Bab 1 - Dia
Derap langkah kaki mengisi koridor yang telah lengang sejak sejam yang lalu. Hanya tersisa beberapa murid yang sekadar bersendau gurau, berpacaran, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, maupun kerja kelompok. Di koridor deretan kelas 10 sebelah lapangan olahraga, seorang siswa berseru kepada siswi di belakangnya yang memperlambat laju langkah kakinya.
Lava, begitulah orang- orang memanggilnya. Bagi sebagian orang yang tidak mengerti panggilan siswi itu, pasti berpikiran aneh karena lava tentunya identik dengan letusan gunung berapi. Sangatlah menyimpang dan tidak selaras untuk dijadikan nama panggilan. Akan tetapi, Lava apatis mengenai nama panggilannya.
Dan jika saja ada yang bertanya mengapa Lava mau saja dipanggil dengan nama panggilan itu, ia selalu menjawab, "Mau gue dipanggil apa aja, kalau gue ya gue. Gue gak akan berubah cuma karena nama panggilan gue aneh dan gak sinkron sama nama panjang gue."
Lava tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya kala siswa jangkung di depannya melontarkan kelakar sederhana. Siswa yang semula di depan Lava ikut memelankan laju langkah kakinya, menyejajari posisi Lava. Diraihnya puncak kepala Lava lalu ia usap berkali-kali hingga anak-anak rambut mencuat dari kunciran ekor kuda Lava.
"Resek ah, Bang Saka," omel Lava bersamaan dengan tangannya yang mencoba menyingkirkan tangan Saka di puncak kepalanya. Saka hanya tersenyum simpul melihatnya.
"Lo lelet banget sih, Len. Masa gue udah lari keliling lima kali, lo baru selesai lari keliling tiga kali," ledek Saka seraya mempererat sabuk cokelat yang melingkar di pinggangnya.
Lava menyanggah tak terima, "Bukan gue yang lelet, tapi emang dasarnya Bang Saka gesit, ya mau gimana lagi." Saka menaikkan sebelah alisnya. Tidak ada angin ataupun hujan, ia menarik paksa ikat rambut Lava hingga helaian rambutnya ikut terjambak dan masuk ke sela-sela jari Saka. Sempat terdengar pekikan keluar dari mulut Lava. Dengan kesadaran penuh Saka memacu adrenalinnya, memperlebar setiap langkah yang dia ambil demi menghindar dari pukulan Lava. Lava tertinggal jauh di belakang, namun cewek itu tetap berupaya mengejar Saka dengan nafas terengah-engah dan mengumpat tertahan.
Badan Saka bergerak menyamping, serong ke kiri untuk menatap Lava di belakang sana."KALAU LO BISA NANGKAP GUE, GUE JANJI BAKAL TRAKTIR LO MAKAN NASI PADANG SEPUASNYA. GRATISS."
Mendengar kata "gratis" mengiang di gendang telinganya, Lava semakin semangat. Di dalam bola matanya seakan-akan memantulkan pemandangan gunung meletus seperti halnya pada film-film kartun. Ia semakin mempercepat laju tanpa memedulikan rasa sesak pada dadanya. Satu-satunya yang ia raih saat ini adalah badan Saka. Apabila Lava berhasil menangkap Saka, ia berimajinasi tentang berbelas lauk nasi padang beserta minumannya terpajang di depannya secara siaran langsung. Hatinya serasa berdangdut ria di dalam sana, merasakan gejolak euforia berlebihan di dalam raga dan jiwanya.
Lava bersorak kegirangan,"DEAL."
Saka berbalik menghadap ke depan setelah mendengar persetujuan Lava. Tak henti-hentinya Saka menahan tawa akibat kebodohan Lava yang mau saja mengikuti permainan kecilnya. Cewek itu bahkan mudah sekali dirayu hanya dengan nasi padang -yang memang makanan kesukaannya- dan kini ia terjebak oleh tipu daya Saka.
Dari arah kejauhan, Dani berteriak memanggil nama Saka. "Alig ya, lo. Kasian tuh cewek. Tiap hari lo godain pake iming-iming nasi padang. Anak orang dia, Ka," sungut Dani setelah Saka berada di sampingnya.
