Canon (part 1)
"POKOKNYA GUE NGGAK MAU IKUT ESKUL MUSIK!"
Teriakan membahana itu berasal dari salah satu ruang kelas sepuluh di SMA Bakti, ketika jam pelajaran sekolah telah berakhir.
Hanya ada dua murid perempuan yang tersisa di dalam kelas itu; si rambut sebahu, yang duduk di salah satu kursi dengan raut menyerah, dan si rambut kuncir dua, yang berdiri berkacak pinggang dengan raut emosi.
Yang barusan meneriakkan protes soal ekskul musik adalah si kuncir dua. Namanya Lala.
Saat ini, Lala tengah menumpahkan kekesalannya kepada sahabatnya, Riri, karena apa yang diperbincangkan wali kelas dan ibunya semalam.
"Ceritain pelan-pelan, La." desah Riri, sedang berusaha memahami akar kekesalan sobatnya itu sambil menyeruput matcha latte yang baru dibelinya minimarket sebelah. "Bu Estu nelpon nyokap lo soal apa?"
Lala menghela napas. Dia meniup-niup poni yang menutupi dahinya dan mulai mondar-mandir dengan gelisah.
"Bu Estu nelpon nyokap gue," kata Lala, melambatkan bicaranya. "Bilang kalo gue belum ikut ekskul apa-apa sejak keluar dari Paskibra sebulan lalu..."
"Lagian lo kenapa keluar segala?"
"Anggota Paskib disuruh minum susu putih sebotol tiap pagi sebelum hari latihan, Ri!" Lala berseru nyaris histeris, "Lo tau sendiri kan betapa bencinya gue sama susu putih dan segala bentuk turunannya?!"
Riri mengangkat kedua tangannya menyerah, "Oke-oke, terus?"
"Nah, mereka jadi ngobrol, kan. Nyokap segala cerita-cerita ke Bu Estu soal profesinya dan profesi bokap sebagai anggota orkestra. Jadi disebut-sebutlah ekskul musik. Makanya tadi pagi Bu Estu neror gue buat ikut ekskul musik!" Lala menjejakkan kakinya kesal.
"Emang kenapa kalo ikut ekskul musik?" kelemotan Riri berlanjut.
"Ri, gue tinggal sama bokap nyokap gue twenty four per seven, bokap pemain saxophone dan biola, nyokap cello dan piano dan biola. Gue harus dengerin mereka latihan TIAP HARI dan dengerin mereka ngomong soal musik, komposisi, dan tetek bengeknya TIAP HARI. Ditambah, dua orang musisi ini mutusin buat kasih nama anaknya 'Lala'! Dulu gue di-bully di SD gara-gara nama gue, anak-anak pada manggilin gue kayak lagi nyanyi! Musik... bagi gue ibarat... ibarat matcha latte! Gue dicekokin matcha latte tiap hari sampe ke taraf ngeliat bentukannya aja udah mual, Ri!"
Mendengarkan cerocosan putus asa dari Lala, Riri hanya bisa memandangi matcha latte-nya prihatin.
"Masalahnya, keanggotaan ekskul kan syarat naik kelas, La." ujarnya, "Lagian lo bisa ikut ekskul apapun selain musik. Kan banyak pilihan. Gimana kalo gabung ba--"
"Makasih, tapi gue paling cuma bisa berguna di band lo sebagai tukang gulungin kabel peralatan," Lala memotong tawaran Riri untuk gabung di klub band sekolah bersamanya.
Riri memutar bola matanya jengkel, "Ya udah. Kalo gitu keliling kelas-kelas aja jumat sore. Survei klub mana yang mungkin menarik. Percuma aja gue kasih masukan ini-itu kalo bukan lo sendiri yang kepengen, kan?"
Lala menghela napas final.
"Intinya gue nggak akan ikut klub musik. Gue benci musik, titik."
♪
Jumat sore.
Sejauh ini, sudah lima kelas yang didatangi Lala. Mulai dari klub taekwondo hingga klub lukis. Semua butuh kemampuan dasar yang membuat amatiran good-for-nothing macam Lala hanya bisa gigit jari.
Lala berjalan di lorong sambil menggerutu. Perutnya keroncongan karena hanya makan sedikit istirahat tadi. Tenaga lahir-batinnya terkuras karena masalah ekskul ini. Dia sama sekali kehilangan minat untuk gabung ekskul apapun setelah dia merasakan senioritas memuakkan yang ditunjukkan para kakak kelas di klub Paskibra dulu.
Kemudian ketika menyeberangi lapangan dan mendekati gedung belakang, Lala mendengar anak band sedang latihan di salah satu ruangan.
