Princess of Papaya (part 2)

CEWEK cepol itu ada lagi.

Reo melihatnya lagi, duduk di balik kios penuh dispenser jus di warungnya, siang itu.

"Oh, halo!" dan cewek itu dengan santainya menyapa Reo, yang entah sejak kapan sudah menghentikan laju larinya dan berdiri beberapa meter di depan warung jus.

"Halo." Reo mengawasi dirinya tersusul beberapa peserta maraton. Seharusnya Reo nggak meninggalkan jalur. Seharusnya dia terus berlari. Tapi kenapa dia malah berhenti di sini?

"Latihan maraton lagi?" tebak si cewek cepol sambil tersenyum ramah. Reo kebingungan. Dia nggak marah sama gue soal insiden itu? Apa dia udah lupa? Gue aja keingetan terus.

"Iya."

"Lagi nggak enak badan?"

"Apa?"

Cewek cepol itu menatap Reo keheranan, "Kok berhenti di sini? Kecapekan?"

Reo berusaha dengan cepat memikirkan alasan paling masuk akal untuk tindakannya yang sama sekali nggak masuk akal ini, "Iya... agak... hm, capek."

Bohong besar.

Si cewek cepol tersenyum sambil menunjuk kursi kayu yang ada di depan warungnya, "Duduk aja dulu."

Dengan menurut, Reo berjalan menuju kursi kayu dan duduk di sana. Merasa nggak punya sesuatu untuk dilakukan atau dikatakan, dia mengeluarkan ponselnya. Dari notifikasi, sudah ada satu chat baru dari Mike.

Lo dmn? Udh pd sampe garis finish

Reo mengetikkan balasan.

Gw rehat bentar di warung. Lg rada ga enak badan.

Bohong besar yang kedua.

Ting!

Mau gw samper? :V

Reo membalas cepat-cepat.

Gak.

"Pak Ketua dicariin ya?" si cewek cepol yang rupanya sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Reo meledeknya.

"Gue Reo." Reo mengalihkan pandangan seraya memasukkan ponselnya ke saku celana, "Bukan 'Pak Ketua'."

"Iya tau."

Reo mendongak cepat sekali menatap cewek itu, "Kok...?"

Cewek itu tersenyum lebar, "Salah satu yang kemaren-kemaren lo marahin itu adek sepupu gue. Abis dimarahin, dia cerita soal si Reo ini, ketua klub larinya yang dikasih julukan Mulut Tega."

Entah seberapa merahnya tampang Reo saat ini, yang jelas cowok itu merasa seluruh wajahnya terbakar karena tengsin, "Sori... gue nggak tau dia kerabat lo."

Si cewek mengangkat bahu, "Santai aja. Gue juga sering gitu kok dulu. Ngomel-ngomel ke anggota klub. Bahkan julukan gue dulu lebih parah dari lo. Si Perawan Tua."

Reo mengerjap kaget.

"Lo... ketua juga?"

Si cewek mengangguk sambil nyengir, "Dulu gue juga di ekskul lari SMA Bakti, tauk."

Reo hanya melongo. Bentar... apa?

"Kok gue nggak pernah denger--?"

"Gue berhenti sekolah nggak lama abis kenaikan kelas dua belas. Jadi memang cuma bentar ngejabatnya." untuk pertama kalinya, Reo mendapati cewek itu tidak balas menatap matanya ketika berbicara.

Ini cewek satu tahun di atas gue?

Reo mengernyitkan alis, "Berhenti sekolah? Kenapa?"

Si cewek hanya tersenyum.

"Cedera."

🍹

Tasya dan Vika hanya mampu terbengong-bengong menyaksikan sosok yang tengah duduk dengan rapi di hadapan mereka di meja kantin keesokan harinya.

Reo, Si Mulut Tega. Sang ketua klub lari mereka.

"Gimana, Kak?" tanya Tasya, takut salah dengar.

"Gue mau minta maaf." ulang Reo tanpa setitikpun keraguan dalam nada suaranya, "Soal gue yang ngeselin waktu latihan tempo hari, di depan warung jus. Gue nggak tau itu warung sepupu lo, Sya."

Saat ini, tampang Tasya seperti habis disapa Presiden Jokowi.