Saka hanya terkekeh. "Dia kan emang anak orang. Yakali dia anak batu."
Dani mengibaskan tangannya di depan wajah Saka."Jayus jayus. Lain kali kalau lo ngelawak jangan di samping gue." Saka mengernyitkan dahi. "Kenapa emangnya?"
Dani mengacungkan kepalan tangannya. "Ini penyebabnya. Tangan gue selalu lepas kendali waktu lo ngelawak." Suara tawa membahana menggema di koridor yang lengang, kemudian tak terdengar kembali dan tergantikan oleh ekspresi datar. "Selamat ya, Dan. Lo emang calon pelawak," ujar Saka datar.
Dani mendesis tajam, "Entah kenapa, gue malah makin pengin bogem wajah lo, Ka."
Di sisi lain, langkah kaki Lava terhenti. Ia mematung di tempatnya dengan kedua matanya menatap ke arah lapangan olahraga. Ditelisik dari badge kelasnya, keenam siswa yang saat ini tengah bermain sepak bola masihlah sebaya dengan Lava.
Tiga siswa berpakaian seragam batik bernuansa hijau pupus yang sengaja dikeluarkan. Tiga siswi lainnya melepas seragam batik digantikan oleh kaos. Teriakan bersahut-sahutan terdengar dari berbagai arah. Pemain lawan berusaha merebut bola dari kaki siswa berpakaian kaos yang dengan santai menggiringnya hingga ke lini depan. Tendangan keras meluncur mulus dari salah satu siswa berpakaian kaos dan menyebabkan bola sepak terbentur kawat pembatas lapangan begitu tidak masuk ke dalam gawang.
Kiper dari kubu berpakaian seragam batik cepat-cepat mengambil bola tersebut. Secara kebetulan wajah kiper itu menghadap ke arah Lava yang kini menegang di tempatnya. Tatapan mereka saling beradu. Sepersekian detik setelahnya, wajah Lava merona selepas siswa tadi tersenyum simpul ke arahnya. Beribu-ribu kupu-kupu seakan menggelitik perut Lava dan berusaha keluar dari sana.
Pada waktu yang sama, di tempat yang sama, Saka menatap lengkungan bibir Lava yang membentuk senyuman lebar. Dani yang ikut melihatnya hanya menepuk pundak Saka berulang kali.
"Gue seneng dia bisa senyum kayak gitu lagi," ucap Saka lirih.
Kedua bola mata Lava masih terpaku menatap si kiper permainan sepak bola sore ini. Ia menikmati setiap pergerakan pemain dalam permainan "sepak bola tanpa peraturan" dengan mata berbinar apalagi saat Lava menatap intens si kiper. Jantungnya berdetak seribu kali lebih cepat dari biasanya.
Suara seruan mengalihkan pandangan Lava dari tengah lapangan kepada Dani. Dani menyuruh Lava untuk segera melanjutkan lari kelilingnya. Lava mengiyakannya, namun rasanya berat saat meninggalkan posisinya saat ini. Posisi strategis untuknya mengamati setiap gerak tubuh si kiper. Kini giliran Saka yang memanggil Lava.
Lava melirik sekilas. Selang beberapa detik kemudian, ia membuka mulutnya lebar. ia ingat jika Saka masih memiliki hutang mentraktirnya nasi padang setelah berhasil menangkap dia. Semangat Lava kembali berkobar lantas ia menambah laju larinya. Saka yang menyadari bahwa semangat Lava kembali seperti sedia kala, beranjak pergi dari sana. Akan tetapi, sebuah kaki menjulang di depannya dan menyebabkan badannya terjungkal ke depan.
"Kapok. Gimana rasanya nyium ubin?" ledek Dani seraya tertawa puas. Saka bangun dari posisi tengkurapnya seraya mengusap-usap lengannya yang digunakan untuk tumpuan saat jatuh. Dia tersenyum miring. "Resek banget lo. Gak tanggung-tanggung kalau ngejahilin gue."
Lava yang telah mendekat, segera menjatuhkan dirinya ke badan Saka dengan tangan terentang seraya berteriak, "GOTCHA." Saka yang tak siap, hanya pasrah saat punggungnya terbanting cukup keras ke ubin. Kedua tangannya mendekap badan Lava dengan erat.
