20. Hectic

"Mbak, please.Ini yang sakit laki gue. Biarpun ada nyokapnya di sini, tetep kalau malem kudu gue yang temenin."Nesya berusaha melakukan negosiasi dari saluran telepon.

"Emang nggak ada yang lain?"

"Nggak ada. Siang jatah mertua gue, malem gue," sambungnya cepat, "tenang saja,Mbak, laki gue juga paham kok soal ini. Lagipula, sampai kapan gue harus nutupin dia dari publik?"

"Sampai ... gue bilang nggak apa-apa buat diekspos."

Nesya mendengkus pasrah. "Iya. Ya, udah doa'in laki tercinta gue cepet sembuh, ya."

"Oke, Dedek. See you tomorrow, ya! Jangan lupa ada meeting sama Boss Albert.

"Oke!" Nesya menutup telepon dan melangkah memasuki rumah sakit.

*****

"Halo anak gadisnya Ardian," sapa pria paruh baya dengan tampilan rapidalam balutan jas.

"Nesya bukan anaknya Pak Ardian, anak buahnya doang," canda Nesya santun.

Albert menepuk lembut bahu Nesya. "Tetap saja. Buat saya kamu anaknya Ardian."

Tak ingin berdebat soal anak siapa, Nesya memilih mengalah. "Mister Albert bisa saja."Nesya duduk di kursi siapmeeting siang ini. "Siang ini, kita mau bahas apa, ya, Sir?"

"Ah, iya! Saya mau ucapkan selamat buat album baru kamu yang booming di pasaran. Saya suka sama pencapaian kamu yang relatif singkat ini," puji Albert pada awal meeting mereka.

Nesya merendah. "Itu semua berkat Mbak Devina dan team marketing, Pak."

"Ya, karena kamu juga lah, Sya. Udah punya fans banyak sebelum punya album," sahut Devina, "itu mempermudah pemasaran album," imbuhnya.

Albert bertepuk tanga. "Good then!" puji Albert. "Minggu depan, kamu ada show di Tangerang. Dua hari lalu, Adnan Bramudya telepon saya, minta kamu tampil di acara partai dia."

"Adnan Bramudya?"Nesya dan Devina serentak berseru. "Tapi kenapa Pak Adnan tidak menghubungi saya dulu?" tambah Devina terheran.

"Dia minta jalur khusus. Langsung via saya. Tawaran harganya juga oke menurut saya. Dia naikin hampir dua kali lipat dari yang biasa anak Ardian terima ini." Tunjuk Albert dengan dagu ke arah Nesya.

"Anak Raditya Wardhana, Sir," ralat Nesya lagi.

Albert mengibaskan tangan tak peduli dari kursi kebesarannya. "Ya, terserah! Pokoknya Devina, minggu depan set schedule buat anaknya Ardian ini show di acaran si Adnan itu. Saya nggak mau ada masalah sama dia. Politikus sekarang suka kejam. Cari-cari alasan dan cara buat mandekin usaha orang. Dipailitin."

"Yes, Sir." Devina mengangguk mantap. Mencatat jadwal tampil Nesya untuk acara politikus itu. Membagikan informasi kepada penata rias dan wardrobe agar turut mempersiapkan penampilan Nesya.

"Mister Albert ...." Nesya tampak ragu-ragu.

Pria itu melihat Nesya. "Ya?"

"Nesya mau tanya. Sampai kapanharus menyembunyikan status pernikahan Nesya? Maksudnya, Nesya takut nanti suami Nesya tidak nyaman dengan kondisi ini. Sejak Nesya go public, kita sudah tidak pernah makan diluar berdua."

"Sampai Devina mengizinkan kamu untuk mengekspos."

Kekecewaan bergelanjut di paras Nesya. "But, when?"

