16. Breakfast

Saat Nesya membuka mata, jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Ia mengerjap mengumpulkan kesadaran. Mengangkat perlahan tangan yang memeluknya kini. Namun, bukannya terlepas justru pelukan itu makin terasa erat.

"Jam berapa?" Suara serak seksi pagi hari ala Pak Jaksa Yusuf menyapa rungu sang calon diva.

Ia berbalik menghadap Yusuf. Memandang wajah tampan versinya, yang selalu sukses membuat hatinya bertalu-talu. "Jam lima. Sarapan nasi jagung di pasar yuk, Pak. Pengen itu, deh."

Satu kecupan singkat mampir di bibir Nesya. "Jangan lakukan hal seperti semalam lagi, ya. Apapun yang ada di otakmu, jangan dipikirkan. Jalani saja hubungan dan pernikahan ini. Percaya sama saya."

Nesya bergeming memandang Yusuf, malas membahas apapun yang berkaitan dengan cinta hari ini, tetapi ia mengiakan. Kemudian mereka turun dari ranjang dan membersihkan diri, lalu menjalankan ibadah bersama. Yusuf mengajak Nesya menikmati pagi di sekitar perkebunan sembari bergandengan tangan, menceritakan bagaimana masa kecilnya dulu saat ia tinggal disini. Sesekali Yusuf mengajak Nesya bercanda, meski guyonan yang dilontarkan garing seperti kerupuk nasi uduk.

*******

Suara wanita paruh baya menyapa Yusuf, saat mereka memasuki rumah makan kecil yang menjual aneka menu sarapan. "Cak Yusuf!"

"Bu Darno, apa kabar?" sapa Yusuf ramah tersenyum manis penuh hormat.

"Alhamdulillah, Le, sehat." Yusuf mengambil tangan wanita paruh baya itu lantas mencium takzim. Nesya pun mengikutiyang dilakukan Yusuf. "Ini ... yang diceritakan Ibumu kemarin, 'kan? Cantik."

Yusuf mengangguk. "Enggeh, Bu. Namanya Nesya." Nesya tersenyum dan menunduk hormat pada wanita itu.

"Yo, wes! Ayo duduk. Mau sarapan apa? Nasi jagung, nasi rawon, apa nasi soto?"

"Nasi jagung, Bu. Yusuf kangen sama urap dan pulennya nasi jagung Ibu. Istri Yusuf juga mau incip katanya. Penasaran." Kembali Nesya tersenyum malu kala Yusuf mengutip namanya.

Wanita paruh baya tadi ke dapur meminta seorang gadis muda untuk menyiapkan pesanan Yusuf dan Nesya."Saya ini dulu yang bantu jagain Yusuf sama Sina waktu mereka kecil. Ibunya sibuk mengurus kebun milik kakek Yusuf, jadi ya ... mereka sama Ibu." Lalu mengalirlah cerita masa lalu indah milik Yusuf dan Sina dari kenangan wanita pemilik warung makan itu. Sesekali Nesya bertanya atau menanggapi cerita yang dilontarkan oleh wanita yang sudah dianggap Ibu oleh Yusuf. Pun, beberapa candaan juga mewarnai sarapan pagi mereka.

Nesya berjalan menyusuri kebun teh, hijau dan biru memanjakan mata. Menghirup kesegaran udara yang ia yakini tidak ada di Jakarta. Nesya ingat, saat kecil dulu, Papa dan mamanya sering mengajak berwisata ke kebun the di Kemuning, Jawa Tengah, saat sang Ayah masih ditugaskan disana. Sejuk dan damai memenangkan jiwa. Oh, andaikan mereka bisa lebih lama di sini, Nesya bahagia sekali.

Yusuf sendiri berjalan santai sembari menggandeng tangan Nesya. Sesekali menegur atau membalas sapaan para pemetik teh, yang tanganya tak berhenti memetik pucuk daun untuk dijadikan minuman favorit Nesya itu.

"Ayo pulang! Kita harus segera ke bandara." Nesya mengangguk, mengikuti Yusufmenghelanya pulang.

******

Pukul tiga sore, saat Nesya turun dari pesawat di Halim Perdana Kusuma, Ardian menghubungi, mengabari bahwa sang producer music meminta bertemu sore ini, sehingga Yusuf dan Nesya memutuskam langsung menuju ke tempat pertemuan.

"Bapak yakin nggak capek?" tutur Nesya saat mereka tengah menikmati 'sambutan' ala Jakarta. Macet.

"Tidak. Saya sudah janji untuk menemani kamu, 'kan?" Nesya mengangguk.

Pertemuan denganAlbert Suwondo dan Rahardian Hutama berjalan dengan lancar. Sesuai kesepakatan, Nesya dikontrak untuk mengisi suara jingle iklan department store ternama tanah air garapan producer music ternama itu.

Yusuf tampak serius mendengarkan penjelasan sang produsermengenai project ini dan berdiskusi sesekali. Mengamati dan membaca dengan teliti setiap klausa yang tertulis di surat kontrak serta memastikan bahwa tidak ada point yang sekiranya dapat menyulitkan istrinya nanti.