Saka memicingkan matanya masih dengan posisi badan terlentang lengkap di atasnya Lava menjadikan dadanya sebagai bantal. "curang lo berdua," timpal Saka tak terima. Dani dan Lava hanya tertawa terbahak-bahak.
Mereka merasa tak tertandingi. Diacungkannya telapak tangan ke Dani, berniat melakukan high five yang biasanya mereka lakukan saat berhasil mematahkan setiap alur permainan Saka. Dani tersenyum samar, kemudian ia berjongkok menghadap Lava dan membalas high five itu.
Sepulang dari latihan ekstrakurikuler karate di sekolah, Saka memenuhi janjinya. Tanpa segan-segan, Lava memesan dua porsi nasi padang dengan beragam lauk-pauk. Saka yang melihatnya, menggaruk-garuk kepala yang tak gatal lalu memeriksa isi dompetnya. Memastikan uang yang dibawa cukup untuk membayar pesanan. Bila saja uangnya tidak cukup, Saka berpikir untuk pergi dari sini dengan trik picisan seperti di dalam film-film yakni izin ke toilet kepada Lava. Kedengarannya terlalu dramatis memang.
Tatapan matanya kembali terfokus ke Lava yang kini memasukkan sesuap nasi bercampur gulai daun singkong dilanjut dengan menggigit gorengan paru-paru sapi yang renyah di mulut. Satu tegukan membasahi tenggorokan kering Saka. Perutnya berkeruyuk, meraung-raung untuk segera diisi.
"Lo tega sama gue, ya?"
Lava tetap melanjutkan menyeruput jus alpukatnya dengan rileks, menjilat area sisa bumbu-bumbu pada bibirnya dan kembali memakan gulai kepala ikan kakap merah.
"Woi, Len."
Jari-jari tangan Lava tetap beradu di atas piring, merubah jalur dari gulai kepala ikan kakap merah ke peyek udang. Menggerogotinya hingga habis tak bersisa. Omongan Saka sama sekali tidak digubris, dipandang pun tidak. Beribu anak panah terasa bergerak melesat masuk, menembus jantung Saka hingga sistem pernapasan tidak berjalan semestinya. Sebuah bohlam lampu tiba-tiba saja muncul dengan sendirinya di kepala Saka.
Saka beranggapan jika dengan lisan Lava tidak mengacuhkannya, yang perlu ia lukakan hanyalah bertindak. Selagi Lava masih sibuk dengan makanannya, Saka mengambil jus alpukat, menyeruputnya hingga tetes terakhir lalu menggesernya ke tempat semula.
Saat Lava tersedak, ia buru-buru memegang sedotan jus alpukat, menyeruputnya seperti biasa. Akan tetapi, tidak ada cairan apapun yang masuk ke tenggorokannya.
"Makanya kalau gue ngomong jangan dianggurin." Lava membuka mulutnya untuk meminta ganti jusnya secara persuasif, namun segera disela oleh Saka, "Gue cuma bilang traktir nasi padang, bukan buat yang lain."
Skakmat.
Lava urung mengatakannya, membungkam mulut rapat-rapat dan sibuk menghentikan batuknya. Perkataan Saka memang benar adanya. Sejak awal, cowok itu tidak berniat mentraktir semua menu yang ia pesan. Lava mendengus kesal, mengingat perkataan Saka tadi sore.
Setelah terbatuk beberapa kali, Lava kembali berujar, "Bang, lo tau nggak cow-"
"Nggak. Yaudah kuy cabut. Makanan lo udah raib, magrib juga udah mau lewat. Lo belum solat, kan?" sela Saka seraya berdiri dari kursinya. Hanya gumaman lirih yang terhasilkan dari pita suara Lava.
∆ Caraka ∆
Jadi, ini versi revisi caraka, tapi aku gak langsung update banyak karena ya begitu. Sebenernya aku punya projek lain selain ini, tapi karena aku tipe bosenan sama suatu hal, aku sering meracik banyak cerita.
Mohon kritik dan sarannya. Setiap satu saran, bisa berharga bagi aku untuk mendorong daya semangat menulisku. Makasih ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top