[24] Kecelakaan

Prilly tampak bersemangat hari ini. Perempuan itu memoles bedak bayi di wajah, setelahnya ia mengambil kunci mobil bersiap menjemput Ali ke bandara. 2 hari tak bertemu membuat Prilly sangat merindukan suaminya itu.

Lantunan salawat mengiringi langkah Prilly sampai keluar rumah. Kali ini ia memilih untuk menyetir mobil sendiri, susah payah membujuk Ali akhirnya lelaki itu mengizinkannya.

"Non Prilly beneran nyetir sendiri?" tanya Ahmad, sopir pribadi Ali.

Prilly mengangguk mantap.

"Hati-hati ya, Non,"

"Siap Pak!" Prilly menggangkat tangannya, hormat.

***

Aletta menyusuri bandara, perempuan itu mencari seseorang. Ia tersenyum ketika melihat Ali sedang berjalan dengan gagahnya, lelaki itu terlihat sangat tampan dengan balutan seragam pilot lengkap yang dikenakannya.

"Ali!" panggil Aletta.

Langkah Ali terhenti ketika Aletta berdiri di hadapannya.

"Ali tunggu!" Aletta menyusul Ali ketika lelaki itu tak memberikan respon apa-apa.

Ali menghela nafas. "Ada apa?"

Aletta diam, tatapan matanya berubah sendu. "Maaf," ucapnya pelan.

Ali mengerutkan kening. "Untuk?"

"Semua kesalahan yang udah aku lakuin ke kamu sama Prilly, aku tau aku salah, salah besar malah. Aku benar-benar minta maaf Li." Mata Aletta berkaca-kaca.

"Tidak usah di bahas, aku sudah memaafkan kamu," balas Ali.

"Selama ini aku bohong." Aletta menunduk.

"Soal...

"Aku nggak hamil." Aletta memotong cepat ucapan Ali.

Ali nampak biasa saja karena sedari awal ia yakin bahwa apa yang Aletta katakan hanyalah bualan semata. mata lelaki itu tertuju pada perut Aletta yang tidak lagi buncit ternyata perempuan itu benar-benar totalitas dalam memerankan tokoh antagonis di sini.

Aletta terisak. "Maafin aku," lirihnya.

"Nggak papa Aletta, asal kamu tidak mengulanginya lagi." tangan Ali terulur mengelus pundak Aletta pelan. Detik itu, tanpa di sadari ada seseorang yang memerhatikan adegan itu dengan mata yang berkaca-kaca.

"Aletta?"

Aletta menoleh, bibirnya merekah ketika mendapati lelaki yang sedari tadi ia cari kini muncul di hadapannya.


Alis Ali bertaut heran ketika melihat Aletta menghampiri Arya dengan begitu semangat. Apa mereka ada hubungan? Apa dua orang yang ingin memisahkan dirinya dengan Prilly itu sedang bekerja sama?

"Kalian?" Ali nampak bingung.

Arya tersenyum. "Kami akan menikah seminggu lagi," ucap Arya.

Ali terkejut tetapi ekspresi itu hanya bertahan beberapa detik, setelahnya lelaki itu tersenyum. "Selamat," Ali menjabat tangan Arya lalu menepuk pundak lelaki itu dengan akrab.

"Aku minta maaf Li," ucap Arya.

"Nggak papa," balas Ali.

"Oh iya, tadi aku ketemu Prilly." Arya menatap Ali.

"Di mana?" tanya Ali.

Arya celingak-celinguk telunjuknya tertuju pada satu arah. "Itu!"

Mata Ali menyipit, pandangannya fokus menatap seorang perempuan yang sedang berlari. "Astagfirullah, aku duluan ya." Pamit Ali yang di angguki oleh Aletta dan Arya.

Perasaan Ali tidak enak, lelaki itu ikut berlari untuk mengejar Prilly. Ia takut kalau Prilly salah paham tentang dirinya yang tadi sempat berbincang dengan Aletta.

"Prilly!" teriak Ali sebelum istrinya itu memasuki mobil.

Prilly menoleh sebentar, Ali bisa menangkap pancaran kesedihan dari mata perempuan yang dicintainya itu.

Ali menghela nafas. Ternyata Prilly benar-benar menjemputnya di bandara, tetapi sekarang perempuan itu malah meninggalkannya.

"Di mana Prilly? Aku mau minta maaf," ucap Aletta, dia dan Arya menghampiri Ali.

"Dia pergi, aku takut dia salah paham," Ali nampak khawatir.

"Kejar," Arya menyodorkan kunci mobilnya pada Ali.

