[17] Amplop
Mengapa harus merasakan sakit?
***
Arya menatap undangan pernikahanya dengan Prilly. Undangan tak berguna itu masih ia simpan. Jujur saja sampai saat ini perasaan cinta itu belum juga hilang. Melupakan orang yang pernah dicintai itu memang sulit, bahkan sangat sulit. Arya mengakui hal itu. Seharusnya ia tidak begini, ini salah. Ia sudah terlanjur dalam mencintai manusia dan mungkin ini adalah hukuman untuknya, Allah cemburu dan akhirnya memberikan rasa kecewa pada seorang hamba yang telah menduakan cinta-Nya. Arya harus percaya bahwa ini adalah ketetapan takdir, Prilly memang tercipta bukan untuknya. Bahwa Prilly hanyalah perempuan spesial yang hanya diizinkan singgah bukan untuk menetap.
Arya menghela nafas. Perlahan ia memasukkan undangan itu ke tempat sampah, membuangnya dengan perasaan yang sakit luar biasa. Hari ini semesta kembali mengizinkan dirinya menatap mata indah milik Prilly, merasakan kembali degup yang sempat hilang itu.
"Tidak seharusnya aku masih berharap pada seseorang yang sudah tak lagi menyediakan harapan." lirih Arya.
Lamunan Arya buyar ketika dering telepon di sampingnya terdengar.
"Wa'alaikumsalam," Arya menjawab salam ketika meletakkan ganggang telepon di telinganya.
"Langsung saja ke ruangan saya." Arya meletkkan kembali ganggang telepon di tempat semula.
"Silahkan masuk!" ucap Arya ketika pintu ruanganya di ketuk.
"Selamat sore Pak."
Arya menatap seorang lelaki yang kini berdiri di hadapannya. "Sore, ada apa Rei?"
"Apa Bapak bisa bertemu dengan clien lusa nanti?" tanya lelaki bernama Rei itu.
"Saya sudah ada janji di hari itu," jawab Arya. "Kalau ingin bertemu dengan saya bikin janji dulu."
"Baiklah, nanti saya kabari lagi. Permisi Pak." Rei mengangguk hormat pada Arya.
***
"Bang Andre," Prilly memeluk Abangnya itu erat. Ini sudah hari ketiga ia menginap di rumah orang tuanya. Kebetulan sekali Andre yang memang juga sudah pisah rumah berkunjung hari ini.
"Mbak nggak di peluk?" tanya Aya.
Prilly mengurai pelukannya. "Cini peyuk," ucapnya menirukan gaya bicara anak kecil.
Aya tertawa setelahnya ia memeluk adik iparnya itu.
"Rame lagi deh rumah Mamah." Riani muncul dari dapur. Wanita paruh baya itu membawa toples berisi kue.
"Wah kue buatan Mamah, enak." Andre langsung menyambar toples itu, membukanya lantas mengambil satu kue.
"Bismillah dulu." Aya menyenggol lengan suaminya.
"Abang mah kebiasaan." Prilly ikut menimpali.
"Bismillah kok dalam hati." Andre membela diri.
"Ngeles mulu." Prilly ikut mencomot kue lalu memasukkanya ke dalam mulut.
"Cobain Ay," Riani menyodorkan kue itu pada Aya.
"Makasih, Ma." Aya mengambil satu kue.
"Mama ke dapur dulu, ya." pamit Riani berlalu meninggalkan putra-putrinya.
"Ali mana Pril?" tanya Andre.
"Ke Jepang."
"Oh." Andre mangut-mangut saja.
"Ke jepang? Ngapain? Kamu di tinggal?" Aya melontarkan pertanyaan beruntun.
"Mbak Aya belum tahu, ya?" tanya Prilly yang mendapat gelengan dari Aya.
"Ali, kan pilot."
"Serius? Wahhh." takjub Aya.
"Biasa aja." ketus Andre.
Aya nyengir lalu di peluknya tangan Andre. Sementara Prilly hanya terkekeh.
Prilly melirik arloji yang melingkar di tanganya. Sudah pukul 14:30. Ia harus pulang sekarang, siapa tahu Ali sudah ada di rumah. Pertama dan terakhir kali Ali mengabari saat memberi tahu Prilly bahwa ia sudah tiba di jepang setelah itu tidak ada lagi.
"Aku pamit pulang." Prilly menyalami tangan Andre dan juga Aya.
"Buru-buru Pril?" tanya Aya.
"Takut Ali udah pulang Mbak."
"Hati-hati." pesan Andre yang diacungi jempol oleh Prilly. Perempuan itu menuju dapur untuk berpamitan dengan Riani.
***
Kurang lebih setengah jam Prilly sampai di kediamannya. Perempuan itu membuka pintu dengan kunci yang ia bawa. Ternyata Ali belum datang.
Ketika ingin memasuki rumah kaki Prilly menginjak sesuatu yang terletak di depan pintu, sebuah amplop. Perempuan itu menoleh ke sekitar tetapi tidak menemukan siapapun.
"Siapa yang naroh, ya?" Prilly mengambil amplop itu, ragu-ragu mulai membuka dan mengambil isi yang ada di dalamnya, Selembar foto. Prilly menghela nafas lalu memasukkan kembali foto itu ke tempat semula. Ia memutuskan untuk mamasuki rumah.
Prilly menuju dapur. Membuka kulkas untuk mengambil minuman dingin. Susu kotak rasa cokelat yang ia beli beberapa hari yang lalu menjadi pilihannya perempuan itu duduk di kursi.
"Istigfar Pril." Prilly memejamkan kedua matanya.