Albert menyatukan jari-jarinya di atas meja. "Sebenarnya saya tidak masalah dengan publik mengetahui privacy kamu. Karena itu urusan kamu sendiri. Saya hanya tidak mau, semua artist yang berada di bawah management saya, viral karena sensasi. Albert Suwondo Artist Management hanya menjual prestasi. Jika ada artistterlibat skandal atau membuat sensasi murahan, Albert Suwondo siap menendang dia dari sini," jelas pria paruh baya itu.

"Dan kamu, Sya, masih baru debut dan usia kamu masih belia. Jika publik tahu kamu sudah menikah, takutnya meraka kira kamu hamil duluan dan itu ancaman besar buat karir kamu. Apalagi, suami kamu itu aparatur sipil negara, bukan pengusaha," terang Devina agar Nesya paham dengan alasannya menutupi status Nesya.

"Just trust her, Sya. Devina selalu memikirkan apapun yang terbaik untuk karir kamu."

Ia mengangguk kecil meski dengan wajah murung. "Yes, Sir," sahut Nesya lemah.

Ini risiko yang harus ia tanggung. Bukankah ada harga yang harus dibayar untuk setiap keputusan? Bukankah ada hal yang harus dikorbankan untuk sebuah pencapaian? Termasuk menyembunyikan status dia adalah hal yang harus Nesya lalukan dengan sabar dan ikhlas, demi mencapai cita-citanya. Agar ia berhasil menggenggam satu lagi dunianya. Meski dalam mengejar satu dunia, ia harus rela menenggelamkan satu dunia lain. Nesya harus fokus pada hal yang ia pilih menjadi prioritas.

Cita-cita atau cinta.

Dalam hal ini, entah ia harus bersyukur atau sedih mengetahui bahwa suaminya bersedia 'disembunyikan' dari publik. Satu sisi, Nesya merasa beruntung karena memiliki suami yang kooperatif. Namun sisi lain hatinya, menghasut untuk berpikir bahwa Yusuf mungkin juga malu memiliki istribelia. Tetapi Nesya tetaplah Nesya, dengan cinta besar terhadap suaminya. Dengan hati lapang, ia meyakini bahwa Yusuf memang kooperatif demi membantu dia untuk sukses meniti karir bernyanyi.

******

"Halo, Ibu, Nesya minta maaf nggak bisa menemani Pak Yusuf chek out, ada shooting iklan. Tolong bantu Nesya, ya, Bu."

"Iya, Nduk, nggak apa. Ini juga kan ada Sina. Lagian Yusuf sudah sehat kok, sudah bisa urus administrasinya sendiri. Ibu cuma temani saja. Kamu yang hati-hati, ya, disana. Selamat bekerja. Nanti pulang ke apartemen,'kan?"

"Iya, Bu. Mudah-mudahan sore udah selesai shooting-nya."

Harum menutup sambungan telepon dengan Nesya. Ia tersenyum kemudian melanjutkanmembereskan barang-barang Yusuf selama dirawat.

"Bu."

Harum menoleh putranya. "Apa? Mau minum?"

Yusuf menggeleng. "Maafin Yusuf, ya, Bu."

Harum mengernyit bingung. "Maaf kenapa?

"Merepotkan ibu, padahal punya istri."

Harum tersenyum, tangannya tetap membereskan pakaian Yusuf. "Wong istrimu itu sibuk, Senin sampai Minggu nggak ada liburnya, loh. Selama kamu dirawat, dia nggak pulang ke apartement. Setiap malam tidur disini temanin kamu, pagi sampai sore kuliah. Sabtu minggu waktunya orang istirahat atau jalan-jalan, dia kerja. Ibu paham, Suf."

"Tapi Yusuf tetap merepotkan Ibu," bantahnya kukuh.

Perempuan dengan baju panjang itu duduk di sisi Yusuf, menggenggam seraya menepuk lembut tangan putranya itu. "Nggak ada ceritanya orang tua direpotkan anak, selama itu bukan masalah yang mengecewakan. Sampai kelak kita bertemu di akhirat. Ibu tetap Ibu kamu. Kamu tetap anak Ibu. Tanggung jawab dan hubungan kita bukan hanya sampai Ibu meninggal, tapi sampai kamu meninggal juga dan bertemu di Surga nanti."

