22. Empty
"Pak Yusuf.!" Seseorang mengguncang-guncangkan tubuh Yusuf yang tertidur di meja kantor. "Pak. Pak!"
Yusuf tersadar, segera duduk tegap. Mengusap kasar paras kusutnya dengan kedua tangan. "Ya, Pak Ibnu? Maaf saya agak kelelahan, kurang tidur."
Jaksa senior—Ibnu Dharmawan—heran mendengar sejawatnya yang tengah linglung. "Kenapa, Suf? Ada masalah? Nggak biasanya loh kamu begini. Baru pertama ini saya lihat kamu seperti ... kosong?"
Yusuf membentuk senyum tipis untuk menutupi kegundahan yang dirasa. "Tidak ada apa-apa, Pak. Hanya kelelahan dan sedikit banyak pikiran."
"Istrimu yang di kampung itu? Kalau rindu, ajaklah tinggal disinisama kamu. Kenalkan pada kami. Jangan diumpetin saja. Lagian kok, ya, betah kamu jauh-jauh dari istri. Kalau saya, ya, sudah pingsan kalau nggak dibelai, Suf," canda Ibnu.
Yusuf meringis. Istri dikampung. Ya, itulah alasan klise yang ia gunakan untuk menutupi pernikahan mereka di lingkungan kerja. Empat hari tinggal terpisah dengan gadis cantiknya, selama itu pula ia berusaha untuk tetap waras meski tanpa komunikasi dengan Nesya. Menenggelamkan diri diantara tumpukan buku hukum dan kasus tipikor yangia pelajari, jalan satu-satunya agar dapat mengalihkan pikiran dari rasa rindu pada Nesya.
Ya. Yusuf merindukan istrinya.
"Udah dapet info dari orang KPK?" tanya Ibnumemeriksa berkas di hadapannya.
"Soal?"
"Ada rencana OTT, tapi masih rahasia. Kamu pelajari aja semua kasus tipikor beserta hukumnya. Kayaknya ini kasus lumayan rumit."
Yusuf mengangguk. "Iya, Pak."
"Jangan terlalu diforsir juga, kamu nggak kerja sendirian, Suf. Kita tim."Yusuf mengiakan seniornya.
******
"Mbak ... kangen si Bapak," adu Nesya dengan berseragam partai Adnan Bramudya. Sudah enam hari gadis ini tidak tinggal bersama suaminya, demi mengikuti skenario sinting karya Davina sang manager tercinta.
"Kakak yang sabar, ya! Nggak lama, kok! Fokus sama Ujian Akhir Semester Kakak aja. Dua bulan lagi, kan?"
Nesya menggeleng. "Enam minggu lagi malah," ralat Nesya.
Sesampainya di kawasan Bumi Serpong Damai, Nesya memasuki hall gedung International Covention and Exhibition, tempat diadakanacaraitu. Panitia perayaan ulang tahun Partai Indonesia Kita, menyambut dan menggiringmasuk keruangan khusus yang telah disediakan.Acara berlangsung meriah dan lagi-lagi, ia berhasil menciptakan suasana meriah dan menyenangkan dan Nesya memang tak bisa diragukan kemampuan dan aksi panggungnya.
Devina pun mendekati Nesya. "Dek, Pak Adnan ngajakin makan malam di hotel depan gedung. Lu ikut, ya! Service tamu yang udah bayar lu gede."
Nesya menatap kaget pada Devina. "Berdua gitu gue?! Nggak, ah! Nanti ada gosip-gosip lagi. Kapok, gue!"
"Nggak, sama istrinya juga."
Nesyamengiakan jadwal yang Devina berikan. Hingga malam hari saat waktu makan malam tiba, ia datang dengan mengguankan dress santai selutut dengan flatshoes warna senada. "Selamat malam Bapak, Ibu Adnan," sapa Nesya ketika sampai di meja dan mendapati Adnan beserta istrinya telah tiba lebih dulu.