Ali tersenyum. "Makasih," ucapnya lantas mengambil kunci yang disodorkan Arya.

***

Prilly mengendarai mobil dengan perasaan tidak tenang, kecepatan mobil masih standar ia ingat akan pentingnya keselamatan. Air mata terus mengalir membasahi pipi, melihat Ali bersama Aletta membuat hatinya begitu sakit. Keadaannya yang sedang hamil membuat moodnya mudah sekali berubah, perasaannya pun lebih sensitif sekarang. Wajar saja, kan kalau ia merasa cemburu melihat suaminya bersama perempuan lain?

Di jalan yang sama Ali mengendari mobil dengan kecepatan tinggi berusaha mengejar Prilly. Lelaki itu membunyikan klakson secara brutal ketika ingin menyalip pengendara lain. Ali merasa lega ketika mendapati mobil Prilly tak jauh di depannya.

Tin tin

Ali membunyikan klakson, berharap dengan itu Prilly akan menghentikan mobilnya. Lelaki itu menambah laju kecepatan ketika mobil Prilly malah semakin menjauh.

Tin tin

BRUK

Citttt

Mobil Ali berhenti mendadak, jantungnya berdegup kencang. Pasokan udara di sekitarnya seakan habis sekarang. Tubuhnya seketika melemas melihat kejadian tragis yang terjadi di depan matanya, mobil Prilly menabrak truk dari arah yang berlawanan.

"PRILLY!" teriak Ali, dari dalam mobil terlihat jelas bahwa tubuh istrinya itu terguling ke jalanan. Dada Ali sesak, dengan tangan bergetar lelaki itu membuka pintu mobil. Matanya mengabur akibat air mata yang menggantung di pelupuk.

"Minggir!" Ali membelah kerumbunan orang, kakinya melangkah gontai menghampiri Prilly yang kini tergeletak tak berdaya.

Lelaki itu terduduk, menangis tanpa suara. Dengan sisa kekuatannya ia mengangkat tubuh Prilly ke dalam gendongan. Tak peduli seragam pilot kebanggaannya kini telah basah berlumur darah. Dada Ali naik turun ketika menatap gamis bagian bawah yang dikanakan Prilly berubah berwarna merah. Perasaan Ali berkecamuk sekarang. Harapannya hanya satu, Prilly dan calon bayinya bisa diselamatkan.

Para kerubunan orang memberi jalan pada Ali, hampir seluruh pasang mata yang menyaksikan kejadian itu menatap haru ke arah Ali yang terlihat begitu rapuh kala menggendong perempuan yang kini berlumur darah itu. Semua orang pun melihat bahwa lelaki yang menggunakan seragam pilot itu mengeluarkan air mata.

***


Tubuh Ali luruh ia terduduk di lantai  rumah sakit yang terasa begitu dingin. Lelaki itu tak henti-hentinya menangis, ada perasaan sesal yang ia rasakan. Kedua tanganya menutup wajah, isakan kecil keluar dari mulutnya.

"Ali?"

"Pah," Ali berdiri, ia memeluk Irvan erat. "Maaf, Ali nggak becus cagaiin anak Papah," ucapnya lirih.

"Ini semua sudah kehendak Allah, bukan salah kamu," balas Irvan sambil mengelus punggung Ali. 

Ali melepaskan pelukannya lalu menatap Riani. "Maaf Mah,"

Riani menangis tersedu-sedu, wanita itu menghapus pelan air mata Ali. "Bukan salah kamu," ucapnya pelan.

Irvan mengalihkan pandangannya ketika melihat Ali dan Riani menangis. Pria paruh baya itu menyusut air matanya yang mengalir di pipi.

"Bagaimana keadaan Prilly?" Andre berjalan dengan tergesa.

"Doa, kan yang terbaik untuk adik kamu," ucap Irvan.

Andre mengangguk lemah, lelaki itu pun tidak mampu menahan air matanya.

Seorang dokter keluar dari ruangan, dengan perasaan cemas Ali dan Riani menghampiri dokter itu.

"Bagaimana keadaan istri saya?" tanya Ali.

"Bagaimana anak saya dokter? Apa baik-baik saja?" Riani ikut bertanya ketika dokter itu hanya diam.

"Dokter jawab!" bentak Andre.

Irvan mengelus punggung Andre. "Sabar," ucapnya.

Dokter itu menghela nafas, menatap satu persatu wajah yang kini menatap ke arahnya. "Maaf...

***

Bagaimana perasaan kalian?

Terima kasih karena telah membaca cerita ini💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top