14. Ice Cream

"Ya, Pakde? Nesya lagi diMalang, sama suami tercinta Nesya." Suara parau itu memasuki sambungan telepon dari CEO pemilik Wedding and Event Organizer ternama di Jakarta dan Surabaya.

"Ada yang nawarin kamu ngisi jinggle iklan department store. Dia suka tipe suaramu. Mau terima nggak?"

Nesya seketika sadar dari kantuknya. "Heh! Apa, Pakde?! Nesya nggak salah denger?"

"Enggak. Dia suka waktu denger kamu nyanyidi acara nikahan anak pejabat di Balai Kartini dua minggu lalu. Dia producer music Sya, naksir sama suara kamu. Dia baru aja telepon Pakde ini. Gimana?"

"Maaauuuu!" jerit Nesya seraya duduk dari tidurnya.

"Bisa ketemu kapan? Wong kamu masih di Malang." Derai tawa kecil keluar dari pria baruh baya itu.

"Habis dari Malang. Nesya minggu siang pulang kok. Ketemuan Senin sore pas Nesya pulang kuliah boleh tuh, Pakde."

"Oke, nanti kita kabar-kabar lagi deh.Nanti coba Pakde bantu setting meeting sama dia."

"Iya, Pakde. Terimakasih banyak." Haissshhh! Alhamdulillah, pintu rezeki dibuka.

"Pak Ardian?" Suara bariton pria menyadarkan Nesya dari senyum-senyum sendirinya.

Nesya menoleh dan cengengesan. "Eh, Bapak. Iya, Pakde telepon barusan." Nesya baru menyadari cahaya matahari bersinar terang menembus jendela yang sudah tak tertutup tirai lagi. "Ini udah pagi ya, Pak? Nesya sampe nggak sadar. Jam berapa?"

"Jam sembilan," tutur Yusuf singkat lalu meninggalkan Nesya sendiri.

Udah kumat lagi cueknya. Nesya segera bangkit dari ranjang lalu ke kamar mandi dalam kamar. Tidak lama ia keluar kamar menuju meja makan dan sudah terdapat nasi goreng dengan telur ceplok. Tanpa ragu ia meraih salah satu piring kemudian menyuap nasi goreng. "Bapak yang bikin sarapanya? Nesya jadi nggak enak, 'kan harusnya nyiapin ini semua Nesya."

Yusuf yang sedari tadi hanya duduk sambil memainkan posel, tersenyum tipis menjawab ucapan istrinya."Kamu kelelahan, saya tidak tega membangunkan. Tadinya saya mau ajak cari sarapan nasi jagung di pasar dekat kebun, tapi kamu pulas. Jadi saya putuskan membuat itu."

Nesya tersenyum malu namun tulus "Terimakasih ya, Pak. Maaf Nesya jadi merepotkan."

"Sore nanti ke Batu mau? kita lanjut kencan disana mumpung malam minggu."

Senyum selebar lima jari langsung terbit dari Nesya. "Mau dong, Suamiku!"

"Naik motor lagi."

"Naik apapun nggak masyalah buat Neysa. Malah seneng Nesya naik motor sama Bapak."

Yusuf mengangguk samar tanpa memandang Nesya untuk menanggapi. Ia melanjutkan aktivitasnya dengan ponseldigenggaman.

********

Embusan angin dingin menerpa wajah Nesya ketika membuka kaca helm. Nesya terus tersenyum selama menempuh perjalanan menuju kota Batu, meskipun harus terkena macet di beberapa titik. Menikmati posisi paling nyaman selama hidupnya, yaitu berboncengan dengan Yusuf sambil memeluk dari belakang dan menempelkan sisi wajah di punggung lebar Yusuf. Gadis berbaju casual berupa kaus dan celana panjang dibalut jaket hangat itu berada 'di atas awan'. Terbang bersama embusan angin dingin yang tak henti menyentuh kulit.

Nesya setengah berteriak saat ia merekatkan pelukan dan menyusupkan tangan di saku jaket Yusuf. "Dingin, ya, Pak. Tapi tangan Nesya tetep anget, kok,"

Yusuf tak menjawab. Tetap fokus pada jalan ramai hingga mereka sampai di alun-alun kota Batu, Jawa Timur. Yusuf membelokkan roda-roda motor memasuki parkiran alun-alun. Berhenti lalu membuka helm dan ... melepaskan pelukan Nesya. "Kita istirahat dulu disini sambil nunggu maghrib. Kita salat di sana." Yusuf menunjuk pada salah satu tempat ibadah umat muslim. "Lalu kita makan disana ... kalau kamu mau." Ia menunjuk lagi pada salah satu depot makanan khas Timur Tengah.

