[10] Pernikahan
Yang belum folllow akun wattpad ku follow dulu ya :)
***
Prilly tampak begitu cantik dengan gaun pengantin berwarna putih yang membalut tubuh mungilnya. Wajahnya dipoles dengan make up yang sederhana tangannya dihias dengan henna berwarna merah membuat penampilannya kian sempurna.
Hari ini adalah hari yang sangat Prilly tunggu-tunggu sebelumnya. Namun, sekarang hari ini berubah menjadi hari yang sama sekali tidak Prilly diingin kan kedatangannya. Ia sama sekali tidak merasa bahagia di hari sakral pernikahannya.
Akad nikah akan dilaksanan di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumah Prilly. Sekarang, Prilly didampingi oleh Riani, Aya dan Humaira sedang duduk di dalam masjid Ar-Rahman. Sebentar lagi acara akan dimulai.
"Tenang, sayang," Riani tersenyum ke arah Prilly.
Prilly hanya mengangguk tidak mampu berkata apa-apa.
Tangan Prilly saling menggenggam, gugup luar biasa. Suara Irvan selaku wali nikah sudah terdengar.
Prilly menarik nafas lalu menghembuskan perlahan. Gaungan akad terdengar jelas di telinga Prilly. Ali telah mengucapkan nya, Lantang dengan satu tarikan nafas. Semua yang hadir mengucap alhamdulillah.
Prilly langsung memeluk Riani, perasaan yang ia rasakan sekarang tidak karuan. Ia bingung antara senang, marah, sedih atau kecewa.
Prilly tak mampu menahan air matanya, sekarang ia sudah sah menjadi isteri dari Ali. Seorang lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Apa Prilly mampu menjalani semuanya? Menjalani kehidupan barunya berasama lelaki itu.
"Ini yang terbaik untuk kamu sayang, insya Allah," Riani mengelus punggung Prilly yang bergetar.
"Jangan nangis, nanti make up kamu lutur," ucap Aya.
Humaira hanya bisa tersenyum. Ia berharap, semoga sahabatnya bisa membahagiakan sahabatnya. Semoga Ali bisa menjadi suami yang baik untuk Prilly.
"Jangan menangis lagi." Riani mengurai pelukannya. Tersenyum menatap Prilly yang begitu cantik. Permata hatinya itu telah siap diserahkan pada seseorang yang pantas memilikinya seseorang yang Riani harapkan mampu menjaga permata berharganya itu.
"Kita temui suamimu." Riani dan Aya menuntun Prilly untuk berdiri.
Tepat setelah Prilly berdiri, kain putih yang menjadi pembatas di tengah masjid Ar-Rahman itu terbuka menampilkan sosok Ali yang berdiri gagah dengan jas pengantin melekat pas di tubuhnya. Lelaki itu tersenyum tipis menatap Prilly yang dituntun oleh Riani dan Aya berjalan ke arahnya.
Tiba di hadapan Ali, Riani dan Aya melepas gandengannya di tangan Prilly. Mundur teratur meninggalkan Prilly yang kini berdiri berhadapan dengan sang suami.
Ali dan Prilly berhadapan. Dengan ragu Prilly meraih tangan Ali, mencium penuh takzim punggung tangan lelaki itu. Bagimana pun keadaanya, Ali adalah suaminya sekarang. Seseorang yang harus ia hormati. Pelangkap hidupnya lelaki yang akan menemaninya menjalani kehidupan yang akan datang. Hari-hari baru yang entah bagaimana nantinya.
Prilly memejamkan matanya ketika merasakan kecupan lembut mendarat di keningnya. Jantungnya berdetak menggila, aliran darahnya berdesir serasa menggelitik.
Ali menyentuh pucuk kepala Prilly, berdoa untuk pernikahan mereka. Prilly pun menadahkan tangannya mengamini doa yang Ali ucapkan. Mulai detik ini Prilly memantapkan hatinya, ia akan belajar mencintai Ali.
Ali dan Prilly menandatangani berkas-berkas setalah itu Ali menyematkan cincin di jari manis Prilly lalu berganti dengan Prilly yang menyematkan cincin di jari manis Ali. Kedua insan manusia itu sudah terikat, cinta mereka telah direstui oleh negara maupun agama. Bahkan ketika Ali menjabat tangan Irvan, tanggung jawab yang begitu besar sudah beralih padanya.
Deg! Tatapan mata Prilly jatuh pada seorang lelaki yang kini juga sedang menatapnya. Arya, lelaki itu tersenyum tipis tatapan matanya seolah mengisyaratkan sebuah luka, luka yang sebenarnya juga dirasakan oleh Prilly.
"Jangan menatapnya, aku tidak suka," bisik Ali.