"Adinda. Panggil saja Dinda." Wanita bertopi rajut itu mengulurkan tangan yang disambut hangat oleh Nesya.
Gadis berlesung pipit tersebut duduk di kursi yang sudah ditarik oleh pelayan restaurant. "Terima kasih sudah mengundang saya makan malam," ucapnya santun.
"Saya yang terima kasih. Acaranya meriah. Para tamu undangan tadi terlihat terhibur sama perfomance Mbak Nesya," sanggah Adnan.
Nesya mengulas senyum. "Bapak bisa saja."
Mereka menikmati makan malam sembari berbincang ringan seputar dunia entertainment yang Nesya geluti, juga menceritakan perjalanan karir hingga ia terkenal seperti saat ini, tetapi Nesya tidak mengeluarkan sepatah katapuntentang laki-laki tercintanya. Meski dalam hati ingin sekali berkata pada dunia, bahwa ia bisa mencapai titik ini justru karena laki-laki yang selalu ada untuk melindunginya, namun mulut Nesya seolah terprogram untuk diam.
Skenario Devina sungguh menyebalkan.
"Oya,Mbak Nesya, kalau boleh tahu, nama almarhumah Ibu Mbak siapa?" tanya Adinda Bramudya halus. Wanita paruh baya bertopi rajut untuk menutupi kebotakan akibat kemoterapi, memandang Nesya dengan binar sayangtulus."Mungkin saja saya kenal karena banyak yang saya temui selama tujuh tahun menjadi survivor. Dari teman kemo sampai teman grup chatting."
Nesya tampak berpikir. "Saya rasa Ibu tidak kenal," tuturnya seraya tersenyum. "Carenina Wardhana, nama almarhumah Ibu kandung saya. Namun, beliau pergi saat usia saya dua tahun. Itu yang saya tahu dari Mama dan Papa saya."
Adnan dan Adinda Bramudyasesaat menampilkan raut terkejut mendengar nama yang Nesya sebutkan. Kemudian ekspresi tenang dan santai kembali mereka tampilkan disela makan malam ini
"Almarhumah Ibu saya, katanya dulu penyanyi. Tapi tidak seterkenal saya, padahal sama cantiknya dengan saya," ceritanya disertai tawa ringan. "Beliau penyanyi cafe. Dua puluh tahun lalu beliau menikah dengan Papa, kakak angkatnya. Beberapa bulan kemudian lahirlah saya."
Adnan mengamati seksama waajah cantik di depannya itu. "Jadi ... Papa kamu itu masih keluarga Wardhana?" tanya Adnan hati-hati.
Dengan polos, Nesya yangmengunyah wagyu steak dengan saus jamur itu mengangguk. "Iya. Raditya Wardhana, Papa saya." Nesya membenarkan. Adnan menoleh sesaat pada Adinda disertai tatapan tak terbaca. Nesya seakan tersadar,ada yang tidak beres dengan respon pasangan teman makan malamnya ini. "Apa mungkin ... Bapak dan Ibu kenal dengan Ibu kandung saya?" tebak Nesya ragu-ragu.
Adinda dengan wajah pucat dan tegang berusaha tersenyum kemudian mengangguk kecil. "Iya."
Nesya kontan mencetak mimik terkejut diwajah. Bahkan mulutnya sempat terbuka karena ia tak menyangka bertemu dengan orang yang mengenal almarhum ibunya. "Kenal dimana??" tanya Nesya antusias.
"Carenina ... sahabat saya."Adnan menjawab pelan.
"Huwaaawww!" Nesya berbinar bahagia. "Akhirnya ada teman lama Ibu saya. Kalau Bapak atau Ibu punya foto atau kenanganterkait beliau, bolehkan saya memilikinya sebagai kenang-kenangan?" pintanya memohon dengan antusias.
