25. Hugs and Kisses
Yogyakarta. Kota dengan segala budaya, alam, eksotisme dan keindahanya. Dan di sini lahNesya berada sedang menunggu mobiljemputan dari EO yang mengundang, sambil menikmati makan siang yang merupaka makanan sayur manis khas kota ini. Ini adalah show terakhir sebelum ia freeze sementara untuk fokus pada Ujian Akhir Semester. Di kota pelajar ini, ia akan mengisi acara wisuda di salah satu universitas ternama.Jika anak seumurannya bersemangat bertemu kakak-kakak—damn they really hot—dengan balutan jas atau toga, tidak berlaku untuk Nesya, sebab ada toga yang lebih seksi di mata dia. Toga yang suaminya kenakan disetiap persidangan. Toga jaksa Yusuf Arbianda.
Bagi Nesya, tidak perlu balutan jas atau suit untuk membuat seorang pria tampak keren dimatanya. Seragam batik yang Yusufpakai setiap jumat, sudah membuat jantungberdegub kencang. Yusuf Arbianda memang poros dunianya. Tidak ada pria manapun yang dapat menggeser pesona jaksa itu.
"Kak, Mbak boleh ajak anak Mbak nginep di hotel nggak nanti malem?"Karti yang tengah menikmati gudeg koyor dan opor telur itu meminta izin pada Nesya.
Dara manis tersebut menoleh pada ibu asuhnya di seberang. "Boleh. Nanti siapa yang antar mereka kesini?"
"Suami Mbak, lah."
Dengan menopang dagu, Nesya kembali bertanya, "Suami Mbak ikut nginep juga?"
Karti pun menggeleng. "Enggak. Cuma anak-anak Mbak aja kok"
"Oh, kirain. Nanti Nesya jadi obat nyamuk Mbak Karti."
Mbak Karti—asisten pribadi—sudah menemani Nesya sejak ibu kandungnya meninggal, bahkan rela meninggalkan anak dan suaminya di kampung halaman mereka, Gunung Kidul, dengan mengabdi pada Keluarga Wardhana. Menurut Mbak Karti, keluarga Wardhana berjasa dalam membantu perekonomian mereka.
Karti berseru girang. "Yes! Makasih ya, Kak. Bisa dinner all you can eat deh mereka nanti."
Nesya memiringkan bibir melihat Karti begitu semangat. "Suka-suka Mbak Kartiku sayang aja, lah."
Salah satu crew EO datang. Mereka langsung menuju lokasi, karena ia akan tampil mengisi acara wisuda itu dan malam hari ia sudah berencana untuk berkeliling Yogya bersama Davina.
*******
"Sya, lu pucet banget. Sakit?"
"Nggak tahu Mbak Dev, kelar manggung di kampus tadi kok rasanya badan meriang. Kembung pula. Mbak Dev mau Nesya kasih tahu rahasia nggak?"
Devina mencodongkan badan ke arah Nesya. "Apa?"
Nesya berbisik, "Nesya sudah buang angin sekitar empat kali loh ini selama kita makan."
Kontan Devina menyemburkan nasidi mulut dan menjauhi Nesya. "Njrit!! Nesya! Kita lagi makandan lu joroknya nggak ketulungan!" Devina menengguk air minum dengan cepat. "Ampun gue sama ini anak satu."
Nesya menyeringai malu. "Makanya kan gue bilang rahasia, Mbak Manager Nesya tercinta."
"Cancel hang out, deh, Sya. Gue nggak mau lu kenapa-kenapa. Istirahat aja. Lu sering ke kota ini juga, kan?"
Nesya mengangguk. "Iya, Kakek sama Nenek gue kan di solo. Jadi suka main kesini sama bokap kalau lagi pulang kampung."
"Ya, sudahistirahat sana. Gue jalan sendiri pake mobil hotel sama guide dari sini."
Nesya mengangguk menuruti instruksi managernya. Selesai mengisi perut di restaurant hotel, Ia berpisah dengan Devina yang langsung turun ke lobi untuk memesan mobil hotel. Nesya menuju kamar dan langsung merebahkan diri di ranjang. Selang satu jam menikmati siaran televisi dengan lampuredup, ia mendengar suara ketukan pintu.
