Locker Girl (part 3)
JUS yang sedang berusaha ditenggak Nicky tumpah sedikit ketika mendengar Evan hendak mengajaknya naik roller coaster.
Sambil terbatuk-batuk, Nicky menoleh memerhatikan wahana menyeramkan tak jauh dari tempat duduk mereka itu. Tak ada seorangpun yang berada di antrean, karena ini hari Senin. Ditambah, roller coaster itu tinggi banget. Entah sudah seputih apa wajahnya sekarang membayangkan harus menaikinya.
Evan menertawainya sembari menepuk-nepuk punggung Nicky, "Bercanda. Gue aja yang naik, lo kan baru pulih."
Nicky akhirnya berhasil menenangkan diri.
Evan bangkit.
"Gue pernah denger dari mana gitu, salah satu kunci pelepas stres adalah, naik roller coaster, terus teriak-teriak soal apa aja yang ganjel di hati lo waktu keretanya turun." dia melirik Nicky, "Udahannya bakal lega banget. Nih, gue coba praktekin."
Kemudian, dengan langkah-langkah lebar yang dramatis, Evan berlari ke arah wahana itu dan segera disambut penjaga yang tampak agak heran. Nicky terkekeh melihat penjaga itu kayaknya menanyakan pada Evan mengapa dia naik sendirian. Entah Evan menjawab apa, tetapi setelahnya si penjaga hanya tertawa dan membantu Evan melangkah masuk ke dalam keretanya.
"CEWEK LOKEEER!" Evan tahu-tahu berteriak dari keretanya, melambai-lambai heboh ke arah Nicky yang balas melambai dengan malu dan salah tingkah, karena beberapa pengunjung jadi memerhatikan ke arahnya sekarang, "LIATIN GUE!"
Nicky hanya memutar bola mata, namun gagal menahan senyuman.
Cowok itu kemudian menurunkan pengaman pada bahunya dan si penjaga memberi tanda jempol kepada operator.
Diiringi aba-aba, kereta kemudian mulai berjalan. Awalnya lintasan relnya lurus dan kecepatannya masih pelan. Namun lintasan itu lama kelamaan makin menanjak. Menanjak, menanjak semakin curam. Nicky hanya mampu mendoakan Evan dalam hati ketika kereta semakin tinggi dan semakin jauh dari tanah. Mendadak dia mendengar Evan meneriakkan entah apa dari puncak rel.
Kemudian, kereta itu meluncur turun dalam kecepatan penuh bersamaan dengan anjloknya perut Nicky dan teriakan Evan yang terbawa angin.
Teriakan Evan terus berlangsung sementara kereta itu meluncur dengan kecepatan mengerikan. Nicky melihat dari kejauhan angin mengobrak-abrik rambut pendeknya dan cowok itu bersorak antusias, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara.
Ketika kereta membelok dan berputar menghempas-hempaskan Evan di dalam kereta hingga kepalanya terantuk-antuk, Nicky memejamkan mata, tidak berani melihat. Dia bisa mendengar bunyi luncuran kereta yang melewati rel. Dia bisa mendengar samar-samar Evan terbahak-bahak antusias sambil berteriak-teriak.
Tak berapa lama, siksaan batin itu akhirnya berakhir. Evan dan kereta coaster-nya sudah kembali tiba dengan aman di stasiun. Refleks dan mungkin juga campuran dari rasa lega, Nicky otomatis bangkit dan menghampiri Evan yang berlari ke arahnya dari pintu keluar wahana.
Evan tertawa lepas di hadapan Nicky. Cowok itu lagi-lagi menyunggingkan senyuman cerah dan congkak itu, senyuman berpuas diri yang sempat dilihat Nicky tadi pagi, ketika Evan berhasil mendarat di sisi lain pagar sekolah. Evan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat.
"Lo denger teriakan gue di atas tadi?" tanya Evan bersemangat.
"Nggak, gue nggak punya pendengaran super." julid Nicky, "Denger lo ngomong apa pas tadi nyopirin gue ke sini aja gagal."
Evan terbahak-bahak mendengarnya.
"GUE BENCI OM BASTIAAAAAN!!!" Evan rupanya memutuskan untuk mengulang teriakannya demi Nicky, yang berusaha membungkam cowok itu dengan buru-buru menekap mulutnya. Pengunjung sekitar memperhatikan mereka.
