19. Hospital
Tak sanggup menunggu tiga hari sesuai instruksi Rendi. Belum genap empat puluh jam, Nesya membawa Yusuf ke rumah sakit bersama Raditya. Benar, hasil lab menyatakan bila Yusuf terkena tipus. Maka disinilah Yusuf sekarang, di kamar rawat inap salah satu rumah sakit ternama di Jakarta.
"Bapak makanya kalau makan tuh dijaga. Maaf Nesya nggak bisa memenuhi kebutuhan gizi Bapak, sampe Bapak gini. Bapak nggak marah, 'kan? Nggak akan talak Nesya, 'kan?" Derai airmata tak henti membasahi wajah penyanyi pendatang baru ini. Siapasangka, jika artis terkenal yang selalu tampak kalem, lembut dan pendiam ini, ternyata memiliki bakat drama tingkat dewa.
"Saya cuma terserang tipus. Tidak perlu sampai begitu." Yusuf menjawab lirih, tersenyum mencoba menenangkan isak tangis istrinya.
Mengusap cepat lelehan air mata di pipi, Nesya menjwab, "Iya! Tapi Bapak sampai sakit."
"Saya hanya kelelahan dan banyak pikiran."
Nesya kesal, Yusuf masih saja membantahnya. "Kerja tuh jangan di fosir makanya!"
Lelaki berusia tiga puluh tiga tahun itu menatap lekat paras ayu Nesya. "Saya lebih banyak memikirkan kamu."Nesya terdiam. Antara yakin dan tidak dengan pendengarannya. "Kita jarang memiliki waktuberdua dan berbicara. Rencana saya untuk bisa lebih dekat dengan kamu sepertinya masih sulit."
Bapak sendiri yang bikin sulit!
"Saya rasa ... mulai ketergantungan terhadap kamu."
Nesya mencoba tak terpengaruh oleh ucapan Yusuf. "Udah, Bapak istirahat aja dulu. Mas Sina sama Ibu udah mau sampe katanya."
"Kamu panggil Sina, Mas. Kenapa panggil saya Bapak?" protes Yusuf.
Nesya diam, bingung mau jawab apa. "Ya ... suatu hari nanti Nesya akan dipanggil Ibu. Iya,'kan?" kilahnya asal. "Itupun kalau ada yang mau menghamili, sih," lanjutnya santai. Ia membenahi selimut Yusuf, sedikit menggeser bantal agar Pak jaksa tercintanya bisa menyandar nyaman. "Cepet sembuh, ya, Pak."
Yusuf menahan tangan Nesya. "Bisa bantu saya supaya cepat pulih?" Yusuf mengetuk pelan bibirnya dengan jari telunjuk.
Nesya tersenyum sembari mengulum bibir dan tampak sedikit salah tingkah. Tanpa menunggu lama, ia langsung menjalankan tugas sebagai istri solehah dengan suka rela dan tingkat keikhlasan paling tinggi yang dipunya. Nesya menyatukan bibir mereka. Tak ada cecapan menggebu, lembut dan penuh makna menyalurkan semua rasa yang mereka rasakan. Mata yang sama-sama terpejam, meresapi pagutan manis mereka. Lama, hingga oksigen mulai menipis dengan berat hati harus disudahi.
Sering-sering sakit tipus ya, Pak! Biar minta cium terus!
"Pak gimana kalau kita nyobain di rumah sakit?" bisik Nesya setelah melepaskan diri.Yusuf mengernyit."Itu ... dua satu plus plus ala dokter sama suster atau dokter cinta sama pasien malarindu."
Yusuf memasang wajah datar, tetapi bibirtersenyum lurus. Istrinya kembali kumat, mesum, dan ngelunjak. Tidak lama pintu kamar rawat inap Yusuf terbuka lebar. Sina dan Harum berjalan pelan memasuki ruangan dengan senyum dan wajah ... sungkan?
Merasa ada pergerakan di belakangnya, Nesya menoleh ke pintu. Senyum seketika terkembang melihat yang datang. "Ibunda!" sapa Nesya langsung menghampiri dan mencium punggung tangan mertuanyalalu menyalami Sina—adik Yusuf.
