Locker Girl (part 2)
KERONGKONGAN Nicky rasanya sudah setandus gurun pasir. Ubun-ubun dan telapak kakinya nyaris terpanggang. Kakinya lemas kayak agar-agar. Sudah hampir satu jam dia berdiri di depan tiang bendera, di tengah lapangan upacara yang terik. Setelah hukuman mencuci itu—walaupun dibantu Evan—tulang-tulangnya serasa mau rontok. Tapi dia masih harus menjalani hukuman berdiri di depan tiang bendera.
Nicky tidak bisa mencuri-curi waktu duduk di tengah-tengah hukumannya karena seorang guru piket—yang satu lagi, bukan Pak Sangar a.k.a. 'Om Bastian'—tengah duduk mengawasinya di kejauhan.
Nicky mengerang tak terima dalam hati.
Kenapa Pak Sangar harus jadi kepala sekolah gue?
Ancur lah reputasi gue di hari pertama...
Dia mengerjap-ngerjap.
Kok mata gue rada burem...?
"Nicky?"
Panggilan yang mengagetkan itu terlontar dari mulut Evan, yang saat ini sudah berdiri tak jauh dari Nicky, memperhatikannya dengan tatapan heran. Cowok itu sudah ganti dari seragam latihan ke seragam putih-abu-abunya. Rambutnya pun masih setengah basah dan menguarkan aroma mint.
Sialan, kok dia keren banget?
Nicky langsung mengkerut di tempat, berdoa agar Evan tidak sadar betapa lepek dan bau matahari dirinya sekarang.
"Ngapain lagi lo di sini?" Evan menghampirinya.
"Siksaan gue belum selesai." sahut Nicky, "Om Bastian-lo itu nyuruh gue berdiri juga di sini satu jam..."
"Kenapa telat sih, emangnya?"
Nicky kembali menjelaskan alasan keterlambatannya, kali ini kepada Evan setelah sebelumnya kepada guru piket yang sedang mengawasinya. Selama menjelaskan, pandangan Nicky semakin buram dan berkunang-kunang.
"Makanya gue telat dan bokap nggak bisa nemenin..."
Nicky tak kuat meneruskan perkataan. Tubuhnya akhirnya menyerah dan dia limbung ke depan, terhuyung lemas.
"Eh, Nak!" si guru piket buru-buru bangkit dan berlari ke arah Nicky, tetapi Evan yang lebih dekat dengan sigap menangkap bahu Nicky sebelum gadis itu terjatuh pingsan.
"Nicky...! Nicky...!"
Nicky hanya mendengar samar-samar panggilan bernada khawatir dari Evan sebelum segalanya menjadi gelap.
✪
"...saya paham Pak Bas, tapi sesuai keterangan Nak Nicky, dia punya alasan kenapa terlambat. Pak Bono juga tadi ternyata sudah sembuh dan datang terlambat. Dia bilang bus nya ketahan di jalan tol gara-gara ada truk terbalik..."
"Bu Tia, saya berhak kasih hukuman sepantasnya ke murid yang melanggar peraturan. Masalahnya, dia manjat pagar, Bu. Seharusnya dia bisa minta satpam untuk bukakan pintu."
"Tapi Pak..."
"Bu Tia, boleh saya bicara sama Pak Bas berdua aja soal ini? Karena sebagian ini salah saya juga." Evan menyela.
Bu Tia, guru piket yang tadi mengawasi Nicky di lapangan menghela napas berat mendengar perkataan Evan. Dia beranjak keluar dari ruang UKS dan menutup pintu.
"Om kebangetan." ujar Evan geram. Dia menampakkan ekspresi kesal yang tidak berusaha ditutup-tutupinya, "Tolong Om jangan main hukum seenaknya."
Pak Bastian tergagap, "Evan—"
"Om curiga karena tau saya dan Nicky telat bareng tadi pagi?" potong Evan tanpa ampun.
