6. Pre Wedding
Bahagia..
Rasa bahagia dirasakan Nesya sejak keputusan Raditya yang menjodohkan dia dengan Pak Jaksa tampan versi Nesya. Ia tak menyangka akan mendapatkan Yusuf tanpa perlu usaha lebih agar mau menikahinya. Bahkan, Nesya yang sedang sibuk mencari universitas ini, rela menyisihkan waktu liburannya untuk membaca artikel-artikel seputar pernikahan.
Hak suami tiap malam
Kewajiban istri tiap malam
Hingga ...
Tips menyenangkan suami.
Hatinya begitu berbunga, sebab pangeran tampan yang ia impikan setiap malam akan menjadi nyata.
Gue harus prepare ini. Perfect preparation!
Satu ide terlintas dibenak Nesya kalamenyelesaikan bacaannya tentang pernikahan. Nesya mengambil ponsel dan mendial kontak salah seorang teman dekatnya."Di, lu nggak mau maen sama gue? Ngemall, yuk! Gue mau beli sesuatu nih."
"Males, Sya, gue pengen marathon Whats Wrong with Secretary Kim."
Gadis berambut hitam itu memberengut. "Ah, lu nggak seru! Padahal mau minta lu temenin gue beli-beli perlengkapan rumah tangga."
Suara tawa terdengar dari lawan bicara Nesya. Diandra—teman sesama wedding singer di Rahardian Wedding Symphony. "Rumah tangga dari Hongkong! Bahasa lu, Sya, tuwir bingits anjir! Emang nyokap lu kemana ampe nyuruh lu yang belanja?"
"Bukan buat nyokap, tapi buat gue, pele! Buat rumah tangga gue. Pan gue mau kawin minggu depan."
Terdengar seruan kaget dari seberang. "Eh babon! Serius lu?! Nggak usah drama lu kalo sama gue. Lu kira eptipi main kawin dadak-dadakan!" sembur Diandra.
Sudah Nesya duga bila Diandra tak mungkin percaya. "Serah lu deh, Di, kalo nggak percaya! Gue ajak Kemal aja lah kalo dia lagi nggak ngajar les."
"Sya, lu nggak bercanda?! Oke, oke. Park Seo Joon gue selingkuhin demi lu hari ini. Tapi lu seriusan cerita sama gue kalo lu beneran kawin minggu depan."
Nesya mendengkus keras. "Iya, oncom! Banyak ngoceh sih lu kayak mas-mas Ramasinta."
"Oke, di mall biasa sejam lagi, yak! Tapi traktir gue makan di es teller 86!"
"Enjeh, Kanjeng Ratu Ndoro Diandra."
Nesya bergegas bersiap-siap setelah memutus sambungan telepon dengan Diandra. Ia mengganti bajunya, tak lupa memoleskan sedikit make up. Memesan taksi lalu pamit kepada Ibunda tercinta.
******
Nesya tersenyum sepanjang perjalana, tak menghiraukan tatapan aneh orang-orang yang memandanginya selama menuju tempat dimana Diandra tengah menunggu.Kali ini, ia tak meminta uang dari Winda ataupun memakai kartu kredit pemberian Raditya, karena untuk ritual 'pengabdian pada suami' nya kelak, Nesya ingin tampil prima dan membuat Yusuf bertekuk lutut karena servisnya.
"Sya, lu hamil?" Diandra serta merta bertanya bahkan sebelum Nesya menduduki kursi dihadapannya.
Nesya seketika mendelik. Untung dia sedang tidak minum, bisa-bisa Diandra terkena sembur. "Enak aja! Masih segelan pabrik gue!"
"Trus kenapa kawin coba?"
"Gara-gara Bang Sat!" Nesya menceritakan apa yang terjadi padanya minggu lalu hingga papanya meminta dia menikah minggu depan.
Diandra geleng-geleng heran dengan pikiran papanya Nesya. "Lu serius mau kawin sama om-om itu? Idih, gila lu ye! Tuwir loh. Bokap lu waras nggak, sih?"
Nesya memukul lengan Diandra keras. "Waras, Di.Gue bersyukur kok dikasih jodoh macem Pak Ucup sama bokap gue."
