3 Jatuh Tertimpa Tangga
Sudah jatuh tertimpa tangga.
Itulah yang terjadi pada Agni sekarang. Perempuan itu hanya bisa bengong di teras indekos.
Sementara sang induk semang telah pulang ke rumahnya sendiri yang ada di daerah Sawojajar. Cukup jauh dari lokasi rumah indekos Agni di wilayah Kerto Pamuji.
“Aku boleh bangga nggak sih, karena disambangi ibu kos? Tapi kok, nyesek gini juga, ya?”
Agni melangkah pelan memasuki rumah. Semua penghuni kos sudah terlelap. Maklum saja, jam pun sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam.
Efek dari penghematan yang dilakukan Agni adalah terpaksa jalan kaki pulang dari Malang Town Square, mal tempat dia bekerja di salah satu butik temannya. Jaraknya dari lokasi kerja menuju indekos setidaknya butuh setengah jam jalan kaki.
“Aku beneran macam Cinderella. Nggak dikasih kesempatan buat pamitan.” Agni mengembuskan napas panjang.
Matanya terpaku ke dua kardus air mineral dan satu koper ukuran besar yang teronggok di depan pintu kamar. Sang ibu kos rupanya sudah memprediksi jika Agni pasti tak mampu bayar uang sewa.
“Baik juga beliau mau bantu ngepak barang-barang aku.” Perempuan itu tersenyum miris.
Mencoba berpikir positif di tengah masalah yang menggunung adalah satu cara instan Agni untuk mengurangi beban di hati. Perempuan itu menarik koper bututnya dan meninggalkan dua kardus berisi buku-buku. Dia menulis pesan di bagian atas kardus, meminta tetangga kosnya untuk bantu menyimpan lebih dulu.
“Aku boleh ngeluh nggak, sih?” Agni memandangi rumah yang sudah satu tahun menjadi tempat tinggalnya di Malang. “Tapi ini juga ide gila kamu, kan? Nekat daftar kuliah padahal uang saja nggak punya. Bego emang kamu.”
Roda koper bergemeretak halus melindas aspal jalan. Dari lokasi indekosnya yang terletak di gang sempit, Agni perlu berjalan cukup jauh untuk menuju jalan raya.
Tidak ada lagi kendaraan umum yang lewat. Agni juga enggan menghubungi teman-temannya sekadar menumpang tidur malam ini. Dia sudah terlalu banyak merepotkan orang.
“Aku sendirian,” senandung lirih perempuan itu, “dan akan terus sendirian. Hanya angin yang jadi temanku. Hanya sunyi yang jadi sahabatku.”
Agni terus berjalan dan berjalan. Langkahnya tidak tentu. Dia hanya mengikuti ke mana kakinya bergerak.
Tujuan pergerakannya menuju ke arah utara. Didorong oleh kebiasaan pulang pergi ke kampus, Agni melewati fakultas tempatnya menimba ilmu. Gedung berpalet warna kelabu itu terlihat elegan bak hotel yang nyaman alih-alih sebuah gedung perkuliahan.
Namun, Agni tidak berhenti di sana. Kakinya masih terus melangkah. Roda kopernya menggelinding melewati jembatan ikonik Suhat. Sungai di bawah terlihat gelap tanpa penerangan. Saat melewati gedung Politeknik Negeri Malang, segerombolan laki-laki menghadang langkah Agni.
“Weh, ada cewek cakep lewat,” ucap seseorang dalam bahasa setempat.
Agni mengernyitkan dahi. Jantungnya berdegup kencang. Suasana di tempat ini sangat berbeda saat dini hari dan siang hari. Kala matahari bersinar, gang di dekat gedung Polinema tak menakutkan sama sekali.
Namun, kini suasananya berbeda. Jantung Agni berdegup kencang. Pegangannya di koper kian erat.
“Mau kita temenin? Bahaya loh, jalan sendirian jam segini.”
Agni mengeluh dalam hati. Justru lebih bahaya kalau ditemenin kalian.
“Eh, ditanya kok, diam? Bisu, ya?”
Langkah Agni benar-benar terhenti. Dua laki-laki berdiri tepat di hadapannya. Saat mendongak, pandangan Agni bertemu dengan sepasang wajah berparas biasa dan berkulit sawo matang. Aroma rokok pekat menguar dari tubuh dua orang itu.