Pak Bastian kembali membuka suara, "Van, Om cuma..."
"Saya baru kenal Nicky hari ini Om. Nggak ada aneh-aneh apapun. Atau jangan-jangan emang disuruh Mama buat ngawasin?" lagi-lagi Evan memotong sinis.
"Harus berapa kali Om coba jelaskan ke kamu?" Om Bastian akhirnya habis kesabaran, "Om sayang sama Mama kamu dan sama kamu, Evan. Jadi tolong kamu beri Om kesempatan."
"Oh?" Evan terkekeh sinis, "Kalo Om sayang sama saya, Om nggak akan bikin Farah meninggal, kan?!"
Ruangan benar-benar sepi. Pak Bastian hanya mampu tergagap tanpa ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Sementara dada Evan naik-turun menahan emosi. Kemudian dia berkata lagi pada Om Bastian, "Tolong jangan ikut campur kehidupan saya, Om."
"Evan--"
Terdengar ketukan di pintu. Evan memalingkan wajah sementara seorang guru melongokkan kepalanya.
"Pak Bas, maaf... Bapak ditunggu di ruang guru soal jadwal bentrok..."
Pak Bastian hanya mengangguk, kemudian memandang Evan.
"Kita bicara nanti di rumah, Van. Kalau kepalamu sudah dingin."
Pria itu lalu meninggalkan ruang UKS, menyisakan Evan dan Nicky yang masih terbaring di ranjang pasien berdua.
"Gue tau lo udah sadar dari tadi, Nick. Nggak usah pura-pura tidur."
Nicky membuka matanya, mendapati Evan berdiri tak jauh dari ranjangnya. Masih tersisa raut kesal di wajah cowok itu.
"Sekarang gue paham Pak Satpam mungkin pura-pura tidur pas lo manjat masuk." Nicky mendudukkan diri perlahan, kepalanya masih agak pusing. "Contoh ketidakadilan dunia lainnya. Evan Distira lolos dari apapun karena dia ternyata relasi kepala sekolah... ah, sori... maksud gue--"
"Anak tiri." Evan mendengkus pahit, "Om Bas nikah sama nyokap gue belum lama ini."
Nicky terdiam sejenak.
"Gue nggak berani bangun tadi. Cuma berusaha mencerna dalam hati apa Evan Distira kelas 3 IPA-A emang udah terkenal gila di kalangan SMA Bakti apa gimana sampe berani ngelawan KepSek..."
Evan menggeret sebuah kursi plastik dan duduk di sisi ranjang dekat Nicky. Dia memberikan kompres dingin kepada gadis itu, "Kata Bu Tia, lo tadi kena sengatan panas, dan mungkin belum sarapan. Ini buat kepala sama hidung lo. Agak ruam gara-gara insiden pintu loker tadi. Sori."
Nicky menerimanya dan mengompres hidung serta dahinya bergantian. Kemudian Evan menyuruhnya meminum teh manis hangat hingga habis.
Setelahnya, Bu Tia kembali ke UKS dan Evan menyuruh Evan untuk kembali ke kelas. Setelah mengawasi Nicky menghabiskan buburnya dan memberikan obat, Bu Tia mengatakan Nicky bisa masuk kelas selepas jam istirahat siang nanti atau kalau merasa tidak kuat, dia bisa pulang saja. Bu Tia kemudian meninggalkannya untuk membiarkan Nicky istirahat lagi.
Ketika bel usai istirahat siang akhirnya berbunyi sekitar pukul satu, pintu UKS menjeblak terbuka dan Evan menghambur masuk.
"Gimana kondisi lo?" tanyanya pada Nicky.
"Gue mau masuk kelas aja, udah normal." Nicky bangkit dan meraih ranselnya.
"Udah bisa jalan? Nggak pusing lagi?"
Nicky menghela napas, "Udah nggak berasa apa-apa lagi, kok."
