7. The Wedding

Wajah memberengut Nesya jelas terlihat meskipun parasnya tertutup make-up. "Ma, kenapa kakak nggak boleh ikutan ke masjid untuk akad? Kenapa harus stay dikamar aja, sih?" tanya Nesya pada Winda yang menemani dirinya menunggu mempelai pria, yangmelakukan ijab kabul dengan Raditya di masjid komplek dekat rumah.

"Biar lebih terasa deg-degannya kalau bertemu setelah akad," sahut Winda menutupi alasan sebenarnya.

Tetap saja Nesya ingin mendengar suara Yusuf ketika berjanji langsung kepada Tuhan dan papanya. "Kakak 'kan mau denger suara Papa sama Pak Yusuf menyebut nama lengkap kakak, Ma."

Winda menarik napas sebentar, mengelus lengan Nesya untuk meredam keinginan Nesya. "Udah percaya saja sama mereka, yang penting sah. Mama dulu juga dikamar saat Papa ucapkan ijab di depan Opa."

Tak lama kemudian, terdengar suara riuh memasuki hunian keluarga Wardhana. Rombongan Raditya dan Yusuf tiba.

"Akadnya selesai dan mereka sudah balik, Sya!" tutur Winda, "kamu siap-siap, Yusuf mungkin kesini atau kamudijemput Papa untuk turun." Baru saja Winda berucap, suara ketukan pintu berbunyi. Winda kemudian berdiri membuka pintu.

Pintu terbuka. Nesya melihat papanya berdiri disana bersama Yusuf—suaminya.Winda kembali mendekati Nesya, membantu berdiri dari ranjang. Gadis dengan balutan kebaya itu berjalan perlahan mendekati pria yang kini telah menjadi imamnya. Pandangan mereka bertemu dan saling memandang. Walau sesaat, detak jantung Nesya menggedor kencang, menghadirkan rasa gugup dan bahagia yang meledak secara liar. Ia membutuhkan tenaga ekstra untuk menahan segala emosi yang ada.

Ya Allah, ini udah halal, Ya Allah! Udah boleh demek-demek. Tatapan mata Pak Ucup hawtz banget! Meleleh Nesya, Ya allah!

"Ayo, cium tangan suaminya sekarang," perintah Winda.

Rona merah terpampang di wajah ayu putri pertama Raditya itu. Malu-malu ia meraih tangan Yusuf dan menciumnya takzim.

Tanganya keker ikh! Demen pegangnya. Habis ini, giliran Bapak yang pegang-pegang Nesya. Aku kok jadi nggak sabar, ya?

Setelah prosesi cium tangan, Yusuf mendaratkan bibir di kening Nesya, mengecupsingkat. Sontak hal itu mengagetkan Nesya dan refleks menutup mata, merasakan debaran yang sungguh baru pertama kali ini dia rasa.

"Ma, ayo tinggalkan mereka berdua. Yusuf tadi minta waktu untuk berdua saja dikamar bersama Nesya."

Mendengar ucapan papanya barusan, kontan Nesya memandang wajah suaminya dengan raut Bapak mau apa emang? Namun, raut tanpa ekspresi Yusuf tak memberikan jawaban apapun pada Nesya.

Winda dan Raditya keluar kamar dan menutup pintu. Tinggalah mereka berdua. Nesya gugup. Meremas-remas tangannya seraya menunduk seperti takut-takut tapi mau. Remasan tangan itu terhenti, kalaYusuf menggenggam tangan Nesya dan membawanya duduk di ranjang.Mereka duduk berhadapan, Nesya memejamkan mata menunduk tegang seakan menanti apa yang akan terjadi.

Aduh, Mamak! Masa iya harus belah duren sekarang? Belom siap-siap ini, akutuuu!

Yusuf mengulum senyum merasa lucu dengan kegugupan bocah yang kini menjadi istri, makmumnya, dan miliknya. Meski tak memungkiri bahwa dirinya juga dilanda gugup. Namun, melihat gerak gerik Nesya yang tampak salah tingkah, membuat Yusuf seperti tidak pernah mengenal gadis itu. Dimana Nesya yang cerewet, genit dan ceplas ceplos?

"Sya," panggil Yusuf memecah keheningan.

