Bab 4 - Individualis
"Can somebody help me out? I can't find my feet.
I'm sinking in the deep. Can somebody pick me up?"
Vancouver Sleep Clinic - Lung
∆ Caraka ∆
Kedatangan empat anggota inti OSIS di kelas 10 MIPA 9 menggemparkan penghuni tetapnya. Mereka yang asalnya berkicau-kicau tak penting di dalam kelas, seketika berhenti dengan sendirinya. Seluruh pandangan tertuju ke depan kelas, bersitatap dengan anggota inti OSIS. Dua orang anggota inti OSIS mendikte dan menulis di papan tulis, sedangkan Mayang selaku ketua OSIS meminta warga 10 MIPA 9 untuk mendengarkan penjelasannya dengan khidmat.
"Sehubung digelarnya festival bahasa dan budaya ke-10 bulan Oktober nanti, kami mewakili seluruh anggota OSIS ingin melaksanakan proker kami yaitu menumbuhkan rasa cinta tanah air di kalangan siswa dan siswi. Oleh karena itu, kami meminta bantuan kepada kalian dalam memeriahkan acara akbar bulan depan dengan ikut serta ke dalam serangkaian acara. Sebelumnya kami juga telah melakukan pengundian secara acak dan inilah hasilnya."
Mayang menggeser tubuhnya dan beralih menjelaskan maksud tulisan di papan tulis saat ini. "Jadi, kelas kalian mendapatkan undian tampil nomor empat, musikalisasi puisi. Murid yang wajib berpartisipasi minimal enam orang. Untuk tema yang diangkat, yakni kecintaan terhadap NKRI melalui bahasa dan budaya. Masalah konsep, kami menyerahkan sepenuhnya kepada kalian. Ada yang ditanyakan?"
Baru saja Mayang mengalihkan perhatiannya ke arah kertas kecil yang sedari tadi dipegangnya, Arsal sekejap mengacungkan tangannnya. Mayang menganggutkan kepala, mempersilakan Arsal melontarkan pendapat, kritik atau pertanyaannya.
"Apakah semua biaya untuk keperluan pementasan ditanggung oleh pengurus OSIS?"
Sorak sorai turut menyertai, mendukung penuh pertanyaan insinuasi Arsal. Siswa di sebelah Mayang segera menengahi dengan mengangkat tangan yang membentuk pola seakan menyuruh semua murid agar diam.
Suasana kembali hening.
Barulah setelah itu, Mayang menimpali, "Tentu saja tidak. Pihak OSIS hanya menyediakan sarana dan prasarana pokok seperti konsumsi, tenda, panggung, perlengkapan elektronik dan basecamp. Sisanya seperti biaya pementasan kelas, kami pihak OSIS sangat meminta maaf tidak bisa menanggungnya. Kalian bisa menggunakan kreativitas kalian untuk mempercantik penampilan, meramaikan suasana pementasan atau dekorasi lainnya dengan bahan-bahan seadanya. Ingatlah! Di dalam diri kalian pasti tersimpan jiwa-jiwa kreatifitas dan keuletan."
Desahan kecewa terdengar bebarengan. Penghuni kelas saling menekuk bibir dan menyipit sebelah mata. Lava sendiri termangu di tempat duduknya, mengernyitkan dahi sembari menyanggah kepala dengan tangan kanan. Jujur saja, ia sebetulnya sangat tidak tertarik dengan kegiatan semacam ini. Bagi Lava, acara akbar seperti festival bahasa dan budaya hanyalah buang-buang waktu dan menghabiskan dana saja. Lava bahkan tidak tahu di mana letak kesenangannya kala turut berpartisipasi ke dalam acara tersebut.
Ingin sekali Lava mengacungkan tangannya, kemudian melontarkan segenap penolakannya secara terang-terangan. Namun ia urung melakukannya. Ia tidak ingin menciptakan kehebohan yang menggegerkan seisi sekolah. Bisa terbayang jika muncul gosip siswi kelas satu, Lava, dengan heroiknya melawan kehendak pengurus OSIS. Oh ayolah, yang ada malahan Lava menjadi sasaran beulan-bulanan kakak kelas garang. Akhirnya, Lava pun diam membisu, mencoba meredam gejolak pemikiran individualismenya.
