Keep On Cheering! (part 2)
FIAN masih belum bisa percaya bahwa sosok dazzling yang tengah berlarian di tengah lapangan dengan mengagumkan itu adalah pacarnya.
Chandra.
Dia masih belum bisa percaya bahwa rambut lembut kecokelatan itu bisa dengan leluasa dibelainya, seperti yang cowok itu lakukan kemarin saat menurunkannya di depan rumah seusai mengantarnya pulang.
Dia masih belum bisa percaya bahwa sorot mata yang teduh dan fokus itu terkadang melenceng keluar dari jalannya latihan, terkadang sorot itu--ditambah bonus sebuah senyuman simpul yang memabukkan--diarahkan kepada dirinya di pinggir lapangan.
Dia masih belum bisa percaya bahwa tangan hangat milik cowok itu kini selalu mencari kesempatan untuk menggamit tangannya, ketika sedang berjalan, ketika sedang duduk bersebelahan, ketika cowok itu mengatakan 'sampai besok' sebelum berlalu pergi dengan motor, ketika...
"Fian?"
Fian tersentak. Chandra sudah berdiri persis di hadapannya.
"Lagi ngelamunin apa? Aku panggilin kamu nggak nyaut-nyaut." Chandra menunduk dan menyejajarkan wajahnya dengan Fian yang sedang duduk di kursi pinggir lapangan, seulas senyuman kecil terbit di wajah cowok itu.
Dia bukan cowok baik-baik seperti yang lo pikir. Gue cuma pengen lo hati-hati.
Fian buru-buru menggeleng untuk mengenyahkan kata-kata Riga yang terus terngiang di kepalanya. Mustahil cowok dengan senyuman voltase tinggi ini adalah cowok yang jahat.
"Nggak kok. Oh iya, maaf hari ini aku nggak bisa pulang bareng. Aku mesti nyari buku referensi buat kerja kelompok."
"Oh. Sama siapa?"
"Sama Riga, temen sebangku aku."
Mata Chandra menyipit, "Riga?"
"Kenapa? Dilarang?"
Suara itu asalnya beberapa meter dari samping mereka. Entah sejak kapan Riga sudah berdiri tak jauh dari tempat Fian dan Chandra berada. Riga menatap Chandra dengan sorot datar, satu tangannya berada di saku celana, sementara tangan lainnya menyangga tali ransel di satu bahunya.
Chandra menegakkan diri dan balas menatap Riga. Untuk pertama kalinya, Fian melihat sorot di mata cowok itu berubah dingin.
"Kenapa harus ngelarang? Cewek gue bisa pergi sama siapapun temennya. Itu hak dia." Chandra tersenyum, namun senyumannya tidak mencapai mata.
Riga hanya diam. Pandangannya jatuh pada satu tangan Chandra yang tengah menggenggam tangan Fian dengan erat hingga cewek itu sedikit meringis. Riga membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi bertepatan dengan itu, sebuah teriakan terdengar.
"OI, AWAS!"
Kejadiannya begitu cepat. Fian menyadari Chandra bergerak menyamping dari depannya dengan cepat dan tahu-tahu, sesuatu yang keras menghantam wajahnya.
"Aduh!"
"Fian!"
Bola basket yang baru saja mengenai wajah Fian terjatuh dan memantul-mantul di dekat kakinya.
"Fian, kamu nggak papa?" Chandra berlutut di depannya sementara anak-anak klub basket kelas sepuluh mendatanginya dengan cemas.
"Mana yang sakit?!" Riga juga berlutut di hadapannya.
Fian memegangi hidungnya kesakitan, matanya berair, "Aw..."
"Kak! Sori... sori! Saya mau nge-block tapi bolanya--"
"Ambilin kompres dingin di UKS, buruan!" Riga membentak adik kelas itu, membuatnya ciut di tempat.
"Nggak usah, ada kompres di ruang ganti basket. Pake itu aja, lebih deket, lebih cepet." Chandra menarik pelan tangan Fian hingga berdiri. Kemudian dia menatap anggota junior klubnya dan berkata, "Balik latihan sana."
"Baik, Kak. Maaf ya Kak..."
Setelah kerumunan itu membubarkan diri dengan canggung, Chandra kembali menghadapi Riga.
"Sori, tapi cewek gue nggak bisa pergi sama lo dulu kalo kondisinya kayak gini--"
"Kak, nggak papa. Ini nggak parah kok. Dikompres bentar aja juga pasti baikan." Fian berkata sengau, lalu dia menoleh pada Riga, "Ga, tunggu ya. Gue ambil kompresnya dulu."