"I-iya, Pak?"Nesya masih menunduk.

"Saya mau memberikan apa yang menjadi hak kamu."

Tuh kan, Syaaa! Mampus lo! Pagi-pagi udah mainan hak dan kewajiban. Nggak sabaran banget sih, Pak!

Debar jantung Nesya bertalu kencang hingga ia yakin jika Yusuf dapat mendengarnya. Ia kemudian memberanikan diri menatap Yusuf. "H-hak? Hak apa, Pak?" tanya Nesya gugup.

"Mas kawin kamu. Seuntai kalung dan seperangkat alat shalat," tukas Yusuf lirih dan lembut, "juga ...," lanjutnya dengan intonasi rendah setengah berbisik. "Surah Ar-Rahman seperti yang kamu minta," bisiknyadi telinga Nesya.

Embusan napas lega meluncur dari mulut Nesya. Yusuf mengulum bibir menahan senyum dan tawa sekuat tenaga.

Ucuuupp! Bikin gue deg-degan mampus.Sialan kan! Ups! Inget, Sya, suami itu. Suaammii!

"Iya, Pak, silakan." Nesyamasih sedikit gemetar akibat gugup yang masih melanda.

Yusuf mengambil kotak yang ada di kantung jas. Membuka dan mengambil seuntai kalung dengan liontin huruf A dengan mutiara hitam dipucuk hurufnya.

Nesya tampak heran dengan liotin tersebut. "Kok? Liontinya huruf A, Pak?"

"Arbianda. Kamu bagian dari saya sekarang, Sya."

Nesya merasa pipinya menghangat. Tidak ada yang istimewa dari ucapan Yusuf, tetapi tak ayal membuat hati Nesya berbunga-bunga. Selain itu, ia merasa dihargai, sebab dengan tangan terbuka lelaki itu menerima dia menjadi bagian dari hidupnya. Ia mempersilakan Yusuf memasangkan kalung itu di leher. Nesya merasa seperti ada ratusan kupu-kupuberterbangan liar di perut, saat embusan napas Yusuf menerpa kulit leher belakangnya ketika memasangkan kalung tersebut.

Selanjutnya terdengar lantunan merdu surah Ar-Rahman dari bibir Yusuf, hingga menghipnotis Nesya dan hanyut dalam murratal yang dibacakan suaminya. Selesai membaca surah tersebut, tanpa Nesya duga Yusuf meraih wajahnya lalu mengecup keningnya lama. Gadis yang baru menyandang status sebagai istri itu menutup mata. Ada haru dan sensasi aneh yang baru pertama kali ia rasa. Ciuman Yusuf berlanjut dari kening turun ke mata, kedua pipi lalu hidung dan ....

"Ayo, kita turun menyapa tamu undangan sebelum mereka kembali pulang."

Laaaah! Bibir gue belom, Pak! Nanggung keleus ini mah! Ih, sekecup aja di bibir.

Yusuf mengulurkan tangan untuk digenggam. Nesyamasih terhanyut di nirwana cintanya, mengerjap-ngerjapkan mata mengumpulkan kesadaran, lantas menerima uluran tangan suaminya dan ikut keluar kamar menemui tamu undangan.

******

Lelah dirasa Nesya saat sore hari menjelang. Tamu undangan sudah pulang, begitupun pihak keluarga Arbianda yangtelah kembali ke apartemen milik Yusuf. Saat mememui tamu tadi, ia menyapadan sungkem pada Ibu dan Ayah mertuanya. Nesya baru tahu jika ayah Yusuf ternyata seorang dosen di salah satu universitas di Purwokerto dan juga seorang pemilik usaha oleh-oleh khas kota getuk goreng itu.

"Sya, kamu cepetan mandi, setelah itu kita makan malam. Urus Yusuf, ya," titah Winda.

Nesya mengangguk dan segera berjalan menuju kamar."Pak, Nesya mau mandi duluan. Habis itu disuruh turun untuk makan malam," beritahunya saat melihat Yusuf duduk di ranjang. Lelaki itu mengiakan.

Acara makan malam keluarga Wardhana berjalan seperti biasa. Bedanya sekarang ada Yusuf—menantu Raditya, jaksa ganteng versi Nesya—duduk di samping Nesya.

