Bab 2 - Nama
"GILE LU, NDRO."
Teriakan Lava menggema. Kumpulan murid yang berlalu lalang di koridor, sekejap langsung menoleh, menatap nyalang Lava- yang apatis dengan hujaman tatapan mereka. Lava tercengang setelah mendengar penjelasan dari Asera Indro Bakti, anggota OSIS seksi keterampilan dan kewirausahaan sekaligus teman Lava sejak SMP.
"Lo yang gila," balas Indro tak kalah sengit. Ia menunjuk-tunjuk stempel resmi sekolah pada kertas yang kini diacungkannya ke depan wajah Lava. Mulut Lava komat-kamit mengucap lirih setiap untaian kata pada kertas tersebut seraya mengerutkan dahi.
Sepasang manik mata Lava kembali menatap muka Indro. "Gak bisa ditawar lagi?"
Indro mengembuskan napas melihat air muka Lava yang begitu kentara tidak menyukai acara seperti ini setelah dirinya menganggukkan kepala. Dan bisa ditebak jika kalimat selanjutnya yang meluncur mulus dari Lava hanyalah berupa distorsi. Namun sebelum itu terjadi, Indro buru-buru menimpali, "Lo gak perlu mikirin soal kelaparan, cogan, ahjussi rasa opak, dan musik kontemporer favorit lo. Gue jamin apa yang lo pikirin saat ini, bakalan ada di acara lusa depan.
"Gak cuma lo yang disuruh datang di acara itu, tapi semua temen lo, juga semua murid kelas sepuluh sampai dua belas. Dan itu hukumnya wajib yang artinya kalau kalian gak ikut bakalan dosa."
"Gile lu, Ndro. Masak gue gak dateng, gue dapet dosa. Lo dapet teori dari mana coba," sahut Lava, sedikit terselip nada sebal di sana.
Indro menangkupkan kedua tangannya. "Gue minta tolong lo dan temen-temen lo untuk menyukseskan acara ini. Gue nggak mau acara ini mencoreng almamater kita dan buat kecewa senior kita."
Kalimat terakhir Indro seakan menohok jantung Lava. Keinginan untuk menolak pun secercah sirna. "Gue pikir-pikir dulu."
Indro mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar kala beranjak dari sana. "Jangan lupa umumin di depan kelas."
Seperti yang dipinta oleh Indro, Lava mengumumkannya di depan kelas setelah bel masuk. Berbagai reaksi unik bin ajaib memenuhi seisi kelas. Sebagian berwajah masam, tersenyum kecut, dan tidak begitu tergugah untuk menghadiri acara itu. Sebagian yang lain, melompat kegirangan, tertawa lepas, dan berteriak keranjingan. Terlalu antusias hingga mendekati istilah alay.
"Eh, Lav, boleh bawa gebetan gak?"
Lava menganggukkan kepala. Tania bersorak kegirangan, namun itu tak berlangsung lama. Ia kembali bertanya, "Tapi gebetan gue dari sekolah lain. Boleh?"
Lava bergumam mengiyakan. Sedetik kemudian, seisi kelas menahan tawa dan beberapa siswa menyeletuk, saling berbalas pendapat. Samsul yang tengah asyik mengorek hidungnya, menanggapi pertanyaan Tania, "Tan, lo tega banget sama Lava. Udah tau dia jomblo, masih aja lo tanyain masalah gitu."
Dari baris bangku belakang, Egil yang berkutat dengan tugas portofolio merangkum Kingdom Plantae ikut menimpali, "Bukan jomblo, Sul, tapi single." Tawanya kemudian.
"Lo mau gue comblangin, nggak? Gue punya temen cowok yang nggak kalah ganteng kayak gue, tapi ya dasarnya masih gantengan gue sih," celetuk Samsul sembari menyingkap poni rambutnya ke belakang dan menaik-turunkan kedua alis.
Para kaum hawa di kelas ini, seketika menatap Samsul jijik dan bahkan ada yang berakting seperti ingin muntah. Lava berdeham, membasahi tenggorokan keringnya serta memasang tampang bersahabat. "Sul, Eg, lo belum pernah tau rasanya digampar bangku, ya?" Senyum Lava semakin melebar saat langkah kakinya mendekat ke bangku Samsul dan Egil. Kedua tangannya ia satukan, hingga menimbulkan bunyi retakan tulang yang menyayat gendang telinga.
Samsul dan Egil bergidik ngeri. Tubuhnya mematung di tempat layaknya manekin. Mereka bersamaan meneguk saliva kelu. Ini dia, gorilanya kelas MIPA 9, Lava. Suasana semakin mencekam, bahkan tidak ada seorang pun yang nekat berkutik sekalipun ketua kelas. Hingga akhirnya, Pak Mijon mengucapkan salam pembuka, memadamkan aura menyengkak yang menyeruak di dalam kelas. Semua murid termasuk Lava terlonjak kaget dan lari berduyung-duyung menempati bangku masing-masing.