"Kayaknya Yusuf sudah sehat, ya?" Pandangan mata mertua Nesya menatap lurus pada putranya, tersenyum penuh arti.
Nesya merangkul Harum, mengiring mendekati suaminya. "Ya, belum lah, Bu. Baru masuk pagi tadi. Maafin Nesya, ya, Bu, lalai merawat Pak Yusuf."
"Ya,nggak apa. Wong kamujuga sibuk, to? Sudah go public. Ibu sampai seneng lihat tv sekarang. Suka ada video klip lagu mantu Ibu."
Nesya tersenyum. "Terimakasih, Bu."
"Tapi lain kali, ya, kalau mau ibadah nunggu jam besuk sudah tutup saja, Mas. Tadi Ibu sempet lihat live syuting drama Korea." Sina yang duduk di sofa berbicara santai dan pelan.
Yusuf dan Nesya terdiam, mencerna ucapan Sina. Tak berselang lama, mereka terhenyak dan kini rona merah telah menjalar rata di wajah Nesya. Itu tadi ada yang nonton?
"Nggak apa-apa, sudah halal. Ibu juga nggak masalah nunggu lebih lama," Wajah mertua Nesya ini, juga memerah karena menahan tawa.
*******
"Boleh saya duduk disini? Sepertinya sudah tidak ada tempat kosong lagi."
Nesyatengah menyantap nasi soto, menghentikan kunyahan dan mendongak. Ia mengangguk, mempersilakan pria baruh baya yang meminta izin untuk duduk satu meja dengan dirinya. Kafetaria rumah sakit. Disinilah Nesya menikmati makan malamnya. Nesya tak kuasa menahan rasa laparjika harus menunggu Mbak Karti datang membawa masakan Winda.
"Sendirian?" Pria paruh baya itu bertanya.
Nesya mengangguk kecil menjawab pertanyaan atau pernyataan pria dihadapannya.
"Ini Mbak Carnesya, kan? Yang penyanyi itu?"Nesya mengangguk dan tersenyum. "Siapa Mbak yang dirawat?" Pria tersebut menyesap kopi pesanannya.
"Su—" Ah, hampir saja Nesya kceplosan! Davina berpesan agar publik jangan dulu tahu perihal pernikahanya. "Saudara, Pak." Senyum palsu kini terbit di wajah gadis itu.
"Ah, kalau saya menemani istri kemoterapi."
Nesya menghentikan suapannya, menaruh perhatian pada lelaki di seberang. "Berarti berita yang saya baca itu benar, ya? Istri Bapak memang sedang dalam masa terapi dari kanker." Kini Nesya mau membuka obrolan dengan laki-laki itu. "Survivor apa, Pak?"
Kembali laki-laki tersebut menyeruput air hitam itu. "Ovarium dan rahim, saat operasi pengangkatan rahim dulu, massa-nya besar sebesar bola tennis."
"Ibu kandung saya juga meninggal karena kanker paru-paru. Itu sih yang saya dengar dari Papa dan Mama saya," cerita Nesya dengan sendu mengingat ibunya.
"Oh, ya?! Saya turut prihatin."
Nesya menangguk. "Terima kasih, Pak. Semoga istri Bapak juga diberi kemudahan dalam menjalani proses terapinya."
"Terima kasih. O,ya, Mbak Nesya dibawah naungan siapa?"
Nesya menggeser ke samping mangkuk kosong dari hadapannya. "Pak Albert Suwondo, Pak. Manager saya Mbak Devina."
Pria itu manggut-manggut paham. "Insha Allah dua minggu lagi ada acara partai. Mudah-mudahan Mbak berkenan hadir untuk mengisi acara."
"Oh, boleh. Ditanyakan melalui Mbak Devina saja, ya, Pak. Dia yang tahu jadwal saya soalnya."
"Baik. Sampai ketemu lagi,Mbak Carnesya," pamit pria paruh baya itu kala melihat Nesya bersiap meninggalkan meja.