"E-eh, iya Kak! Nggak papa! Emang kami yang salah kok!" pekik Tasya buru-buru dan panik. Di sebelahnya, Vika masih memandangi Reo dengan takjub seolah-olah eksistensi cowok itu di meja yang sama dengan mereka termasuk salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Dari sudut matanya, Reo dapat menangkap sosok Mike yang duduk dengan Nana di meja sebelah, mengawasinya dengan cengiran menyebalkan.

"Kak Reo... kenal Kak Aida?" tanya Vika tiba-tiba, mengembalikan fokus Reo seketika.

"Siapa?"

"Kak Aida, kakak sepupu Tasya. Yang jaga warung jus." kata Vika, "Kirain kenal. Soalnya dia tuh kan--"

Tasya menyikut pinggang Vika, yang seketika terdiam.

"Cuma kebetulan ngobrol aja kemarin. Gue baru tau dia alumnus sini... hm, maksudnya sempet sekolah di sini. Dan mantan ketua klub lari, pula." jelas Reo canggung.

"O-Oh." kata Tasya.

Sejenak meja itu diliputi keheningan. Merasa kehadirannya sudah cukup mengganggu ketentraman kedua cewek itu di jam istirahat, Reo sekali lagi meminta maaf dengan kasual dan bangkit dari kursinya untuk kembali ke meja Mike dan Nana.

"Pak Wandi nggak pernah ngasih tau lo ya?" tanya Mike tanpa tedeng aling-aling ketika Reo menggabrukkan diri di sebelahnya. Rupanya sedari tadi dia memang menguping pembicaraan Reo dengan Tasya dan Vika.

"Soal apaan?"

"Soal kenapa Kak Aida keluar dari klub dan berhenti sekolah."

Reo menggeleng. Dia memang sadar bahwa air muka pembina klubnya itu selalu berubah muram setiap kali menyinggung topik pengurus klub tahun lalu.

"Gue cuma tau kalo dia... cedera?" kata Reo.

Nana tiba-tiba menghela napas dan ikut nimbrung, "Sori Re, bukannya mau ngeselin. Tapi gue aja yang bukan anggota klub tau lho masalah Kak Aida."

Emangnya dia kenapa sih? Reo membatin tak sabar.

"Kak Aida kena tabrak lari setahun lalu. Pemotornya kabur. Terus benturannya bikin saraf tulang belakangnya cedera dan dia jadi lumpuh." jelas Nana akhirnya.

Rasanya seperti ada bongkahan balok es yang meluncur ke dasar perut Reo.

"Lumpuh?" gumamnya syok.

"Warung jus Kak Aida terkenal banget di SMA kita karena banyak senior yang ke sana pasca kejadian itu, Re. Sampe sekarang. Tapi emang jusnya enak-enak banget sih..." Nana menambahkan, "Cuma denger-denger, Kak Aida nyaris nggak pernah keluar dari balik meja kiosnya. Soalnya dia nggak suka orang lain lihat dia duduk di kursi roda."

Mike menggeleng-geleng dan menepuk bahu sobat cowoknya itu seraya berkata, "Makanya, gue bilang... peka dikit, Re. Terutama sama hal-hal di sekitar lo."

🍹

Reo bahkan nggak menunggu sampai ke hari latihan maraton berikutnya. Sore harinya sepulang sekolah, setelah mendengarkan cerita mencengangkan di kantin, Reo melajukan motornya ke warung jus. Untunglah, warungnya masih buka walaupun langit sudah berubah jingga keunguan.

Dan Aida, seperti biasa, masih duduk di balik kios. Hanya saja kali ini kepalanya tertunduk, seolah sedang membaca sesuatu di pangkuannya.

Reo menghentikan motornya persis di seberang warung. Tanpa membuka helmnya, cowok itu diam-diam memperhatikan sosok Aida yang entah mengapa terlihat lebih... rapuh di bawah rona senja. Garis-garis wajahnya yang lembut. Beberapa helai rambutnya yang lolos dari cepolan di puncak kepalanya...

Kemudian, ketika wajah itu tiba-tiba mendongak dan matanya yang bingung menemukan mata Reo, cowok itu kontan panik.

Alesan apa lagi? pikir Reo cepat seraya membuka helmnya.

"Lho, Reo?" Aida tersenyum cerah seraya meletakkan bukunya ke rak di belakangnya. Six of Crows, Reo berhasil membaca judul buku itu.

