Keep On Cheering! (part 1)
BEL tanda pulang di SMA Bakti telah berbunyi beberapa jam yang lalu.
Koridor-koridor sekolah telah sepi oleh murid. Para guru juga sudah sebagian besar pulang ke rumah masing-masing, hanya menyisakan beberapa staf sekolah yang wara-wiri, anggota-anggota ekstrakurikuler...
...dan termasuk di antaranya, seorang cewek yang heboh berlari-lari ke arah lapangan.
Cewek itu--namanya Fian--tidak mengindahkan teman-teman satu klub madingnya yang berusaha ber-dadah ria. Bahkan, tadi dia langsung melesat keluar kelas begitu ketua klub menyudahi pertemuan. Fian berlari sambil merutuk dalam hati, karena tidak biasanya pertemuan anak mading diadakan di hari Kamis.
Saat ini, yang ada di kepalanya hanya satu; lapangan basket.
Suara decitan sepatu kets milik Fian terdengar nyaring beradu dengan lantai keramik koridor menuju lapangan, dan debu mengepul dari tanah kering yang dipijaknya ketika dia mengerem langkah persis di tepi lapangan basket. Dia melirik arlojinya panik.
"Telat satu menit, empat puluh dua detik..." ratapnya. Namun ratapan itu tidak berangsur lama. Fian mendongak menatap ke balik pagar jaring tinggi yang membatasi lapangan basket. Ketika menemukan siapa yang dicarinya, pandangannya berbinar-binar.
Tiap kali Fian melihat cowok itu berlari sambil menggiring bola, tiap kali cowok itu loncat dan memasukkan bola ke dalam ring, tiap kali kedua kaki jenjangnya kembali menjejak ke lantai lapangan, tiap kali keringat menetes dari pelipisnya, tiap kali dia melangkah dengan angin berhembus mengacak rambut kecokelatannya yang kayaknya lembut banget itu dan dia menyisirinya dengan jemari agar tidak menghalangi pandangan... Fian merasa lututnya lemas dan kakinya berubah menjadi jeli.
Fian menarik napas dalam-dalam, lalu berseru ke arah tengah lapangan dengan segenap hati.
"KAK CHANDRAAAAA, SEMANGAATTTT!!!"
Si cowok yang dimaksud, Chandra, mengelap keringatnya dengan punggung tangan dan celingukan kaget mencari arah datangnya teriakan itu. Ketika pandangan mereka bertemu, Chandra mulanya melayangkan tatapan agak bingung, namun akhirnya dia membalas lambaian antusias Fian dengan senyuman simpul dan anggukan kecil.
Seketika, Fian merasa jantungnya tertohok panah cupid.
Ganteng banget, Ya Tuhan!!!
Terkena efek dahsyat senyuman cowok favoritnya, Fian secara tak sadar melangkah mundur dan tersandung semak-semak rendah di belakangnya. Dia terhuyung dan pantatnya mendarat di atas tanah dengan menyakitkan.
"AW!!!" Fian mengaduh cukup keras, mengakibatkan gerombolan murid sepak bola yang kebetulan sedang lewat di dekatnya menoleh dan menertawainya.
Kecuali satu cowok yang sontak mengerem langkah dan memandangi Fian kaget. Sambil masih menenteng sebuah bola sepak dengan kedua tangannya, dia menghampiri Fian yang terduduk di antara semak-semak dengan kernyitan di dahi.
"Abis ngapain sih, Fi?" tanya Auriga keheranan.
Fian meringis, "Ya, kira-kira aja kenapa gue bisa begini, Riga pinter!"
Riga menahan tawa, "Kesandung?"
"Iya, gara-gara mau nangkep panah asmaranya Chandra." Fian ngedumel bete.
Senyuman di sudut bibir Riga kontan lenyap.
"Oh. Masih?"
Fian meringis lagi. Dia memutuskan untuk mengabaikan sindiran cowok itu, "Mending bantuin gue berdiri, Ga."
Riga menghela napas. Dia memindahkan bola sepak ke salah satu tangannya sementara tangannya yang lain terulur untuk membantu Fian. Ketika sudah berdiri, cewek itu semakin mengernyit kesakitan.
"Aduh..."
"Mana yang sakit?" tanya Riga.
