[25] Rapuh
Dokter itu menghela nafas, menatap satu persatu wajah yang kini menatap ke arahnya. "Maaf...
"Istri saya kenapa dokter?" tanya Ali tidak sabaran.
"Istri Bapak baik-baik saja. Tapi maaf bayi yang ada dalam kandungannya tidak selamat, istri bapak keguguran," jelas dokter itu.
Tubuh Ali luruh, kedua lututnya menyentuh lantai. Lelaki itu menangis lagi. Bukan hanya Ali yang menangis Riani, Irvan dan Andre juga ikut menangis.
"Pasien sudah bisa di jenguk,"
"Terima kasih dok," ucap Irvan.
Dokter itu mengangguk sambil tersenyum tipis setelah itu berlalu pergi.
"Ali?" Andre mengelus punggung Ali yang bergetar.
Ali mendongak, wajahnya basah oleh air mata.
"Ayo kita jenguk Prilly,"
Ali menggeleng pelan. "Abang duluan aja."
Andre mengangguk lalu memasuki ruangan bersama Irvan dan Riani.
Perlahan Ali berdiri, kedua kakinya melangkah ke arah masjid yang letaknya bersebelahan dengan rumah sakit. Sebelumnya lelaki itu telah mengganti pakaiannya dengan kemeja yang di bawa oleh Irvan. Usai mengambil wudu, Ali duduk bersimpuh di atas karpet masjid kedua tangannya bertadah. Mulutnya tak mampu lagi berucap lelaki itu hanya menangis hingga membuat beberapa orang memerhatikan dirinya.
"Bacalah, agar hatimu tenang." seseorang duduk di samping Ali.
Ali menoleh, dengan tangan bergetar ia meraih Al-Quran kecil yang di sodorkan oleh lelaki yang tidak ia kenali itu.
Lelaki itu tersenyum. "Saya tidak tahu masalah apa yang sedang menimpa kamu, tapi percayalah apa yang sedang kamu alami, itu adalah ketetapan dari Allah. Jangan pernah menyalahkan dirimu atas suatu musibah yang telah di atur oleh sang maha kuasa," ucap lelaki itu lantas berlalu pergi setelah menepuk pundak Ali sekali.
Ali membuka lembaran Al-Quran yang sedang ia pegang. Lelaki itu memilih membaca surah Yasin. Suara Ali bergetar bahkan sesekali terputus akibat tangis.
"Akram Zaydan Hidayatullah"
"Hah siapa?" Prilly menatap Ali dengan kening berkerut.
"Nama anak kita nanti, anak laki-laki memiliki kelebihan dan selalu diberi petunjuk dengan penuh kemuliaan. Bagus, kan artinya?"
Prilly tersenyum. "Bagus, kalau cewek mau aku kasih nama Anisa Shilfa, artinya wanita yang berharga." mata Prilly berbinar membayangkan betapa lucunya kalau anaknya lahir nanti.
"Semoga aja kembar cewek cowok, pasti lucu,"
"Amin," Prilly menyandarkan kepalanya di pundak Ali.
"Aku udah nggak sabar nunggu dia lahir." Prilly mengelus perutnya. "Aku udah nggak sabar pengen jadi Ibu, ngebayangin gimana rasanya di panggil Mama sama anak kita." Prilly memejamkan matanya, membayangkan hal itu saja sudah mampu membuat Prilly begitu bahagia. 5 bulan lagi akan ada tangan mungil yang akan ia genggam setiap hari, akan ada tangisan bayi yang menggema mengisi kamar, akan ada sosok mungil yang akan merasakan dekap hangatnya.
Bacaan Al-Quran yang sedari tadi Ali lantunkan dengan tersendat kini berhenti total. Lelaki itu menangis tergugu kala mengingat momen beberapa hari yang lalu bersama Prilly. Rasanya sungguh sakit, bagaimana perasaan istrinya itu sekarang? Dengan susah payah Ali menyelelesaikan bacaannya setelah itu ia bergegas kembali ke rumah sakit.
"Bagaimana keadaan Prilly, Pah?" tanya Ali ketika bertemu dengan Irvan di depan ruang rawat Prilly.
"Jelas, tidak baik-baik saja." Irvan tersenyum lirih.
"Mama sama Bang Andre masih ada di dalam?"
Irvan mengangguk. "Kamu temui Prilly, siapa tahu keadaannya akan lebih baik saat bertemu kamu," ucap Irvan yang diangguki oleh Ali, lelaki itu segera membuka pintu ruangan.
Andre dan Riani menatap ke arah Ali, mereka berdiri ketika Ali berjalan mendekat.