Diandra menganga. Ia tak paham dengan jenis syukur yang dikatakan Nesya ini. Meski Diandra saat ini sudah duduk di bangku perkuliahan, namun menikah juga bukan hal yang ia pikirkan saat ini.Ia kaget, pasti! Teman sekaligus sahabatnya yang lebih muda dua tahun darinya, akan menikah."Calon laki lu kayak bapak-bapak yang perutnya buncit itu, ya, Sya?"
Jelas saja Nesya tak terima dan menoyor kepala Diandra. "Njir, enak aja! Ganteng ini.Eh, manis deng, sama kayak gue, jawir tulen. Kayak ada manis-manisnya gitu," bela Nesya. "Sudah ah jangan banyak cincong temenin gue beli perlengkapan perang, ya!"
"Perang? Panci, wajan sama sendok-sendokan gitu maksud lu?"
"Bukan dong! Itu mah biar Emak gue tercinta yang nyiapin. Perang yang ono, Di." Alis Nesya bergerak naik turun sambil mencetak seringai aneh dan tatapan mata yang ...
Kini Diandra yang menonyor kepala Nesya. "Otak mesum lu!"
Gelak tawa keluar dari bibir indah Nesya. "Di, kalau gue udah nikah nanti, gue masih bisa main sama lu 'kan? Masih bisa nyanyi bareng juga 'kan?" renungnya tiba-tiba. "Tapi kalau nggak boleh sama Pak Ucup, bisa mampus gue, Di!"
"Ya, lu omonglah sama bakal laki lu."
Nesya mendesah lirih, "Ya, gampang lah! Ntar Pak Ucup gue kecup tiap hari biar makin luluh hatinya ke gue" ucapnya bangga. "Yuk, Di, jalan! Kita cari lingerie buat gue."
Diandra bahkan kini membelalakan mata. "Seriusan, Lu?!"
Nesya tertawa dan melingkarkan tangan di lengan sahabatnya. Ia menarikDiandra untuk mengikuti kemana langkahnya menuju.
"Nesya!"
"Bang Sat!"
Ucap mereka serempak. Tatapan mata mereka bertemu sesaat menciptakan kecanggungan diantara dua insan yang hampir saja membuat masa lalu suram.
"Bang Sat ngapain di mall?" basa basi Nesya.
"Habis meeting sama EO. Mau ada perform minggu depan,join?" tawar Satria.
Basi, Bang! Terakhir lu ajak gue join lu campurin minuman gue sama bius. Besok lu campurin apa lagi? Sianida?
Nesya menggeleng, "Nggak, Bang, nggak manggung dulu. Lagi di cekal sama Papa," jawab Nesya.
"Soal itu ... gue minta maaf. Gue khilaf dan kesetanan gara-gara lu nolak cinta gue."
Nesya memicing tak percaya. "Gue nggak pernah nolak lu, Bang. Lu juga ngomong cintanya gitu. Mana percaya gue? Lagian, gue nggak ada rasa sama lu."
"Sya, lu mau maafin gue 'kan?"
Dia belum tahu harus bagaimana terhadap Satria. "Nggak tahu, Bang. Masih bagus Papa nggak jadi bawa kasus lu ke jalur hukum."
Satria menjadi kesal akan ucapan Nesya. "Kemaren, siapa cowok berengsek yang main hajar gue di tenda?"
Gadis berbaju biru itu menaikkan satu alisnya. "Bukannya lu yang berengsek?"
"Gue khilaf dan mabok saat itu," bela Satria pelan.
Nesya sudah tak percaya dengan ucapan Satria yang penuh kepalsuan itu. "Calon suami gue. Dan gue nyesel kenapa nggak gebukin lu sampai mati. Dan minggu depan gue menikah."
Satria terperanjat. "Lu nggak lagi nge-garing 'kan? Sumpah nggak lucu candaan lu!"
"Serius!"Nesya mebatap tajam. "Papa minta Pak Yusuf nikahin gue, setelah dia selamatin gue dari kerak neraka macem lu!"