"Evan diem!"
"BODO AMAT, CEWEK LOKER!!!" dia berteriak pada Nicky.
Akhirnya Nicky ikut berteriak.
"GUE BUKAN CEWEK LOKER, EVAN GILA!!!"
✪
Semangat membabi buta Evan rupanya tidak berakhir begitu saja setelah dia turun dari roller coaster. Evan kembali dari kios makanan dan mendatanginya dengan dua bungkus hotdog serta dua gelas besar lemon tea di tangannya.
"Gue kelaperan."
"Barusan kan udah makan?!" Nicky menerima hotdog dan lemon tea porsinya dengan terpaksa.
Evan hanya cengengesan dan mengunyah hotdog-nya dengan penuh sukacita. Kemudian, di tengah-tengah kunyahan dia berdeklarasi.
"Tujuan terakhir. Bianglala."
Nicky mengerang.
Pada akhirnya Nicky menurut dan pasrah saja ketika sepuluh menit kemudian mereka sudah berada di dalam antrean bianglala. Petugas membukakan pintu untuk mereka. Nicky masuk ke dalam boks kecil itu, disusul Evan yang duduk berhadapan dengannya.
"Nggak tau yang mana yang lebih bikin ngilu." Nicky menoleh was-was ke arah luar kaca jendela ketika boks mulai bergerak naik, "Ngadepin ketinggian dengan kecepatan gila-gilaan kayak roller coaster atau naik pelan-pelan kayak gini."
Evan akhirnya berhasil menebak akar ketakutan Nicky, "Lo takut ketinggian?" tanyanya.
Nicky menghela napas, "Lumayan. Waktu SD, gue pernah didorong jatuh dari tebing."
"Hah?!" Evan melotot kaget, tidak menyangka sejarahnya seburuk itu. Nicky meringis.
"Nggak didorong juga sih, dikagetin. Waktu itu studi tur ke tempat wisata air terjun. Gue lagi berdiri di pinggiran, penasaran pengen ngeliat sungai di bawah. Nggak terlalu tinggi sih, mungkin empat meteran dari permukaan sungai. Tau-tau ada temen gue yang ngagetin dari belakang. Gue kepeleset terus jatoh ke sungai." jelasnya, "Sejak itu, setiap gue ke tempat tinggi, gue selalu ngerasa gue bakal didorong jatuh ke bawah."
"Parah juga ya."
Kejengkelan Nicky seketika naik ke ubun-ubun, "Makanya, sebelum ngajak bolos sembarangan ke taman ria atau ngajak-ngajak orang naik wahana ekstrim, tanya dulu yang diajak punya fobia apa enggak!"
Tidak sesuai perkiraan, Evan tidak tertawa menanggapinya. Cowok itu malah terdiam.
"Nick, sori ya tadi pagi." gumamnya. Nada bicaranya tidak lagi seringan dan seriang tadi, "Di UKS. Gue seenaknya bawa-bawa lo..."
Sejenak Nicky ragu-ragu sebelum bertanya, "Soal Pak Bastian, ya?"
Evan tersenyum muram.
"Bokap gue udah lama meninggal. Waktu gue masih SD kelas tiga. Nyokap gue mulai deket sama Om Bas waktu dia jadi wali kelas kakak gue di SMA. Kakak gue juga alumni SMA Bakti, dia lulus lima taun lalu. Nyokap sering curhat sama Om Bas, yang kebetulan juga duda. Mereka menikah taun lalu."
Kedua tangan Evan terkepal geram ketika dia berkata lagi, "Gue nggak sudi manggil dia 'Ayah'. Ayah gue udah meninggal. Dia sakit."
Nicky tidak lagi terfokus pada pemandangan di luar boks ataupun mengkhawatirkan seberapa tingginya mereka sekarang. Cerita Evan betul-betul menyita seluruh perhatiannya.
"Gue nggak dateng di pernikahan mereka. Gue kabur ke rumah... Farah. Malemnya mereka baru sibuk nyariin gue, nelponin temen-temen gue." Evan mendongak menatap Nicky yang balas menatap cowok itu dengan sorot prihatin.
Farah, batin Nicky. Itu nama yang disebut-sebut Evan tadi waktu ribut sama Pak Bastian.
"Van..." kembali bertanya ragu-ragu, "Farah itu siapa?"