"Jadi mulai besok kamu mau bawa Nesya tinggal di apartemenmu, Suf?" tanya Raditya di tengah makan malam.

"Apa nggak bahaya? Nesya sendirian disana. Terus kalau kuliah, gimana?" sela Winda.

"Saya yang akan mengantar dan menjemput Nesya, Pa, Ma. Inshaallah saya pastikan dia nggak akan sendirian."

Raditya mengangguk menyetujui usulan Yusuf. Nesya senang dan mencoba menetralkan rasa bahagia yang membuncah.

Tinggal berdua sama Pak Ucup. Aduuuh! Nesya nggak kuat bayanginnyaaa

******

"Pak, Nesya 'kan sudah sah jadi istri Bapak, ya," ujar Nesya saat mereka sedang duduk berdua di ranjang baru kamar Nesya.

Yusuf yang tengah duduk menyandar pada headboard ranjang bertanya, "Terus?"

Dengan malu-malu Nesya mengatakan apa yang terbersit dipikirannya. "Kalau orang habis nikah tuh pasti yang itu-itu."

Yusuf menggeleng kecil mendengar omongan Nesya. "Nggak usah berpikiran terlalu jauh. Saya nggak akan lakukan apapun sama kamu."

Nesya terperanjat. "Kok nggak? Sunah rasul loh Pak itu."

"Kamu masih terlalu muda untuk saya sentuh, Sya. Menikah bukan hanya soal ranjang dan malam pertama. Ini tentang bagaimana kita saling menjaga—"

"Dan mencintai," sela Nesya, "kalau memang Bapak nggak menuntuk hak Bapak malam ini, boleh Nesya minta nafkah batin Nesya?"

Kening Yusuf mengernyit tidak paham maksud Nesya, tanpa Yusuf dugaNesya membuka kimono yang menutupi tubuhnya. Yusuf membelalak terperanjat ketika melihat istrinya yang hanya memakai pakaian tidur dengan bahan satin tipis dan... tanpa bra.

"Nesya mau kasih tahu Bapak beberapa hal kebiasaan Nesya," ujar Nesyakini duduk menempel pada Yusuf yang terlihat datar namun sebenarnya ... tegang. "Satu, Nesya selalu tidur dengan menggunakan pakaian yang terbuka. Soalnya kalau gerah Nesya nggak bisa tidur, terus gatel-gatel kena biang keringat yang gatelnya nyebelin." Nesya mendekatkan jarak wajah mereka. "Dua, Nesya nggak pernah pake underwear terutama bra saat tidur. Karena, sekarang ini masih masa pertumbuhan, terutama bagian ini," terangnya sambil memegang dua gundukan kembar miliknya. "Tiga, soal Nafkah yang Nesya minta malam ini...," jedanya lirih ditelinga Yusuf, "Nesya cuma minta ...." Kecupan ia daratkan di pipi kanan Yusuf lama lalu pindah ke pipi kiri, kemudian kening.

Yusuf diam dan menutup mata. Gadis ini! Dia lupa jika gadis ini cukup ekspresif untuk pria dingin sepertinya.

Nesya mengangkat bibir yang menempel pada kening suaminya lalu berbisik lirih, "Selamat tidur suami Nesya." Nesya meletakkan jari telunjuknya diatas bibir Yusuf dan mengelusnya pelan, "Untuk yang ini ... Nesya tunggu Bapak yang mulai." Kemudian Nesya merebahkan tubuh dan menutupinya dengan selimut, memejamkan mata dan tertidur.

Yusuf terpaku. Ia tak menyangka akan mendapat 'serangan mental' di malam pertamanya. Ini hal yangtidak ia perhitungkan sebelumnya. Ia bisa gila jika harus menghadapi ujian semacam ini setiap hari nantinya. Saat ini saja suhu tubuh Yusuf sudah panas dingin. Bagaimana jika Nesya menggoda lebih dari ini, bisa-bisa singa lapar dalam dirinya terbangun dan ... Yusuf menghela napas untuk menenangkan diri. Ia ikut merebahkan diri dan mencoba terlelap karena besok, ia harus membantu Nesya mengemas barang untuk dibawa ke apartement.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top