"Good, ikut gue aja." Evan tanpa ba-bi-bu menggenggam tangan kanan Nicky dan menggiringnya keluar UKS.
"Van, mau ke mana? ujar Nicky ketika menyadari Evan membimbingnya bukan ke kelas tapi malah keluar gedung sekolah. Evan tidak menyahut. Barulah Nicky dilanda kepanikan ketika menyadari Evan membawanya ke parkiran motor.
"Van, gue nggak mau kena masalah lagi gara-gara kabur!" desis Nicky sambil berjuang melepaskan tangan Evan dari pergelangannya, namun genggaman Evan begitu erat. Ketika Evan menghampiri salah satu motor dan mengenakan helm, ketakutan Nicky menjadi-jadi. Sebadung apapun dirinya dulu, Nicky tidak mau image dia di sekolah barunya jadi suram di hari pertamanya gara-gara cowok ini.
"Van?! Seriusan lo mau bawa gue ke mana?!" tanya Nicky kelimpungan saat Evan menyerahkan helm kedua kepadanya, "Kalo lo mau cari masalah, jangan seret-seret gue." ancam Nicky, "Gue nggak mau kali berikutnya gue ke sekolah, gue resmi dijadiin tukang cuci permanen anak-anak klub basket!"
"Cabut." sahut Evan pendek, "Gue juga udah dapet izin Bu Tia, alesannya gue mau nganter lo pulang. Jadi nggak usah khawatir. Lagian gue kenal guru-guru sini. Kalo lo takut dicap anak bandel, ke depannya tinggal sebut nama gue kapanpun lo kena masalah."
"Tapi Van, kalo gue kena masalah sama Pak Bastian itu gimana? Masalahnya omelannya itu nyerep sampe ke tulang-tulang!"
Tahu-tahu, Evan menunduk dan menggendong Nicky.
"EVAN!" Nicky menjerit syok, malu, dan panik, "LO GILA!"
"Makanya kalem aja udah, Bu Tia bakalan backing gue sama lo!" desisnya sambil masih menggendong Nicky layaknya pangeran kesiangan yang membawa kabur putri kerajaan musuh.
"Turunin gue, sekarang!" perintah Nicky panik, dan Evan betul-betul menurunkannya. Di atas jok motor.
"Motor siapa nih?!" tanya Nicky curiga, mengingat tadi pagi Evan datang tanpa motor. Evan hanya mengangkat bahu.
"Punya Fadli, temen gue. Tenang aja, dia tajir bisa minta jemput sopir. Gue minjem sementara motor gue masih di bengkel." jelas Evan sambil menaiki motor dan menyalakan mesinnya.
"Van--"
"Kenapa lagi, takut bolos?" Evan bertanya dengan nada menggoda, "Anak baik yang belom pernah bolos di SMA lamanya, ya?"
Mendengar itu, kontan telinga Nicky memanas.
"Jangan asal ngomong, ya. Dulu gue yang paling sering bolak-balik ruangan guru BK." Nicky mendamprat Evan.
Cowok itu mendengkus, "Gara-gara apa?"
"Rambut... dicat..." gumam Nicky, agak malu. Evan tertawa.
"Jadi emang belom pernah bolos, kan?!"
"Jangan bawel deh!"
"Jadi sekarang kita cabut ke mana nih, Cewek Loker?" Evan menggerung-gerungkan mesin motornya.
Nicky ternganga, dia seolah bernapaskan api saat ini, "Bukan gue yang mau cabut, tapi lo! Dan kalo lo berani bocorin ke siapapun soal insiden loker..."
"Siap!" Evan hanya tertawa-tawa jahat sementara dia mengeluarkan motornya dari parkiran. Rasanya besok-besok ingin sekali NIcky menggembosi ban motor Evan saking sebalnya.