Adinda tampak canggung. "I-iya, suatu hari akan saya berikan kenangan itu kepadamu." Ia menoleh pada suaminya dengan tatapan sendu lalu kembali menoleh kepada Nesya. "Suatu saat nanti ... jika saatnya telah tiba," lanjutnya.
Adnan lagi-lagi memandangi penyanyi pendatang baru itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Nesya menyadari ada binar janggal dimata politikus terkenal tersebut, tetapi berusaha tidak memedulikan. Mungkin saja tatapan bersimpati dan prihatin atas dirinya, yang telah ditinggal ibunya pergi untuk selamanya, apalagi saatia masih balita.
"Pak Raditya, bagaimana kabarnya?"
"Loh, Bapak kenal Papa saya?"
Lelaki dengan kemeja batik bergambar naga tersebut menggeleng. "Beliau tidak kenal, tapi saya tahu beliau."
"Ah." Nesya mengangguk paham. "Papa baik-baik saja. Masih galak dan tegas kalau sama saya."
Ada perasaan aneh saat mendengar Nesya mengatakan hal itu. "Galak? Dia memperlakukan kamu dengan baik,'kan?"
Nesya mengangguk mantab. "Galak kalau sudah menyangkut saya. Papa itu agak sedikit overprotective, mungkin Papa punya sindrom daughter complex." Nesya mengangkat kedua bahu. "Untuk memasuki dunia hiburan saja, saya sampai saat ini belum seratus persen direstui."
"Lalu kenapa kamu bisa sukses sampai di titik ini?" Dinda penasaran.
"Kan ada Pak Yusuf." Ups! Nesya keceplosan. Mati gue! Keceplosan !
Adnan yang penasaran pun bersuara, "Siapa Yusuf?"
"Emm ... orang kepercayaan Papa," kilahnya.
Adinda menyahuti, "Kenapa saya tidak melihat dia hari ini?"
Duh. Jawab apa gue ini, Emaaakkk!
"Itu ... Pak Yusuf dia... ehm ... orang kepercayaan Papa ... ehmtapi ... nggak pernah temanin saya manggung, kerja soalnya. Iya sibuk kerja." Terbata, Nesya coba merangkai berbagai macam alasan yang masuk akal.
Adnan menatap Nesya serius. "Kerja apa? Bankir juga?"
"Bukan, dia ... kerja di kejaksaan. Eemm ... jaksa." Aduh, mudah-mudahan ini orang bukan adminnya Lambe Murah. Bukan si Minceu.
Adnan mengernyit. "Jaksa? Tapi mengapa dia berjasa terhadap karir kamu?"
Duh, mau cepet-cepet balik ke hotel aja deh gue. "Eemm ... dia support saya aja. Bantu Nesya meyakinkan Papa kalau saya baik-baik saja bekerja sambil kuliah."Adinda dan Adnan mengangguk serentak.
******
Nesya terlentang di ranjang hotel pesanan Adnan Bramudya untuk dirinya, Devina, dan Karti. Suite penthouse dengan dua bedroom. Tetapai, Devina memilih pulang ke rumah karena tidak jauh dari tempat ini, sedang Karti menempati satu kamar lain. Dan disini Nesya sekarang, sendiri dengan tatapan kosong, tetapi pikiran menumpuk merindukan Yusuf, menginginkan laki-laki denga wajah sedater tembok itu. Ia ingin bercerita pada laki-laki yang menjadi separuh hidupnya kini.
"Ah, kenapa nggak chat aja, sik!" monolog Nesyamemukul pelan kening. Ia mengambil ponsel di samping bantal, membuka layar, dan menyentuh salah satu aplikasi messenger.
Me : Assalamualaikum lagu cintanya Nesya.
Me : Nesya rindu sama anugrah pemberian Allah. Nesya merasa hampa malam ini,kangen, tapi kayaknya tak berbalas.
Me : Sekali lagi Nesya minta maaf. Rumor yang beredar di luar itu nggak bener, Pak. Nesya nggak ada apa-apa sama si Bangsat itu.