Di tengah atmosfer kekecewaan teman-temannya, Samsul mengacungkan tangan dengan gagah berani. "Festival kurang satu bulan lagi dan apa tidak memberatkan murid jika diberi tugas seperti itu di saat minggu lusa ada UTS dan tugas-tugas yang tidak pernah absen walau satu hari?"
Mayang sedikit meremas pinggir kertas yang dipegangnya. Pandangan matanya sayu dengan peluh yang mengucur di pelipisnya menandakan bahwa ia sudah lelah. Ia lelah berhadapan dengan sederet murid pemberontak yang meraung-raung meminta hak-nya selayaknya di kelas ini. Keras kepala sekali.
Siswa di sebelah Mayang maju beberapa senti ke depan, menggantikan Mayang yang tidak segera menjawab. "Maaf sebelumnya. Tapi, kami juga sama-sama murid yang menuntut ilmu di sekolah ini seperti kalian. Kami sama-sama sibuk utamanya sibuk mengerjakan tugas-tugas, ulangan harian, UTS, UAS, dan sebagai tambahannya, kami juga sibuk mengurus proker OSIS. Karena kita sama-sama sibuk, aku berharap kalian paham dengan situasinya dan mau berkooperasi dengan kami."
Suasana kembali lengang, menyisakan bunyi desiran angin, gesekan ranting-ranting pohon, deru kendaraan bermotor, dan keramaian di lapangan olahraga. Masing-masing perseorangan berpikir keras dan mencerna perkataan siswa tersebut ke dalam otak. Lava sendiri diam-diam ikut menyetujui perkataan siswa itu.
"Lav, menurut lo gimana?" tanya Syahira seperti bisikan.
Lava menolehkan kepalanya dan mengangguk setuju. Arsal yang notabene-nya ketua kelas, melihat gerak-gerik masing-masing pengurus kelas, mengartikan satu per satu maksud anggukan kepala mereka. Semuanya setuju.
"Apa ada pertanyaan lagi? Jika tidak ada, maka setelah kami keluar dari kelas ini, kami menganggap kalian telah mau berkooperasi dengan OSIS."
Tak satupun suara terdengar. Semuanya diam membisu. Mayang mengartikan kesenyapan ini sebagai tanda bahwa penghuni kelas ini telah sepakat berpartisipasi ke dalam festival bahasa dan budaya. Mayang beserta tiga anggota lainnya mengundurkan diri dari kelas Lava dan meneruskan berkeliling ke deretan kelas sebelas.
Kelas kembali ricuh seperti sedia kala. Tapi ada yang berbeda saat ini. Mereka tidak lagi saling melempar candaan, membahas persoalan ambigu, pemecahan soal dan basa-basi semata. Kini mereka meluapkan emosi berkobar di dalam kepala, mengucapkan sumpah serapah, mengatai anggota OSIS yang seenaknya saja menyuruh mereka, dan berbagai hal negatif lainnya. Garisa bawahi. Negatif.
Arsal menenangkan anak buahnya dengan memberi beberapa petuah singkat yang sejatinya diharapkan dapat meredam emosi mereka. Namun nyatanya tidak ada yang menggubris. Mereka sibuk berdebat dengan sesama dan berujung pada saling menyalahkan satu sama lain.
Kuping Lava rasanya panas setiap mendengarkan ocehan teman-temannya. Syahira yang berada di sampingnya pun ikut terpancing suasana. Ia meninggalkan Lava sendirian duduk di bangkunya dan ikut bergabung dengan teman-temannya di depan kelas.
"Mumpung jamkos, kita ngerancang konsep musikalisasi puisi."
Tangan Arsal menari-nari di atas bidang papan tulis, menuliskan angka satu hingga sepuluh dengan di atasnya di beri keterangan 'perwakilan kelas'. Kemudian kepalanya beralih menghadap ke teman-temannya. Tidak ada yang memerhatikannya. Ia mengembuskan napas kepasrahan. Tidak ada yang bisa diperbuatnya untuk meredam suara mereka. Arsal akhirnya memilih diam dan kembali menaruh spidol pada bangku guru. Keinginannya untuk segera menuntaskan pembagian peran pupus sudah.