Ketika melewati pos satpam, dengan santainya Evan menunjukkan surat dispensasi kepada Pak Satpam yang luar biasa ramah kepada Evan, membuat kejengkelan Nicky kembali memuncak. Pria itu bahkan membukakan gerbang buat Evan dan berseru agak Evan hati-hati sementara cowok itu melajukan motornya secepat kilat. Lalu semenit kemudian, mereka sudah keluar ke jalan besar.
"Nick!" seru Evan pada Nicky, berusaha meningkahi deru angin dan suara-suara kendaraan di sekitar mereka yang berisik, "Sebelum nganter lo pulang, mau main dulu nggak bentaran?!"
"HAH?" Nicky balas menyahut bingung, "GA KEDENGERAN!"
"YA UDAH, DUDUK MANIS AJA! JANGAN LUPA PEGANGAN KE GUE!"
"EVAN LO KAN BELUM TAU ALAMAT RUMAH GUE! DARI SINI KETEMU PERTIGAAN BELOK KANAN--"
Tanpa mengindahkan cerocos Nicky, Evan malah belok kiri dan terus melajukan motornya full speed, menyalip-nyalip lihai di antara kendaraan yang lumayan padat. Nicky menciut ngeri setiap kali mereka melalui dua mobil yang nyaris berdempetan, walaupun Evan pengendara yang percaya diri dan mantap mengendarai motor yang bukan miliknya.
"VAN!" Nicky sempat berseru memprotes padanya di tengah perjalanan, "NGGAK KENAL REM YA? LULUS SMA NGELAMAR JADI KURIR DELIVERY EXPRESS GIMANA?!"
Evan terbahak-bahak, kemudian dia menggerung-gerungkan mesin motornya dengan bangga.
Perjalanan yang cukup bikin stres itu berakhir kurang lebih satu jam kemudian. Akhirnya Nicky tahu Evan membawanya ke mana. Nicky pernah ke sini bertahun-tahun lalu, waktu masih kecil.
Di antara segala pilihan lain, TAMAN HIBURAN.
Mereka berbelok masuk untuk mengambil tiket parkir motor. Nicky diam saja. Dia tidak berkomentar sedikitpun ketika Evan memasuki pelataran parkir motor yang masih sepi itu. Wajar saja. Ini hari kerja!
Evan mematikan mesin saat motornya sudah terparkir rapi. Nicky turun, disusul Evan. Nicky membuka helmnya dan menyerahkannya kepada cowok tengil itu sambil menyuarakan pikirannya, "Ini hari Senin, Van."
"Terus?" Evan menyimpan helm Nicky di bawah jok motor dan menguncinya.
"Kita pake seragam." kata Nicky mengekori Evan sementara cowok itu menitipkan helmnya sendiri ke penjaga di tempat penitipan.
"Tenang aja." Evan meraih jemari Nicky dan menggandengnya menuju pintu utama taman ria, dia mengeluarkan selembar kertas dari saku seragamnya, "Ada ini."
Nicky tidak menyahut. Dia terlalu panik mendapati tangan Evan tiba-tiba menggenggam tangannya. Dia belum pernah digandeng cowok manapun sebelumnya. Apalagi yang baru dia kenal beberapa jam!
Nicky tidak tahu keseharian Evan. Apakah dia pintar? Humoris? Populer di kalangan cewek-cewek? Pesolek? Selalu bersikap spontan dan meledak-ledak? Setengah gila? Yang jelas Nicky punya perasaan dirinya bakal terus kena masalah di sekolah barunya jika dekat-dekat cowok ini.
Setibanya di loket, Evan menyerahkan surat misterius itu kepada staf tiket yang tersenyum ramah dan entah bagaimana, Evan sukses membeli dua tiket dan mereka lolos begitu saja. Tidak ada pertanyaan mengapa anak sekolah keliaran di taman ria siang-siang hari Senin begini.
"Itu tadi surat apa?"
