[18] Sesaat

Rasa bahagia itu hanya sesaat. Layaknya malam yang begitu cepet menggantikan kilas senja.

***

Pagi kembali menyapa bumi, sepasang suami istri sedang menikmati sarapan pagi. Sepi, tidak ada obrolan apupun hanya suara denting sendok yang sesekali beradu dengan piring memecah keheningan. Keadaan rumah ini bagaikan mati tak berpenghuni dua manusia yang tinggal di dalamnya memilih menjadi bisu untuk beberapa waktu.

Ali berdehem. "Pril," Ali membuka suara.

Prilly hanya mendongak dengan satu alis yang terangkat.

"Abis ini, ikut aku ya."

Prilly mengangguk lalu kembali melanjutkan aktifitas makannya yang sempat terhenti sekian detik.

Selesai makan Prilly membereskan piring kotor lalu mencucinya. Sedangkan Ali telah berlalu menuju kamar.

"Ayo!" ajak Ali ketika Prilly memasuki kamar.

"Ambil tas dulu." Prilly mengambil sling bag miliknya lalu mamatut dirinya di depan cermin sebentar. Ia membiarkan Ali keluar lebih dulu.

"Pake." Ali menyodorkan helm pada Prilly.

Prilly meraih helm itu dengan kening berkerut. "Naik motor?" Prilly menatap Ali yang sedang berada di atas motor. Bahkan lelaki itu sudah memakai helm juga jaket.

"Nggak mau?" Ali melepas helmnya.

"Motornya tinggi, naiknya susah. Duduknya juga susah."

"Sekali-sekali nggak papa, ya. Kamu pake daleman celana panjang, kan?"

Prilly mengangguk lalu melangkah menghampiri Ali. Perempuan itu memegang lengan Ali ketika ingin naik keboncengan.

"Pegangan kalau nggak pengen kejengkang."

Prilly memegang kedua sisi jaket Ali.

Ali berdecek, diraihnya kedua tangan Prilly lalu ia melingkarkan tangan itu ke pinggangnya.

Ali menoleh ke arah Prilly. "Jangan di lepas, ya."

Prilly mengangguk, Ali pun melajukan motornya.

Prilly menarik nafas dalam. Baru kali ini ia menikmati suasana pagi naik motor membelah jalanan ibu kota. Angin lembut menerpa wajahnya, menenangkan. Prilly tidak ingin bertanya kemana Ali akan membawanya yang terpenting sekarang ia senang kemana pun Ali membawanya Prilly tidak peduli.

Tidak ada percakapan sama sekali. Hanya deru motor yang mengisi kesunyian. Kejadian kemarin membuat keduanya merasa canggung bahkan untuk sekedar memulai obrolan. Entahlah mungkin ada setitik rasa sakit yang membekas di hati akibat kejujuran yang sempat di utarakan.

Motor Ali berhenti di sebuah pemakaman umum. Prilly turun dari motor begitu pula dengan Ali.  Ali menggenggam tangan Prilly. Sedangkan Prilly mengikuti langkah Ali.

Ali berhenti di depan sebuah gundukan tanah yang di atasnya tertanam batu nisan.

Aisyah Raditya. Dalam hati Prilly membaca nama yang tertara di batu nisan itu. Dan mungkin dugaannya Prilly benar bahwa makan yang berada di hadapanya ini adalah makan orang tua Ali.

"Makam Mamah aku," ucap Ali lantas berjongkok. Prilly ikut berjongkok.

"Mamah apa kabar?" Ali mengelus lembut batu nisan itu. "Kali ini Ali datang nggak sendiri loh. Ali sama seorang perempuan, namanya Prilly, istri Ali."

Prilly tersenyum mendengar ucapan Ali. "Aku Prillyasa Az-Zahra, Mah" Prilly menimpali ucapan Ali.

Setelah selesai membaca doa Ali dan Prilly menaburkan bunga mawar yang sempat Ali beli sebelum menuju makam.

"Abis ini mau kemana?" tanya Ali.

"Terserah kamu aja. Aku ikut." Prilly tersenyum. Hatinya sudah membaik.

Ali balas tersenyum lalu mengelus lembut pucuk kepala Prilly. Keduanya berjalan bersisian menuju motor.

"Pegangan yang kuat! aku mau ngebut," ucap Ali.

Prilly pun memeluk pinggang Ali erat.

"Siap?"

"Siap!" balas Prilly.

Ali pun melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Sebenarnya Prilly takut tapi entah mengapa ketakutan itu seolah menguar bersama hembusan angin yang senantiasa menerpa.