Untuk kali ini, Lava sepakat dengan perkataan Saka. Kaum abad ke-20 berpikiran sempit. Mereka hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau melakukan pengorbanan secuil pun. Lihatlah, sifat orisinal mereka terlihat secara gamblang. Ketakutan akan kenestapaan ditutupi dengan emosi dan tindakan minim akal.
Hanya bunyi bel saja yang dapat memperbaiki suasana tegang di dalam kelas. Beberapa murid membubarkan diri untuk ke kantin, ke toilet, perpustakaan, mengumpulkan tugas di ruang guru atau hanya kembali pada tempat duduk mereka sambil memainkan HP. Syahira sendiri memilih menghampiri Lava yang memberengut jengkel untuk sekadar mengajaknya pergi ke kantin secara repetitif.
"Lo sama Zara atau yang lain aja. Gue mau fotokopi soal Bahasa Jepang dulu."
Syahira mengangguk paham. Ia bergegas pergi dari sana dan menghapiri Zara yang sudah berada di luar kelas hendak ke kantin. Setelah kepergian temannya yang super rewel itu, Lava mendapat panggilan dari Pak Mijon untuk ke ruang guru melalui seorang kurir.
Lava mengembuskan napas culas. Jika saja itu bukan panggilan dari Pak Mijon yang terkenal angker jiwa dan raganya, sudah pasti Lava lebih memilih menongkrong di koperasi untuk fotokopi. Apalah daya Lava yang hanya ingin menjadi siswa biasa-biasa saja tanpa mau diberi stempel murid bengal.
Sesampainya di ruang guru, impresi Lava berubah drastis. Wajahnya memancarkan binar mata yang menyilaukan dengan senyuman hangat melebihi pendar matahari. Beribu-ribu kupu-kupu memberontak di dalam tubuh Lava, ingin segera terbebas dari sana begitu pun dengan jantungnya yang berdebar tak keruan sepuluh kali lipat lebih cepat dari biasanya. Lagi-lagi cowok itu yang menjadi faktor pemicu utamanya.
Pak Mijon berdeham, menghentikan tatapan intens Lava kepada cowok itu. Lava hanya tersenyum sipu saat beranjak menatap Pak Mijon yang menatap sinis ke arahnya. Pak Mijon mengambil beberapa buku dari bawah mejanya. Total ada tiga puluh dua buku folio besar isi HVS 60 Gsm dengan 200 lembar tiap buku.
"Ini tolong kamu bawa ke kelas dan bagikan ke anak-anak."
Lava membelalakkan matanya lebar dengan mulut menganga. Dia tidak habis pikir Pak Mijon memanggilnya ke sini demi membawakan setumpuk buku lebih dari dua kilogram ke kelasnya yang berada di lantai dua. Gurunya yang satu ini parah sekali.
"Eh buset. Tega amat, Pak Mijon. Dikira gue emang gorilanya kelas MIPA 9 yang dempal gitu, bisa bawa-bawa barang berat sekali gerak," ujar Lava yang tidak sadar keceplosan isi hatinya.
Cowok di sebelah Lava tertawa pelan. Sepasang manik mata Lava sekejap beranjak ke sumber suara. Saat ia mengetahui cowok itu tengah menatapnya juga seraya tertawa kecil, pipinya merona seperti kepiting rebus. Gerigi roda besi pada otak Lava rusak dengan sendirinya sehingga menimbulkan kepulan asap di atas kepala.
"Akhem!"
Mereka berdua terlonjak kaget dan segera menoleh ke arah Pak Mijon yang menekuk bibirnya ke bawah, melihat sinetron kontemporer di depannya. Dagu pak Mijon terangkat ke arah Lava. Memerintahkan cowok itu untuk membantu Lava membawa buku-buku tebal ke kelasnya.
"Ulangannya gimana, Pak?"
"Berbahagialah kamu mendapatkan bonus langka dari saya. Tapi jangan sekali-kali kamu mengkhianati kepercayaan saya," tandas Pak Mijon yang sukses membuat segala rencana licik cowok itu berhamburan.
Cowok itu segera bangkit dari duduknya dan mengambil setengah bagian buku dari meja Pak Mijon. Sedangkan sisanya, Lava lah yang membawanya.