Prilly pun langsung menunduk. Patuh pada perintah Ali.
Setelah acara selesai, Ali dan Prilly langsung menuju hotel tempat resepsi mereka yang akan digelar nanti malam.
***
Sesampainya di hotel Ali langsung membanting tubuhnya ke atas kasur. Sementara Prilly hanya berdiri canggung, bingung harus melakukan apa.
Ali melepas jas putih yang ia kenakan lalu melemparnya ke sembarang arah.
Prilly hanya menatap Ali dengan tatapan yang sulit diartikan perempuan itu berjongkok untuk mengambil jas milik Ali yang jatuh tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Prilly meletakkan jas itu di atas sofa. Setelah itu duduk di depan meja rias untuk menghapus make up yang melekat di wajahnya. Sungguh, rasanya Prilly ingin menghilang saja sekarang. Suasana macam apa ini? Sepasang suami isteri yang sama-sama diam seperti orang yang tidak saling mengenal. Mengerikan.
"Punya mulut dipakai buat ngomong. Kalau perlu bantuan bilang! Jangan cuma diem aja."
Prilly langsung menoleh ke arah Ali. Lelaki itu sedang duduk di tepi ranjang. Jadi, sedari tadi Ali memperhatikan Prilly?
Prilly hanya diam. Bingung harus berbicara apa. Lelaki itu tidak ada manis-manisnya.
Ali berdecak lalu berdiri dari duduknya. Tanpa meminta izin Ali langsung mengangkat jilbab putih yang Prilly kenakan.
Prilly langsung berdiri. "Mau apa?"
Ali menampilkan raut wajah datar. "Diam," ucapnya. Tangannya mulai membuka satu persatu kancing pada gaun yang Prilly kenakan.
Prilly pasrah saja. Berhadapan dengan Ali ternyata menyeramkan.
"Sudah," ucap Ali.
"Makasih," balas Prilly. Perempuan itu langsung berlalu ke kamar mandi.
Ali tak menanggapi, lelaki itu kembali membaringkan tubuhnya di kasur.
"Ali!
"Ali!
"Ali!
Baru saja ingin terlelap, Ali merasa terusik ketika mendengar namanya dipanggil beberapa kali. Matanya berat untuk dibuka, kelewat ngantuk.
"Apasih?" tanya Ali dengan mata yang terpejam.
"Tolongin," kepala Prilly menyembul dari balik pintu kamar mandi.
Ali mengacak rambutnya kasar, terpaksa bangun. "Apa?"
Prilly terlihat memutar bola mata beberapa kali, bingung bagaimana cara menyampaikannya.
Ali menautkan alisnya. "Ngapain sih? Kalau nggak ada apa-apa aku mau tidur."
"Itu, tolong ambilin baju ganti sekalian sama handuknya," ucap Prilly.
"Di mana?"
"Di dalam tas yang itu." jari Prilly mengarah pada tas yang berada di atas sofa.
Ali beranjak mengambil tas itu.
"Jangan dibuka! Sekalian sama tasnya aja," ucap Prilly ketika Ali ingin membuka tas miliknya.
"Nih." Ali menyodorkan tas itu ke arah Prilly. "Keluarin tangannya! Kamu mau ambil tas ini pakai gigit?"
Prilly menggeleng, dengan cepat ia meraih tas itu dari tangan Ali. Setelah itu menutup pintunya.
"Ribet banget," gumam Ali.
Prilly pun keluar dari kamar mandi, perempuan itu menggunakan gamis berwarna hitam dipadukan dengan jilbab berwarna gold.
Prilly menggelar sajadah bersiap untuk shalat dzuhur. "Kamu nggak shalat?" tanya Prilly pada Ali yang duduk santai sambil memainkan ponsel.
Ali melirik sekilas ke arah Prilly. "Udah."
"Kapan?"
"Kemarin."
"Astagfirullah, kemarin ya kemarin sekarang ya sekarang mana bisa shalat yang kemarin buat hari ini."
"Nggak usah dijelasin. Aku tahu tentang itu."
"Terus?"
Ali berdiri dari duduknya. "Aku mau keluar." Ali berlalu meninggalkan Prilly begitu saja.
Prilly menghela nafas. Harapannya pupus sudah. Dulu Prilly selalu berharap setalah menikah ia akan shalat berjamaah dengan suaminya. Tapi sekarang apa? Ia tetap shalat sendiri disaat sudah memiliki imam yang seharusnya menjadikan dirinya makmum disaat shalat.
***
Part ini sempat aku unpub gara" wp eror. Aku tuh jadi nggak mood update. :)
Terima kasih karna telah membaca cerita ini💕 Terus ikuti kisah AUFC ya, jangan lupa berikan vote dan komentarnya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top