Nesya menandatangani surat kontrak kerjasama dan mendapat jadwal untuk menggarap proyek tersebut. Ia tersenyum. Debutnya untuk dapat dikenal di tanah air dimulai dari sini dan ia harus bisa membuktikan, bahwa ia serius menggapai cita-citanya.

"Senang?" tanya Yusuf saat mereka dalam perjalanan pulang menuju apartement Yusuf.

Nesya mengangguk kuat seraya tersenyum. "Senang, karena ini pertama kalinya Nesya teken-teken kontrak tanpa merasa tertekan takut diomelin Papa. Terimakasih, ya, Pak."

Kali ini Yusuf yang tersenyum. "Sama-sama. Selama pekerjaanya tidak menyulitkan kamu, saya pasti mendukung."

"Tapi Papa tidak tahu soal ini."

"Nanti saya akan bantu bicara."

******

"Tumben lu nyanyi kayak nggak ada semangat begitu," komen Diandra pada penampilan mereka siang ini. "Ada apa?"

Nesya menghela napas. "Abis ini lu mau kemana, Di? Jalan, yuk."

"Lah, laki lu mana?"

"Lagi ketemuan sama temen-temennya. Temenin gue beli baju, yuk."

"Idih, tumben. Kenapa? Galau? Kerja dulu, yak, kita. Cari duit buat beli ayam geprek keju atau jajan pizza yang rotinya warna item!" seru sahabat Nesyatertawa ringan.

Nesya dan Diandra kini tengah on duty bersama Rahardian Wedding Symphony. Beberapa saat lagi tugas merekaselesai seiring berakhirnya resepsi pernikahan siang ini.

"Jadi lu ngintip chat dari cewek yang isinya dia nungguin laki lu, gitu? Mantan dia?"

Nesya mengiyakan kara-kata Diandra. "Iya. Gue jadi merasa terancam." Nesya memberengut nelangsa. Gadis itu menyedot Choco Float-nya dan kembali menikmati kentang goreng ala restaurant burger yang kinimereka sambangi di salah satu mall. "Gue bingung, Di. Kadang Pak Ucup bisa cuek abis sama gue, tapi kadang bisa manis. Mana gue tahu dia ada rasa apa nggak sama gue."

"Mungkin ada ... eneg."

Nesya melotot. "Serius, sih, Di!"

Diandra tertawa. "Lah, lu saban hari godain dia terus,'kan? Tiap di apartement lu selalu pake hot pants sama tanktop atau kaus bahan transparant. Terus tidur pake baju yang 'terlalu dewasa' buat cewek macem kita," tukas Diandra tahu persis kelakuan Nesya kembali binal akhir-akhir ini.

"Gue nggak betah panas, Di! Lu tega gue kena keringet buntet? Lagian, cowok harusnya mudah tergoda sama penampilan hawts and rawrs macem gitu, ya?"

Diandra membenarkan ucapan Nesya. "Cowok umumnya, iya. Tapi laki lu beda. Dia bukan owner management bangsat tapi ganteng lu itu."

"Mantan management!" sela Nesya cepat.

"Iya, itu lah! Laki lu tuh tipikal lurus bin datar macem meja buffet prasmanan atau daftar menu ini. Dia lebih suka tipikal wanita dewasa deh kayaknya. Bukan sweety fancy kayak lu."

Nesya menghela napas. Ucapan Diandra mungkin saja benar. "Makanya gue mau belanja!"

Kening Diandra berkerut. "Hubunganya?"

"At least, gue mengubah busana gue dirumah. Gue mau pake baju biasa aja dan ganti piyama yang bahanya adem. Sebodo amat mertua gue beliin gue baju tidur seksikalau nyatanya anaknya juga nggak on liat gue."

Diandra tersedak cola. "Anjir lu! Nggak usah bahas itu, Cumi!"

"Ck. Lu denger on aja udah keselek gimana denger ..."

"Nesya! Cukup. Gue masih gadis!"

"Gue juga, Combrooo!" Nesya menggigit burger di tangannya, mengunyah cepat setengah emosi. "Intinya, gue mau coba cuek sama si Bapak, tapi tetep jadi istri idaman. Masak makan malam dan melakukan pekerjaan IRT umumnya."

"Cuih, IRT apaan! Belanja juga Enyak lu yang belanjain. Lu tinggal nunggu Mbak
Karti dateng, taaraaa ... logistik lu aman. Baju tinggal laundry dan taraaaa ... udah wangi tanpa lu demek-demek deterjen. Makan malem juga lu lebih sering order online terus kasih bintang lima ke kurirnya."

Nesya memberengut. "Itu Enyak gue yang nggak tega gue capek. Jadi, ya, dibelanjain bahkan suka diungkepin ayam, bebek, atau tempe tahu yang tinggal bakar sama goreng. Lu lupa, gue anak owner catering? Wajarlah emak gue tercinta supply makanan ke gue."

