[7] Gadis berlesung pipit

Ali duduk disalah satu kursi disudut cafe ditemani dengan secangkir kopi yang asapnya masih terlihat mengepul diudara. Rintik hujan yang terlihat dari balik kaca jendela terlihat sangat menenangkan berbanding terbalik dengan keadaan Ali saat ini, kacau.

Menarik nafas dalam Ali mulai menyesap sedikit kopinya. Lantas tatapannya kembali mengarah ke luar seolah sedang menghitung tiap tetes air hujan yang jatuh menimpa bumi.

"Ali?"

Ali menoleh, bibirnya tertarik tipis menyambut perempuan yang kini berada di hadapannya. "Hervisa."

Hervisa tersenyum hingga lubang dikedua pipinya terlihat begitu jelas. "Apa kabar?"

"Cukup baik." balas Ali. Lelaki itu melirik ke arah lelaki yang berdiri di samping Hervisa.

"Kenalin, Dio pacar aku." Hervisa memperkenalkan lelaki di sampingnya.

"Dio." Dio mengulurkan tangan ke arah Ali.

"Ali." Ali menyambut uluran tangan Dio.

"Makasih ya Li karna kamu udah berani menolak perjodohan itu."

"Penyelamat cinta gue." Dio menepuk akrab pundak Ali.

Ali tersenyum. "Semoga kalian bahagia," ucapnya.

"Semoga kamu juga segera menemukan kebahagiaan," balas Hervisa tersenyum tulus.

"Ya, semoga." balas Ali.

"Duluan ya bro." Dio dan Hervisa melenggang pergi dari hadapan Ali.

Ali turut bahagia melihat senyuman yang terukir dibibir Hervisa. Pada malam itu Hervisa memohon padanya agar menolak perjodohan itu. Awalnya Ali menolak  karna ia tidak ingin menentang keputusan Reyandra tetapi setalah Hervisa memberi tahu kalau dirinya sudah memiliki kekasih, Ali pun menuruti permintaan perempuan itu. Ia tidak akan tega dan tidak akan mau menikah dengan seorang wanita yang cintanya terpaut pada lelaki lain. Setelah mengatakan bahwa ia menolak perjodohan itu Ali pergi begitu saja dan pada saat itu juga Aletta mengiriminya pesan dan meminta Ali untuk menemuinya.

***

Prilly menarik nafas panjang sedari tadi ia mengabaikan panggilan telepon dari Arya. Perempuan itu membiarkan ponselnya yang menyala tergeletak di atas meja. Ia belum siap untuk berbicara pada lelaki itu.

"Maaf Ar." gumam Prilly, sebisa mungkin ia menahan air mata yang sedari tadi mendesak ingin dikeluarkan.

Prilly tersentak ketika seseorang merangkul bahunya.

"Abang ngagetin aja." Prilly menatap kesal ke arah Andre.

Andre tersenyum. "Kenapa teleponnya gak di angkat?"

Prilly mengambil ponselnya lalu menganggkat benda itu tinggi-tinggi. "Nih udah di angkat."

"Terserah kamu lah." Andre mencubit gemas hidung Prilly.

Prilly berdehem. "Abang udah baikan sama mbak Aya?"

"Alhamdulillah udah."

"Bagus deh kalau gitu."

"Kamu kenapa gak ngajar?"

"Lagi gak enak badan."

"Yaudah istirahat sana. Abang mau ketemu sama mbak Aya." Andre berdiri dari duduknya lantas berlalu pergi.

"Hati-hati." pesan Prilly yang dibalas acungan jempol oleh Andre.

Ponsel Prilly kembali berdering nyaring. Sudah hampir 10 kali Arya menelponnya dan sudah ada puluhan pesan yang sama sekali tidak dibuka oleh Prilly.

Prilly mengehela nafas. Dengan perasaan campur aduk tangannya mulai menggeser ikon hijau untuk menerima panggilan.

"Assalamualaikum."

Suara Arya terdengar dari seberang sana, rasanya dada Prilly terasa sesak ketika suara lelaki itu menyapa indra pendengarannya.

"Wa'alaikumsalam." setelah terdiam beberapa saat akhirnya Prilly menjawab salam Arya.

"Kamu kenapa baru angkat telepon aku? Pesan aku juga gak di buka, kenapa? Kamu sakit? Kamu marah sama aku? Aku ada salah apa sama kamu?"

Pertanyaan beruntun dari Arya membuat bibir Prilly melengkung. "Aku cuma gak enak badan aja kok."

