[8] Ikhlas
Tuhan sudah tahu nama siapa yang akan bersanding dengan namamu di sebuah kartu undangan pernikahan.
-Alvi Syahrin-
***
Deru ombak terdengar berirama. Semilir lembut angin menyapu permukaan wajah. menerbangkan butiran pasir putih, membuat mata kelilipan. Prilly berdiri menatap hamparan laut biru, mata hazelnya menyipit ketika terkena pantulan sinar matahari. Jilbab berwarna merah bata yang ia kenakan bergerak-gerak tertiup angin.
"Prilly?"
Prilly bergeming walapun ia mendengar jelas seseorang memanggil namanya.
"Prilly?"
Suara itu semakin terdengar jelas bersamaan dengan derap langkah yang mulai mendekat.
Prilly menarik nafas dalam. Perempuan itu memantapkan hati sebelum membalik badan. Semuanya akan baik-baik saja.
Prilly tersenyum tipis. "Arya," ucapnya pelan.
Arya balas tersenyum pada Prilly. Entahlah, hati Prilly terasa ngilu ketika menatap senyuman itu. Takut ia tidak akan bisa lagi melihatnya. Apa senyuman itu akan terus bertahan ketika Arya tahu semuanya?
"Hari ini jadwal kita fitting baju. Kenapa kamu malah ngajak aku ketemu di sini?"
Prilly menunduk. Memejamkan mata sejenak, berusaha mati-matian untuk tidak menangis di hadapan Arya.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Arya, lelaki itu tepat berdiri di hadapan Prilly dengan jarak tiga langkah.
"Maafkan aku Ar."
Arya mengerutkan kening, heran. "Kenapa harus minta maaf?"
"Aku nggak bisa malanjutkan semuanya."
"Ambigu Pril. Kamu ngomong apa sih? Coba ngomong yang jelas, nggak bisa melanjutkan apa?" Arya mulai gelisah, tidak paham dengan maksud ucapan Prilly.
Bukannya menjawab Prilly malah membuka tas yang ia bawa. Mengambil sesuatu dari dalam sana. "Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita, rencana pernikahan kita." Prilly mengulurkan kotak merah kecil ke hadapan Arya.
Arya bergeming. Ditatapnya wajah Prilly lalu berganti pada benda yang berada ditangan perempuan itu. "Maksudnya apa?"
"Hubungan kita cukup sampai di sini Ar. Pernikahan kita batal," ucap Prilly bersamaan dengan itu air matanya menetas. Ia gagal untuk tidak menangis di hadapan Arya.
Arya menggeleng keras. Jantungnya berdegup kencang hatinya terasa diremas ketika mendengar ucapan Prilly. "Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi?" Arya bertanya pelan. Tatapannya sendu, sarat akan kekecewaan.
Prilly berusaha menguatkan pijakannya agar tidak ambruk sekarang. Kakinya terasa lemas. "Aku akan menceritakan semuanya Ar."
***
Ditengah masalah yang menjeratnya Ali harus tetap melaksakan tugasnya sebagai seorang pilot. Beberapa saat yang lalu pesawat yang Ali kendalikan telah mendarat dengan selamat di bandara internasional negara Kanada tepatnya di Quebec.
"Kapten."
Ali menoleh ketika seseorang menepuk pundaknya. "Kenapa Van?" tanya Ali.
"Sebelum ke hotel makan dulu yuk." ajak Dovan, CO pilot yang mendampingi Ali.
"Saya langsung ke hotel aja," balas Ali.
"Apa nggak laper? Penerbangan dari Indonesia ke sini cukup memakan waktu loh kap."
"Saya kenyang makan masalah." guman Ali pelan.
"Barusan kapten ngomong apa?" tanya Dovan.
Ali menggeleng. "Saya duluan Van." ucapnya lantas menepuk pundak Dovan.
***
Pasangan muda mudi berjalan beriringan di tepi pantai, saling melempar senyum. Bocah laki-laki berlarian, beberapa anak perempuan bermain istana pasir. Pemandangan yang cukup menenangkan yang sedang dinikmati Arya dan Prilly.
"Aku ikhlas melepas kamu Pril," ucap Arya. Matanya fokus menatap sepasang kekasih yang tampak bergandengan tangan mesra. Prilly telah menceritakan semuanya. Awalnya ia berencana untuk menyelamatkan hubungannya dengan Prilly tapi urung ia lakukan ketika mendengar penjelasan Prilly bahwa Irvan telah setuju atas keputusan yang diajukan oleh Reyandra.
"Aku senang mendengarnya," balas Prilly.
Arya tersenyum tipis. "Semoga lelaki itu baik untuk kamu."
"Iya. Dia lelaki baik, semoga." Prilly terkekeh pelan, tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
"Jodoh itu memang rahasia Allah. Manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa ketika Allah sudah berkata bahwa dia adalah jodohmu." Arya kembali membuka suara.
