Hilang Kontak

.

Aku tak bisa tidur, masih memikirkan siapa wanita yang sedang dekat dengan suamiku. Hingga lipstiknya saja sampai terbawa. Belum lagi pesan yang dihapus, nomor kontak, chat mesra, juga perlakuan mesra Mas Haris yang dilihat oleh Lia.

Apa benar adik angkatku Della sedang ada hubungan. Dia masih kuliah saat ini, kalau tidak ada hubungan apa-apa, lalu kenapa dia sampai datang ke kantor Mas Haris?

Ah, rasanya kepalaku sakit memikirkannya.

.

Paginya, aku seperti biasa menyiapkan sarapan. Tak lama Mas Haris datang dengan berpakaian rapi, ya kami memang hendak ke rumah sakit untuk periksa kesuburan. Tapi tangannya menarik koper.

“Loh, Mas. Sekalian jalan?” tanyaku sambil meletakkan secangkir kopi hitam untuknya.

“Iya, takutnya nanti telat.”

“Oh, ya sudah. Kita sarapan dulu.”

Tak curiga sih memang, jarak rumah ke rumah sakit bisa memakan waktu satu jam. Belum antriannya, periksa. Mungkin kalau harus pulang lagi baru ke bandara akan memakan waktu lebih lama

“Yura, awas ya kalau hasilnya kamu nggak subur. Ibu nggak mau punya menantu mandul,” ucap ibu mertuaku dengan nada ketus.

Aku tak menjawab ucapannya, hanya tersenyum kecil sambil melanjutkan sarapan.

“Eh, kamu makan jangan banyak-banyak. Nanti gendut.” Ibu mengambil ayam goreng yang baru saja kuletakkan di piringku. 

Terpaksa aku hanya makan dengan telur dadar dan sayur bayam. Tidak apa aku tidak makan ayam, mungkin benar kata Ibu, aku harus diet. 

Selesai sarapan, aku berpamitan pada Ibu. Lalu ikut dengan Mas Haris yang ternyata sudah memesan sebuah taksi online. 

Di dalam mobil yang kami tumpangi hendak ke rumah sakit. Aku hanya diam, entah mengapa pikiranku masih melanglang buana pada Della, apa benar dia ada hubungan dengan Mas Haris.

“Dek, kamu kok diam saja sih? Tumben, biasanya kalau aku mau ke luar kota. Kamu tuh cerewet banget. Nasihatin aku harus jaga kesehatan, jangan telat makan, jangan telat tidur.” Mas Haris tiba-tiba menyentuh tanganku.

“Enggak, nggak apa-apa. Mas aku boleh tanya sesuatu nggak?”

“Kamu mau tanya apa?”

“Kamu masih ingat Della?”

“Iya, adik angkat kamu. Kenapa?”

“Kemarin temanku lihat Della jalan sama kamu.”

“Salah lihat kali, mana mungkin aku jalan sama adik kamu. Aku kan kerja.”

“Dia lihatnya Della ke kantor, trus pulang bareng sama kamu.”

“Oh ya? Waah kayanya teman kamu salah lihat deh.”

“Beneran, Mas. Sebentar, aku ada fotonya kok.” Aku merogoh tas kecil hitam di pangkuan, mengambil ponsel dan mencari gambar yang kemarin dikirim oleh Lia. 

Kedua mataku kuusap, mengapa fotonya tidak ada? Harusnya tersimpan di galeri kan secara otomatik. Kucek pesan masuk dari Lia, tak ada juga foto itu. 

Aku meremas benda pipih di tangan. Bukti itu kembali lenyap.

“Mana? Ada?” tanya Mas Haris.

Aku menggeleng, “Kamu hapus ya?”

“Ngaco kamu, tahu juga nggak. Kalau punya teman hati-hati, cari yg tulus bukan tukang fitnah kaya gitu.”

Aku menunduk, siapa yang menghapus foto itu? Jangan-jangan Mas Haris sudah tahu kalau aku mencurigainya.