"Surat dispensasi cadangan. Gue punya template-nya dan tadi nge-print dulu sebelum ngajak lo bolos."
Nicky hanya tercengang memandangi cowok penuh akal bulus di hadapannya itu.
Setibanya di dalam wilayah taman ria, Evan langsung bertingkah mirip anak kecil. Matanya berbinar jelalatan melihat beragam permainan dan tangannya sibuk menunjuk ke sana ke mari.
"Liat!" Evan menunjuk stand es krim yang tampaknya menggiurkan. Dia membeli dua cone, blueberry untuk dirinya dan cokelat-kacang untuk Nicky. Penjualnya keheranan melihat Evan dan Nicky yang mengenakan seragam SMA.
"Nggak sekolah, Dek?" penjual itu bertanya curiga. Nicky belum sempat membuka mulut ketika Evan sudah menyambar duluan.
"Hari ulang taun sekolah. Jadi pulangnya cepet. Udah kasih surat keterangan ke mbak-mbak loket kok, Mas."
Nicky mengawasi si penjual yang mengangguk-angguk maklum dan mengucapkan terima-kasih-silakan-datang-kembali pada dirinya dan Evan. Mereka berjalan dalam diam selama beberapa saat sebelum akhirnya, Nicky tak tahan untuk tidak tertawa.
"Biasa bohong, rupanya." komentar Nicky, setengah geli setengah menyindir.
"Bisa ketawa, rupanya." balas Evan jahil sambil terus menjilati es krimnya, yang tak sengaja menetes ke tangannya.
"Jorok banget, sih..." Nicky mengeluarkan tisu dari kantung depan ranselnya dan menyerahkannya pada Evan.
Ketika Evan bersinggungan dengan tangan Nicky, pandangan keduanya tak sengaja bertemu. Evan buru-buru membersihkan tangannya sendiri dan Nicky menjauhkan tangannya. Momen super canggung itu berlangsung selama beberapa detik, tapi efeknya benar-benar bikin malu. Seolah Evan baru sadar sedari tadi dia sudah menggandeng-gandeng anak orang seenaknya.
Nicky memaki dirinya sendiri karena merasa begitu cheesy di hadapan cowok ini. Nicky tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa Evan sangat cute. Tubuhnya tinggi, posturnya bagus—tipikal cowok yang doyan olahraga—kakinya panjang, tampangnya oke, dan senyumnya bikin meleleh. Jujur saja, Nicky tidak pernah punya teman cowok se-dreamy itu sebelumnya. Apalagi sampai digendong, dibawa bolos, dan ditraktir es krim di taman ria.
Setelah menghabiskan es krimnya, Evan mentraktir Nicky makan siang. Dia bersikeras agar Nicky makan yang banyak supaya tidak pingsan lagi. Dia juga menyuruh Nicky mengenakan topi sekolah agar tidak tersengat matahari siang.
Setelah Nicky berhasil meyakinkan cowok itu bahwa dia sudah pulih, Evan menyeret Nicky ke sana ke mari. Menaiki merry-go-round, boom-boom car, masuk photobox (Evan luar biasa sinting di depan kamera dan bikin keduanya ngakak hingga terbungkuk-bungkuk begitu melihat hasilnya yang hancur-hancuran), mencoba rumah hantu, rumah kaca, rumah miring, dan segala jenis rumah-rumahan lainnya. Evan seperti balita yang hiperaktif gara-gara kebanyakan tidur!
Tetapi tiap kali selesai satu permainan, Evan selalu menanyakan kondisi Nicky, yang Nicky amat hargai. Setelah berjalan keliling taman cukup jauh, Nicky akhirnya mengeluh kakinya serasa mau copot, dan Evan memutuskan berhenti untuk rehat.
Setelah puas istirahat, Evan sudah bangkit dan berdeklarasi, "Abis ini mau naik roller coaster?"
Nicky tersedak.
✪
bersambung ke part 3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top