"Aamiin." Yusuf mengurai genggaman Harum kemudian merangkul bahunya. "Bu, tapi Ibu tidak apa kan, kalau Ibu belum bisa cerita ke orang-orang soal hubungan saya dengan Nesya?"

Harum mengangguk mengerti. "Untungnya orang Lawang itu nggak suka gosip dan nggak ngeh juga kalau penyanyitenar itu istri kamu. Soalnya beda kalau sudah didandanin dan masuk tivi. Jadi aman. KalauIbu nggak masalah, semua tergantung kamunya. Memangnya kamu nggak masalah? Secara tidak langsung privasi kamu diintervensi, loh."

Lelaki berkemeja cokelat dan bercelana bahan panjang itu menggeleng. "Tidak. Yusuf tidak masalah. Ibu 'kan tahu kalau Yusuf tidak terlalu suka dikenal orang. Kurang nyaman saja rasanya, lagipula Yusuf ingin membahagiakan Nesya dengan cara Yusuf sendiri."

"Maksudnya?"

"Yusuf belum bisa jika harus bersikap manis seperti yang Nesya harapkan.Yang Yusuf tahu, Nesya memiliki dua hal yang bisa membuatnya bahagia, salah satunya bernyanyi. Memang betul, karena Nesya menikmati meniti karir bernyanyinya. Dia tidak pernah meninggalkan kewajiban sebagai mahasiswa dan dia juga tidak pernah mengeluh selama bekerja. Yusuf rasa, dia bahagia." Yusuf memegang tangan Ibundanya.

Ah, Harum paham, tetapi masih ada yang menganjal dalam benaknya. "Lalu caramu mencintainya itu, bagaimana? Kamu harus peka kalau wanita butuh dicintai."

"Yusuf selalu berusaha melindungi dia, Bu. Dia sebatang kara. Dia sendiri tidak tahu bahwa Papanya bukan Papa kandungnya. Yusuf berusaha membantu dia mencapai apa yang dia inginkan, seperti cita-citanya ini."

Bukan ini jawaban yang Harum inginkan. "Kalau dia juga mengharapkan kamu, gimana? Dia pernah mengaku ke Ibu kalau dia cinta sama kamu."

Yusuf tentu saja tahu hal itu dan sangat tersanjung, tetapi Yusuf masih membutuhkan waktu sedikit lagi. Bukan berarti saat ini tidak mencintai istrinya, akan tetapi ia ingin lebih yakin dan dalam mencintai Nesya. "Soal itu, biarlah waktu yang nantinya menyatukan kami. Beri Yusuf waktu untuk memastikan perasaan Yusuf padanya."

"Jangan lama-lama, Suf. Sekuat-kuatnya perempuan ada batasnya juga. Jangan sampai kamu sadar, dia udah berpaling. Ibu juga keburu pingin punya cucu!"

"Insha Allah secepatnya, Bu. Saya juga pasti mau lah punya keluarga kecil."

"Sama mantu Ibu itu, 'kan?" sergah Harum cepat.

"Iya, sama mantu Ibu yang penyanyi itu," janji Yusuf pada ibunya. Yusuf tampak tidak sengaja mengaku pada Harum, jika ia mungkin sudah jatuh cinta pada Nesya, meskipun secara tersirat. Secara tak sadar juga, ia memiliki impian untuk hidup bersama Nesya. Selamanya.

*****

"Huaaahhh! Syuting outdoor itcuh panas juga, ya, pemirsah!" keluh Nesya pada Devina.

Devina mendengkus malas. "Ya lu pikir! Cari duit emang begini, Dedek. Harus keringetan kitanya," timpal Devina yang baru saja menutup sambungan telepon entah dari siapa.