Riga masih memandangi Chandra dengan tatapan menusuk, sebelum akhirnya dia memutuskan pandangannya dan beralih menatap Fian. Sorotnya mencair, "Oke."
Ketika Fian dan Chandra tiba di ruang ganti yang kosong, Chandra mendudukkan Fian di salah satu kursi panjang di antara loker dan dengan sigap mengambilkan cold pack dari lemari obat. Dia meremas-remas cold pack itu sebelum menempelkannya perlahan pada hidung Fian.
"Makasih Kak..." Fian memegangi cold pack itu. Suhu dingin dari kompres terasa nyaman di hidungnya.
Chandra berlutut di hadapan Fian dan menatapnya dengan sorot khawatir, "Mendingan?"
Fian mengangguk mengiyakan. Chandra tersenyum dan meletakkan tangannya di puncak kepala Fian, mengacaknya lembut.
Namun Chandra tak kunjung melepaskan tangannya dari kepala Fian, dan Fian memandanginya kebingungan. Cowok itu kemudian menurunkan tangannya dan menyingkirkan perlahan kompres yang tengah dipegangi Fian di hidungnya. Ketika mendapati sepasang mata Chandra tengah terfokus pada bibirnya, Fian merasa jantungnya berjungkir balik.
Ya ampun...
Masa...?
Kemudian satu tangan Chandra berpindah ke leher Fian. Tubuh Chandra terasa semakin condong ke arahnya, dan wajah itu terasa semakin dekat. Fian dapat melihat betapa lentik bulu mata yang menghiasi sepasang mata teduh itu, mata yang saat ini menguncinya dengan tatapan yang sayu...
Ketika Chandra memiringkan wajahnya sekian derajat, refleks Fian memejamkan mata kuat-kuat.
Gue cuma pengen lo hati-hati.
Fian membuka matanya lagi.
"S-STOP!"
Chandra terhenti. Fian mengerjap, menyadari kedua tangannya telah berada di bahu cowok itu, menahannya untuk mendekat lebih jauh lagi dari ini. Fian menelan ludah dan tergagap.
"Maaf, Kak... aku... aku nggak..."
Chandra menundukkan kepalanya menghadap lantai selama beberapa saat. Kedua tangannya yang bertumpu di permukaan kursi di samping kiri-kanan tubuh Fian mengepal. Fian dapat melihat cowok itu menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya dia menegakkan kembali kepalanya.
"Harusnya aku yang minta maaf." dia memandangi kedua mata Fian bergantian. Kemudian tatapan itu kembali turun, membuat Fian terkesiap. Tatapan dengan sorot yang gelap, yang kembali terfokus hanya pada bibir Fian. "Kamu terlalu--"
"Kak... maaf, aku... ditungguin Riga." Fian berusaha menjauhkan diri sepelan dan sesopan mungkin. Fian berdiri dan mengambil kompres yang terjatuh ke lantai akibat disingkirkan oleh Chandra tadi. Fian memberanikan diri menatap Chandra yang juga sudah ikut berdiri bersamanya, dan betapa leganya dia mendapati sorot gelap di matanya telah sirna. Ekspresi cowok itu terlihat lembut seperti biasa.
"Telpon aku kalo kamu udah sampe rumah ya." Chandra berujar.
Fian mengangguk dan melambai. Ketika sudah berada di luar ruang ganti, dia menutup pintu di belakangnya dan mendesah panjang. Fian lega Chandra tidak mengikutinya.
Namun ternyata, dia tidak sendirian di koridor. Riga sudah berdiri menyandar pada dinding di samping pintu. Kedua tangannya bersedekap di dada. Alis hitamnya yang tebal sedikit terkerut. Di salah satu bahunya tersampir ransel Fian yang tadi sempat tertinggal di lapangan.
"Riga?" Fian melepaskan tangannya dari gerendel pintu, menyadari dengan tidak nyaman bahwa Riga berdiri persis di sebelah jendela ruang ganti yang gordennya tidak ditutup.
Riga hanya memandangi Fian selama beberapa saat. Rahangnya mengatup kaku. Kemudian pandangannya teralih pada kedua tangan Fian, dan ekspresinya mengeras. Seolah dia geram dan kesal terhadap sesuatu, tetapi berusaha tetap menahannya.
"Udah siap?" tanya Riga, akhirnya.
Fian hanya mampu mengangguk dan mengulurkan tangan kanannya untuk mengambil ransel dari bahu Riga. Namun betapa terkejutnya Fian ketika cowok itu malah menggamit tangan kanan Fian yang terulur dengan tangan kirinya dan menariknya untuk berjalan bersama-sama menyusuri koridor yang sepi menuju parkiran motor.