Hanya rokok.
Agni tidak sadar mengembuskan napas lega. Perokok masih bisa dia hadapi, tapi pemabuk sulit Agni tangani. Sementara itu pandangan Agni beredar liar mencari-cari senjata. Entah apa pun.
Tidak ada batang kayu. Yang ada hanya batu. Agni butuh membungkuk untuk mengambilnya. Namun, itu artinya dia harus melepas sejenak koper berat yang menghambat langkahnya.
Kehilangan koper atau kehilangan harga diri. Dua-duanya bukan pilihan yang ingin diambil Agni. Tidak saat kondisinya sedang di titik paten sebagai orang miskin.
“Duh, bisu beneran dia. Wah, nggak asyik diajak ngobrol, nih.”
Agni menatap tanpa berkedip laki-laki di hadapannya.
“Tapi wajahnya cantik. Lumayanlah buat temen minum.”
Kening Agni berkerut banyak. Tangannya sudah gatal ingin menonjok rahang laki-laki tukang mengoceh ini. Empat orang. Dua di depannya dan dua lagi sedang berdiri tidak jauh dari tempat Agni.
Berapa probabilitas kematian seseorang karena lemparan batu segenggaman tangan?
Agni masih berpikir saat satu tangan mencolek dagunya. Sontak perempuan itu menepis kuat-kuat. Matanya melotot galak.
“Wah, kucing manis ini bisa marah juga.”
“Colek lagi, Sam. Buat dia bersuara. Merdu apa nggak.”
Agni memutuskan lebih baik kehilangan koper daripada kehilangan harga diri. Dia bersiap membungkuk. Hanya saja takdir tidak membiarkannya bersenang-senang dengan gerombolan orang iseng yang mulai bertindak kurang ajar ini.
Suara kendaraan yang berhenti mengusik lima orang di tepi jalan itu. Agni dan gerombolan laki-laki kurang kerjaan menoleh.
“Hei, Sayang. Sudah kubilang, tunggu aku di kos. Kenapa malah keluyuran di sini, sih?”
Agni mengerjapkan mata. Tubuhnya membeku saat satu lengan kuat menariknya ke pelukan. Dirinya yang setinggi bawah telinga laki-laki itu langsung bertemu dengan kehangatan yang menenangkan.
“Heh, siapa kamu? Datang-datang main serobot. Dia milik kami, Sam.”
Terdengar geraman rendah yang lolos dari kerongkongan. Kemudian, suara yang mulai diingat Agni terdengar kembali menyapa telinga.
“Mau kalian apakan cewekku?”
Agni mengerjap-ngerjapkan mata. Dia ingin mendongak, tetapi telapak tangan besar dan hangat menahan kepalanya tetap berada di lekukan leher dan bahu si lelaki.
“Yakin dia cewekmu? Jalan sendirian jam segini.”
Lagi-lagi terdengar suara geraman bercampur desisan kesal. Kemudian, celetukan yang sangat melecehkan membuat telinga Agni panas seketika.
“Bagi-bagilah, Sam. Kami tahu kok, kalau dia bukan cewekmu.”
Agni tidak tahu bagaimana adegan itu terjadi. Dia hanya merasakan kibasan angin dan mendengar suara gedebuk keras benda jatuh. Saat ingin menoleh, kepala Agni langsung ditekan masuk ke dada si lelaki, seolah tidak diizinkan untuk melihat.
Entah berapa lama pandangan perempuan itu disembunyikan. Saat semuanya usai, Agni tahu sudah usai karena tidak mendengar suara apa pun lagi, baru si lelaki melepaskan dirinya.
Dan Agni tertegun.
Di hadapannya tergeletak empat lelaki bengal. Semuanya merintih kesakitan sembari memegangi perut dan wajah mereka. Kesadaran dengan cepat menghampiri benak perempuan itu.
Dia mendongak. Matanya berkilat-kilat. Suaranya bernada sengit saat mengeluarkan protes.
“Lo apa-apaan, sih? Kok, main hajar seenaknya? Mereka itu ....”
Agni tak mampu meneruskan perkataan. Pandangannya terpaku ke sosok jangkung yang berdiri terengah-engah.
“Hujan?” tanya perempuan itu sambil menunjuk si lelaki.