Nesya mencebik saat perasaan rindu menggoda. "Kangen Pak Ucup, ih. Dia siang ini check out. Pengen cepet-cepet pulang terus kelonan." Nesya menepuk tanganantusias seraya tersenyum lebar sebelum satu handuk terlempar ke wajahnya. Karti pelakunya.

"Eh, lu ati-ati ya! Jangan hamidun, lu!"

"Nggak janji yaaaaaaa," canda Nesya.

Devina melotot kuat, sampai-sampai Nesya takut bola mata manager itu lepas. "Nesya, ih!"

Nesya tertawa melihat ekspresi manager-nya. Ia mampu berakting bahagia di depan orang-orang, seakan-akan memiliki rumah tangga harmonis dan penuh cinta. Memang harmonis, tapi Nesya tidak merasakan cinta dari suaminya. Hanya rasa aman dan terlindungi saja, bukan dicintai.

"Kakak, itu ada yang nyariin." Karti datang.

"Siapa Mbak Kartiku, Sayang?" tanya Nesya.

Devina mencegah Nesya kala beranjak dari kursinya menemui orang tersebut. "Biar gue lihat dulu, lu tunggu sini aja!" titah Devina.Tak lama wanita itu kembali dengan seseorang yang mengagetkan Nesya.

"Bang Sat?" Nesya langsung menegakkan badan membenahi duduknya. "Duduk, Bang." Nesya menunjuk kursi tak jauh dari kursi yang ia duduki.

Satria menarik kursi yang dimaksud baru mendudukinya. "Hai, Sya. Lama banget nggak ketemu, ya? Boleh dong gue nyapa lu."

"Eh, i-iya, boleh saja. Apa kabar lu, Bang?"

"Baik, lu sendiri? Kayaknya lu melejit, ya, di tangan Albert."

Nesya melebarkan senyuman yang bermakna ganda. "Alhamdulillah, Bang, berkat banyak pihak kok!"

Satria berdeham kecil sebelum berkata, "Gue mau minta maaf, Sya, masa lalu kita nggak enak banget soalnya. Gue harap kita bisa berteman lagi." Satria tersenyum tulus.

Nesya mengernyit samar. Ia bingung juga bimbang dengan kedatangan mantan bos-nya ini. Papanya pernah meminta untuk tidak berhubungan lagi dengan orang yang hampir melukai masa depannya. Namun, tawaran untuk berteman dari Satria ini ... entahlah, sedikit banyak menggoyahkan hati Nesya. Bukankah tidak boleh memilih dalam berteman?

Meskipun sempat merasakan sesuatu yang tak nyaman, namun Nesya menyingkirkan. "Iya, Gue maafin. Lagian udah lama juga dan bagaimanapun Abang teman Nesya. Kita pernah kerja bareng juga."

"Thanks banget, ya, Sya!" Tanpa Nesya duga, tiba-tiba Satria berdiri dan memeluk dirinya erat selama beberapa saat dan mengelus-elus pucuk kepala gadis tersebut.

Nesya tersentak dengan apa yang baru saja terjadi. Mendorong Satria menjauh hingga pelukan itu lepas. "Bang, ih! Jangan gitu dong. Nggak enak dilihat crew. Nanti kita dikira ada affair lagi!"

Satria tertawa. "Ada affair juga nggak apa. Gue masih nerima lu kok, Sya, kalau mau lebih dari temen. Lagian kayaknya laki lu nggak ada gregetnya, sampe sekarang belum ada berita lu hamil. Belum gol?"

Nesya mengepalkan tangan dan mengacungkan kepada Satria, karena tak suka dengan ucapan lelaki itu. "Nggak usah ngelunjak dan kurang ajar, Bang. Mau lu, gue kasih kenang-kenangan?"

Satria mundur dengan tertawa juga mengangkat kedua tangan. "Hahahaha, santai, sih, Sya. Anggep aja gue Abang lu." Sekali lagi Satria menyentuh Nesya. Ia mengelus pipi istri jaksa itu perlahan lalu pamit dan pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top