Akasia Kuning (Cerpen)

Detik jam yang menggantung di dinding kamar berdetak, menemani aku yang sudah beberapa kali berdecak. Sedari tadi aku sibuk dengan bolpoin juga beberapa lembar kertas, mencoba menulis puisi yang sayangnya belum berhasil tercipta.

Aku mencintaimu dalam diam, dalam senyap yang tak pernah mampu terucap. Aku mencoret tulisan yang baru saja aku buat, meremas kertasnya lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di sampingku. Sudah satu jam hal itu berulang kali aku lakukan.

Pada rasa yang kini tengah menyiksa, tolong minggat secepatnya. Ah! Lagi, aku melakukan hal yang sama pada kertas kesekian yang sudah aku isi dengan tulisan. Mengapa kali ini rasanya begitu sulit untuk membuat puisi? Setelah merasa lelah, aku merebahkan diri di atas kasur dengan mata yang terpejam. Sial sekali, walaupun mata ini telah memejam kenapa masih dia yang terbayang?

Akhirnya aku memilih menegakkan badan, duduk kembali untuk menyelami pikiran. Bayangan wajahnya juga momen saat bersamanya yang terlintas diingatan mampu membuatku menemukan kata-kata yang pas sebagai gambaran perasaan.

___

Aku ingin bercerita
Lewat aksara yang aku cipta
Tentang Tuan, yang kini tengah aku damba.

Ada yang diam-diam mengharapkan Tuan di sini
Ada yang sudah lancang menyebut nama Tuan untuk diperbincangkan dengan tuhan.

Iya, itu aku. Si pengagum tidak tahu diri.

Tugasku di sini hanya mencintai, tidak mengharap lebih untuk balas di cintai. tetapi, jauh di dalam hati aku ingin memiliki.

"Gimana Bin, bagus gak puisinya?" Aku menatap lelaki di hadapanku dengan perasaan tak karuan, tanganku dingin. Belum lagi keadaan jantungku yang berdetak tidak normal. Aku menanti jawabannya, berharap dia peka akan puisi yang baru saja selesai ia baca.

Dia mengangkat pandang dari layar laptop, beberapa saat ia diam sambil menatapku. "Bagus, puisinya buat siapa?"

Aku menghela nafas. "Puisi itu buat lo Bintang, buat lo." Aku membatin. "Buat kebutuhan naskah." Tetapi hanya kalimat itu yang mampu terucap.

Bintang mengangguk mendengar ucapanku. Hal itu membuat aku kecewa karena sepertinya ia sama sekali tidak menyadari maksud dari puisi yang aku buat. Kalau aku mencintainya, aku ingin dia tahu akan hal itu, tanpa harus aku bicara. Iya, aku tidak menuntut balasan karena aku tahu dia telah memiliki seseorang yang dia sayang. Tetapi se-engganya, kalau dia tahu perasaanku dia bisa memilih mau membalasnya atau tidak.

"Rasi, buatin gue kopi dong," ujar Bintang sambil menyerahkan laptop kepadaku.

"Males ah, lo pesan aja." Aku fokus menatap layar laptop, mood-ku sudah hancur sekarang.

"Gue pengen lo yang buat." Bintang menarik laptop dari hadapanku. "Gue gak suka, kalau lo ngacangin gue kalau lagi nulis."

Aku berdecak pelan. "Lo, kan tahu Bin, kalau gue lagi berusaha nyelesain nulis novel," ujarku setengah kesal. Aku memang ingin menjadi seorang penulis, sudah beberapa bulan ini aku bergulat dengan naskah yang belum terselesaikan. Setelah naskah pertamaku selesai nanti, aku berencana untuk mengirimnya ke penerbit.

"Iya, Ras. Gue tahu. Tapi buat apa gue ke sini kalau lo cuma fokus sama layar laptop?"

Aku menutup laptopku. "Iya, gue buatin kopi sekarang." Aku melenggang pergi dari hadapan Bintang. Aku dan Bintang sedang berada di kedai kopi sederhana milikku. Setelah lulus SMA setahun yang lalu, aku memilih untuk langsung bekerja. Memulai usaha kecil dengan modal bantuan dari kedua orang tuaku. Alasanku membangun kedai kopi karena minuman satu itu banyak disukai, bahkan sudah menjadi candu bagi sebagian orang. Lain halnya dengan Bintang, dia sedang kuliah semestar empat. Dia selalu mengunjungiku ke kedai untuk menikmati secangkir kopi buatanku. Aku dan Bintang sudah cukup lama berteman, dia kakak kelasku waktu SMA. Bisa berteman dengannya adalah suatu kebetulan, karena dulu kami tergabung dalam satu organisasi yang sama.