"Bokong gue, hehe." jawab Fian, membuat Riga berdecak jengkel dan berbalik hendak kembali ke teman-temannya. Tahu bahwa ini jam pulang latihan anak-anak sepak bola, Fian memanggil panik, "E-eh, mau ke mana? Nggak pulang bareng?"
Riga mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Tumben. Bukannya lo masih mau nangkepin panah asmara?"
Fian memandangi lapangan basket dengan tatapan nelangsa campur tak rela. Sejak secara kebetulan menjadi partner sebangku di hari pertama masuk SMA, tanpa diduga Fian dan Riga segera menjadi teman akrab. Bahkan hingga mereka sekarang duduk di kelas sebelas, nyaris setiap hari pula cowok itu mengantarnya pulang dengan motornya.
Namun belakangan, rutinitas pulang bareng itu tidak berlaku setiap Selasa dan Kamis sore, karena Fian bela-belain menyediakan waktu untuk menonton latihan tim basket hingga sore demi Chandra.
Chandra, si kakak kelas dua belas yang sukses menjerat hati Fian karena senyumannya yang begitu dazzling dan karismanya yang maksimal saat bermain basket.
Tapi gara-gara nasib sialnya hari ini, Fian mau tak mau harus merelakan diri untuk bolos nonton. Ditambah, dia merasa kaki kirinya keceklik dalam upayanya menahan jatuh tadi.
Ketika mendapati Fian tak kunjung menyahut, Riga memutar bola mata dan meneruskan jalannya.
"Rigaaa..." Fian berusaha menyusul sambil menahan sakit di pergelangan kakinya. Lalu Fian mulai melancarkan strategi favoritnya bila mood Riga sedang jelek. Dia merengek keras-keras, "...sobat gue Auriga yang pinter, kapten sepakbola paling keren, cowok terloyal, dan terbaiiik sedunia, mau ya?! Ya?! YA?!"
"Berisik." komentar Riga datar.
"Rig--" kata-kata Fian terhenti karena sudah tak sanggup menahan sakitnya. Dia berhenti melangkah dan celingukan mencari tempat untuk duduk.
Menyadari Fian tertinggal di belakangnya dan tak kunjung menyusul, Riga lagi-lagi menghela napas dan menghentikan langkah. Kemudian dia melempar bola sepak yang dipegangnya ke arah teman-temannya yang masih berdiri menunggu tak jauh dari TKP, "Lu pada balik duluan aja!"
"Lah, nggak jadi nge-warung, Ga?!" Reza, wakilnya di klub sepak bola balas berseru sambil menangkap lemparan bolanya.
"Gue mau nganter Fian!" seru Riga, yang dihadiahi jempol dari cowok-cowok itu, dan membuat Fian terdongak kaget.
"Okeh, Pak Ketua! 'Met honeymoon!" salah satunya berseloroh.
"Bacot..." Riga menggerutu dan berbalik untuk menghampiri Fian kembali, "Kalo cedera tuh ngomong. Pegangan sama lengan gue."
Fian memandangi Riga berkaca-kaca, terharu sekaligus agak puas karena strateginya sukses, "Lo emang sobat gue yang paling keren dan yang paling ba--"
"Ditunggu undangannya!" Reza berseru centil.
"BACOT!" Fian dan Riga sama-sama berteriak kesal.
Sementara itu di lapangan basket, Chandra tengah berdiri diam memperhatikan Fian dan Riga berlalu menjauh.
"Tadi cewek lo, Chan?" tanya salah satu teman se-timnya, Evan.
"Hng? Bukan..." jawab Chandra hanya separuh fokus, karena matanya masih menatap punggung cewek itu dengan sorot tertarik.
🏀
"Kalo lagi kompres jangan langsung ditempel es batu. Dibungkus dulu."
"Hm."
"Kalo tidur, ganjel kaki lo pake bantal supaya lebih tinggi."
"Hmm."
"...masih sakit?"
"Hmmh."
"Banget?"
"Humayan." Fian menelan makan malamnya susah payah. Saat ini dia tengah berada di ruang makan bersama adik perempuannya. Riga tengah meneleponnya, dan kedua orangtua Fian sedang keluar untuk belanja bulanan, jadi loudspeaker ponselnya diaktifkan, "Riga, gue nerusin makan dulu ya. Jangan lupa besok pagi gue nitip ke adek gue Fita buat bawain surat sakit. Tolong ketemuan sama Fita di pertigaan biasa lo nurunin gue ya."