Selama perjalanan, hanya situasi canggung yang melingkupi mereka berdua. Tidak ada yang berinisiatif untuk membuka suara, berbasa-basi, bahkan melakukan percakapan singkat. Lava sangat berharap sekali jika ada malaikat baik jatuh di hadapan mereka dan membantu Lava memulai percakapan tanpa gugup.
Sebenarnya, apa yang membuatnya segugup ini? Padahal ia sudah terbiasa berkenalan dengan anggota ekstrakurikuler karate yang mayoritasnya kaum adam. Lantas kenapa baru sekarang ia merasa secanggung ini berhadapan dengan cowok di sampingnya saat ini?
Sampai di depan kelas 10 MIPA 9 bahkan saat cowok itu menuju pintu kelas, hendak ke luar, mereka tetap membisu.
Syahira yang melihat fenomena tersebut dari bangku Zara, mendekati Lava dengan setumpuk rasa penasaran. Tangannya menyikut lengan Lava dengan agresif. Lava sekadar menoleh sebentar, kemudian kembali memandang kepergian cowok itu dengan bermuram durja.
"Siapa tuh cowok? Gebetan baru lo?" tanya Syahira seraya menyenggol bahu temannya itu.
Lava mengembuskan napas berat. Dan Syahira mengartikan itu sebagai jawaban 'iya'. Lantas ia bersorak kegirangan mengitari tubuh Lava seraya menyanyikan reff lagu Jaz berjudul 'Dari Mata'. Seluruh pandangan mata sekejap tertuju pada kedua insan di depan kelas. Beberapa siswa bersiul-siul dan menahan tawa. Sementara yang lainnya, segera mendekati Lava dengan segudang pertanyaan serta berseru menggoda Lava.
"Lava akhirnya punya gebetan!"
"Cie, Lava. Jangan lupa PDB-nya ya ... Pajak Doi Baru."
"Gue bangga sama lo, Lav. Ternyata petuah gue selama ini diam-diam lo praktekin di kehidupan nyata."
"CIEEEE ... LAVA PUNYA GEBETAN CIE ..."
Baru saja ia tersadar dari lamunannya, Lava menoleh ke sekeliling dengan heran. Teman-temannya mengerumuni dia dengan beberapa kali menyebutkan 'gebetan'. Lalu saat matanya menangkap sosok Syahira yang mengerlingkan sebelah mata kepadanya, Lava merasa ada yang tidak beres dengan keadaan kini. Ini semua pasti ulah Syahira yang seenaknya sendiri.
"Ira ..." sungut Lava dongkol.
Syahira tertawa lebar seraya mengangkat kedua jari membentuk simbol perdamaian.
Atmosfer kontan berubah kala sepatu Oka-Sensei terdengar berderap melewati kerumunan penghuni MIPA 9. Semua murid yang melihat sosok Oka-sensei segera lari lintang pukang ke tempat duduk sebelum amarah gurunya berkobar.
"Bangkumu di mana, Lenita?"
Lamat-lamat Lava tolehkan kepalanya ke belakang dan meneguk ludah kelu. "I-iya, Sensei. Maaf."
Belum 1 menit Lava berjalan, Oka-Sensei kembali memanggil namanya.
"Fotokopi soalnya bagikan sekarang ke teman-teman kamu," titah Oka-Sensei. Ia pun berjalan ke meja guru dan mengeluarkan buku-buku tebalnya, bersiap untuk mengajar.
Akan tetapi, Lava tetap termangu di tempatnya dengan rasa gugup yang menjadi-jadi. Tangannya berkeringat dingin, bibirnya mengering, dan matanya membeliak tak percaya. Dia ingat jika belum memfotokopi lembar soal yang saat ini ia gulung dan masukkan ke dalam saku rok. Selang kemudian, kaki Lava telah berlari sekencang-kencangnya menjauhi kelas menuju ke koperasi.
"OKA-SENSEI, AKU IZIN FOTOKOPI," teriak Lava ketika telah berada di luar dinding kelas. Ia sudah tidak menyimak atau menunggu jawaban 'iya' terlontar dari mulut gurunya. Lava terlalu berkutat memikirkan nasibnya nanti sekembalinya dari koperasi.
Hari ini berhasil menjadi hari yang benar-benar buruk sekaligus penuh debaran bagi Lava.
∆ Caraka ∆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top