Nesya mengernyit bingung. Bukannya key card ada direseptionist,ya? Jadi kalau Mbak Karti dan anak-anaknya udah selesai makan malam, harusnya bisa langsung masuk. Ngak usah ketok-ketok. Tak ingin berspekulasi terlalu lama, Nesya beranjak dari ranjang dan membuka pintu. Iris cokelat Nesya membulat sempurna dengan mulut terbuka dan kaki yang seakan dilem kuat hingga tak bisa digerakan. Yang berdiri di depannya sosok yang tak pernah terlintas dalam mimpinya sekalipun.
"Saya bertukar kamar dengan Mbak Karti. Anaknya dua dan sudah besar. Tidak mungkin jadi satu sama kamu disini."
Tanpa menunggu Nesya persilakan masuk, pria itu sudah memasuki ruangan yang masih redup lalu menyalakan lampu hingga kembali terang, kemudian meletakkan ransel di samping lemari.
Nesya terpaku. Tidak percaya dengan apa yang matanya tangkap. Bergeming di dekat pintu yang sudah tertutup rapat. Pria itumembuka ransel, mengambil baju lalu masuk kamar mandi tanpa bicara apapun dengan gadis yang merasa sedang berhalusinasi.
Fix gue sakit. Gue sampe halu berat.Padahal demam gue nggak sampe bikin gue kejang.
Pria itu keluar dari kamar mandi. Memandang Nesya masih berdiri di pintu layaknya patung selamat datang. Mendekat lalu menggenggam tangan Nesya, membawa manusia setengah sadar itu ke ranjang dan mendudukkan Nesya.
"Saya papasan dengan Devina di lobi. Dia bilang kamu sakit. Masuk angin?" Nesya hanya mengangguk. "Buka kaus kamu, saya pijat dan kerok, mau?"
Lagi, bagai kerbau dicucuk hidungnya, Nesya mengangguk lalu membuka pakaian atas. Tidur menelungkup dan membiarkan pria imajinasinya menyentuh punggung dan membuka kaitan bra.
"Bapak," panggil Nesya lirih mencoba meyakinkan bahwa ini buka halusinasi.
Tak ada jawaban.
"Maaf," lanjutnya saat ia merasakan tangan kekar tengah membaluri minyak hangat dan memberi terapi di punggungnya.
Tak ada suara selama Nesya merasakan terapi yang membuat dirinya terasa hangat. Nesya berharap semoga ini bukan halusinasi efek dari demamatau halusinasi efek dari rindu pada suaminya. Gerakan tangan di punggung polos Nesya terhenti. Nesya terkesiap. Reflek ia berbalik hingga posisi tidur menjadi telentang, tidak peduli dengan tubuh tidak berlapis apapun.
Yusuf segera menutup tubuh Nesya dengan selimut saat mendapati istrinya polos tanpa busana. Mengikuti buncahan kerinduan yang bercokol dihati, ia menunduk lalu mencium Nesya. Memagut lembut namun menuntut dan mereka tahu jika ini ungkapan kerinduan.
It's real. Bapak ada disini. Suami gue disini. Batin Nesya kemudian menutup mata.
Hingga tanpa sadar, airmata haru turun perlahan darigadis itu. Yusuf menghentikan ciuman, bernapas lirih dan menikmati saat kening mereka menempel. Bahkan, ia kini mengubah posisinya, mengungkung Nesya yang masih terbungkus selimut.
"Saya ...," ucapnya lirih disela embusan napas hangat.
Bapak mau bilang kangen sama Nesya, kan? Katakanlah! Gue sudah nggak sabar.
"Saya ...." Nesya masih terdiam menunggu Yusuf mengatakan rindu atau cinta. "Saya mau kasih testimoni untuk sample produk Dapur Winda," lanjutnya dengan wajah datar.
WHAT THE ...! Jauh-jauh nyamperin gue cuma buat kasih testimoni nasi rames?Nesya mendengkus kasar. Tak bisa ia sembunyikan wajah dongkolnya. Jaksa ini, benar-benar berbakat merusak moment manis. Kalau nggak bisa romantis, minimal bisa bikin sesuatu yang manis lah!
"Nasinya kemarin agak keras. Kamu sudah tahu, kalau saya suka nasi yang sedikit lembek," ucap Yusuf tanpa menjauhkan kening mereka. "Kamu juga tahu, saya kurang suka pedas, tapi kemarin sayurnya terlalu banyak cabai potong, juga ...." Kini netra Yusuf mengunci netra bening Nesya. "Kamu lupa menyiapkan jus jeruk. Padahal kamu tahu, hanya minuman itu yang saya mau jika menyantap makanan berminyak." Satu kecupan mendarat di bibir Nesya."Tapi ayam kecap dan empal suwirnya saya suka. Suka sekali. Karena saya tahu, itu buatanmu."