"Tanggung. Gue samper rumah lo aja pagian dikit."
"Nggak usah!" cegahku, "Lo udah nganterin gue sampe depan rumah hari ini. Sayang bensin."
"Ck, bawel... suka-suka gue lah. Besok tunggu aja di rumah, Fita nggak usah ke mana-mana."
Tut. Sambungan diputus.
"Pacarin aja sih kak cowok kayak gitu. Tanpa pamrih banget." ledek adiknya, Fita, dari seberang meja.
Fian hanya mendengkus.
"Kebawa-bawa ngurusin temen-temennya yang sering cedera pas main bola, jadi gitu." komentarnya, "Lagian nggak usah sok-sok ngurusin gue pacaran, please. Lo masih bau kencur."
"Ah, ngaku aja kalo ngiri badan gue lebih bagus dari lo, Kak."
Soal Fita yang punya tubuh lebih 'jadi' dibanding Fian, itu memang fakta. Padahal dia masih duduk di kelas sembilan.
"Nanti, ya. Nanti kalo lo udah punya cowok beneran, gue nggak bakalan bikin hidup lo berdua tenang." ancam Fian sambil menyuap nasi gorengnya.
Fita memutar bola mata, "Telat banget sih, gue juga udah pu--"
Fian sontak menghentikan kegiatan mengunyahnya dan membelalakkan bola mata.
"Udah punya cowok ya lo?!" tuding Fian sambil menunjuk Fita dengan garpu. Beberapa butir nasi berhamburan dari mulutnya.
Kedua pipi Fita sontak memerah, "Ih..."
"Mampus lo! Gue bilangin Mama Papa ah! Kan lo belom boleh pacaran! Hahahaha!"
"Kak plis..." Fita langsung meruntuhkan sikap sok juteknya dan memegangi tangan kakaknya, tampangnya memelas, "Backstreet soalnya... gue bisa digorok Mama... terus cowok gue bisa digorok Papa..."
Melihat tampang adiknya yang kelihatan nyaris menangis, Fian jadi luluh.
"Suka banget ya sama dia?" tanya Fian, tersenyum menggoda.
Fita hanya bersemu dan mengangguk.
"Oke. Gue nggak bakal bocorin ke Mama Papa. Tapi janji ya pelajaran jangan lo telantarin. Janji juga jangan 'aneh-aneh' sama cowok lo."
"Iya..."
"Oh. Dan gantiin tugas cuci piring gue tiap hari Jumat mulai sekarang dan seterusnya."
"HAH?!"
Fian hanya tertawa-tawa jahat sementara adiknya melontarkan protes-protes bernada kesal sepanjang sisa makan malam.
🏀
Selasa sore. Kondisi kaki Fian sudah pulih sepenuhnya, jadi dia kembali pada rutinitas mingguannya yang dia nanti-nantikan.
Nontonin latihan Chandra.
Tapi sebelum itu, Fian tadi berpapasan dengan Riga di koridor. Cowok itu terlihat berlari-lari dengan tampang panik. Ada anggota sepak bola yang terjatuh dan cedera lumayan parah. Manager klub sepak bola sedang cuti sakit, ditambah persediaan perban dan obat merah klub sepak bola sudah habis. Jadi Fian menawarkan diri untuk mengambilkan kotak P3K di ruang loker gimnasium, sementara Riga mencoba peruntungannya di UKS.
Hitung-hitung lokasinya dekat dengan lapangan basket.
Namun ketika membuka pintu ruang loker, Fian disambut sosok yang tidak diduga-duga.
"Kak Chan--Kak Chandra." gagap Fian, merasa mendadak tenggorokannya macet karena mendapati Chandra, idolanya, subjek lamunan tengah harinya, kakak kelas bening favoritnya, saat ini tengah berdiri persis di hadapannya hendak keluar dari dalam ruangan.
"Oh... sori." Chandra membuka pintu lebih lebar dan buru-buru minggir agar Fian bisa masuk. Gentleman banget!