Evan menunduk, "Farah itu cewek gue, Nick."
Farah? Cewek Evan? Bukannya Farah yang tadi disebut-sebut Evan itu udah meninggal?
Nicky kemudian paham, "Dia—"
Evan kembali menatapnya dan mengangguk, "Iya. Farah udah meninggal. Ketabrak mobil di malem pernikahan Om Bas dan nyokap gue."
Nicky menekap mulutnya syok. Evan menatap lantai boks dengan sorot terluka, rahang cowok itu berkedut.
"Di hari pernikahan itu, waktu gue minggat ke rumahnya, nyokap gue nelponin semua temen-temen gue termasuk Farah. Gue ada di sana waktu Farah nerima teleponnya. Gue udah nyuruh dia supaya nggak bilang-bilang, tapi Farah nggak berani bohongin nyokap gue. Gue marah-marah. Gue malah nyalahin dia dan bilang kalo bentar lagi pasti nyokap gue dan Om Bas bakal nyusulin gue ke situ. Cukup lama kami berantem waktu itu. entah setan apa yang ngerasukin gue sampe akhirnya gue emosi banget, bikin dia nangis..."
Evan semakin tertunduk. Sulit untuk menerka rautnya saat ini. Lalu Evan melanjutkan, "...dia lari keluar rumah. Gue kejar dia sampe jauh banget, dan begitu gue berhasil nyusul dia, dia udah..."
Cowok itu kembali mendongak menatap Nicky dengan mata yang berkaca-kaca, "Farah udah geletak di jalan, berdarah-darah..." ujarnya dengan suara parau, "...dan lo tau, siapa yang keluar dari dalem mobil yang nabrak dia?"
Nicky bahkan tidak berani bernapas. Dia terlalu takut untuk mendengar apa yang akan dikatakan Evan setelah ini. Kedua pipi Evan saat ini telah basah oleh air mata.
"DIA—DIA SENGAJA NGELAKUIN ITU, NICK!" Evan berseru, kecewa dan murka, "OM BAS SENGAJA! DIA BRENGSEK!"
Evan menelungkupkan wajah ke lututnya, bahunya berguncang karena tangisnya. Nicky tak mampu berkata-kata. Pak Bastian? Sekejam itukah perlakuan pria itu? Apa yang membuat Evan berpikir terlalu jauh dengan menuduh ayah tirinya telah membunuh pacarnya?
Ragu-ragu, Nicky mengulurkan tangannya untuk meremas bahu Evan lembut, "Van... lo ada bukti soal itu?"
Atau mungkin itu murni kecelakaan?
Evan menegakkan diri. Dengan bersimbah air mata, Evan berseru frustasi, "Gue emang nggak punya bukti, Nick! Tapi gue yakin dia sengaja nabrak Farah!"
"Tapi..." Nicky masih belum bisa terima, "...ada baiknya nggak berpikiran buruk ke orang lain, tanpa dasar atau bukti. Segalanya bisa aja terjadi malem itu. Mungkin aja Pak Bastian keluar buat nyusulin lo ke rumah Farah, dan pas Farah lari keluar rumah, mobilnya kebetulan lewat dan—"
"Nah, sekarang lo ngebelain dia...?" Evan tertawa sinis, dia menatap Nicky dengan ekspresi semakin terluka. "Lo liat sendiri, gimana perlakuannya terhadap lo yang cuma telat?! Gue tau dia pasti sengaja, Nick! Dia curiga lo deket sama gue! Atau mungkin dia curiga gue aneh-aneh sama lo!"
Nicky akhirnya habis kesabaran.
"Van! Dengerin gue dulu! Lo nggak boleh asal tuduh! Dan jangan bentak-bentak gue sembarangan! Emang gue ini apaan?!" Nicky balas menyemprot cowok itu, "Lo udah maksa gue secara nggak langsung buat tau masalah lo sama Pak Bastian, terus seenaknya bawa gue kabur ke taman ria buat dengerin ocehan lo yang nggak berdasar di sini!"
Evan kelihatan benar-benar kesal, "Nggak berdasar?!"
