5 Takdir Mulai Bicara

Agni bengong. Pegangannya di koper sampai terlepas.

"Kita berjodoh? Dih, najis banget." Perempuan itu menggerutu.

Hujan terbahak. Dia menyambar koper dan tas Agni. Lelaki itu lantas memberi isyarat agar mengikutinya keluar.

"Naik angkot lama. Tahu sendirilah di Malang sini ngetem bisa berapa jam. Temen aku ada yang sampai ketinggalan kereta gegara kelamaan ngetem tuh, sopir angkot. Padahal dia berangkat jam lima pagi. Kereta berangkat jam delapan. Kurang pagi apa coba?"

Agni bengong lagi. "Buat ukuran cowok, kamu tuh, banyak omong, ya?"

"Itu bahasa lain dari cerewet?" Hujan melirik Agni.

"Iya. Biar lebih halus aja. Entar aku dikira nggak punya sopan. Barbar sama orang yang udah nolongin aku."

Tawa Hujan kembali meledak. Kali ini lebih keras. Lelaki itu bahkan tidak sadar mengulurkan tangan dan mengacak-acak puncak kepala Agni.

"Apaan, sih?" Perempuan itu protes berat.

"Kamu lucu," jawab Hujan. "Jarang banget aku ketemu cewek blak-blakan macam kamu."

"Oh, jadi selama ini cewek yang ngintilin kamu tuh, cewek jaim-jaim gitu?"

Hujan tak menjawab. Dia menekan tombol kunci. Satu mobil berkedip lembut sebelum terdengar bunyi detik pintu terbuka.

"Kok, beda sama mobil yang semalam?" Agni terheran-heran.

"Yang semalem punya Rio, temen kontrakan aku. Anaknya masih mudik ke Surabaya. Aku pinjem mobilnya."

Agni hanya mengangguk-angguk. Dia hendak duduk di jok belakang. Namun, Hujan dengan cepat mencekal pergelangan tangannya.

"Ngapain duduk di sana? Aku bukan sopirmu. Pindah depan."

Agni mengerucutkan bibir. Tujuannya memilih jok belakang adalah untuk menghindari Hujan. Sialnya lelaki itu justru memaksanya terus berdekatan.

Setengah memendam kekesalan Agni pindah tempat. Mobil berjenis sedan yang sudah mengalami modifikasi habis-habisan itu meraung garang di garasi. Tiga detik kemudian Hujan sudah melajukan kendaraan keluar rumah. Mereka bergerak menuju salah satu universitas tersohor di Kota Pelajar tersebut.

"Aku juga kuliah di sana. Administrasi Publik. Semester enam."

Agni membeku. Jarinya gatal ingin mengorek telinga. Mungkin dia sedang salah dengar. Pandangan perempuan itu lurus tertuju ke depan. Tak berani dia menoleh menatap Hujan.

"Kamu jurusan apa?"

Badan Agni tegang. Itu pertanyaan yang paling ingin dihindarinya. Perkataan Hujan di rumah tadi kembali terngiang-ngiang di telinga Agni.

Mungkin kita berjodoh.

"Yang benar saja," desis perempuan itu lirih.

"Apanya yang benar?"

Agni tersentak kaget. Baru kali ini dia merasakan saraf-sarafnya tegang hanya karena berdekatan dengan seorang lelaki. Biasanya juga Agni bakal acuh tak acuh. Tak peduli mau si lelaki akan bersikap dan berkata apa saja.

Namun, ini Hujan.

Untuk alasan yang Agni tak bisa mengerti, dia selalu merasa tegang saat berada di samping lelaki ini. Berdekatan dengan Hujan seolah selalu memberi kejutan untuk perempuan itu.

Terkadang kejutan menyenangkan, tapi lebih banyak tidak mengenakkan. Kalau disuruh memilih, Agni menginginkan Hujan tidak pernah mampir dalam kehidupannya. Karena suasana yang terbentuk selalu membuat jantung Agni berolahraga.

"Ditanya kok, diam?" Hujan nyeletuk.

Agni mengembuskan napas panjang. Mau berbohong juga percuma. Firasat dia mengatakan bila takdir akan membuat dirinya dan Hujan terus bertemu secara tak sengaja.

"AP juga," jawab Agni lirih menyebut singkatan jurusannya.

"Eh, anak Administrasi Publik juga?" Terdengar nada kaget dalam suara Hujan.

Agni mengangguk perlahan. Perempuan itu terkejut kala mendengar Hujan memukul roda kemudi. Suara lelaki itu terdengar girang.

"Nah, kan! Apa aku bilang! Kita tuh, berjodoh!" Hujan berseru riang.

"Berjodoh kepalamu." Agni berbisik ke dirinya sendiri. Untung saja Hujan tidak mendengar.

"Kamu ternyata adek tingkat aku. Bakal sering ketemu kita."

"Seneng banget kamu." Agni mengomentari perkataan lawan bicaranya. Perempuan itu melengos. Dia membuang muka ke arah tepian jalan yang dipenuhi bangunan-bangunan komersil.

Hari masih pagi, tapi suasana di luar sudah ramai. Banyak kendaraan memadati jalanan beraspal mulus. Toko-toko sudah mulai buka. Trotoar dipenuhi pejalan kaki.

Kehidupan ala kota terasa sekali bahkan dari tempat Agni duduk. Sayangnya dia tidak bisa merasakan gempita suasana di luar. Fakta bila dia harus mencari tempat tinggal baru memenuhi pikiran perempuan itu.

"Jangan khawatir." Hujan tiba-tiba berkata. "Selalu ada solusi buat tiap masalah, kok."