"Buku apa?" tanya Reo berusaha memulai percakapan.

"Ah... cerita tentang petualangan seru geng amburadul. Gitu deh, susah jelasinnya, hehehe." Aida mengibas-ngibaskan tangannya agar mereka melupakan topik itu, "Tadi kirain siapa. Kok tumben lewat sini?"

"Hm, tadi mampir ke suatu tempat beli sesuatu, jadi sekalian aja ke sini."

'Mampir ke suatu tempat beli sesuatu'... nice, ulang Reo tersiksa dalam hati.

"Terus? Mau apa?" tanya Aida, murni kebingungan saat melihat Reo duduk di kursi warung.

Reo memaki dirinya sendiri dalam hati, "Beli jus."

"Pepaya?"

"Gue nggak terlalu suka pepaya." gumam Reo, "Tapi katanya enak, jadi gue kepo."

"Nah, kan! Akhirnya nyerah juga sama reputasi tersohor jus pepaya gue!" dengan penuh kemenangan, Aida mengambilkan gelas plastik dan menyendokkan jus pepaya kental ke dalamnya.

Kemudian Aida menyerahkan gelas jusnya kepada Reo dari balik meja. Sementara Reo hendak menyerahkan uangnya, tapi ditolak oleh cewek itu.

"Nggak usah. Traktiran gue buat adek kelas penerus, hehe." dia menyunggingkan senyuman ceria.

"Trims... Kak Aida." kata Reo sambil mencoba jusnya. Aida menatapnya sambil meringis, seolah tahu betapa canggungnya situasi ini bagi cowok itu.

"Santai aja." kata Aida akhirnya, "Nggak usah kakak-kakak-an."

Reo menelan pelan-pelan, dalam hati takjub karena tampaknya cewek di hadapannya ini tahu segalanya. Reo jarang bersosialisasi dengan kakak kelas. Dan dia juga anak tunggal. Jadi dia merasa risih karena harus memanggil cewek itu dengan sebutan 'Kak'.

"Trims. Dan gue setuju, ini enak."

"Ya kan?" Aida nyengir cerah.

Warna jingga di langit sekarang sudah menghilang sepenuhnya tergantikan ungu keabuan. Keadaan warung nggak seterang tadi. Aida menatap sekeliling dan seolah ingin menyalakan saklar lampu, namun gerakannya terhenti saat dia menyadari bahwa dia harus keluar dari balik meja untuk meraihnya.

Reo menangkap gerak-gerik itu, dengan cekatan dia bangkit untuk menghampiri saklar dan menekannya hingga lampu warung menyala terang.

"Santai aja." Reo membalas seraya tersenyum simpul, sebelum Aida sempat berkata apa-apa.

Selama beberapa detik, wajah Aida diliputi semacam kemuraman yang amat samar, yang bila Reo nggak benar-benar memperhatikan, dia nggak akan ngeh.

"Udah tau soal gue dari kapan?" tanya Aida blak-blakan.

Reo meneguk jusnya lagi sebelum menyahut, "Siang tadi. Gue dikasih tau temen satu klub."

"Oh."

Keduanya terdiam.

"Emang lo risih kalo ada orang baru yang tau?" kali ini ganti Reo yang bertanya blak-blakan.

Aida mengangkat bahu dan menghela napas, "Risih dan... takut. Bukan karena takut diledekin. Tapi takut dikasihanin."

Reo menyerapi perkataan Aida sejenak.

"Hmm. Menurut gue 'nggak kasihan' itu agak susah." gumam Reo, "Itu kayak... nature-nya manusia, kan? Kasihan sama suatu hal yang menurut standar kita bernasib malang."

Aida mengamati Reo dengan tatapan syok. Mulutnya sedikit menganga.

"Gila ya, omongan lo bener-bener nggak pake filter." ujar Aida tak percaya. Namun kemudian cewek itu tertawa. Lepas sekali seolah benar-benar terhibur dengan perkataan Reo, "Sekarang gue ngerti kenapa lo dijulukin Mulut Tega."

Reo menunduk menatap remasan gelas plastik jusnya yang sudah kosong di tangannya.

"Aida?"

"Hm?"

Reo mendongak menatap cewek itu.

"Sabtu ini mau nonton latihan anak-anak klub lari?"

🍹

bersambung ke part 3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top