Diandra memutar bola matanya. "Iye lah, iye. Sebahagia lu aja."

Nesya malas membahas lebih lanjut lalu menarik Diandra mengikuti dirinya. "Ya, pokoknya gue mau belanja aja hari ini. Lu temenin gue!"

"Iya, Kanjeng! Suka-suka baginda ratu lah. Yang penting paduka raja nggak jadi punya selir."

"Anjrit lu, Di!"

*******

Nesya berjalan dengan beberapa kantung belanja. Tampaknya ia menghabiskan cukup banyak tabungan. Dari baju rumahan sampai baju tidur, ia beli untuk mencoba berubah menjadi lebih anggun. Entahlah, anggun seperti apa versi Nesya ini.

"Eh, Sya! Eh, nggak, sih, ? Gue salah lihat," gumam Diandra saat mereka melewati supermarket di mall itu.

"Apaan sih, Di? Nggak jelas lu," jawab Nesya yang ... melihat suaminya di konter penukaran hadiah supermarket. "Kok kayak laki gue, ya?"

Diandra sudah takut akan reaksi Nesya, mending ia cegah saja. "Itu, dia! Kayaknya kita salah lihat. Yuk, akh! Balik aja," sergah Diandra.

"Nggak. Nggak salah. Itu laki gue, Di!"

Tidak salah. Nesya yakin tidak salah. Karena, Nesya sangat mengenal bentuk tubuh Yusuf. Meski saat ini terlihat berbeda, karena bersama wanita dan dua anak kecil. Bahkan suaminya, menggendong salah satu anak tersebut. Nesya lantas berjalan menuju tempat 'keluarga laknat bahagia' itu berada.

Sahabat Nesya mencoba menahan Nesya agar tak menghampiri tersangka. "Sya, Please! Gue nggak mau ada adegan jambak-jambakan. Lu jangan emosi, please. Gue yakin dia punya alasan."Nesya tak menghiraukan dan tetap berjalan."Sya, kita mending pulang saja atau gue temenin lu di apartement atau gue anter lu balik ke rumah bokap lu juga nggak apa-apa."

Nesya tersenyum palsu dan tetap berjalan, hingga kini ia tengah berdiri didepan seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun. "Halo, Adek. Habis tuker hadiah, ya? Sama siapa? Ayah dan Bunda?" sapa Nesya ramah namun palsu.

Ayah dan Bunda yang Nesya maksud langsung terkejut melihat kehadiranya, bahkan Yusuf seperti kehilangan kata untuk menyapa Nesya.

"Hai, Nesya." Sapaan canggung keluar daripengacara dua anak itu.

Nesya mengukir senyum. "Hai, Ibu pengacara yang tampaknya sedang sibuk ... apa ya? Simulasi keluarga bahagia? Atau reka ulang adegan kasus perebut suami orang?" Lantang netra Nesya menatap wanita masa lalu Yusuf.

"Nesya!" Kini Yusuf bersuara, memperingatiuntuk tidak merusak suasana.

"Iya, Bapak." Nesya tersenyum sinis. "Nesya pikir yang Bapak temui itu Pak dokter sama Pak peternak, ternyata Ibu Pengacara!"

"Saya memang makan siang bersama Rendi dan Andra tadi lalu saya bertemu Anthi dan—"

"Menemani Ibu berbelanja dan tidak menjemput istri yang tengah bekerja?" sela Nesya cepat, "maklum lah, mungkin kerjaan Nesya nggak sehebat pekerjaan si Ibu. Lelah Nesya juga tidak selelah si Ibu, benar?"Nesya berbalik badan dan hendak pergi meninggalkan orang-orang yang berpotensi meledakkan tangis dan emosinya.

"Nesya!" panggil Yusuf. Nesya menghentikan langkahnya tanpa menolehkan wajah ke belakang. "Pulang sama saya!" perintah laki-laki tercinta Nesya.

Nesya berbalik. "Nesya naik taksi sama Diandra saja. Bapak hanya punya dua tangan. Satu bapak gunakan untuk menggendong putri cantik ini dan satu membawa kantung belanja yang banyak itu. Bapak tidak akan sanggup membantu membawa belanjaan istri Bapak ini." Nesya mengangkat kedua tangan yang penuh dengan kantung belanja. "Lagi pula, jika ada bahtera yang terguncang dan tengah dalam bahaya, yang pertama kali diselamatkan selalu wanita dan anak-anak beserta para pemimpin mereka. Sisanya, biarkan tenggelam!" sindir Nesya. Ia lantas meninggalkan 'keluarga sinting bahagia' itu dan berjalan cepat bersama kekecewaan yang ia rasakan.

Diandra yang sejak tadi diam, langsung memesan taksi dan mengajak sahabatnya untuk pulang. "Sabar, Sya. Gue yakin nggak seperti yang lu pikir."

Nesya enggan menjawab. Karena jika ia bersuara, pasti bentakan dan tangisanlah yang akan keluar dari mulutnya. Ia tengah emosi dan Yusuf lah pemancing emosi itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top