"Lo sendiri yang bilang kalo lo nggak punya bukti!" Nicky menyeletuk ikut-ikutan emosi. Namun sadar bahwa situasi seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan tegang-tegangan, dia segera berusaha mengendalikan diri. Nicky menghela napas panjang dan meneruskan dengan nada yang lebih tenang, "Sekarang apa dasar lo nuduh ayah tiri lo udah menjadi penyebab kecelakaan Farah? Apa lo udah dengerin penjelasan Pak Bastian baik-baik? Dan jangan bawa-bawa urusan hukuman gue tadi pagi. Ini sepenuhnya antara lo dan dia, Van."
Evan terdiam. Nicky menambahkan, "Dulu gue mirip banget kayak lo. Keras kepala, nggak mau dengerin kata orang, terutama orangtua gue. Gue malah sering bikin masalah di sekolah gue dulu. Tapi gue lagi berusaha belajar. Belajar hargain pendapat orang lain. Belajar nerima. Gue belajar dengerin nasehat nyokap dan bokap gue, dan gue nerima keputusan mereka buat pindah ke sini. No drama." Nicky memandangi Evan. Dia mendesah pelan sebelum melanjutkan, "Sebaiknya omongin ini baik-baik sama nyokap lo dan Pak Bastian. Dengerin penjelasan mereka, terutama Pak Bastian. Mungkin dia emang bukan sosok yang sempurna kayak ayah kandung lo, tapi jangan biarin ini ngeracunin pikiran lo."
"Nggak ada yang bisa gantiin bokap gue." tegas Evan sambil memandangi lantai boks. Nicky mengangguk.
"Iya, setuju. Bokap lo nggak tergantikan. Tapi pikirin lagi, Van. Kasih mereka kesempatan."
Boks bergerak semakin rendah, hendak menuju bagian bawah bianglala tempat orang-orang mengantre. Pintu boks Nicky dan Evan sudah membuka di bawah. Petugas juga sudah mengulurkan tangannya untuk membantu keduanya turun dari bilik yang terus bergerak, walau lambat, namun tanpa diduga-duga, Evan menarik Nicky untuk duduk kembali di hadapannya dan menutup pintu boks. Membuat mereka kembali bergerak naik.
"Evan, lo ngapain sih?!" seru Nicky syok. Dia bisa melihat petugas bianglala yang berlari-lari kecil berusaha menyusul—namun terlambat—mengomel-ngomel kepada mereka. Evan melambai pada si petugas seraya menampilkan ekspresi meminta maaf. Kemudian cowok itu kembali berbalik menghadapi Nicky.
"Gue nggak yakin bisa kasih dia kesempatan." Evan rupanya masih melanjutkan percakapan yang sempat tertunda.
Nicky mendesah gemas, "Gue mau lo janji sama gue untuk ngomongin masalah ini baik-baik dengan nyokap lo dan Pak Bas. Kalo nggak—!"
"Kalo nggak...?!"
Nicky kehabisan akal, "Kalo nggak... gue nggak bakal ngasih izin lo buat manggil gue Cewek Loker!"
Evan terdiam. Nicky juga jadi ikutan terdiam. Perlahan, suasana suram yang menyelimuti keduanya runtuh. Evan kesulitan menahan senyum, dan dia akhirnya tertawa.
Kelegaan mengaliri Nicky karena melihat reaksi Evan yang positif. Paling tidak, dia sudah tidak se-badmood tadi. Tampaknya masih ada celah. Harapan bagi cowok itu untuk menghilangkan segala prasangka buruk terhadap ayah tirinya.
Tidak ada yang saling berbicara setelah tawa Evan mereda. Dia sungguh cowok yang ekspresif dan tak terduga. Setelah menangis, dia bisa langsung tertawa begitu saja di depan Nicky. Dan sekarang dia malah senyam-senyum misterius sambil menatap cewek di hadapannya itu, sementara boks bergerak semakin ke atas. Semakin tinggi.
"Tau nggak, kalo yang pernah dapet hukuman bejibun dari Om Bas bukan cuma lo doang?" tanya Evan tiba-tiba.
Nicky mengernyit bingung, membuat Evan menjelaskan, "Nyokap gue pernah bilang ke gue sebelum mereka menikah, Om Bas sering buntutin gue ke mana-mana tiap gue jalan ama cewek. Gue pernah ngelabrak dia, nanya apa maksudnya. Tapi dia diem aja. Nggak ngomong apa-apa. Begitu gue nanya nyokap gue, dia bilang Om Bas pengen gue konsen ke pelajaran dan nggak pengaruhin prestasi gue di olahraga. Nyokap gue bilang Om Bas kepengen gue masuk tim basket profesional setelah lulus SMA. Egois, kan? Emangnya dia pikir dia siapa, sok tau masalah kesukaan gue."