Me : Sekali lagi Nesya juga minta maaf. Nggak bisa jadi istri yang baik untuk Bapak. Harusnya malam ini Nesya ada di kamar Bapak. Menemani Bapak dan memikirkan menu apa untuk sarapan besok.
Me : Bapak sehat kan disana? Bapak jaga makanan Bapak, ya! Jangan sakit lagi kayak kemarin. Nesya nggak bisa liat Bapak sakit seperti kemarin. Mau nangis aja bawaanya. Cengeng, ya, Nesya..
Dan kini, cengeng Nesya menjadi nyata. Airmata itu mengalir tanpa bisa dicegah. Mengabaikan aliran di wajah,tetap fokus pada ponsel seraya terisak lirih.
Me :Bapak tahu, kapan waktu terindah buat Nesya? Saat Bapak membacakan Ar Rahman dan mencium kening Nesya. Pertamakalinya Nesya merasakan bahagiamembuncah. Pertama kalinya ada laki-laki yang menyentuh wajah Nesya selain Papa.
Me: Dan Nesya bahagia karena Bapak lah orangnya.
Me : O, ya, Pak. Tadi Nesya dinner sama Pak Adnan dan istrinya. Bapak tahu nggak? Ternyata mereka temen lama almarhumah Ibu. Nesya seneng banget ketemu merekasoalnya baik banget. Suer, deh!
Me :Nesya bilang ke mereka, kalau punya sesuatu dimasa lalu yang berhubungan dengan almarhumah Ibu, Nesya mau minta untuk simpan sebagai kenang-kenangan.
Me:Dan Bapak tahu? Mereka bilang akan kasih ke Nesya! Yipiieeee!
Me :Tapi ... kalau sudah waktunya kata mereka. Hadeuuuh ... harus sabar emang berurusan sama orang penting mah!
Me : Nesya nggak minta Bapak balas chat ini kok. Nesya hanya ingin bercerita saja sama Bapak, supaya di dada nggak sesek rasanya.
Me : Nesya rindu Bapak, bahkan ponsel Nesya udah ketetesan bukti rindu ini pada Bapak.
Me:Bapak jaga kesehatan, ya! Mohon maafin Nesya. Bapak boleh kok marah sama Nesya. Memang Nesya yang salah karena nggak nurut sama omongan Papa.
Me : Tapi Bapak tolong jangan pernah pergi dari hidup Nesya. Karena bagi istri durhaka ini, Bapak separuh hidup dia.
Me : Jika Bapak pergi, entah mau jadi apa hidup Nesya. Hehehehee
Tertawa namun cairan bening berjatuhan di pipi. Sungguh ia ingin memeluk suaminya.
Me : Kalau masalah ini sudah clear, satu hal yang mau Nesya lakukan ...
Me :Peluk Bapak sampe puas.
Me : Nesya kangen Bapak. Beneran.
Me : Meski tampaknya Bapak nggak kangen Nesya.
Me : Selamat tidur Bapak. Nesya merem dulu ya.
Me : Sleep tight imamnya Nesya.
Nesya menutup aplikasi pesan lalu membuka portal berita dan membaca rumor yang beredar mengenai dirinya. Hingga sepuluh menit, tidak ada satupun denting pertanda pesan masuk berbunyi.
Iseng Nesya membuka aplikasi pesan itu lagi. Centang dua dengan warna biru. Nesya tersenyum miris. Ia tahu, hanya ini yang didapatnya. Semua pesan sampai namun tak akan terbalas. Hingga ribuan atau jutaan pesan sekalipun yang ia kirim untuk jaksanya, tidak akan dibalas.
Yusuf Arbianda merajuk. Ia tengah menunjukkan kekecewaan. Dengan hati hampa hanya mampu terisak pilu seraya menghela napas dan menepuk keras dada yang mendadak terasa sesak setiap malam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top