Bab 3 - Hampir Hilang
Penerangan remang-remang, kepala tersender di meja dengan tangan yang bergerak memelan di atas lembaran kertas memperkuat atmosfer suram di dalam kamar. Pintu terbuka, memperlihatkan Saka yang mengeringkan rambut basahnya dengan handuk merah kecil. Setelah Saka menutup daun pintu, ia menekan saklar. Lampu neon mengerjap beberapa kali lalu kembali tenang, berpijar terang. Langkah kakinya bergerak ke ranjang dan menjatuhkan diri di atasnya, melemaskan otot-otot tegang.
Lava tidak menggubris kedatangan Saka, lebih tepatnya ia memang tidak menyadari batang hidung cowok itu. Tangan kirinya tengah sibuk mencorat-coret lembar demi lembar kertas dengan sekumpulan nama yang sedari tadi terngiang di kepalanya. Siapa lagi kalau bukan nama cowok itu. Cowok yang mampu menciptakan sayap di punggungnya hingga terbang jauh ke cakrawala ketujuh. Cowok yang mampu membuat jantungnya dag dig dug laksana gendang yang ditabuh dengan ritmis cepat.
"Wan...."
Mendengar suara Saka menusuk gendang telinganya, Lava buru-buru menutup buku-nya dan menutupinya dengan seluruh tubuh. Insting kecurigaan Saka menguap hingga ke ubun-ubun.
"Kenapa ditutupin segala?" tanya Saka serta berusaha menggeser tubuh Lava yang menutupi buku tersebut.
Lava tetap keukeuh mempertahankan buku itu bahkan kini dia mendekapnya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Kedua tangan Saka beralih menggelitiki leher dan bagian bawah ketiak Lava. Gelak tak terelakkan memenuhi kamar dengan Lava yang akhirnya terjatuh dari kursi belajar, merasakan dinginnya lantai pualam.
"Len, kalau lo kayak gini gue makin curiga. Apa sih yang mau lo sembunyiin dari gue?"
"Privasi privasi," sahut Lava di tengah-tengah menahan tawa yang sedari tadi keluar dari rongga mulutnya.
Dahi Saka mengedut, alisnya berada pada posisi sejajar. "Privasi apanya?" Tangannya berhenti menggelitiki Lava. Gurat wajah Saka beralih ke mode attack. Bukan secara harfiah. Hanya saja sepasang matanya menatap nyalang Lava laksana burung elang yang menatap mangsanya, tak mengerjap sama sekali.
Tubuh Lava seperti menciut layaknya kurcaci. Kendatipun teman-temannya menjuluki dia gorila, tetap saja jika dia berhadapan dengan keluarganya terutama Saka, nyalinya menurun drastis. Kebiasaan menekuk jari-jari tangan hingga bergelemetuk tak sempat ia lakukan. Kini, ia khawatir dengan nasibnya sendiri dan memikirkan seribu satu alasan yang mampu mengubah mood Saka.
"Bang Saka musti janji dulu sama gue."
Saka hanya mengangguk sekali. Kemudian ia menyodorkan tangan kepada Lava, bermaksud membantu cewek itu bangkit dari posisi terlentang. Mulanya, Lava skeptis meraih tangan tersebut. Saka memutar bola matanya sebal dan mendesis pelan. Takut jika mood Saka kembali memburuk, akhirnya Lava meraih tangan itu. Dia terduduk di posisinya saat ini diikuti oleh Saka yang duduk melipat kaki berhadapan dengannya. Buku yang direngkuh mulai ia taruh di atas meja belajar. Tanpa penjagaan berarti.
"Jadi, gue er ... pengin kenalan sama seseorang, tapi gue nggak tau siapa nama lengkap ataupun panggilannya. Yang gue tau cuma kata 'Wan' waktu temen dekatnya manggil dia. Akhirnya, seharian ini gue mencoba nyusun nama-nama yang mungkin menjurus ke nama orang itu di buku."
"Dan seseorang itu gendernya apa? Cewek atau cowok? Atau mungkin keduanya?"
"Kalau semisal gue emang mau kenalan sama keduanya, semacam cowok lekong atau cewek jadi-jadian, gimana?"
Bibir Saka menganga lebar, memasang air muka setengah tak percaya."Kayaknya mending gausah deh, Lav. "
Lava menelengkan kepalanya dengan kedua alis yang menyatu secara horizontal. "Kenapa emangnya? Apa karna spesies homosapiens seperti mereka terlalu nyeleneh? Gue gak keberatan apalagi malu kok semisal punya kenalan atau temen kayak mereka. Seharusnya kan kita musti mencerminkan sikap dari semboyan 'bhinneka tunggal ika'. Kita juga sama-sama manusia."
Saka tampak mendengar saksama perkataan Lava, kemudian mengirimnya ke sistem saraf utama, otak, untuk diolah kembali menjadi sebuah kesimpulan bernas."Iya gue tau maksud lo. Tapi gue takut nanti hormon testosteron lo meningkat tajam dan lo berakhir jadi cewek jadi-jadian." Tawa meledak dari bibir Saka.
Lava mendengkus kesal. Cewek jadi-jadian? Itu bukanlah julukan yang tepat baginya. Cewek tomboy lebih tepat mendefinisikan karakter Lava untuk saat ini. Dan sebagai tambahan, julukan gorila yang dicetuskan Anjani, teman sekelasnya, kala emosi Lava meledak.
"Tega lo, Bang, sama gue. Perkataan sama aja doa."