"Masa iya gue harus gabung band Riri?" keluh Lala. Dia harus menjilat ludahnya sendiri karena itu berarti dia harus 'berurusan' dengan musik.
Ketika membuka pintu ruang latihan, suara-suara instrumen memekakkan telinga merembes keluar dan menyerang pendengarannya. Di tengah-tengah kebisingan itu, Lala melihat temannya, Riri, di sudut tengah melatih vokal sambil memegangi kertas lirik.
Nampaknya tidak ada yang menyadari kehadiran Lala di pintu karena masing-masing terlihat sibuk berlatih. Menyaksikannya, Lala mengurungkan niat untuk mengganggu jalannya latihan. Dia menutup pintu.
"Haruskah gue nyerah dan gabung aja klub musik sial itu dan nahan derita sampe lulus?" gumam Lala sambil berbalik--
BRUK!
"Eh!"
"Oh!"
Lala refleks memejamkan mata dan memegangi hidungnya akibat menabrak sesuatu. Ketika membuka mata, Dia melihat bagian depan kemeja seseorang.
"I-I... um... I'm really sorry. You okay there?"
Lala mendongak dan mematung.
Dia Vincent. Kakak kelas yang selama ini jadi bahan obrolan cewek-cewek satu sekolah karena dia half-American. Dan Lala sungguh-sungguh menyadari penyebabnya sekarang, dalam jarak sedekat ini.
Vincent itu tinggi, putih, boyish, dan memang kelihatan banget kalau dia berdarah campuran. Rambutnya agak cokelat, terlihat fluffy. Matanya juga cokelat. Ada sedikit freckles di area hidungnya yang mancung. Ditambah, dia pakai kacamata berbentuk bulat dengan bingkai tipis yang sekarang ternyata ngetren lagi di kalangan remaja edgy–walaupun cowok ini kayaknya sudah memakainya dari dulu.
Lala pikir selama ini Riri cuma heboh berlebihan tiap kali ngomongin Vincent yang tersohor itu. Nyatanya, wujud aslinya memang breathtaking.
"Uh, I mean..." cowok itu buru-buru menggeleng kecil, seolah berusaha meralat perkataannya barusan, "Maaf. Kamu nggak papa?" ulang Vincent sambil dengan kikuk berusaha menyingkir dari hadapan Lala.
Lala mengerjap. Cowok ini sopan banget, pakai 'aku-kamu'.
"Nggak. Nggak apa-apa, Kak." Lala masih memegangi hidungnya, buru-buru menjauh dari pintu sekaligus menjaga jarak aman dari Vincent yang menguarkan aura cowok cute terlampau kuat.
"Maaf tadi nggak sengaja nginggris karena refleks." Vincent meringis, kemudian rautnya berubah cemas, "Yakin kamu nggak papa? Hidung--"
"Oh, ini..." Lala melepas hidungnya, "Nggak... tadi kaget aja..."
"Loh, Kak Vincent?"
Kepala Riri muncul dari balik pintu ruang latihan, tampak agak bingung ketika mendapati Lala dan Vincent berada di sana. Tetapi kemudian rautnya berubah cerah. Vincent membuka mulut hendak bicara, tapi Riri keburu memotong.
"Soal kemaren ya?!" katanya berbinar, kemudian menunjuk Lala, "Nih, anaknya! Kebetulan banget!"
Vincent meneruskan ragu, "Kamu yakin? Soalnya tadi..."
Vincent melirik Lala dengan ekpresi ganjil. Lala tersadar dan mengerang dalam hati.
Mampus! Dia denger omongan gue?! Gue baru inget Vincent ketua eskul musik!
"Sori... tadi gue... ngomong yang nggak-nggak...." Lala berujar gugup, menyadari Vincent pastilah mendengarnya menjelek-jelekkan eskulnya tadi.
Kemudian keduanya saling berdiri berpandang-pandangan dengan canggung selama beberapa detik sebelum Riri memecah keheningan.
"Kemaren gue bilang ke Kak Vincent kalo gue punya temen yang bisa main biola dan kebetulan nggak gabung ekskul apapun." ujar Riri hati-hati, "Makanya, rencananya gue mau ngenalin Kak Vincent ke lo, La."
Lala memberi tatapan memprotes pada Riri, yang hanya mengangkat bahu.
"Klub musik lagi cari anggota baru darurat. Minggu depan kami bakal tampil di pensi, tapi salah satu anggota yang pegang biola dirawat di RS kena demam berdarah." Vincent menjelaskan agar Lala paham situasi, "Um... gimana kalo kamu coba liat-liat dulu kegiatan anak musik?"