"Pril, Mama sama Abang keluar dulu. Ali sudah datang," ucap Riani, tanpa mendengar balasan dari orang yang diajak bicara Riani dan Andre keluar dari ruangan.
Sekarang hanya tersisa Ali dan Prilly di ruangan ini. Ali berjalan mendekat, perlahan. Rasanya aneh ketika melihat Prilly memalingkan wajah ke arah lain, sama sekali tidak menyambut kedatangannya.
"Pergi!"
Satu kata itu berhasil menghentikan langkah Ali.
"Aku bilang pergi!" Prilly kembali berucap ketika Ali hanya berdiri mematung, tidak beranjak sama sekali.
"Sayang," panggil Ali pelan, bukannya pergi ia malah melanjutkan langkah.
Prilly menatap Ali. Bekas air mata tercetak jelas dipipinya, mata perempuan itu terlihat sembab.
Ali meraih tangan Prilly, tanpa diduga Prilly malah menepis tangan suaminya itu.
"Kenapa?" lirih Ali.
"Aku bilang pergi!" Prilly menekan setiap kalimat yang ia ucapkan.
"Aku pengen temenin kamu di sini."
Prilly menggeleng. "Aku pengen sendiri, tolong jangan temui aku dulu."
"Tap...
"Tolong." Prilly memohon membuat Ali menganggukkan kepala pelan. Terpaksa ia menuruti permintaan Prilly.
"Maaf," ucap Ali sebelum pergi.
Prilly memejamkan matanya, bulir air mata itu jatuh lagi. "Aku nggak sanggup Li, mencintai kamu ternyata sesakit ini." Isak tangis yang awalnya pelan itu mengeras, tangan Prilly meremas bagian perutnya. Buah hatinya itu telah pergi sebelum sempat melihat dunia. Prilly telah kehilangan sesuatu yang begitu berharga, calon anaknya. Tuhan telah mengambil sosok mungil itu sebelum Prilly sempat mendekapnya, sebelum Prilly sempat memegang tangan mungilnya. Segala angan Prilly telah hancur, dirinya benar-benar rapuh sekarang.
Dari balik pintu Ali itu menangis, dadanya terasa sesak. Apa Prilly marah padanya? Tuhan, tolong jangan tambah lagi rasa sakit ini.
Dari kejauhan Reyandra melihat Ali, pria paruh baya itu segara menghampiri putranya yang terlihat kacau.
"Kamu kuat!" Reyandra memeluk Ali membiarkan putranya itu menangis dalam dekapannya.
"Pah, Ali nggak kuat," Ali membalas pelukan Reyandra.
***
Pukul 12 malam, Ali sama sekali belum pulang ke rumah. Berulang kali ia mencoba menemui Prilly namun hasilnya nihil perempuan itu masih belum mau bertemu dengannya. Di ruangan Prilly hanya ada Riani, sementara Irvan harus pulang karna ada pekerjaan yang harus ia selesaikan.
Ali menoleh ketika pintu ruangan terbuka, setelah itu sosok Riani muncul.
"Mah," Ali berdiri.
"Mending kamu pulang dulu, Li. Istirahat besok ke sini lagi," ucap Riani.
"Ali pengen ketemu Prilly."
Riani menghela nafas. "Waktunya belum tepat, dia belum bisa menemui kamu."
"Prilly tidur, kan sekarang?"
Riani mengangguk.
"Izinin Ali ketemu dia, Ali janji nggak bakal ganggu dia." Ali memohon, menggenggam kedua tangan sang mertua.
"Jangan sampai dia kebangun ya Li," ucap Riani.
Ali mengangguk. "Makasih Ma," ia bergegas memasuki ruangan.
Tatapan Ali sendu ketika menatap Prilly yang sedang terlelep. Dengan hati-hati ia menarik kursi di samping Prilly, duduk di sana untuk memandangi wajah Prilly lebih dekat. Rasanya ingin sekali Ali memeluk Prilly, saling menguatkan dalam menghadapi musibah yang saat ini sedang menimpa, ingin sekali ia mengecup kening itu menyalurkan rasa rindu pada perempuan itu namun sekuat tenaga lelaki itu menahan diri untuk tidak menyentuh sang istri.
"Aku mencintai kamu," lirih Ali.
***
Aku, Author jahat yang suka ngegantungin cerita. Bikin yang baca jadi penasaran sekaligus kesal. Huh maafin ya :v
Mungkin aku udah gak jahat lagi di part kali ini, karna ceritanya gak gantung tapi aku berubah jadi sadis karna udah bikin Ali sama Prilly nangis.
Nekt?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top