Nesya tersenyum seraya mengangguk antusias.

"Kamu suka masakan arab,'kan? Atau mau makan sop buntut dan sate kelinci di restaurant yang jadi tempat favorit pemain Arema dan persema?"

Nesya menggeleng, mau tempat favoritnya John Legend atau Choi Siwon Oppa juga nggak peduli, gue. Tapi kalo tempat yang ada Jin Goo ahjusshi sih beda lagi ceritanya, ehehhehe.Memang selera Nesya itu... ahjusshi."Makan apa aja terserah Bapak, asal jangan makan hati. Nesya nggak kuat," candanya.

Mereka turun dari kuda besi itu, berjalan menuju salah satu kursi di dekat air mancur yang memiliki patung apel sebagai ikon kota wisata itu.

"Bapak, nggak mau honeymoon kesini? Eh, kita ini lagi liburan untuk honeymoon atau kencan sih, ya?"

"Ulang tahun kamu ke sembilan belas, kalau kamu lupa." Tanpa menoleh dan pamit pada Nesya,meninggalkan untuk menuju salah satu stand penjual snack. Tak lama ia kembali dengan dua buah ice cream cone rasa cokelat dan green tea serta satu botol air mineral. "Cokelat atau teh?" tawar Yusuf saat ia kembali duduk.

"Eh?" Lah bukanya dia beli air bening? Kok nawarin teh?

"Es krim.Mau rasa cokelat atau green tea?"

"Ouhh." Nesya tersenyum malu. "Green Tea, please." Nesya menerima es krim yang diulurkan Yusuf, membuka bungkusnya lantas mengigit dan menikmati sensasi dingin dan creamy dari kudapan itu.

Ya Allah, bukakan hati dan perasaan ini. Dia cantik dan menarik, namun mengapa bayang-bayang wanita lain justru ada di saat-saat seperti ini. Gigitan es krim yang Yusuf harapkan dapat mendinginkan pikiran dan hatiyang menjadi aneh sejak pertemuandengan wanita masa lalunya itu.

Entah bodoh atau terlalu cinta. Yusuf tahu, memilih gadis muda dengan paras cantik dan sifat ceria, lebih baik daripada memilih wanita dua anak dengan kondisi rumah tangga entah seperti apa. Lagipula, bukankah wanita itu yang dulu meninggalkan dirinya dengan alasan klasik 'aku memilih yang mampu mengerti diriku'. Lalu mengapa hanya karena ia kembali hadir dan mengatakan status single parent-nya Yusuf menjadi gamang?

'Lihatlah gadis yang duduk disampingmu. Dia tengah memandang jingga langit sore yang cerah ini dan tersenyum sembari menikmati es krim yang kamu berikan. Lihatlah dengan kedua mata, dia gadis yang pernah menyatakan perasaannya padamu. Gadis yang selalu mengeluarkan binar cinta tulus setiap berinteraksi denganmu. Gadis yang kamu pilih menjadi istrimu. Istrimu yang sampai sekarang masih gadis dan dia sabar diperlakukan seperti itu olehmu! Lalu kenapa kamu masih memikirkan wanita yang lain?'

Yusuf mengelak dari bisikan batinnya. Dia beda, Anthi pun beda. Mereka dua manusia berbeda dan tidak bisa dibandingkan. Mereka hadir di hidupku dengan cara yang berbeda dan tentu ... rasaku pun berbeda. Yusuf menghela napas lelah. Bagi Yusuf, lebih baik mengurus penyidikan kasus pembunuhan daripada menyidik hatinya sendiri hingga ia takut 'membunuh' salah satu dari perempuan yang ada di hidupnya kini.

"Bapak jangan bengong, maghrib-maghrib bahaya! Nanti digondol arwah janda, Nesya nggak ikhlas," bisik Nesya menyentak Yusuf dari lamunan.

"Saya tidak melamun hanya... kelelahan." Lelah batin maksud Yusuf. Karena sesungguhnya ia tidak merasa pegal atau lelah fisik. Siang tadi justru ia meninggalkan Nesya dirumah sendirian dan memilih mengunjungi perkebunan untuk mengurus beberapa hal mewakili ibunya. Apa tadi? Arwah janda katanya. Bagaimana jika... janda betulan yang mendekati suaminya?

"Sudah hampir Maghrib." Yusuf mendengar alunan ayat-ayat suci Qur.an dari speaker masjid kemudian menggenggam tangan Nesya. Menggiring ke tempat ia mengadukan gelisahannya pada Sang Pencipta.

"Belum azan, Pak."

"Nunggu azan disana saja. Lebih baik daripada disini."