Proses belajar mengajar berjalan semestinya. Pak Mijon bersemangat-lebih tepatnya terlalu bersemangat-mengeluarkan sekumpulan soal-soalnya mengenai materi Kingdom Plantae. Perkara tadi seakan menghilang begitu saja di hati Lava. Rasa dongkolnya ikut berangsur lenyap seiring tergantikan dengan ketegangan kala ditunjuk oleh Pak Mijon untuk menyebutkan ciri-ciri byrophyta, pteridophyta, dan spermatophyta secara lisan.
Lima menit sebelum bel istirahat berbunyi, Pak Mijon menyuruh ketua kelas mengumpulkan lembar portofolio Kingdom Plantae di mejanya. Salam penutup dari Pak Mijon seakan membuat para murid terbebas dari kungkungan terungku. Mereka mengembuskan napas berat karena merasa telah berhasil melewati situasi dimana mereka menang melawan final boss di game super mario bros.
Samsul dan Egil segera hengkang dari kelas demi menghindari amukan Lava.
Syahira mencolek pundak Lava berulang kali. "Lav, anterin gue ke toilet, ya?" pintanya.
Lava yang sibuk memasukkan alat tulisnya ke dalam tempat pensil, menanggapi tanpa menoleh, "Ir, di toilet sekolah kita gak ada hantu gentayangan. Buat apa lo minta gue anterin, kalau ujung-ujungnya cuma lo yang buang hajat?"
Syahira mendengus kesal. Sebuah bohlam lampu muncul di atas kepalanya. Ia rengkuh tubuh Lava dari belakang, menggelayutinya laksana koala, walaupun Lava telah berjalan menjauhi bangkunya. Dekapan Syahira semakin mengerat hingga akhirnya langkah kaki Lava terhenti di depan pintu kelas.
"Ir, lo mau dikira kita lesbi, ya?" ujar Lava risih. Syahira tetap keukeuh, tanpa mau merenggangkan seinci pun dekapannya pada tubuh Lava. Ia menunggu Lava terpaksa mengiyakan pintanya, apapun yang terjadi.
Beberapa menit kemudian, Lava mengembuskan napas pasrah. "Yaudah, ayo. Tapi setelah itu lo kudu nemenin gue ke kantin." Syahira bersorak kegirangan seraya meninju kepalan tangan ke udara.
∆ Caraka ∆
"Udah belum, Ir?" seru Lava dari arah luar bilik toilet sambil menyenderkan tubuh ke tembok berubin dan mengecek pesan yang masuk di HP-nya. Dari balik bilik toilet, terdengar bunyi riuh air. Tidak lama kemudian, Syahira muncul dari balik bilik seraya merapikan kemeja dan tatanan rambutnya.
"Udah puas?" tanya Lava setengah bergurau. Syahira mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar.
Suasana kantin sangatlah gegap gempita selalu. Celotehan murid-murid yang mengiang di telinga bagai sekumpulan lebah, derap langkah kaki yang bergesekan dengan lantai, tawa lantang menguar, suara gemeletuk gigi bertabrakan kala menikmati santapan, genjrang-genjreng gitar di sudut kantin menciptakan euforia serta kebisingan yang semakin menjadi-jadi.
Seperti biasa, Lava memesan nasi pecel Bu Kolis seporsi. Namun di kepalanya terselip perkataan Syahira sebelum ia kemari. "Gue juga, nasi pecelnya seporsi, tapi jangan pakai sayur." Begitulah katanya.
"Bu Kol, nasi pecelnya tambah satu, tapi yang ini gak pake sayur."
"Nggih, Nduk."
"Bu Kol, ini uang nasi pecel kemarin. Tiga porsi, delapan belas ribu."
Familiar. Kesan pertama yang ditangkap gendang telinga Lava. Ia menolehkan kepala segera dan terlihat jelas di lensa matanya terbias wajah siswa itu. Siswa yang menjadi kiper pada permainan sepak bola kemarin sore.
"Wan, buruan. Keburu bel masuk."
Kepala Lava otomatis bergerak mengikuti sumber suara. Merasa namanya dipanggil, siswa di samping Lava segera hengkang dari lapak Bu Kolis, menghampiri temannya yang menyeka keringat. Mata Lava terhipnotis untuk terus menatap sosok yang diketahui Lava memiliki nama "Wan" itu. Yah ... walaupun hanya satu kosakata saja yang didapatkan Lava, namun itu sudah cukup baginya. Sudah cukup membuatnya tersenyum cukup lebar.
"Kurang 20 menit lagi istirahatnya. Ngapain buru-buru?"
"Yah lo tau kan, Wan, gue belum ngerjain PR-nya Misis Killer. Bisa mati muda gue kalau kena amukannya Misis Killer."
"Makanya lain kali kalau ada PR, dikerjain di rumah bukan di sekolah."