Agni memutar bola mata. Dia tahu apa yang dimaksud oleh lelaki di sampingnya. Namun, perempuan itu gengsi mengakui bila mencari tempat tinggal baru tidak semudah membalik telapak tangan baginya.

Agni tidak punya uang. Itu masalah terbesarnya. Bahkan menyewa indekos termurah pun dia tidak bisa. Uangnya hanya cukup untuk makan selama beberapa hari ke depan. Makan ala gembel kalau Agni boleh sebut kondisinya saat ini.

"Kamu tinggal di kontrakan aku aja udah. Berangkat ngampus barengan sama aku."

Itu tawaran menarik sebetulnya. Sisi diri Agni yang super logis langsung menghitung berapa uang yang bisa dia hemat bila menerima tawaran Hujan.

Namun, sisi dirinya yang penuh gengsi dan masih memikirkan moral langsung menolak tegas si sisi logika. Dia tidak mengenal Hujan dengan baik. Belum tentu kebaikan lelaki itu tulus. Apalagi berinteraksi dengan Hujan selama beberapa waktu sudah memberikan gambaran tentang latar belakang Hujan.

Tidak semudah itu seorang yang memiliki kemapanan finansial memberikan bantuan cuma-cuma pada perempuan asing.

"Nggak mau." Akhirnya sisi penuh moralitas Agni yang menang.

"Terus kamu mau tidur di mana?"

Agni menjawab spontan. "Masih ada kosan temen. Aku bisa nebeng di sana."

"Yakin mereka mau kamu tebengin?" Hujan melontarkan pertanyaan yang membuat lawan bicaranya mati kutu.

Agni membeku. Reaksi perempuan itu mampu ditangkap mata jeli Hujan.

"Sehari dua hari masih okelah. Kalau seterusnya?" Hujan menjahili Agni.

"Emang siapa yang bilang mau seterusnya?" Agni sewot.

Hujan hanya mengangkat bahu. Perjalanan mereka hampir berakhir. Lelaki itu sudah memasuki gerbang belakang Universitas Brawijaya dan mulai berbelok ke kanan.

Hujan memarkir kendaraan di halaman depan Guest House. Lelaki itu melepas sabuk pengaman, tapi tidak ada gelagat dirinya akan segera keluar.

"Aku serius sama tawaran aku. Kontrakanku sepi. Aku sama Rio jarang banget di rumah. Kamu bakal aman di sana."

"Cerewet, ah." Agni meloncat turun dari mobil. Dia berjalan membuka pintu belakang hendak mengambil koper. Namun, suara Hujan menghentikan pergerakannya.

"Koper taruh mobil aja. Kamu kuliah dulu sana."

"Nggak mau," tolak Agni lugas.

"Astaga. Ini cewek keras keras kepala banget, sih." Hujan mengeluh. "Aku nggak bakal nyolong koper kamu, Non. Pikirin aja, deh. Masak kamu mau kuliah sambil nenteng-nenteng koper sama tas?"

Agni tertegun. Emosi membuat pikirannya tidak berfungsi jernih. Bahu perempuan itu lemas. Perkataan Hujan seratus persen benar.

"Udah, kuliah aja kamu. Entar aku tungguin kalau kamu selesainya lama."

Agni berpikir sejenak. Dia mengeluarkan ponsel pintarnya dan mendongak ke arah Hujan.

"Nomor hapemu?" tanya Agni.

"Emang belum save, ya?"

Perempuan itu menggeleng. Hujan segera menyebutkan sederet nomor yang disimpan Agni ke kontak gawai.

"Entar aku hubungi kalau udah selesai kuliah. Ketimbang kamu ngejogrok di sini doang nungguin aku."

"Nggak apa-apa kali nunggu temen deket." Hujan menyeringai.

Jantung Agni tiba-tiba berdetak kencang. Pandangan perempuan itu hampa dan kosong. Dia mematung sampai tidak menyadari Hujan sudah berjalan menjauh.

"Woi, jangan ngelamun! UB punya banyak setan. Aku nggak mau ngurusin kalau kamu kesurupan!"

Teriakan Hujan membangunkan Agni dari lamunan. Dengkusan keras terdengar. Setengah kesal dia mengentakkan kaki dan segera menyusul Hujan.

Kegiatan hari itu berjalan lancar. Atau setidaknya lancar bagi Agni. Perkuliahannya mulus tanpa insiden. Dia bahkan sempat mengobrol santai dengan teman-teman kampus, meski sempat menolak ajakan untuk makan di kantin.

Puasa.

Itu alasan klasik yang selalu sukses membungkam ajakan teman-temannya tanpa membuat diri Agni mendapat julidan. Beberapa orang bahkan menjuluki perempuan itu cukup religius. Dan Agni merasa harus sesegera mungkin meminta maaf pada Tuhan karena menggunakan alasan yang memicu salah paham.

"Gue pulang dulu." Agni melambai pada sekelompok temannya.

"Udah mau cabut? Ndak mau ikut ngobrol dulu? Si Andra bawa gosip heboh, loh."

Satu teman sekelasnya bicara dalam logat Malang medok. Dia menyebut nama Andra, sang ketua kelas, dengan antusiasme berlebih.

Dan itu hanya berarti satu hal. Gosip yang dibawa Andra memang bagus.

"Lah, Agni duduk lagi."

Perempuan itu hanya tersenyum simpul mendengar ledekan temannya. Dia duduk manis menunggu sang ketua kelas datang. Saat lelaki asal Pasuruan itu tiba dan membagikan setumpuk selebaran, Agni langsung melotot kaget.

"Hah? Apa ini?" Perempuan itu mendongakkan pandangan. "An, ini beneran? Gue nggak salah baca, kan?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top