Hingga kami tiba di rumah sakit, dan melakukan rangkaian pemeriksaan, menebus vitamin lalu hendak pulang lagi. 

Sekarang sudah pukul sebelas siang. Aku dan Mas Haris duduk di lobi. Hujan deras disertai angin membuay kami menunda untuk lanjut jalan.

“Apa perginya nggak bisa ditunda besok, Mas? Ini cuaca ekstrim banget loh. Aku takut kamu kenapa-kenapa.” Aku menatapnya yang sedang sibuk di depan ponsel.

“Enggak bisa, ini bos aku aja udah nanyain terus sampai mana. Jalan aja belum.”

Aku mengembuskan napas pelan. Entah benar atau tidak ucapanmu itu, Mas. Aku tidak peduli.

“Sepertinya aku harus jalan, Sayang. Kamu baik-baik, ya.” Mas Haris mengusap lembut kepalaku.

“Kamu yakin?”

“Iya, aku sudah pesan taksi online. Jarak dari sini ke bandara lumayan, Dek. Belum chek in juga kan?”

Aku hanya mengangguk, lalu mencium punggung tangannya. “Hati-hati, Mas.” Entah mengapa perasaanku tidak enak. Melihat Mas Haris berlari menghampiri mobil berwarna putih di halaman rumah sakit.

Sampai mobil itu melaju, aku lalu mencoba menghubungi Ibu di rumah. Apakah Della asa di rumah atau tidak? Bisa saja kan, Mas Haris bohong dengan kepergiannya?

“Ya hallo, Bu,” sapaku saat telepon sudah diterima.

“Ya, Ra. Ada apa? Kamu nggak ke sini?”

“Eum, lain kali, Bu. Soanya Mas Haris sedang keluar kota. Kalau aku ke situ, kasihan ibunya Mas Haris sendirian.”

“Oh iya iya.”

“Della ada, Bu?”

“Ada tuh lagi nonton sinetron.”

“Oh ya sudah kalau begitu, Ibu jaga kesehatan ya. Soalnya cuacanya nggak jelas.”

“Iya, Nduk. Kamu di mana tow? Kok berisik?”

“Eum, ini rumah sakit nunggu hujan reda tadi minta vitamin.”

“Oh.”

“Ya sudah, Bu. Aku pulang dulu, ya.”

Panggilan pun terputus. Hujan juga sudah mulai reda. Aku yang tak membawa payung, menutupi kepala dengan tas kecil untuk melangkah ke arah seberang jembatan. 

.

Aku tiba di rumah pukul dua siang, tak ada kabar dari Mas Haris. Entah dia sudah takeoff atau belum? Dia bilang pesawatnya berangkat jam segini.

“Lama banget kamu ke rumah sakit? Ibu kepengen pempek, kamu beliin ya, Ra.” Ibu mertuaku sudah berdiri di depan pintu.

Aku baru saja tiba, bahkan belum sempat masuk rumah. Beliau sudah menyuruhku.

“Iya, Bu. Aku ganti baju dulu. Basah.”

“Ya udah buruan.”

Aku tak menjawab, dengan malas aku ke kamar berganti pakaian. Sambil sesekali melihat notif di ponsel. Mas Haris benar-benar tak memberi kabar sama sekali.

“Yuraaaa!” Suara teriakan Ibu membuatku tersentak dan berlari menghampirinya yang duduk di ruang keluarga.

“Kenapa, Bu?”

Ibu menunjuk ke arah televisi yang menyala. Aku tidak mengerti maksudnya apa.

“Ada pesawat hilang kontak. Coba kamu cek pesawat yang ditumpangi Haris. Sama atau tidak, tujuannya sama-sama Pontianak.” Suara Ibu bergetar.

Aku pun gelagapan, berlari ke kamar mengambil ponsel. Melihat status Mas Haris tadi pagi yang mengupload foto tiket pesawatnya tanpa aku hapalkan namanya.

Tanganku lemas seketika, kalau ternyata nama pesawat dan nomornya sama dengan yang ditumpangi Mas Haris.

“Innalillahi.”

.

Bersambung.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top