Semakin punggung mereka bergerak menjauh, semakin pula suara mereka terdengar sayup-sayup dan lenyap diterkam oleh puluhan suara lain. Dua piring nasi pecel terbentur lengan Lava. Pandangan matanya kembali ke hadapan Bu Kolis yang senantiasa bersabar memegang dua piring tersebut sejak tadi. Lava merogoh uang dari saku kemejanya, menyerahkan selembar uang sepuluh ribu-an dan selembar uang dua ribu-an.
"Bu Kol, pinjam nampannya sekalian, ya...."
Bu Kolis menyodorkan nampan plastik. "Ini, Nduk."
"Makasih ya, Bu Kol."
Sebuah nampan dengan dua piring nasi di atasnya terhidang pada meja kayu persegi panjang yang berada di tengah bagian kantin. Syahira tidak menyadari keberadaan nasi begitupun Lava di dekatnya. Kedua matanya menyipit kala menatap laptopnya, mengerjakan power point tugas prakarya amat serius.
"Makan siang Anda sudah tersaji, Nyonya Ira."
Tubuh Syahira berjengit sekilas, kemudian terkekeh-kekeh mendengar perkataan Lava barusan. "Lama banget, Lav. Betah banget gosip bareng Bu Kol."
"Lo aja yang cukup kayak gitu. Gue gak tertarik sama hal begituan. Gak berfaedah dan buang-buang waktu."
Syahira mengibaskan tangannya. "Halah ... pake acara gak tertarik segala. Inget! Pas kita gosipin cogan, lo yang paling antusias," tunjuk Syahira.
Lava memamerkan deretan gigi putihnya sambil mengangkat sendok. "Kalau cogan, kudu nomer satu."
Syahira geleng-geleng kepala. Tangannya meraih sepiring nasi pecel dan menyantapnya diselingi mengetik keyboard laptop secara brutal. Tanpa memandang lawan bicaranya, ia bertanya, "Oh ya Lav, lo ikut festival bahasa dan budaya, nggak?"
"Gue positif gak ikut."
Hampir saja Syahira menyemburkan isi makanannya, jika saja ia tidak menutup mulut. Lava hanya mengernyitkan dahi dengan mulut menganga seolah-olah ia mengatakan "Ini anak waras?". Tangan Syahira bergerilya mencari segelas minuman, namun dia tidak menemukannya dan menyesal lupa menitip ke Lava untuk membelikannya pemuas dahaga. Ditelannya pelan-pelan isi makanan yang telah halus bercampur enzim amilase ke kerongkongan.
"Positif? kayak orang hamil aja." Omongan Syahira terhenti sebentar, kemudian kembali dilanjutkan dengan pekikan kaget. "LO WARAS, LAV?! LO GAK TAKUT DIMARAHIN WAKA KESISWAAN KALAU LO GAK IKUT? "
Beberapa pandangan mata sempat terfokus ke Syahira, lalu mereka bersikap masa bodoh dan melanjutkan aktivitasnya kembali. Lagipula, dibanding suara Syahira, lebih terdengar jelas suara murid bersahut-sahutan seperti dengungan lebah. Tidak ada efeknya. Saat di kantin, kalian boleh saja berteriak sekencang-kencangnya, menjerit sesuka hati, bersorak kegirangan, menyanyi-dengan suara fals. Tidak ada yang bisa menyalahkan dan disalahkan di sini. Toh, semuanya juga bersikap sama seperti itu dan kantin juga merupakan fasilitas umum. Semua orang bisa mengekspresikan dirinya di sini secara bebas-tanpa adanya aturan khusus-setelah penatnya kegiatan belajar mengajar.
"Idc. Jadwal gue padet di rumah," jawab Lava seadanya, seolah tak terpengaruh dengan teriakan Syahira barusan.
Syahira memonyongkan bibirnya lima senti ke depan. "Ih lo kejam banget sama gue, Lav. Gue kan jadi gak ada temennya." Ia menyendokkan sesuap nasi bercampur bumbu pecel tanpa sayur ke dalam mulutnya, mengunyahnya lamat-lamat sembari memanyunkan bibir, berharap Lava peka dengan perasaannya saat ini.
Akan tetapi, Lava hanya mengedikkan bahu dan melanjutkan santapan makanannya. Berbagai perihal berkecamuk di dalam kepala Lava. Dia berupaya merangkai kosakata yang hilang dari nama cowok tersebut. Tidak mungkin kan jika nama pendeknya hanya "Wan" saja.
Marwan. Sawan. Samarwan. Rawan. Rowan Atkinson. Wanto. Wandi. Wawan.Wanjai. Wani piro. Wan....
Beberapa nama tersebut berputar-putar di kepala Lava dan masih banyak lagi. Sementara Syahira, setelah Lava tidak menggubris lagi pernyataannya, ia kembali memikirkan nasib tugas prakarya yang baru setengah jadi dengan sesekali mengusap wajah kasar, frustrasi.
∆ Caraka ∆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top