"Kalo dia nyoba macem-macem lagi..." Riga memecah keheningan setelah keduanya berjalan selama beberapa saat dalam diam, "...panggil gue."
Fian menoleh menatap Riga dengan kaget, dan Fian dapat merasakan genggaman tangan cowok itu mengerat, nyaman dan menghangatkan. Begitu berbeda dengan genggaman tangan Chandra di lapangan tadi.
Fian menunduk menatap satu tangannya yang bebas dan tersadar bahwa ternyata, sejak keluar dari ruang ganti, kedua tangannya gemetar dengan hebat.
🏀
Fian sedang sibuk mengunyah keripik balado sambil menonton YouTube ketika pintu kamarnya mendadak terbuka dan Fita menghambur masuk sambil menangis.
"Kak Fiaaaannn...!" rengeknya memelas dengan mata dan hidung yang basah. Dia memeluk kakaknya hingga keripiknya berhamburan di atas tempat tidur.
"Lo kenapa?!" tanya Fian kebingungan. Satu tangannya menepuk-nepuk punggung adiknya sementara tangan yang lain memunguti remahan keripik yang terhambur di atas seprai dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Cowok gue! Huhuhu..."
Fian menghela napas berat. Sejak adiknya jadian, selalu ada saja hal-hal yang dia jadikan bahan curhatan.
"Kenapa lagi sekarang, hm?"
"Sobat gue yang tau kami pacaran, kemaren liat dia boncengan dan gandengan sama cewek lain..."
Fian menjauhkan tubuh adiknya agar dia bisa melihat wajahnya dengan jelas, "Tuh, kan! Makanya nggak usah sok-sok backstreet! Biar orang pada tau dia cowok lo dan kalo dia selingkuh, jadi lebih gampang ketauannya!"
"Mama sama Papa gimana, Kak? Lo sih enak udah boleh pacaran..." Fita merengut dengan wajah sembab.
"Oh iya, bener juga..." Fian terkekeh.
"Gue barusan nelpon dia dan minta penjelasan. Dia ngaku itu bener... tapi dia bilang kalo cewek itu cuma sepupunya. Gue harus percaya dia nggak sih, Kak?"
Fian menghela napas lagi.
Selama kurang lebih satu jam berikutnya, telinga Fian panas akibat mendengarkan rentetan curhatan dari adiknya itu soal cowoknya. Tetapi semakin mendengarkan cerita-ceritanya, entah mengapa Fian jadi terpikir kembali insiden di lapangan basket, ketika hidungnya terkena bola.
Sejujurnya, ada perasaan mengganjal yang Fian tidak ceritakan kepada siapa-siapa sejak insiden itu, dan entah bagaimana mendengarkan curhatan Fita saat ini membuat perasaan ganjil itu kembali menyeruak.
Maka setelah Fita akhirnya meninggalkan kamarnya mendekati tengah malam, Fian mengambil ponselnya dan membuka aplikasi chat. Jempolnya hendak mengetikkan kata-kata, namun batal dan beralih menekan tombol panggil.
"Halo?" suara cowok di seberang menyahut.
"Sori malem-malem, udah sempet tidur tadi?"
"Belom, lagi rebahan aja." dia menyahut, kemudian bertanya bingung. "Kenapa?"
Fian memutar-mutar ujung kausnya, "Ga, mau nggak nemenin gue jalan besok?"
🏀
"Lepas kacamata lo."
"Hah?"
Riga kehabisan kesabaran. Dia menyambar kacamata hitam besar yang bertengger di hidung Fian dan memasukkannya ke dalam saku jaket jinsnya, "Kalo mau mata-matain orang nggak usah pake kacamata item. Korban film banget, hih."
Fian mendesah dan menegakkan diri dari balik salah satu pilar besar di dalam suatu mall, Sabtu siang itu. Setelah menyetujui ajakannya tadi malam, Riga menemaninya mengawasi Fita berkencan hari ini. Menurut cerita adiknya tadi malam, sebagai permintaan maaf karena telah menyebabkan kesalahpahaman, cowok Fita mengajaknya makan siang bareng di mall ini hari ini.
"Mana sih, cowoknya? Penasaran gue." Fian celingukan ke sana ke mari sementara di kejauhan, Fita masih sibuk memilah-milah baju di salah satu toko.
"Lo sendiri, mana cowok lo?" tanya Riga.
"Sibuk." sahut Fian pendek.
"Sabtu gini?" komentarnya skeptis.
"Lagi ada latihan tambahan beberapa minggu ke depan."
Riga menatap Fian penuh arti.