Terdengar helaan nafas panjang dari Arya. "Udah minum obat?"

"Udah kok."

"Yaudah, kamu istirahat ya. Fitting bajunya bisa kita atur lagi waktunya."

"Iya. Udah dulu aku mau istirahat." Prilly menutup panggilan secara sepihak ia tidak sanggup lagi menahan rasa sesak di dada.

Hari ini seharusnya Prilly dan Arya akan melakukan fitting baju. Dan sekarang rencana fitting baju itu tidak akan pernah terlaksana. Prilly menutup wajahnya dengan kedua tangan air matanya sudah tidak mampu lagi untuk ditahan.

"Kenapa sayang?" Riani datang dan langsung duduk di samping Prilly. Mengelus pelan pundak putrinya itu.

Prilly menggeleng pelan sambil menghapus air matanya. "Aku mau pergi sebentar, boleh?"

Riani ragu membiarkan Prilly pergi sendirian dalam keadaan yang sedang tidak baik seperti sekarang. "Kemana? Ajak Humaira, ya."

"Aku pengen sendiri dulu. Boleh ya Ma." Prilly memohon.

Riani mengangguk. "Hati-hati."

Prilly mencium punggung tangan Riani lantas setalah itu bergegas pergi.

***

Humaira berdecak kesal ketika lagi-lagi suara operator yang menyahut. Sedari tadi perempuan itu menelpon Ali tetapi hasilnya nihil, ponsel Ali tidak aktif.

"Bu guru makin cantik deh kalau lagi kesel kayak gitu."

Humaira melotot menatap seorang lelaki dengan seragam putih abu-abu sedang  menatap genit ke arahnya. "Belajar yang bener, jangan godain saya terus!"

"Duh duh tambah cantik plus manis kalau lagi marah kayak gini." celetuknya lagi.

"Mau nilai ulangan matematika kamu saya kasih 20?" Humaira menaikkan sebelah alisnya.

"Jangan, bu jangan." lelaki itu langsung bergegas pergi dari hadapan Humaira.

Humaira mengehala nafas lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang guru.

***

Air danau tampak beriak kecil tertimpa rintik hujan. Rumput basah, udara terasa segar menenangkan.

Prilly melemparkan batu kecil ke arah danau hingga menimbulkan suara. Tak terhitung sudah ada berapa batu yang ia lempar dari 1 jam yang lalu. Jilbab dan gamis yang ia kenakan pun sudah hampir basah karna terkena rintik hujan, andai ia tidak berteduh di bawah pohon rindang sudah bisa dipastikan perempuan itu akan basah kuyup.

"Apa kamu ke sini untuk mencari ketenangan?"

Prilly terkesiap ketika mendengar suara seseorang. Dan betapa terkejutnya perempuan itu ketika mendapati Ali yang berdiri tidak jauh darinya. Sejak kapan lelaki itu ada di sini?

"Ketenangan itu ada di dalam hati. Kemana pun aku pergi hati akan selalu ikut bersamaku. Aku kesini hanya ingin menikmati waktu sendiri," jawab Prilly lalu melangkah pergi.

Ali menatap punggung Prilly yang mulai mengecil karna perempuan itu semakin melangkah menjauh. Sebenarnya ia bingung mengapa Prilly juga bisa ada ditempat ini. Tempat ini tersembunyi hanya beberapa orang saja yang tahu dan mungkin Prilly salah satu orangnya, Pikir Ali. Lelaki itu lebih dulu ada di danau ini bahkan jauh sebelum Prilly datang. Sedari tadi gerak-gerik yang Prilly lakukan sama sekali tak lepas dari pandangannya.

Tatapan Ali meredup. "Aku tidak bisa menyelamatkan cintamu seperti apa yang aku lakukan pada Hervisa, Maaf."

***

Prilly melangkahkan kakinya cepat menyusuri jalan setapak yang terapit oleh padang ilalang. Tubuhnya yang mungil hampir tidak terlihat karna tingginya hampir sama dengan banyaknya ilalang di tempat ini.

Pikiran Prilly sibuk dengan berbagai macam pertanyaan. Mengapa Ali bisa ada di tempat itu? Sejak kapan? Apa lebih dulu dari dirinya? Jika iya berarti lelaki itu telah mendengar semuanya.

***

Terima kasih karna telah membaca cerita ini💕 Terus ikuti kisah AUFC ya, jangan lupa berikan vote dan komentarnya :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top