Satria memandang dengan pandangan menghina. "Aah, jangan-jangan setelah dia ambil lu dari gue, tu orang bawa lu ke hotel dan ...." Seringai mengejek tercetak diwajah Satria. "Gimana rasanya, Sya, dipake om-om?"
Reflek tangan Nesya meninggalkan kenang-kenangan di pipi Satria."Sayangnya lu salah. Cewek yang nolak lu ini bakal ngasih segelnya ke om-om yang gebukin lu dengan senang hati," ujarnya jumawa.
Satria kebakaran jengkot, sebab gadis yang dicintainya akan menikah dengan orang lain. "Sya, gue cinta sama lu! Jangan mau aja dikawinin sama om-om sialan itu! Gue bisa nikahin lu besok!"
Gadis itu mengedikkan bahu. "Silakan kalau berani ngadep bokap. Paling balik-balik lu digiring ke kantor polisi," sahut Nesya acuh, "udah ah, buang-buang waktu gu di sini ampe temen gue jadi kambing congek. Yuk, Dianku sayang!" Nesyamenarik Diandra dan melanjutkan langkahnya.
"Gila, Sya, bos lu cakep sumpah! Sayang bejat," komen Diandra saat mereka sudah memasuki gerai khususunderwear wanita.
"Biar suka sinting gini, gue ogah banget temenan sama cowok bejat. Mending muka standart tapi macho di hati gue, macem si Ucup Kecup."
Diandra bergedik melihat Nesya kumat sintingnya. "Najis, Sya! Makan apa sih lu sampe otak isinya trijipi?"
"Udeh nggak usah rewel! Bantuin pilih nih! Bagus yang merek La-Sensi apa Sensasi?"
"Noh, yang macan! Biar lu cakarin itu si jaksa."
"Ih, nggak sabar gue!" balas Nesya dengan seringai binal.
******
Sang Papa menyambut Nesya di depan pintu rumah. Tatapan tajam Raditya menghunjam tepat di jantung Nesya. Bila diibaratkan boomerang, dalam sepersekian detik kepala Nesya bisa terlepas dari tubuhnya. "Dari mana?'
Gegara macet sialan sih, keduluan Papa deh nyampe rumahnya!Nesya menaikkan beberapa kantung belanjaan di tangan, "Ngemall sama Diandra."
Dengan gerakan kepala sekali hentak, Raditya meminta putrinya masuk ke dalam. Mereka langsung menuju meja makan yang telah siap dengan berbagai macam menu buatan sang ratu.
Ah, bakalan kangen suasana makan bareng gini. Kalau udah kawin trus bobo berdua sama Pak Ucup, makanya juga pasti berdua. Sepiring berdua kayak waktu di kondangan sama dia dulu.
Perempuan dengan gaun rumahan berwarna hijau lembut mengerutkan kening. "Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Sya?" Teguran Ibunda menyentaknya kembali ke alam sadar.
Nesya buru-buru menggeleng. "Oh, nggak. Inget tadi bercandaan Diandra," kilahnya, "Ma, kakak nggak ada acara pre-wedding gitu? Siraman, midodaren atau photo prewed gitu?"
"Nggak. Pernikahanmu ini upaya Papa untuk melindungi kamu dari bahaya yang hampir saja menodai masa depan kamu." Raditya menjawab pertanyaan Nesya. "Kalau mau resepsi atau ritual apapun tunggu beberapa bulan lagi. Kita hanya punya sedikit waktu dan itu hanya cukup untuk menyiapkan sebuah akad saja," tambah Raditya.
"Lah, kalau saat itu kakak hamil, gimana?"
Raditya memandang intens putrinya. "Yusuf tipikal pria yang mengutamakan logika. Papa kenal dia dan Yusuf paham, bahwa gadis yang dinikahi masih belum cukup umur untuk hamil dan melahirkan."
Tapi cinta tak pernah pakai logika, Papanda! Mana bisa Pak Ucup menghindar dari pesona Nesya. Minta dinyanyiin lagu Agnez Mo deh, Papanda Nesya ini. Agak lieur kayaknya kebanyakan ngitung duit nasabah.
"Yasudah. Sesuai janji, untuk masalah ini kakak nggak akan banyak tapi."