Suara deru mobil terdengar. Prilly berdiri untuk membuka pintu, itu pasti Ali.
"Wa'alaikumsalam," ucap Prilly ketika Ali sama sekali tak mengucap salam. Lelaki itu hanya menampilkan ekspresi datar bahkan ketika Prilly mencium punggung tangannya.
"Kamu udah makan?" tanya Prilly.
"Udah," jawab Ali singkat. Lelaki itu berlalu begitu saja menuju kamar.
Prilly mengikuti Ali.
"Ada masalah?" Prilly fokus memperhatikan Ali yang tengah duduk bersandar di sofa dengan mata yang terpejam.
Ali membuka matanya. "Duduk!" titahnya sambil menepuk tempat di sampingnya.
"Coba jelaskan!" Ali meletakkan sebuah amplop di atas meja ketika Prilly sudah duduk.
Prilly mengerutkan kening. Amplop berwarna cokelet, sama dengan yang ia temukan tadi. Prilly meraih amplop itu mengambil isi di dalamnya. Sebuah foto yang tidak lagi sempurna, kusut karena bekas diremas.
Prilly terkejut, raut wajahnya pucat pasi ketika meneliti siapa yang berada di dalam foto yang kini sedang ia pegang.
"Aku minta penjelasan!" Ali meraih pundak Prilly agar menghadap ke arahnya. Mata lelaki itu tampak memerah.
"Itu nggak seperti apa yang kamu pikirin." lirih Prilly.
"Mau seperti apapun kejadianya, yang jelas aku tidak suka kamu bertemu dengannya." Ali menekan setiap kalimat yang ia ucapkan.
"Aku ketemu dia nggak sengaja."
"Mau sengaja atau tidak, tetap aku tidak suka."
Prilly menyingkirkan tangan Ali dari pundaknya, perempuan itu berdiri lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Aku juga perlu penjelasan tentang ini." Prilly meletakkan amplop yang serupa di atas meja.
Kening Ali berkerut dalam. Di raihnya amplop itu. "Siapa yang kasih ini?"
Prilly mengangkat bahu. "Nemu depan pintu,"
Ali membuka amplop itu lalu mengambil isi di dalamnya. Mata elangnya langsung menatap ke arah Prilly dengan mulut yang terkatup rapat.
"Aku juga nggak suka kamu ketemu sama dia. Aku nggak suka kalau kamu peluk perempuan itu." Prilly mulai menangis.
Ali mengepalkan kedua tanganya. Permainan apa ini? Ada orang yang jelas-jelas ingin menghancurkan hubungannya dengan Prilly. Dan Ali yakin, semua ini ulah Aletta. Tapi tidak mungkin Aletta bertindak sendiri pasti ada orang lain yang membantu perempuan itu.
Prilly keluar dari kamar ketika melihat Ali hanya diam.
"Tunggu, Prilly!" Ali mengejer langkah Prilly. Namun, ayunan kaki Prilly semakin cepat untuk menghindari lelaki itu.
Ali mencekal pergelangan tangan Prilly ketika berada di anak tangga terakhir.
"Apa?" Prilly menatap sendu ke arah Ali.
Perlahan Ali menarik tubuh Prilly ke dalam pelukannya. "Maaf," lirih Ali.
Prilly hanya bisa menangis di dalam pelukan Ali. Mengapa rasanya sesakit ini? Rumah tangga yang belum berumur satu bulan tetapi sudah di hadapkan pada masalah yang begitu rumit. Seharusnya pernikahan yang belum sampai seumur jagung itu sedang manis-manisnya, jika kedua pasangan yang telah bersatu itu saling mencintai.
Ali mengurai pelukannya. "Ini ujian. Kita hadapi sama-sama, ya," ucap Ali pelan.
Prilly mengangguk. "Masalah ini ada karena kita sendiri yang membuatnya."
"Ya, aku tahu. Kita berdua cukup jaga kepercayaan satu sama lain.
Prilly terkekeh pelan. "Rasanya begitu sakit ketika kepercayaan itu dipatahkan." Prilly kembali menaiki anak tangga menuju kamar.
"Aku sudah mulai mencintai kamu."
Langkah Prilly terhenti. Ia menoleh ke arah Ali.
"Tapi aku juga masih mencintai Aletta." lanjut Ali.
Seketika dada Prilly terasa sesak. Mengapa harus merasakan sakit? Bukanya sedari awal Prilly sudah tahu kalau Ali sangat mencintai Aletta. Bahkan, Prilly sendiri pun tahu bagaimana kacaunya Ali disaat perempuan itu melakukan pengkhianatan.
"Iya, aku juga sudah mulai mencintai kamu. Tapi maaf, perasaan aku nggak bisa bohong kalau aku juga masih mencintai Arya." Prilly mengucapkan kalimat pembalasan. Ia hanya ingin jujur dengan Ali, toh Ali juga jujur, kan padanya?
Tak ada bedanya dengan Prilly, Ali pun merasakan sakit ketika mendengar kejujuran dari istrinya itu.
Keduanya saling menatap dari jauh. Ada pancaran kesedihan dari kedua mata yang saling beradu itu. Sebenarnya mudah saja, rasa cinta yang belum sepenuhnya tumbuh itu tinggal di pupuk hingga menjadi subur dan akhirnya akan berbuah manis.
***
Jangan lupa Al-Kahfi❤
Nekt part maunya hari selasa atau rabu? Pilihannya cuma dua ya😆 jangan bilang kelamaan karena ngetik itu perlu waktu+ide+mood yang baik :v
Terima kasih karena telah membaca cerita ini💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top