Fian masuk ke dalam ruang loker dan melihat sekeliling, berusaha mengabaikan jantungnya yang berdentum-dentum tak terkontrol dan perutnya yang jumpalitan akibat kehadiran Chandra. Tidak ada tanda-tanda kotak P3K di manapun.
"Cari apa?" Chandra yang melihat Fian kebingungan pun bertanya.
"Mau cari kotak P3K. Biasanya ada satu di sini..."
"Hmm." Chandra tampak berpikir, "Kayaknya kemaren dipake deh, terus nggak tau dibalikin ke mana. Kalo di ruang ganti anak basket sih masih ada."
"R-ruang ganti?" ulang Fian keringat dingin.
Melihat reaksi Fian, Chandra mengulum senyum. "Ayo, gue temenin."
Perut Fian bersalto heboh, "O-oke, Kak."
Sepanjang jalan menuju ruang ganti, Fian hanya mampu membisu. Gadis itu merutuki dirinya sendiri. Saat ini cowok idamannya tengah berjalan di sampingnya, hanya berjarak beberapa sentimeter, tapi dia malah bungkam total.
"Kalo lagi nggak nonton latihan, ternyata lo normal-normal aja ya."
Fian mendongak mendengar kata-kata Chandra, "Eh?"
Chandra menoleh padanya, "Gue pikir lo orangnya... selalu heboh. Temen-temen basket gue sampe ada yang ngira kita pacaran."
Fian merasa pipi dan tengkuknya terbakar, "Eh... sori Kak kalo sampe kayak gitu..."
Chandra terkekeh.
"Kalo misal ganggu, janji deh gue nggak bakal dateng lagi." Fian menambahkan dengan nada lesu dan tak rela. Mereka sudah tiba di depan ruang ganti anak basket.
"Kata siapa gue ngelarang? Cuma... next jejeritannya dikecilin aja. Lagian kalo ngga ada lo, kayak ada yang kurang." Chandra tersenyum sambil membuka pintu ruang ganti, lalu satu tangannya yang lain menahan bahu Fian dengan lembut, "Bentar, gue dulu yang masuk biar 'aman.'"
Fian hanya mampu mematung di depan pintu ruang ganti seperti orang bodoh. Kata-kata yang diucapkan Chandra barusan membuatnya serasa terbang ke langit ketujuh.
Kak Chandra ternyata selama ini notice gue!
Dia bilang kalo nggak ada gue berasa kurang!
"Fian?" tahu-tahu Chandra sudah kembali sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah cewek itu, "Kosong kok, lo bisa masuk."
Hidung Fian mengembang bahagia.
Kak Chandra tau nama gue!!!
Masih dikelilingi bunga-bunga, Fian masuk ke dalam ruang ganti dan benar saja, dia langsung menemukan kotak P3K di dalam lemari obat. Setelah mengambilnya, Fian menghampiri Chandra dengan sumringah.
"Makasih, Kak! Gue ke lapangan bola dulu buat ngasih ini, nanti gue balikin kotaknya lagi."
"Sama-sama."
Fian tersenyum senang dan melangkah ke pintu hendak keluar, namun...
"Mm... Fian?"
Fian mengerem langkahnya dan berbalik agak terlalu cepat, "Ya, Kak?!"
Chandra tampak gugup.
"Gue... boleh minta nomer hp lo?"
🏀
Terdengar bunyi denting notifikasi dari ponsel Fian, menandakan sebuah chat masuk.
Fian terkikik.
Bunyi dentingan terdengar lagi.
Fian terkikik lagi.
Bunyi dentingan beruntut kini terdengar.
Fian terkikik-kikik semakin heboh.
"Woy! Fokus!" Riga mengetuk-ngetukkan ujung pensil mekaniknya ke atas laptop dengan jengkel. Fian buru-buru meletakkan ponselnya dan meneruskan mengetik. Saat ini Riga tengah duduk di lantai ruang tamu rumah Fian bersebelahan dengan cewek itu, berjuang menyelesaikan tugas berpasangan presentasi Sejarah mereka yang tenggatnya besok.
"Sori... ke-distract." gumam Fian dari sebelahnya.