Nesya yakin ini nyata. Suaminya datang dan kini tengah berada diatas tubuh dia. Nesya kembali memejamketika Yusuf lagi-lagi memberi ciuman yang membuatnya melayang tanpa sadar.
"Bapak," ucap Nesya lirihtengah memeluk Yusuf, setelah memakaibajuatas perintah Yusuf. Mereka berbaring diranjang berpelukan sejak lima belas menit lalu.
Yusuf sesekali membalas pelukan Nesya. Tangannya tak henti mengusap punggung atau rambut gadis yang ia cintai kini. "Sya."
"Hhmm?" Nesya sungguh enggan mengangkat wajah dari dada bidang lelaki ini.
"Apapun yang terjadi di hidupmu nanti dan yang akan kamu terima nantinya, satu hal yang harus kamu tahu, saya tidak akan melepasmu sampai kapanpun."
Ucapan Yusuf kali ini akhirnya berhasil membuat kepala Nesya berjarak dari dada Yusuf, menatapdengan alis yang hampir bertemu. "Maksudnya?"
Lelaki berhidung bangir itu membalas tatapan Nesya. "Saya mau kamu tahu, kalau kamu adalah bagian dari saya. Hidup saya. Jika nanti ada suatu hal yang membuat kamu tidak nyaman atau bahkan dapat mengubah rasamu pada saya, saya hanya ingin menyampaikan, bahwa sampai kapanpun saya tidak akan melepaskan kamu."Nesya tidak menjawab, memandang Yusuf dengan tatapan bingung atas pernyataan ambigu suaminya. "Kamu mau saya mengaku satu hal?"
"Apa?" Entah mengapa jantung Nesya kini berdegup kencang. Sisi dramanya membisikkan kemungkinan buruk tentang suami dan mantan terindah Yusuf. Hingga refleks dia bangkit dari berbaringdan duduk diatas pinggang Yusuf. "Bapak mau ngomong apa?" Ada nada khawatir dan takut pada ucapannya.
"Saya mencintai kamu," aku Yusuf datar, tanpa ekspresi, dan lancar.Tiga kata itu membuat Yusuf dijatuhi tubuh berat yang tiba-tiba memeluk dirinya dari atas dan menghujani ciuman yang didaratkan Nesya disetiap inchi wajah lalu berlabuh lama di bibir.
*******
Winda membuka pintu rumah yang diketuk dan mendapati sesosok wanita berdiri di teras.
"Selamat malam."
Winda memasang wajah tak suka pada wanita di depannya ini. "Malam. Ada yang bisa dibantu?"
Senyum manis tersungging di wajah wanita itu."Bisa saya bertemu dengan Bapak Raditya Wardhana?"
Winda melirik jam dinding di ruang tamu. Setengah sembilan. Cukup malam bagi seorang wanita bertamu. "Ada perlu apa, ya, Mbak?"
Wanita itu tersenyum lagi lalu mengulurkan tangan pada wanita yang ia yakini istri dari Raditya. "Perkenalkan, saya Kinanthi. Pengacara Adnan Bramudya dan ... teman dekat Yusuf Arbianda"
Winda mau tidak mau membalas uluran tangan Kinanthi. Mendengar nama sosok terdekatnya, membuat Winda seketika diliputi rasa cemas dalam hati. "Ada masalah apa, ya, dengan menantu saya?" tanya Winda tanpa sedikitpun mempersilakan masuk.
Kinanthi tampak tenang menjawab keingintahuan Winda, meski ia tahu kehadirannya tak diharapkan. "Ada hal mengenai masa lalu yang harus saya sampaikan pada Pak Raditya. Mengenai anak anda dan ... tentu saja terkait dengan Yusuf Arbianda," jelas wanita itu sopan dan perlahan. "Sehingga malam ini, saya meminta izin Ibu untuk menemui Bapak Raditya untuk memberitahukan hal ini."
Winda mengangguk. Pengacara ini datang tidak di jam wajar bertamu. Ia yakin, ini bukan tentang politikus yang wanita itu perkenalkan sebagai klien. Ini pasti tentang anak dan menantunya. Jika itu benar, maka Winda siap pasang badan jika suatu hal terjadi pada rumah tangga anak tirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top