Nesya mengikuti langkah Yusuf. Sampai di tempat ibadah bercat hijau, mereka berpisah menuju area masing-masing. Nesya duduk bersila di salah satu sudut masjid lalu mengecek beberapa notifikasichatting diponsel. Membalas pesan satu-persatu kemudian bergerak ke tempat wudhu saat azan berkumandang

Dalam setiap sujudnya, Nesya berdoa, meminta pada Sang Maha Pembolak-balik hati untuk membantunya membukakan hati Yusuf. Bukannya Nesya tidak tahu, jika belum ada pancaran tertarik apalagi cinta di mata Yusuf, meskipun banyak hal manis yang sudah pria itu lakukan. Tidak seperti laki-laki lain yang terang-terangan menunjukan ekspresi suka maupun cinta kepada Nesya. Suaminyadatar sedatar tembok kamar, sulit untuk ia taklukan hatinya.

Ya Allah. Bantu Nesya untuk mengambil hati suami Nesya. Sungguh Nesya berterimakasih Engkau memberi dirinya sebagai salah satu dari takdir Nesya. Namun, mengapa ada ujian disaat takdir manis itu sudah ada pada Nesya? Kuatkan Nesya Ya Allah.

"Dek, sama pacarnya?" Seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahunan—taksiran Nesya—menyapa Nesyatengah merapihkan mukena.

"Sama suami, Bu."

Kening wanita tersebut berkerut. "Suami? Saya pikir masih sekolah loh."

Nesya tersenyum, "Baru semester pertama, Bu."

Raut terkejut kembali muncul di parasnya. "Sudah menikah?"

Nesya mengangguk, "Iya, Bu, sekitar tiga bulan yang lalu."

Mata wanita itu langsung menatap perut Nesya. Ia tersenyum maklum seolah tahu yang ada di pikran wanita itu. Jujur ia lelah jika disangka menikah karena hamil duluan. Namun, ia tak boleh marah, bukankah memang itu yang ada di pikiran hampir semua orang jika ada gadis yang menikah muda?

"Saya belum hamil Bu, bahkan masih gadis. Kami menikah karena Papa sayameminta suami saya untuk memiliki saya, sebelum ada pria lain yang mungkin dapat merusak saya." Menaikkan kedua bahu lalu Nesya melanjutkan ceritanya, "Papa yang melamar dan suami saya menerima. Kami bahkan belum pernah ... yah, itu. Dia sepertinya masih menjaga dan memberikan saya waktu untuk saling mengenal dan belajar mencintai, mungkin?" Senyum masam terbit di wajahnya.

Wanita dewasa itu tersenyum, mengerti maksud dari cerita Nesya. "Nanti juga cinta kok. Witing trisno jalaran soko kulino, Dek. Cinta datang karena terbiasa." Sambil membenahi make up, wanita itu berbicara lagi, "jujur saya kaget tadi, saya pikir adeknya meteng duluan, ternyata dijodohkan. Tapi kayaknya suaminya udah dewasa banget,ya?"

"Iya. Empat belas tahun diatas saya."

Maskara yang tinggal satu centi lagi menghinggapi jodohnya, kini terhenti di udara. "Empat belas tahun?"

Nesya mengangguk."Iya, Bu, tapi saya cinta. Bukankah usia bukan masalah?"

"Iya. Kalau dilihat sih, kayaknya mapan. Kerja apa, Dek, kalau boleh tahu?"

Kepo. Mau pergi aja tapi ntar dikira gak sopan. "Jaksa. Kami tinggal di Jakarta. Sekarang sedang liburan sambil berkunjung kerumah mertua."

"Hhmm." Wanita itu tengah menutup maskara lalu memasukkan ke pouch makeup-nya."Tantangan berat itu. Nggak yakin nggak ada yang naksir sama suaminya, Dek. Entah perawan atau janda. Dijaga baik-baik, ya, suaminya. Kalau laki-laki sampai dilamar, berarti memang bibit unggul dia. Agak berattapi saya yakin kamu bisa." Mengecek penampilan sekali lagi dari cermin yang terdapat di sebelahnya lalu ia berdiri dan pamit. "Selamat berlibur, saya duluan."

Nesya terdiamkala wanita itu sudah menghilang dari pandangan. Agak berat, banyak yang naksir Bapak, bahkan nggak mandang status janda atau perawan. Kok, gue jadi down gini ya?Lamunan Nesya terhenti saat dering ponsel menyadarkan. Yusuf menghubunginya, memintauntuk segera menyusul ke dekat gerbang masjid. Memandang pada cermin dan memasang senyum. Lo bisa Nesya. Merebut hati si jaksa Arbianda itu. Lu bisa! lu udah punya fasilitas yang wanita manapun nggak punya. Hak istri!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top