti."

"Yah, wajar sih," sahut Jeffrey bijak. "Kak Silvi juga pasti mau yang terbaik untuk adiknya."

"Kalau suka, deketin langsung dong Jef. Masa nanyain Gladis lewat kakak iparnya gini?"

"Ini bagian dari strategi, Kak," kilah Jeffrey. "Deketin dulu orang-orang yang dia sayang. Baru ambil hati si cewek."

"Wah, taktik macam apa tuh?"

Jeffrey terkekeh. "Taktik ala Jef. Lagian, Gladis masih membentuk benteng tinggi gitu. Nggak tahu deh kapan bakal siap membuka hati lagi untuk cowok. Damage yang dibuat mantannya keras, bro."

"Makanya, kalau suka sama orang tuh, jangan main-main. Luka hati susah pulih."

"Duh, berasa aku yang salah nih."

"Bukan gitu, Jef," Ian menambahkan. "Aku cuma nggak mau Gladis kenapa-napa. Aku sih dukung kamu buat jadi adik ipar. Cuma ya, aku juga nggak mungkin jual adik sendiri untuk kesenangan pribadi ketemu idola."

Jeffrey tertawa. "Kak, jangan gitu, dong. Aku orang biasa kok. Kita cuma beda profesi saja. Jadi nggak enak, kan, nih."

"Ada saatnya jadi idola, ada saatnya jadi keluarga."

"Semoga jadi keluarga beneran ya, Kak," timpal Jeffrey. Wajahnya sudah merona, senyum-senyum sendiri. Orang yang lihat pasti akan mengira Jeffrey sedang menelepon si tambatan hati.

"Haha, di-aminin dulu deh."

"Tenang, Kak. Aku bakal kontak Gladis, nggak lama lagi. Nunggu kepastian boleh turun main atau nggak." Jeffrey menggaruk telinganya. "Gengsi dong, kontak dia masa nggak bawa kabar baik yang bisa dibanggakan."

"Mainannya gengsi nih," komentar Ian. "Ya, asal kamu bisa bikin Gladis bahagia, boleh lah."

Gladis telah menyelesaikan tugas presentasinya. Ia menguap lebar sambil merentangkan kedua tangan ke atas. Gadis itu melirik jam, pukul setengah sebelas malam.

Lampu ruang tengah telah mati. Kamar Mbak Ira, asisten rumah tangga keluarganya, juga sudah tertutup rapat. Gladis berjalan pelan menuju dapur untuk mengambil air minum. Sebelum kembali ke kamar, Gladis masuk sebentar ke dalam kamar Ayah.

Ia mengamati wajah Ayah yang tampak damai. Dadanya naik-turun teratur. Gladis membenahi posisi selimut. Ia keluar kamar dan menutup pintu secara perlahan.

Begitu masuk ke kamarnya sendiri, telinga Gladis menangkap bunyi getaran dari ponselnya di atas meja. Ia meletakkan gelas dan segera meraih benda tersebut.

Panggilan masuk dari Jeffrey. Aneh. Sudah lama mereka tidak saling menghubungi. Gladis kira urusan di antara mereka sudah selesai saat dirinya membawa Jeffrey ke rumah Raka.

"Halo?" sapa Gladis ragu.

"Shashaaa."

Gladis mengernyitkan dahi bingung. Ini benar Jeffrey? Tanyanya dalam benak. Suara Jeffrey terdengar excited, seolah Gladis dan Jeffrey benar-benar dekat dan sudah biasa saling menelepon.

"Aku boleh ikut turnamen lho."

"Terus?" Gladis menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu kamar. Ia membawa gelas minum dan meletakkannya di nakas.

"Kok nggak seneng?"

"Aku seneng. Cuma, untuk apa kamu kasih kabar itu ke aku?"

"Yahh," keluh Jeffrey. "Padahal aku sengaja nahan diri nggak telepon kamu sampai dapat kabar baik."

Gladis mendengus geli. Ia masuk ke dalam selimut dan berbaring di atas kasur.

"Aneh deh. Masih nggak ngerti. Ngapain kamu telepon aku sekarang."

"Kok nggak ngerti?" protes Jeffrey. "Ya ini aku lagi ngasih tahu kamu kalau aku bisa ikut turnamen. Baru banget keluar dari ruang meeting nih."

"Oh ya?" Gladis merasa tersanjung.

Jeffrey tertawa di seberang sana. "Gimana? Aku nggak bohong waktu aku bilang bakal kerja keras biar bisa ikut lomba."

"Selamat ya, Jeffrey."

"Thank you, Shasha," balas Jeffrey. "Ah, jadi pengin balik ke Indonesia. Tapi masih harus latihan."

"Kenapa mau ke Indonesia?"

"Mau ketemu...," Gladis menunggu dengan harap-harap cemas. "Raka."

"Oh, Raka."

"Sama Tante Shasha juga."

Gladis sukses tersenyum. "Kamu hebat banget ya ngalus-nya. Kasihan jodoh kamu lho."

"Kenapa?"

"Ya, gini. Kamu nggak setia cuma sama dia. Kamu masih suka main sama cewek lain."

"Sok tahu," Jeffrey tertawa. "Yakin banget kalau aku punya cewek."

"Memang nggak?" tanya Gladis kaget. "Nggak mungkin."

"Tuh kan, sok tahu."

Gladis geleng-geleng kepala. Ia tahu Jeffrey jelas bukan tipe cowok yang bisa langsung ia percaya. Tersipu, bukan berarti Gladis siap membuka hati untuk orang baru. Baginya, Jeffrey tidak lebih dari seorang kenalan.

"Ya sudah, istirahat sana."

"Masih kangen. Bentar lagi, ya."

"Kangen, kangen. Mudah banget ngomong kangen sama orang asing."

Tawa Jeffrey terdengar sangat bahagia. Entah apa yang ia tertawakan. Namun, rasa bahagia pria itu berhasil tersalurkan pada Gladis.

"Kalau aku menang, kamu mau apa?"

"Hah?"

"Kalau aku menang, kamu mau apa?" ulang Jeffrey.

"Nggak kebalik tuh?"

"Kamu mau kasih aku hadiah kalau aku menang?" tanya Jeffrey antusias.

Gladis menguap. Menghadapi orang penuh kejutan seperti Jeffrey membuat energinya berkurang drastis. Gladis pikir, hubungan mereka tidak sedekat itu untuk saling bertukar kata sebelum mengakhiri hari. Nyatanya, saat ini Gladis sedang berbaring sambil meladeni ocehan Jeffrey yang berapi-api.

"Hm, aku bingung. Orang yang sudah punya segalanya kayak kamu pantasnya dikasih apa."

Jeffrey lagi-lagi tertawa. "Kalau menang, aku ke Jogja terus kita jalan bareng. Kalau kalah, kamu jemput aku di bandara Jogja terus kita jalan bareng."

"Tunggu, tunggu," sela Gladis. "Kok sama aja ya? Intinya, kita jalan bareng."

"Nah itu."

"Apa banget tahu, Jeffrey." Gladis menarik selimut hingga sebatas leher. Matanya mulai terpejam.

"Tawaran menarik, kan?"

"Hm," gumam Gladis. "Suka-suka kamu aja."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top