Karena resikonya tinggi, Maann!!! Banyak bacot ntar dibatalin lagi kawinan gue sama Pak Ucup.
Selesai makan malam, Nesya merebahkan tubuh diranjang dan memandang langit-langit kamar. Senyum tak luput menghiasi wajah, membayangkan akan hidup bersama pria yang sudah dua kali menyelamatkan hidupnya. Tak lama terdengar nada tanda pesan masuk. Nesya mengerutkan dahi seraya meraih ponsel di nakas.
087653271937: Ini nomor saya.
Me: Siapa?
087653271937: Yusuf Arbianda.
Nesya memekik tertahan. Ini gila! Rezeki nomplok. Nesya begitu gembira, layaknya dihujani meteor cinta.
Me: Oke Pak. Nesya save 'suami tersayang'
087653271937: Kita belum menikah. Tidak perlu berlebihan.
Sebodo amat! Henpon juga henpon gue. Mau ditulis 'penghangat malam' juga suka-suka gue.
Nesya tersenyum riang seraya menuliskan satu nama di kontaknya untuk nomor yang baru.
Di sudut lain Jakarta, si calon pengantin yang baru saja bertukar pesan dengan calon istrinya, kini sedang jadi bahan gojlokan teman-temanya.
"Rejeki nomplok kamu, Suf. Dapet anak gadisnya Pak Raditya," seru Rendi, "tahu gitu, kenapa nggak aku saja yang nolongin Nesya?" keluh Rendi pada Andra.
Andra terkekeh geli mendengar keluhan Rendi. Temannya itu masih saja sama jika menyangkut perempuan. "Wes takdir, Ren, ikhlaskan Nesya buat temenmu yang garing kayak sawah paceklik itu," timpal Andra.
"Nesya cantik, mamanya aja kalah. Body-nya juga oke menurut penelitian anatomiku." Otak Rendi bergerak lincah jika mengingat wanita.
"Menurut penelitian otak mesummu itu namanya!" timpal Andra itu lagi.
"Suf,diem aja! Udah dikasih kopi ini loh," tegur Andra sembari menepuk pundak Yusuf.
Yusuf kaget juga bingung karena tidak konsentrasi pada guyonan temannya, menjawab singkat, "Sorry! Lagi bales chat Nesya. Gimana tadi?"
"Ciieee! chat calon istri," ujar dokter dan peternak itu serempak.
Jaksa itu tersenyum singkat dan samar. "Ini amanah, asal kalian tahu. Pak Radit mempercayakan Nesya kepadaku karena satu dan lain hal. Lagian aku belum tahu perasaan dia terhadapku dan sebaliknya."
"Witting trisno jalaran soko kulino," sergah Andra. "Aku sudah enak. Nikah muda, istri nurut, dan anak dua. Manteb, toh! Sudah sejajar ini aku sama Pak Raditya," canda Andra.
Yusuf mendesah kecil mendengar ucapan Andra. Mengusap penuh tekanan pada wajahnya. "Kamu sama istrimu seumuran. Teman kuliah, bidangnya pun sama tukang angon. Lha aku ... kalian tahu gimana dia. Aku ragu apa bisa imbangi dia nanti."
Rendi paham akan pemikiran Yusuf. Mereka dua orang yang bertolak belakang. "Wes jalani saja. Aku yakin kamu bisa. Disini hitungannya kamu yang paling kalem dan mateng pikirannya," saran Rendi."Meskipun yang paling pinter tetep aku," lanjut Rendi dengan jumawa.
Pria mapan itu menghela napas. Disatu sisi ia lega, karena bisa memenuhi permintaan ibunya untuk segera melengkapi separuh agama. Namun, disisi lain ia bimbang, apakah teman ibadahnya mampu mengarungi rumah tangga yang pastinya penuh dengan prahara?Denting penanda pesan masuk berbunyi, membuyarkan pikiran Yusuf. Nesya. Yusufmembuka pesan tersebut dan membaca.
Carnesya: See you minggu depan, Pak. Nggak usah bawa mas kawin banyak-banyak. Bacain Ar-Rahman aja Nesya udah ikhlas jadi makmum Bapak.
Senyum tipis seketika terbit diwajah Yusuf Arbianda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top