Saka hanya cengengesan. "Kalau gitu, gue nggak maksa lo untuk bergaul dengan siapa pun itu. Tapi, lo harus hati-hati dalam memilih teman. Gue nggak mau aja lo terpengaruh ajakan buruk dari teman sepergaulan lo yang menyimpang."
Lava mengangkat tangan kirinya, menempelkannya pada bagian pelipis. "Siap, Pak." Saka berdeham, memperingatkan tangan kiri Lava yang seharusnya tangan kananlah untuk posisi hormat. Dengan cekatan, Lava mengangkat tangan kanannya seperti hormat, menggantikan tangan kiri yang sudah ia turunkan.
"Maaf, kebiasaan."
Suasana kembali mencair. Beberapa kelakar terlontar bersahut-sahutan. Mood Saka semakin membaik begitu pun dengan jantung Lava—yang sebenarnya sejak tadi berdegup kencang, bersiap-siap mendapat amukan besar dari Saka. Di tengah pembicaraan santai, Saka tiba-tiba terdiam.
"Lo berencana gak ikut festival bahasa dan budaya, kan, Lav?" tukas Saka sarat akan ketegasan. Bulu kuduk Lava seketika meremang kembali. Bibirnya terpaksa ia tarik ke atas dengan sepasang manik mata menatap ke Saka, bukan ke arah lain. Walaupun tak diberitahu pun, Saka tau seperti apa perangai Lava itu.
"Len, lo tau apa yang hampir hilang dari negeri kita?"
"Kepercayaan."
"Alasannya?"
"Banyak hewan pengerat yang berkeluyuran bebas di balik bayang-bayang pemerintahan Indonesia, memakan apa saja yang dirasanya dapat memuaskan diri semata, mengambil hak orang lain secara illegal tanpa peduli perasaan rakyat yang telah memberinya kepercayaan untuk memimpin.
"Lalu dengan banyaknya kasus korupsi yang merajalela saat ini, membuat publik memandang pemerintah kurang bertanggung jawab dengan amanah yang dititipkannya. Dan akhirnya beberapa masyarakat mulai angkat tangan satu per satu, tidak antusias dengan program pemerintah yang berujung kudeta sewaktu-waktu. Salah satunya seperti adanya golput pada PEMILU, kasus pemberontakan bersenjata, gerakan separatisme dan penyimpangan lainnya."
Saka terkekeh pelan. "Niat banget lo jawabnya. Tapi bukan itu jawaban dari pertanyaan gue."
"Itu kan jawaban karangan Bang Saka waktu bantu gue belajar PKN. Kalau bukan itu, terus apa?" Lava memajukan posisi duduknya, penasaran dengan jawaban Saka.
"Budaya. Alasannya cukup simpel. Unsur globalisasi yang masuk ke Indonesia, mengambil alih peran budaya daerah menjadi kebiasaan westernisasi, meniru gaya kebarat-baratan. Dampaknya cukup besar bagi budaya daerah setempat. Mereka seakan hilang satu per satu, menurun drastis dari masa kejayaannya dulu dengan generasi penerus yang enggan mempelajarinya dan melestarikannya. Semakin jelas saja dalang dibalik punahnya kebudayaan daerah."
"Gak semuanya kebudayaan daerah di Indonesia menghilang, kan? Kayak pertunjukan wayang, ludruk, dugderan, karapan sapi dan kawanannya," celetuk Lava membenahi.
Saka memanggutkan kepala mantab. "Memang. Tapi pertanyaan gue dari awal kan, hampir hilang, bukan hilang sepenuhnya."
Lava menepuk dahinya. Ia selalu saja kalah telak dari Saka. Saka terlalu piawai dalam merangkai kata menjadi sesuatu yang berbobot dan terlalu cerdik dalam menyangkal setiap pernyataan yang melenceng dari konsepnya.
Seruan wanita terdengar menggema di kamar seiring dengan derap langkah kaki yang terdengar jelas. Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita berumur tiga puluh tahun dengan beberapa rambutnya yang beruban, digelung ke belakang. "Ka, Len, yuk makan malam. Ayah juga barusan pulang dari kantor."
Mereka berdua mengiyakan perintah Nurul. Kemudian, pintu kembali menutup. Derap langkah kaki terdengar memelan. Kepala Saka kembali memutar, menatap wajah Lava.
"Jadi?" tanya Saka memanjangkan nada tanda tanya pada kalimatnya.
Lava menjawab dengan culas, "Iya, gue bakal ikut festival bahasa dan budaya."
Saka tertawa sembari mengusap puncak kepala Lava, menyemburatkan rambut hitam legam milik Lava. "Nah, gitu dong. "
Lava menatap risih. Tangannya mencoba menyingkirkan tangan Saka yang masih asyik bermain di kepalanya. "Apaan sih? Risih tau."
Gerai tawa memenuhi kamar. Air muka bahagia terpampang jelas di masing-masing wajah mereka. Baik Saka ataupun Lava, mereka sama-sama tidak menyadari akan datangnya badai besar yang menerjang, menghempas, dan mencabut hingga ke akar kebahagiaan mereka. Mereka terlena dengan masa tenang yang mereka rasakan.
∆ Caraka ∆
CIE ... CARAKA GANTI COVER NIH YE *sengaja dicapslock*
- Saka
Kayaknya caraka emang gak bisa update setiap malam minggu *malamnya para jones* :'
Entah kenapa ide suka berenti tbtb, dan pikiran suka keluyuran kemana-mana pas ngetik cerita di laptop. Aihh ... Maafkan El kalau gabisa tepat waktu update ceritanya coz ada hambatan" yang itu itu dan itu.
Krisar dan votement kalian sangat berharga bagi aku. Makasih ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top