"SENENG NGGAK!" Ali berteriak agar bisa di dengar oleh Prilly.

"SENENG!" Prilly balas berteriak. Perempuan itu berdiri lantas memeluk leher Ali.

"DUDUK! NANTI JATOH!"

Prilly tertawa ia menopang dagunya di bahu Ali. "MAKASIH UDAH NYAKITIN SEKALIAN NYEMBUHIN!"

Ali ikut tertawa. "SAMA-SAMA! MAAF BELUM BISA BAHAGIAIN KAMU!"

"NGGAK PAPA! AKU BAHAGIA KOK!" Prilly duduk lantas menyandarkan kepalanya pada punggung Ali.

Ali tersenyum. Lega karena permasalahnya tidak berujung panjang.

Setengah jam kemudian Ali menghentikan motornya di sebuah tempat yang tidak asing bagi Prilly. padang ilalang sebuah jalan menuju danau tersembunyi.

Prilly melepas helmnya begitu juga dengan Ali. Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak yang di apit oleh padang ilalang yang cukup tinggi.

"Berhenti deh," ucap Ali.

"Mau ngapain?" tanya Prilly.

Ali memetik setangkai ilalang lantas meniup bunga berwarna putih itu ke arah Prilly.

Prilly memejamkan matanya. "Kelilipan." perempuan itu merengek sambil memegangi matanya.

"Eh maaf, jangan di kucek." Ali meniup mata Prilly.

"Udah enakan kok." Prilly mengedipkan matanya beberapa kali.

Ali dan Prilly pun melanjutkan langkah mereka menuju danau. Sesampainya di danau keduanya memilih duduk di atas rerumputan. Memperhatikan air danau yang berwarna kehijauan.

Ali menarik kepala Prilly agar bersandar di bahunya, tangan lelaki itu mengusap lembut punggung Prilly. Keduanya menikmati kebersamaan dalam keheningan. Hanya degup jantung yang mengalun sebagai saksi bahwa dua hati telah merasakan sebuah rasa nyaman ketika berada dalam situasi seperti ini tenang seperti tanpa beban.

Setelah cukup lama berada dalam posisi seperti itu, Prilly menegakkan tubuhnya karena merasa pegal. "Sejak kapan tahu tempat ini?" Prilly memulai obrolan.

"Sejak SMA, dulu aku sering keluyuran nyari tempat-tempat sepi yang jarang di kunjungi orang." Ali menoleh ke arah Prilly. "Kalau kamu kapan?"

"Kapannya sih lupa. Tapi udah lumayan lama," balas Prilly. "Kamu tahu banyak tempat yang sepi?"

Ali mengangguk. "Lumayan. Kapan-kapan kita ke sana, mau?"

"Mau." Prilly tampak antusias.

Ali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah jam 11 siang pantas saja perutnya terasa lapar. "Kamu lapar nggak?" tanya Ali.

"Sedikit."

"Kok sedikit sih?" Ali terkekeh.

"Yaudah deh banyak."

"Biar apa?"

"Biar makan, terus buncit kayak kamu." ledek Prilly.

"Aku nggak buncit ya, kamu tuh chubby." Ali mencubit gemas pipi Prilly.

"Biarin sih anugerah dari Allah. Dari pada kamu buncit."

"Ngaco!" Ali mengangkat kaos yang ia kenakan.

"Mau ngapain?" Prilly menatap waspada ke arah Ali.

"Mau nunjukin roti sobek ke kamu."

"Ish nggak usah. Percaya kok percaya." cegah Prilly.

"Yakin nih nggak mau liat?"

"Yakin. Udah ah jangan bikin aku kesel, mau aku cubit ginjalnya?"

Ali terbahak. "Receh kamu!"

"Ketawa juga tuh." Prilly berdiri dari duduknya. "Cari makan yuk, laper."

"Oke." Ali merangkul bahu Prilly.

***

Ali dan Prilly memasuki sebuah restoran, keduanya memilih duduk di pojokan yang memang kebetulan kosong.

"Wah, wah kenalin dong." Bagas menghampiri meja yang ditempati Ali.

Ali berdehem. "Pril, kenalin dia Bagas, sahabat aku."

"Prilly." Prilly menangkupkan tangannya ketika Bagas mengulurkan tangannya.

"Istri idaman." bisik Bagas.

"Istri gue!" Ali melotot ke arah Bagas.

"Sans Pak." Bagas terkekeh. "Khusus buat lo biar gue yang layanin. Mau pesen apa?"

"Kamu mau pesan apa?" tanya Ali.

"Samain aja sama punya kamu."