"Sama-sama Bapak Adnan Bramudya," balas Nesya dengan senyum manis penuh hormat.
Nesya meninggalkan meja kafetaria, kembali keruang inap suami rahasianya.
Ya, publik belum mengetahui status pernikahan mereka. Mungkin fans-nya belum siap dan memang management juga meminta merahasiakan hal itu. Tidak boleh ada yang tahu selain keluarga. Begitupun politikus dan petinggi partai terkenal yang baru saja berbincang dengan dirinya.
Pak Ucup, rahasia Nesya.
******
Nesya masuk menghampiri Yusuf. "Bapak mau Nesya suapin?" tawar Nesya.
Yusuftengah berbincang dengan perawat pengantar makan malam, tersenyum menyambut wanitanya. "Boleh."
"Sus, si Bapak ini dikasih obat apa, sih? Kok jadi manja gini efek sampingnya?"
Perawat tersebut terkekh. "Mbak Nesya bisa aja deh bercandanya," sahut perawat itu sopan sambil tersenyum malu-malu. "Pasti seru, ya, Pak, punya keponakan seperti Mbak Nesya ini. Sudah cantik, pintar nyanyi, dan suka bercanda juga!"
Yusuf tersenyum menanggapi ucapan perawat itu. Bukan tak ingin mengklarifikasi, tapi Yusuf kooperatif untuk turut merahasiakan hubungan dirinya dengan penyanyi pendatang baru yang tengah menikmati kepopuleranini.
Demi mewujudkan impian Nesya. Batinnya.
Selepas kepergian perawat, Nesya mengambil piring di nakas lalu menyuapi Yusuf. "Bapak, masa pas makanan barusan, Nesya ketemu sama Pak Adnan." Nesya memulai obrolan.
Keningnya mengernyit. "Adnan siapa?" Sambil mengunyah, Yusuf tetap memperhatikan gadisya.
"Adnan yang politikus itu. Adnan Bramudya. Tadi satu meja sama Nesya."
Yusuf terlihat terkejut dan sedikit penasaran dengan cerita Nesya. "Kalian ngobrol?"
Nesya mengangguk sambil terus menyuapi suaminya "Iya. Dia tanya ngapain Nesya disini. Nesya bilang jenguk saudara. Maaf ya, Pak. Terus dia sendiri cerita kalau lagi temani istrinya kemoterapi."
Yusuf mengangguk kecil dengan muluttetap bergerak "Tidak apa, asal kamu tetap pulang dan tidur dengan saya."
Pipi Nesya bersemu merah. Bapakkk! Jangan cuma di mulut doang, dong. Bobokin Nesya gitcuuu. "Bapak mulai mesum, ih!" ujar Nesya dengan memicing tajam, "tapi Nesya sukak," lanjutnya dengan senyum sok-sok seksi.
Yusuf tertawa kecil. "Maksud saya, mau dirahasiakan atau diumumkan masalah status kita, selama kamu masih menjadi milik saya, buat saya tidak masalah." Yusuf menerima suapan istrinya dan lanjut mengunyah. "Saya tidak peduli Indonesia tahu atau tidak mengenai siapa saya, yang penting kamu selalu ingat siapa saya dalam hidup kamu."
Nesya seperti diterbangkan ke angkasa mendengar rayuan gombal ala si Datar Yusuf. "So sweeettt! Bapak mulai posesif. Nesya jadi tergoda, 'kan?" Gadis itu mengulum bibir, mendaratkan satu kecupan singkat dipipi Yusuf.
"Siapa yang menggoda kamu? Saya hanya menjaga milik saya. Mengingatkan kalau kamu istri dan prioritas saya."
"Prioritas? Memangnya Nesya nasabah?" Tawa Nesya terdengar.
Yusuf mengamati rupa Nesya yang lebih menawan ketika tertawa. Begitu bersinar dan bodohnya Yusuf membuatnya redup. "Kamu cantik kalau tertawa. Maaf sempat menyembunyikan tawa kamu akhir-akhir ini," mohon Yusuf penuh sesal.