Nicky tersenyum mendengarnya, "Tapi nyatanya lo emang suka, kan? Basket?"
Evan seketika mati kutu. Wajahnya memerah campuran antara kesal dan malu.
"Tadinya gue gabung tim basket cuma buat gaya-gayaan kok. Nampang di depan cewek-cewek." akunya. Kemudian dia melirik Nicky, "Ternyata berhasil. Banyak cewek yang deket sama gue semenjak gue gabung di basket. Makin banyak pula yang dikerjain ama Om Bas. Gue pengen bikin dia kewalahan. Gue pengen bikin dia mikir kalo nggak selamanya dia bisa terus-terusan ngawasin segalanya."
Nicky hanya memutar bola mata. Dasar cowok.
"Termasuk kasus lo." tambah Evan.
Nicky mengernyit curiga, "Kasus gue? Apa hubungannya sama gue?"
Evan mengulum senyum. Tiba-tiba, dia bangkit dari kursinya dan pindah ke samping Nicky, menyebabkan boks bergoyang sedikit.
"Evan!" Nicky mencengkeram pinggiran kursinya seraya melirik ke luar jendela dengan was-was.
"Kan pagi ini lo muncul di dalem loker gue." kata Evan di sebelahnya, tanpa memedulikan protes ketakutan Nicky, "Kacangan sih ini. Tapi lo muncul kayak kado buat gue. Kado yang doyannya marah-marah dan ngasih tau gue kalo gue harus baikan sama ayah tiri gue."
"Ha-ha-ha..." Nicky hanya tertawa lemah, masih melirik gusar ke pemandangan di luar. Walaupun begitu, Nicky masih bisa merasakan tengkuknya terbakar karena perkataan Evan, juga karena tatapan tajam cowok itu yang saat ini ditujukan kepadanya.
"Makasih ya, Nick." Evan berkata pelan, "Udah berbaik hati dengerin omongan gue."
Evan menggeser duduknya hingga jarak wajahnya dan wajah Nicky dekat sekali. Cowok itu tersenyum dan berkata, "Jadi, sekarang udah boleh manggil lo Cewek Loker gue kapan aja, nih?"
Belum sempat Nicky menyahut memprotes, bahkan sebelum dia sempat menarik napas, Evan memajukan wajahnya dan memberikan kecupan lembut di pipi Nicky.
Gadis itu menatap syok Evan setelah cowok itu melepaskan bibirnya dari pipi Nicky. Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik, hingga perlahan, cengiran jahil kembali terbit di wajah Evan.
"Tenang aja, kalo Om Bas ngerjain lo lagi, gue bakal obrak-abrik ruang guru!" Evan nyengir tanpa sorot bersalah sama sekali.
Hawa panas merambat dengan cepat ke kepala Nicky, membuat hidung dan telinganya seolah berasap, pipinya memerah, serta jantungnya serasa melonjak naik ke tenggorokannya.
"EVAN GILA!!!"
✪ THE END ✪
TMI:
- Butuh waktu bagi Evan untuk sekadar gencatan senjata dengan ayah tirinya. Sebagian besarnya dimotivasi atau direncanakan oleh Nicky.
- Seluruh anggota basket sekarang mengenal Nicky, sesekali memanggilnya di koridor dan meledeknya dengan candaan-candaan light-hearted soal cucian baju yang belum selesai.
- Bu Tia berujung menjadi bestie curhat Nicky dan Evan di saat ada apa-apa.
- Pak Bastian entah kenapa berubah jadi KepSek lunak bila menghadapi Nicky, kontras banget dengan perlakuannya terhadap murid lain.
- Evan terus gencar deketin Nicky setelah itu. Nicky terpaksa pasrah dikuntit ke mana-mana, termasuk Nicky yang menemukan pesan-pesan random setiap hari dalam secarik kertas di dalam lokernya sendiri. Yang paling membuat jantungnya jumpalitan adalah salah satu pesan yang paling baru bertuliskan, 'jadi, kapan Cewek Loker dan Evan Gila bisa jadian dalam waktu dekat?'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top