"Nih kopinya." Aku meletakkan pesanan Bintang di atas meja.

"Thanks," ujarnya diiringin senyuman.

"Hmm." Aku hanya mengguman, lalu duduk di depan Bintang. Diam-diam aku menatapnya yang sedang menyesap kopi itu secara perlahan. Bintang mendongak, dia membalas tatapanku. Sering sekali ini terjadi, dan selalu saja aku yang lebih dulu membuang pandang.

Bintang berdehem. "Udah satu minggu, Lala gak ngabarin gue sama sekali." Bintang mulai bercerita.

"Kok gitu?"

Bintang mengedikkan bahu. "Mungkin dia bosan sama gue."

"Hubungan lo sama Lala itu apasih? Pacaran?" tanyaku yang sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan keluar dari mulut Bintang.

"Gak ada hubungan apa-apa."

"Wajar aja dia gak ngasih kabar sama lo, orang kalian gak ada hubungan apa-apa. Kok lo ribet sih? Seharusnya lo gak usah bingung sama hal itu. Ngapain juga dia ngasih kabar sama orang yang bukan siapa-siapanya dia." Aku sengaja menekan kalimat 'bukan siapa-siapa' biar Bintang sadar status hubungannya dengan Lala.

Bintang mendesah pelan. "Tapi ini beda Ras, ah susah ya jalin hubungan tanpa status. Gue gak ada hak apa-apa atas dia."

"Nah, itu lo tahu. Cewek itu butuh kepastian."

"Lo, kan tahu kalau gue gak pengen pacaran, sama kayak lo." Bintang kembali meneguk kopinya yang tinggal setengah.

"Tinggalkan atau halalkan, itu pilihannya!" ujarku sambil bersedekap dada.

Bintang tertawa. "Sok banget lo."

Aku menegakkan punggung. "Benar kali apa yang gue bilang. Oh iya, Lala tahu gak kalau lo gak pengen pacaran?"

Bintang mengangguk.

"Terus?"

"Dia bilang jalanin aja."

"Yaudah, jalanin aja berarti." Aku kembali membuka laptop untuk meneruskan aktifitas menulisku yang sempat tertunda. "Gue mau lanjut nulis lagi," ujarku.

"Gue mau balik sekarang deh," ujar Bintang setelah melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Semangat terus nulisnya, biar novel lo cepet selesai."

"Pasti dong! Hati-hati pulangnya," pesanku sebelum ia beranjak.

"Iya." Bintang menepuk puncak kepalaku sekali sebelum keluar dari kedai.

Aku menatap sosok Bintang yang semakin menjauh. "Kita saling mencintai, Bin. Gue cinta sama lo sedangkan lo cinta sama dia." Aku terkekeh kecil mendengar ucapanku sendiri, seakan kalimat itu terdengar lucu.

___

Aroma kopi menyapa indra penciuman ketika aku memasuki kedai. Mataku menelisik seisi ruangan, hanya ada beberapa orang yang sedang menikmati kopi pagi ini. Aku menempatkan diri di salah satu kursi paling pojok, tempat biasa aku duduk.

"Zi, buatin gue caphucchino dong." Aku menatap Zia yang baru saja mengantar pesanan pada pelanggan. Perempuan bertubuh tinggi itu adalah sepupuku yang membantu aku di kedai ini.

"Males, buat sendiri aja." Zia menatap malas ke arahku.

"Ayolah, Zi, gue lagi mager banget nih." Aku memasang wajah mamelas.

Zia menghela nafas. "Iya, iya," ujarnya setengah terpaksa.

Aku tersenyum. "Makasih."

Zia pergi begitu saja tanpa membalas ucapan terima kasihku.

Tak perlu waktu lama Zia datang mengantar pesananku, meletakkan segelas caphucchino di atas meja.

"Gue kebelet, lo anterin pesanan ini ke meja itu ya." Zia mengarahkan jari telunjuknya ke satu arah, lalu menyerahkan nampan yang di atasnya terdapat dua gelas moka ke padaku.

Aku berdiri, menyambut nampan yang diserahkan Zia lalu mengantarnya ke meja yang Zia tunjuk tadi.

"Kopi dong."

Aku tersentak ketika seseorang menepuk pundakku. "Bintang, ish, ngagetin gue aja tahu gak." Aku berdecak, Bintang tertawa.