Nesya menghela napas. Akhirnya sampai juga di topik yang ingin Nesya hindari."Nesya cemburu, suka takut Bapak lebih tertarik dengan wanita dewasa dan anggun. Jadi Nesya berusaha untuk bersikap layaknya wanita dewasa. Anggun, bicara seperlunya, tidak agresif dan menggoda. Nesya rasa tipikal-tipikal yang seperti itu tipe Bapak."
Pria dengan bibir penuh tersebut menatap rekat Nesya. Jadi itulah alasan istrinya berubah. "Kamu tidak perlu berubah. Saya menyukai Nesya yang selama ini saya kenal."
Gadis berbaju warna lemon lembut itu meremas ujung blus, tak membalas tatapan Yusuf.
"Kalau tetep pecicilan gini, khawatir Bapak nggak suka-suka sama Nesya. Keburu Bapaknya diambil wanita lain," akunya mengeluarkan pikiran dalam benaknya.
"Memang siapa yang mau ambil saya?" tanya Yusuf lembut namun menantang.
"Ya, nggak tahu." Nesya mengangkat bahu dan tetap menunduk. "Anaknya hakim atau pengacara, gitu? Secara kan satu bidang sama Bapak."
Yusuf masih setia memandang Nesya."Papamu mencintai Mamamu yang berbeda bidang dengan dia. Begitupun Budemu pengacara, cintanya sama Pakdemu yang pengusaha."
"Mereka menikah karena cinta. Beda sama kita!" serunya tanpa sadar dengan pandangan menantang.
"Memang kita, kenapa?" Yusuf menatap lekat mata Nesya dan seketika hati gadis itu berdesir lembut.
Nesya salah tingkah. "Ya ... di pernikahan ini, cuma Nesya yang cinta Bapak," cicitnya lirih hampir tak terdengar, bersama binar luka di mata. Sungguh berat rasanya ketika cinta tak terbalas.
"Hanya kamu?"
Nesya mengangguk. "Iya. Memangnya Bapak cinta sama Nesya?"
Yusuf berusaha menawan senyum."Jatuh cinta mungkin?"
Mungkin? Sampai kapan kata 'mungkin' itu akan berubah menjadi yang sesungguhnya? Sampai ia lelah dan menyerah?
"Terus Bapak kapan cintanya?"
"Tolong ambilkan saya minum." Yusuf memutus pandangan dan obrolan mereka. Netra pria itu melirik satu gelas air mineraldi nakas samping brankar.
Menghela napas dan menelan rasa kecewanya. Nesya meletakkan piring di nakas, mengambil gelas bening lantas menyodorkan pada Yusuf. Ia memang harus super sabar dengan suaminya. Benar kata dokter Rendi, jangankan gombal, kata cinta saja sepertinya jaksa ini tidak punya. "Sudah malam suaminya Nesya sayang. Bobok, ya!" putus Nesyasetelah memberikan beberapa obat yang harus ditenggak Yusuf.
"Mau tidur satu ranjang?" tawar Yusuf seraya menepuk-nepuk ranjang.
Nesya memaksakan tawa kecil menutupi kekecewaannya seraya menggeleng. "Bahaya, Pak! Nesya belum siap kalau Bapak disebut-sebut sama Lambe Murah. Kalau Nesya mah udah biasa, dari jaman belom jadi artis beken juga udah biasa diomongin orang. Tapi kalau Bapak yang diomongin orang se-Indonesia, Nesya nggak tega. Nggak ikhlas." Nesya berdiri. "Nesya bobok di ranjang yang itu aja. Ranjang keluarga pasien. Bayar kamar VVIP, sayang kalau fasilitasnya nggak dipake," canda Nesya hingga akhirnya ia mengecup pipi dan kening Yusuf lalu beranjak menuju sofa.
"Sebentar!" Yusuf tiba-tiba mencekal lengan Nesya yang hendak beranjak pergi dari ranjangnya. Ia menarik Nesya mendekat lalu melumat bibir istrinya lembut. "Terimakasih, istri saya. Selamat tidur," bisiknya seraya mengelus lembut bibir merah itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top