"Aku mencintaimu Ar." Bodoh. Prilly mengucapkan kata-kata yang membuat hatinya terasa semakin sakit.
"Mencintai tidak harus memiliki, kan? Tapi aku mohon disaat kamu sudah dimiliki oleh lelaki yang akan menjadi suamimu nanti, jangan pernah mencintai lelaki selain dia. Itu akan menyakitinya." jelas Arya.
"Aku tidak pernah berencana akan menjatuhkan hati pada siapa. Ini di luar kuasaku."
"Pelan-pelan semua rasa itu akan hilang." Arya menunduk sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Kita bunuh paksa rasa yang terus tumbuh itu."
"Aku akan berusaha untuk melupakan kamu, secepatnya." bibir Prilly mencetak tawa tapi air mata ikut menyertainya.
Mungkin ini yang terbaik untuk kita. Rencana Allah itu lebih indah, percayalah." Arya berusaha meyakinkan Prilly dengan ucapannya.
Prilly mengangguk sambil menyusut air matanya. Tak mampu lagi berkata-kata. Arya begitu hebat lelaki itu bersikap tenang hatinya menerima dengan lapang.
"Jangan menangis lagi." tangan Arya menggantung di udara ingin sekali menghapus air mata yang mengalir di pipi Prilly. Menghela nafas, Arya mengambil sapu tangan di sakunya lantas menyodorkannya ke arah Prilly.
"Terima kasih," ucap Prilly. Perempuan itu menghapus air matanya dengan sapu tangan hitam milik Arya.
"Aku ingin bertemu dengan calon suami kamu, Pril. Ada beberapa hal yang harus aku sampaikan padanya."
"Kamu ingin menyampaikan apa?"
"Hanya Allah, aku dan calon suamimu yang boleh tahu. Kamu nggak boleh."
Prilly mencebikkan bibirnya, kesal. "Ish main rahasia-rahasiaan."
Arya tertawa.
"Kamu nggak pengen pulang Ar?" tanya Prilly.
"Duluan aja aku masih mau di sini," jawab Arya.
"Yaudah aku duluan. Takutnya dicariin sama mama." Prilly berdiri dari duduknya, menepuk-nepuk bagian gamisnya yang ditempeli pasir.
"Hati-hati." Arya tersenyum dan Prilly pun membalas senyuman lelaki itu.
"Terima kasih dan maaf untuk semuanya," ucap Prilly sebelum benar-benar melangkahkan kaki.
Arya tersenyum tipis tatapan matanya meyakinkan Prilly bahwa sekarang ia baik-baik saja. Senyuman tulus itu perlahan luntur bersamaan dengan punggung Prilly yang mulai menjauh. Tatapannya berubah sendu. "Semoga apa yang terjadi mampu mengantarkan kita pada kebahagiaan." lirih Arya. Bohong jika lelaki itu baik-baik saja. Arya hanya berusaha menerima ketetapan dengan lapang dada.
Kaki Prilly melangkah cepat. Dalam hati ia berkata, jangan menoleh! Perempuan itu tidak sanggup lagi jika harus berlama-lama dengan Arya, selain tidak baik ia juga tidak kuat menahan rasa sesak ketika bersama dengan lelaki itu.
***
Ali memejamkan matanya rapat. Tubuhnya terasa lelah ia perlu istirahat, bukan hanya tubuhnya saja yang lelah tetapi hatinya juga. Ia berharap setalah kembali ke Indonesia nanti, semuanya akan baik-baik saja. Ia akan menikah dengan Prilly memulai hidup baru dengan perempuan itu.
Tentang Aletta? Ali belum berhasil menyingkirkan perempuan itu dari hatinya.
Tidak bisa tidur, mata Ali tidak mengantuk sama sekali. Ali bangun dari berbaringnya mengambil ponsel dan mulai berselancar di media sosial, mengusir kebosanan. Baru beberapa menit lelaki itu langsung melempar ponselnya ke sembarang arah. Hatinya meradang. Di layar benda pipih itu terpampang nyata foto Aletta bersama dengan kekasihnya. Mesra, sang lelaki memeluk erat pinggang ramping Aletta sedangkan Aletta melingkarkan tangannya di leher lelaki itu, hidung mereka besentuhan. Sungguh Ali panas melihatnya.
Ali berdiri di depan jendela. Membuka lebar-lebar jendela itu, menikmati suasana dini hari di kota Quebec Mungkin akan membuatnya merasa sedikit tenang.
***
Iya, aku telat update. Biasanya hari sabtu lah ini malah ngaret jadi hari senin. Hwhw :)
Terima kasih karna telah membaca cerita ini💕 Terus ikuti kisah AUFC ya, jangan lupa berikan vote dan komentarnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top