Riga hanya diam. Dua minggu ini, dia menyadari sikap Fian yang jadi aneh. Bukannya sebelumnya cewek itu belum cukup aneh. Tapi ini levelnya sudah keterlaluan. Kadar melamunnya jadi meningkat drastis. Kadang tertawa-tawa sendiri. Kadang suka menghela napas tanpa alasan...
Tapi yang paling membuat Riga frustasi adalah karena obrolan mereka di tempat parkir sekolah sore tadi.
"Hah?" Riga menurunkan kembali helmnya, takut salah dengar.
"Makasih ya, lo udah mau repot-repot barengan sama gue sampe sekarang. Tapi lo nggak usah nebengin gue lagi mulai besok." Fian mengulang perkataannya kepada Riga yang saat ini sudah berada di atas motornya, "Gue... udah ada tebengan lain."
Selama beberapa saat, yang terdengar hanyalah derum rendah mesin motor yang dibiarkan menyala. Keduanya terdiam.
"Siapa?" Riga akhirnya bertanya.
Fian meliriknya takut-takut.
"Kak Chandra."
...
...ga?"
"Riga?"
Riga tersentak menyadari panggilan Fian.
"Tumben amat sih lo bengong?" Fian bertanya cemas, "Kalo lagi ada masalah tuh cerita."
Riga hanya memandangi sobat ceweknya itu.
"Fi."
"Hm?"
"Sejak kapan lo pacaran sama si Chandra?"
Jemari Fian seketika berhenti mengetik.
"Hah...?" Fian terkekeh gugup, "Gimana maksud lo? Gue? Sama Kak Chandra? Haha... haha..."
Riga hanya perlu memandang Fian dengan kedua alis terangkat dan memasang ekspresi datar andalannya, ekspresi yang selalu dia pasang ketika tahu gadis itu tengah membual, sekaligus seolah memberitahu bahwa sampai kapanpun bakat bohong Fian akan selalu nol besar.
Fian menelan ludah di bawah tatapan menghakimi Riga.
Fian akhirnya menyerah. Kedua bahunya turun lesu, "Udah... seminggu."
Riga mengatupkan rahangnya rapat-rapat.
"Seminggu." ulang Riga.
Fian mengangguk.
"Dan lo nggak ngomong satu hal pun tentang ini." ujar Riga, pelan dan berbahaya.
Fian bergerak gelisah di sebelahnya, "Soalnya gue tau reaksi lo bakal gini."
Riga berjuang mati-matian agar tidak mematahkan pensil mekanik di tangannya.
"Dari sekian banyak cowok di SMA Bakti, kenapa harus dia sih?"
Fian akhirnya menarik jemarinya dari atas keyboard laptop dan memutar badannya hingga menghadap Riga.
"Tuh kan, Ga. Sebenernya gue udah lama pengen nanya soal ini." Fian memberanikan diri, "Kenapa lo alergi banget sih, sama Kak Chandra?"
Fian memperhatikan cowok itu terdiam. Sudah setahun lebih dia bersahabat dengan Riga. Walaupun Riga bukan tipe cowok yang banyak bicara, selama ini Fian mengenal cowok itu cukup transparan dan terus terang terhadap hal-hal yang ada di pikirannya. Karena sikap tegas itulah dia ditunjuk jadi kapten tim sepak bola sekolah.
Tapi hingga saat ini, hingga mereka sama-sama kembali duduk sebangku di kelas sebelas, Fian masih belum dapat memecahkan alasan kebencian Riga terhadap kakak kelas mereka, Chandra. Fian menyadari soal itu semenjak dia baru mengenal Riga di kelas sepuluh. Jadi Fian tahu itu pastilah sesuatu yang serius. Dan demi menjaga perasaan Riga, dia tidak pernah menyuarakan pertanyaannya secara terang-terangan sebelum ini.
"Dia... bukan cowok baik-baik seperti yang lo pikir, Fi." jawab Riga, akhirnya memecah keheningan. Lalu dia menambahkan, "Gue cuma pengen lo hati-hati."
Kemudian Riga menarik laptop dari meja rendah di hadapan Fian ke depannya dan meneruskan tugas mereka. Saat itu, ada begitu banyak pertanyaan yang bermunculan di kepala Fian. Tapi cewek itu tahu dari gestur Riga, bahwa Riga sudah tidak berminat untuk meneruskan percakapan ini.
🏀
bersambung ke part 2
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top