"Kopi," ujarnya lagi.

"Iya," ujarku membuat Bintang tersenyum.

"Anak pintar." Bintang menepuk pelan puncak kepalaku sebelum aku berlalu. Iya, itu adalah kebiasaan yang selalu ia lakukan kepadaku. Dan, aku suka akan hal itu.

"Katanya mager, kok sekarang bikin kopi?" Zia langsung menodongku dengan pertanyaan ketika aku menghampirinya yang sedang membuat kopi.

Aku mengambil gelas, tak berniat menjawab pertanyaan Zia.

"Pasti buat Bintang, lo suka ya sama dia?"

"Apasih Zi." Aku berlalu meninggalkan Zia, setelah selesai dengan aktifitasku.

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Ras!" Zia meneriakiku tetapi aku memilih untuk tidak peduli.

"Bagus, kan bunganya?" Aku meletakkan pesanan Bintang, lalu menarik kursi untuk aku duduk.

Bintang mengangguk. Pandangannya masih fokus ke luar jendela, menatap bunga kecil berwarna kuning yang menggantung di atas pot.

"Lo tahu gak filosofi dari bunga akasia kuning itu ?" tanyaku ikut memerhatikan bunga yang kemarin sore sengaja aku gantung di sana.

Bintang menatapku. "Apa?"

"Cinta rahasia, cinta yang terpendam," Aku balas menatap Bintang.

"Gue baru tahu, loh. Lo tahu dari mana? Google pasti." Bintang terkekeh, setelahnya ia menyesap segelas kopi di hadapannya.

Aku ikut menyesap caphucchino milikku yang sudah mulai dingin. "Iya," ujarku diiringi tawa.

"Lo pernah mencintai dalam diam gak?"

"Pernah, bahkan sekarang gue diam-diam mencintai lo, Bintang."  Batinku berucap lirih. "Pernah lah," ujarku.

"Sama siapa?" Bintang terlihat ingin tahu.

"Sama......." Aku sengaja menjeda ucapanku, melihat reaksi Bintang yang kini menatapku dengan penasaran. "Ra-ha-si-a." Aku tertawa ketika melihat Bintang mendengus mendengar jawabanku.

"Gak seru lo!"

Aku berdehem, mencoba mengalihkan pembicaraan. Jantungku sedikit bermasalah ketika membicarakan topik mencintai dalam diam. "Lo gak kuliah?"

Bintang menghidupkan ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang. "Satu jam lagi berangkat, sebelum gue ngampus kita jalan dulu yuk."

"Kemana?"

"Deket sini aja, ke taman mau gak?" Wajah Bintang tampak antusias.

"Boleh." Aku meneguk minumanku hingga tandas lalu berdiri ketika Bintang sudah berdiri.

Sebelum pergi aku pamit terlebih dahulu pada Zia.

Sepanjang jalan menuju taman, aku dan Bintang berbincang ringan. Kurang lebih sepuluh menit berjalan kaki, kami sampai di taman lalu memilih duduk di sebuah ayunan.

"Gimana hubungan lo sama Lala?"

Seperkian detik Bintang diam, kemudian menjawab. "Gue udah relain dia buat cari kebahagiaan sama orang lain."

Entahlah, rasa senang menyusup di hatiku ketika mendengar jawaban Bintang barusan. "Merelakan lo bilang? Merelakan siapa? Orang asing?" Aku terkekeh. "Bin, kayak apa sih rasanya kehilangan bahkan sebelum lo bisa memiliki?" Aku menatap Bintang.

"Omongan lo nyelekit banget sih Ras." Bintang mendelik ke arahku. "Rasanya ya? Emm ya gitu," ujarnya tidak jelas.

"Ya gitu gimana? sakit sedikit kayak dicubit?" Aku mendorong kakiku ke tanah agar ayunan yang aku duduki bergerak.

"Cubit mah gak sakit, kecuali kalau cubitnya kayak gini." Bintang mencubit pipiku cukup keras membuat aku memakik lalu memukul kesal pundaknya.

Bintang tertawa.

"Sakit tahu gak." Aku menggosok-gosok pipiku.

"Sakit mana sama di tinggal pas lagi sayang-sayangnya?"

"Ye bucin lo!" Lagi-lagi aku memukul pundak Bintang.

Sesaat suasana menjadi hening, aku dan Bintang sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Ras."

"Ya?"

"10 tahun yang akan datang, kira-kira apa yang terjadi ya sama kehidupan kita?" Bintang menatap ke depan, pusat pandangannya tertuju pada beberapa anak kecil yang sedang asik bermain.