Sayang, belum ada jawaban dari pemilik nama itu dan hujan turun amat sangat deras. Agni memekik kaget. Refleks dia mengangkat tangan guna melindungi kepala.
“Masuk mobil aku!” Hujan menarik tangan Agni.
“Nggak mau!”
Sentakan keras Agni membuat Hujan nyaris terjengkang. Laki-laki itu melotot lebar.
“Hujan sekarang. Kamu mau basah-basahan?”
“Kenapa lo hajar mereka?”
Hujan terbelalak. “Kamu masih mikirin nasib preman-preman itu? Astaga, kamu mau dilecehin loh, tadi.”
Agni menggeleng-gelengkan kepala. Kakinya mengentak kuat-kuat. Tubuhnya sudah basah kuyup tersiram air hujan. Percuma juga berteduh. Sudah basah, sekalian saja meluapkan amarah.
“Harusnya gue yang hajar mereka. Gue bisa ngelindungin diri gue sendiri.” Agni protes keras.
Hujan terbelalak. Kepalanya geleng-geleng tak percaya.
“Ya, Tuhan. Jadi, ini alasan kamu marah padahal sudah aku tolongin?”
“Siapa juga yang minta kamu tolongin?” Emosi Agni memuncak hingga ubun-ubun. Tatapannya sengit terarah pada Hujan.
“Lo harusnya jagain cewek lo baik-baik. Biar nggak nyusahin orang!”
Agni membentak. Suaranya kalah keras dibanding deru hujan. Ekor matanya menangkap bayangan empat preman yang dihajar Hujan pontang-panting melarikan diri. Dalam hati Agni mengeluh. Dia benar-benar ditinggalkan hanya bersama Hujan saja.
“Kita ngomong di mobil saja. Berteduh dulu.” Hujan menarik tangan perempuan di hadapannya.
Sekali lagi Agni menyentak keras. Matanya sedikit kesulitan untuk terbuka lebar. Siraman air dari langit membuatnya kepayahan.
Namun, Agni tidak ingin mendekati lelaki itu. Melihat Hujan, kemarahannya timbul. Ingatan akan pemecatan di tempat kerja yang baru sepekan dijalaninya. Kebingungan Agni mencari pekerjaan baru. Terusir dari indekos dan harus terlunta-lunta di jalan. Semua peristiwa buruk itu berputar cepat di benak Agni.
Dan perempuan itu seolah mendapat pelampiasan saat melihat Hujan. Di mata Agni, lelaki inilah yang menjadi sumber kesialannya beberapa hari ke belakang.
Seandainya waktu itu Agni tidak bertemu Hujan di restoran, niscaya saat ini dia sudah terlelap di kamarnya yang hangat dan nyaman. Tidak perlu pusing-pusing memikirkan sewa kamar karena gaji di restoran cukup untuk bertahan hidup.
“Namamu Agni, kan?”
Perempuan itu mendongak.
“Aku memang sok tahu. Tapi percayalah, namamu sama sekali nggak bisa bikin badan kamu hangat. Masuk mobil. Kita bicara di dalam.”
“Nggak mau! Siapa kamu seenaknya nyuruh aku masuk mobilmu? Apa jaminannya kalau kamu nggak sama dengan preman-preman tadi?” Agni kembali berteriak.
“Astaga, ini anak bener-bener, deh.” Hujan tidak sabar.
Dia tahu akan mendapat amukan luar biasa dahsyat dari Agni. Namun, laki-laki itu tidak peduli. Yang terpenting sekarang dia harus mengamankan kondisi mereka lebih dulu.
Sebagai laki-laki jantan, tidak mungkin Hujan meninggalkan Agni begitu saja di tepi jalan. Jadi, dia bertindak nekat.
Hujan menghampiri Agni. Dirampasnya koper dari tangan perempuan itu. Kemudian, dia membungkuk dan menyelipkan satu tangan ke belakang lutut Agni.
Dan Hujan siap menulikan telinga dari pekikan keras si perempuan. Juga menabahkan diri karena dipukul kuat-kuat oleh tinju kecil Agni, yang ngomong-ngomong ternyata bertenaga luar biasa.
“Hujan! Lepasin gue! Gue bukan karung beras pakai dipanggul segala! Lepasin gue!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top