"Yang biasa 2, Gas. Nggak pake lama."

Bagas mengangkat tangannya hormat. "Siap!"

"Sahabat kamu itu pemilik restoran ini?" Prilly menatap punggung Bagas yang mulai menjauh.

"Bukan. Dia cuma dipercaya sama Bos nya buat mengelola restoran ini," jawab Ali.

"Ohh." detik selanjutnya Prilly tersentak ketika minuman dingin tumpah mengenai bajunya.

"Ups, maaf. Nggak sengaja." perempuan yang tadi membawa minuman itu mengambil tissu di atas meja lalu membersihkan baju Prilly.

"Nggak usah, nggak papa kok." Prilly tersenyum.

"Kamu pasti sengaja Aletta!" tuduh Ali.

"Apaan sih Li! Orang aku nggak sengaja kok." gerakan tangan Aletta yang ingin membersihkan baju Prilly terhenti.

"Nggak usah ngelak!"

"Nggak sengaja." Aletta menekan ucapannya. "Yang sengaja tuh kayak gini!" Aletta meraih gelas minum yang baru saja diletakkan seorang pelayan di atas meja lalu dengan santai ia mengguyur kepala Prilly.

"Apa-apaan kamu!" Ali berdiri dari duduknya.

"Bisa bedain kan mana sengaja mana nggak?"

"Udah Li, kita pulang aja yuk." Prilly memperhatikan sekitar, pengunjung restoran cukup ramai dan sekarang mereka menjadi pusat perhatian.

"Dia udah nyiram kamu!"

"Nggak papa. Aku cuma disiram air kok." Prilly meraih tangan Ali membujuk lelaki itu.

"Dia aja nggak papa. Kalau lagi boleh dong?"

Prangg!

Gelas yang berada di tangan Aletta terlempar sebelum air yang ada di dalamnya mengenai Prilly.

Beberapa pengunjung berteriak, takut. Sebagian memilih meninggalkan restoran dan sebagian lagi malah asik menonton.

"Jangan gila!" desis Ali tajam.

"Aku emang sudah gila." tidak ada orang gila yang mengakui kalau dirinya gila tetapi berbeda dengan Aletta, perempuan itu dengan mudahnya menyebut dirinya sudah gila.

"Pulang sekarang!" lirih Prilly, tenaganya semakin kuat menarik tangan Ali.

Ali mengangguk menuruti permintaan Prilly.

"PERHATIAN!" teriakan Aletta sukses membuat langkah Ali dan Prilly terhenti. Sekarang semua pasang mata tertuju pada Aletta.

"PEREMPUAN ITU!" Aletta menunjuk Prilly, sontak seluruh tatapan mengikuti arah telunjuk Aletta. "DIA TELAH MEREBUT CALON SUAMI SAYA!"

Kedua tangan Ali mengepal. Emosinya sudah tidak bisa lagi ditahan, lelaki itu melepas genggaman tangannya pada Prilly lantas menghampiri Aletta.

"Ikut aku!" Ali mencengkram pergelangan tangan Aletta cukup kuat. Dalam hati Aletta tertawa jahat, inilah yang ia mau.

"Aku antar pulang."

Suara yang begitu familiar menyapa indra pendengaran Prilly. Suara itu? Arya pemiliknya.

Prilly mengangguk. "Makasih, Ar."

Arya menyampirkan jas miliknya ke pundak Prilly lalu berjalan beriringan keluar dari restoran.

Ali berhenti menyeret Aletta menjauh. Tatapannya fokus pada Prilly yang keluar dari rerstoran bersama seorang lelaki yang ia kenal.

Sesampainya di depan mobil Arya, tangis yang sedari tadi Prilly tahan akhirnya lolos juga.

"Jangan menangis." lirih Arya. Rasanya ingin sekali ia mendekap tubuh itu membiarkan Prilly menangis di dadanya. Namun Arya tahu bahwa apa yang ia ingin kan tidak boleh di lakukan.

Arya membuka pintu mobil untuk Prilly, mempersilahkan perempuan itu masuk.

Bugg!

Arya jatuh tersungkur sebelum menutup pintu mobil. Satu pukulan keras membuat lelaki itu limbung.

Prilly memekik tertahan. Tatapannya jatuh pada Ali yang sedang menatap Arya dengan penuh amarah.

***

#musnahkanALETTA

Ngegantung ya? Maafin deh :) yang pentingkan aku udah update sekarang nggak jadi hari selasa. Alhamdulillah selesai ngetik sebelum besok :)

Terima kasih karena telah membaca cerita ini💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top