"Jangan kan 10 tahun ke depan. 1 menit setelah sekarang aja kita gak tahu apa yang terjadi."

Bintang berdecak. "Mengira-ngira aja Ras."

"2 tahun ke depan aja deh, kalau 10 tahun terlalu jauh," ujarku. "Nah, kira-kira apa yang akan terjadi 2 tahun ke depan tentang gue juga lo?" Aku balik tanya.

"Dua tahun ke depan ya?" Bintang tampak berpikir. "Mungkin, kita akan tinggal satu rumah."

"Hah?" Keningku berkerut, apa maksudnya?

"Iya, tinggal satu rumah. Gue majikan lo pembantu." Bintang terbahak, aku cemberut.

"Gak ada yang gak mungkin, kan?" tanya Bintang.

"Terserah." Ketusku.

2 tahun ke depan, kita akan tinggal satu rumah. Bukan sebagai majikan dan pembantu, tetapi sebagai dua orang yang telah menjalin hubungan dalam ikatan suci pernikahan. Semoga.

____

Itu adalah kisahku, di saat seorang Rasi masih memandam rasa cintanya untuk Bintang. Sekarang, aku sudah tak lagi memendam karena Bintang sudah berada dalam dekapan. Iya, harapanku untuk bisa satu rumah dengannya di kabulkan oleh Tuhan.

"Aaaaa, buka mulutnya."

Aku menerima suapan dari Bintang, mataku fokus menatap layar laptop sementara jemariku asik menari di atas keyboard.

"Nih, minum dulu." Bintang menyodorkan segelas air putih ke arahku.

"Makasih ya." Aku meraih gelas itu lalu meminum airnya hingga tersisa setengah.

"15 menit lagi tidur!"

Aku menoleh ke arah Bintang. "Aku pengen nyelesain naskahku malam ini."

Bintang menepuk puncak kepalaku tiga kali. "Aku bolehin kamu nulis, tapi gak boleh begadang," ujarnya tenang.

"Gak sampai tengah malam kok, dikit lagi selesai." Aku meraih tangan Bintang, lalu menggenggamnya. "Ini naskah ke tiga aku, aku pengen secepatnya selesai biar buku yang aku tulis tentang kita lengkap." Aku mencoba membujuk Bintang.

Bintang menghela nafas. "Masih ada besok." Final, aku tidak bisa lagi melawan. "Jaga kesehatan calon anak kita." Bintang mengelus perut buncitku.

Aku mengangguk pelan. "Oke, bentar lagi tidur," ujarku membuat Bintang tersenyum.

Bintang meraih laptopku lalu meletakkannya di pangkuan. "Coba kamu sebut apa yang ada di pikiran kamu, biar aku yang tulis."

"Aku malu kalau kamu baca tulisan aku." Aku merengek.

Bintang terkikik geli lalu mengambil dua novel yang terletak di atas meja. "Dua buku ini sudah habis aku baca, rahasia kamu yang diam-diam cinta sama aku itu udah kebongkar juga."

Aku mencebik kesal lalu merebut novel di tangan Bintang.

"Memendam rasa, setelah itu berlanjut pada harapan menjadi nyata. Kamu belum kasih tau judul buku ke tiga kamu apa." Bintang menatap layar laptop.

"Menua bersama," ujarku sambil menahan senyum.

Bintang menatapku cukup lama, tanpa aba ia mengecup pipiku. "Sweet banget sih," ujarnya.

"Iya dong." Aku menyandarkan kepalaku di pundak Bintang. "Jadi nulis gak? Biar aku aja bacain."

Bintang mengangguk. Aku mulai menyebutkan apa yang aku pikirkan sementara Bintang mulai mengetik.

Ingatan mudah lupa.
Semakin menua, segala kenangan begitu mudah terkikis masa.

Maka dari itu, aku ingin menulis tentang kita, menjadikannya abadi bersama semesta. Dalam bentuk sebuah buku yang suatu saat nanti akan dibaca oleh anak cucu kita.

Saat masa itu tiba, kita telah menua.
Bersama melihat mereka, bergantian membaca alur kisah kita di waktu muda.

Sederhana, tetapi hal itu akan terkenang sepanjang masa.

Tanpa kata, Bintang mendekap erat tubuhku. "Aku mencintaimu," ujarnya membuat senyuman tercetak di bibirku.

End...

Suka nggak sama cerpennya?

Kalau suka, tolong beri aku tiga love 💜💜💜 di kolom komentar. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top