"Lo percaya?"
Fian hanya diam. Dia berusaha fokus memperhatikan adiknya alih-alih memikirkan pertanyaan Riga.
Setelah kurang lebih lima belas menit menunggu, mata Fian akhirnya menangkap sesuatu. Fita terlihat melambai pada seseorang di kejauhan. Cowok tinggi itu berlari-lari kecil menghampiri adiknya, posisinya membelakangi Fian dan Riga, jadi mereka tidak dapat melihat wajahnya.
Namun Fian tidak akan keliru mengenali profil itu di manapun.
Sepatu kets Riga berdecit di lantai saat Fian menarik lengannya untuk mencegahnya menyerbu cowok itu dan membongkar persembunyian mereka. Riga mengepalkan kedua tangannya di sisi-sisi tubuhnya, memandangi Fian dengan sorot campuran antara marah dan tak percaya.
"Fi, itu Chandra." Riga menggeram kesal, seolah semuanya belum cukup jelas saja.
Fian menyaksikan ketika cowok di kejauhan itu berputar. Itu benar-benar Chandra. Chandra yang sama dengan yang dikenalnya. Dengan rambut kecokelatan yang sama. Senyum simpul yang sama. Mata teduh yang sama.
Kemudian, Chandra terlihat mengisiki sesuatu ke telinga Fita dan mengecup pipinya pelan, menyebabkan Fita terkekeh malu. Lalu Chandra melingkarkan lengannya ke sekeliling pinggang Fita, sementara Fita balas bersandar ke bahu cowok itu, bersama-sama berjalan menuju ke sebuah restoran.
Fian berpikir cepat sambil masih menahan lengan Riga.
Dia akhirnya mengeluarkan ponsel dan menghubungi Fita.
Fita menjawab pada dering kedua, "Halo Ka--"
"Gue lagi di luar pintu barat mall. Please ke sini dan ajak cowok lo. Please jangan bilang ke dia kalo lo mau ketemu gue. Penting."
Tut. Fian mematikan sambungan, kemudian melangkah ke arah yang berlawanan, menuju ke luar mall.
Riga berjalan di sampingnya, nadanya kaku, "Gue bisa nonjok dia di depan umum."
"Tapi gue nggak mau lo kena masalah sama sekuriti mall." ujar Fian, tatapannya masih tertuju pada pintu keluar, "Dan gue nggak mau bikin Fita kena malu di hadapan publik cuma gara-gara si brengsek muka dua itu. Ini pengalaman pacaran pertama Fita."
Fian tidak sedang dalam posisi dapat melihat ekspresi Riga, namun saat ini dia dapat merasakan pandangan cowok itu yang tak putus ke arahnya.
"Gimana dengan lo? Ini juga pengalaman pertama lo pacaran, kan?" kata Riga, terdengar tak dapat menerima sepenuhnya alasan Fian.
Fian tidak menjawab.
Keduanya tiba di luar pintu barat mall yang jauh lebih sepi. Ini merupakan jalur khusus drop off kendaraan roda empat, sehingga kondisinya tidak seramai lobi-lobi lain. Fian meneruskan jalannya hingga memasuki area parkir yang jauh lebih sepi lagi.
Tak berapa lama, muncul Fita dari pintu keluar yang sama, dengan Chandra yang mengikuti di sebelahnya. Ketika matanya menemukan mata Fian, cowok itu tampak...
...datar.
Seolah dia sudah menduga hal ini cepat atau lambat akan terjadi.
"Kak Fian. Kak Riga..." Fita menyapa dengan bingung, "Ng... kenalin, ini Chan--"
"Udah kenal, kok." sahut Fian kalem, "Chandra ini pacar backstreet lo Fit?"
Fita mengangguk malu-malu, "Iya... tapi kok Kak Fian bisa kenal--"
"Dia di SMA Bakti juga." Fian menatap Chandra sambil tersenyum tipis, "Wakil ketua klub basket. Kelas dua belas IPA-1. Nomor absen enam belas. Cowok yang latihan-latihan basketnya selama ini selalu setia gue tonton, sambil sorak-sorak kayak orang bego dari pinggir lapangan. Cowok yang... beberapa minggu lalu bilang kalo dia juga suka sama gue. Cowok yang beberapa minggu lalu bilang ke gue kalo dia sebenernya juga udah lama merhatiin gue. Cowok yang dengan idiotnya gue jadiin pacar, tanpa tau kalo ternyata dia ngeduain gue sama adek gue sendiri. Apa lagi? Perlu gue sebutin plat motor sama tanggal ulang tahunnya juga?"
🏀
bersambung ke part 3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top