Lala hanya mampu bengong.
Vincent berdeham kecil.
"Kamu... mau ikut? Aku mau ke ruang musik sekarang." tawar Vincent, kemudian menambahkan sambil nyengir, "Aku janji, kami nggak sial-sial amat kok."
Ternyata emang kedengeran! Gimana bisa gue nolak setelah tadi nggak sopan banget jelek-jelekin ekskul dia!
Riri memberi Lala pelototan yang seolah meneriakkan udah-sana-ikut-aja-dulu!
"Kalo kamu belum punya ekskul, this could be a reference." Vincent mengangkat bahu, "Santai aja. Kamu bisa lihat dulu kami latihan. Terserah kamu nantinya gimana. Gimana?"
Lala sebenarnya ingin menolak, namun tak sampai hati.
"Bentar aja ya."
♪
SMA Bakti diliputi kesibukan di hari Sabtu, satu hari menjelang pentas seni diselenggarakan.
Energi dan semangat para murid menguar di udara siang yang panas. Lapangan dipenuhi orang-orang yang mempersiapkan panggung pementasan. Orang-orang di Divisi Peralatan menggotong bermacam benda mulai dari perlengkapan panggung, sound system, meja-meja dan kursi-kursi serta mendirikan tenda di beberapa tempat. Murid-murid yang diberi tanggung jawab sebagai pengawas sibuk memberi centang pada daftar panjang di atas papan jalan yang mereka bawa-bawa, berteriak-teriak melalui pengeras suara untuk memberi perintah. Guru-guru dan sekuriti sekolah bekerja sama untuk mengatur modifikasi jalan untuk tamu demi alur yang lancar.
Para pengisi acara, di lain pihak, sibuk menyempurnakan segalanya. Klub Paskibra, band sekolah, dan klub tari dengar-dengar menginap di sekolah sejak kemarin demi memantapkan latihan mereka. Sementara klub-klub lainnya datang subuh-subuh, menggelar kios maupun mereka ruang kelas untuk workshop.
Lala berlari-lari menuju salah satu ruang kelas di lantai dua dengan papan gantung di atas pintunya yang bertuliskan 'Klub Musik'.
"Sori lama!" Lala menerobos masuk ruangan dengan terengah. Dia menggabrukkan bungkusan belanjaan minimarket yang dibawa-bawa berlari di atas salah satu meja. Seketika seluruh anggota klub menghentikan latihan dan meja itu langsung dikerubuti, "Awas yang itu isinya minuman!"
"Popmie is life!" salah satu anggota klub, Faisal, mengangkat mi instan itu dengan kedua tangannya ke atas kepala, seolah tengah mengangkat semacam artefak berharga. Sementara anggota klub sibuk membongkar isi belanjaan untuk mengambil makanan masing-masing, Lala celingukan.
"Cari Kak Vincent, La?" tanya Kak Faisal menggoda.
Lala hanya memutar bola mata, walaupun tak mampu mencegah wajahnya yang memanas karena malu.
"Biasa, La. Di atas." sahut Eka sambil membuka bungkus es krimnya.
Setelah mengucap terima kasih kepada Eka dan menjulurkan lidah kepada Kak Faisal yang sibuk menyorakinya dengan ledekan, Lala berlari ke luar ruangan dan menaiki tangga.
"Tok-tok-tok." Lala menyuarakan bunyi ketukan ketika tiba di Ruang Musik Lama, begitu anak-anak musik menyebutnya. Disebut 'lama' karena ruangan itu hampir tidak pernah digunakan lagi akibat tidak memiliki AC dan minim penerangan. Kepala Sekolah menyiapkan ruangan baru di lantai dua dengan fasilitas yang lebih manusiawi. Karena itu seluruh instrumen musik dari ruang lama di lantai tiga dipindah ke lantai dua.
Kecuali satu.
Vincent tengah duduk di balik sebuah piano besar, grand piano berwarna hitam, yang keberadaannya terasa seperti semacam keajaiban. Masalahnya, siapa yang dulu sanggup menggotong alat musik sebesar dan seberat ini ke lantai tiga gedung sekolah SMA Bakti? Sampai saat ini pertanyaan itu masih menjadi semacam urban legend di antara anak-anak Klub Musik.
Vincent tersenyum cerah ketika menerima bungkusan plastik berisi dua buah onigiri dan teh botolan dingin yang dibelikan Lala dari minimarket, "Thanks a lot."
"No big deal." Lala ikut-ikutan nginggris, berlama-lama menikmati pemandangan wajah Vincent yang tampak imut ketika membuka bungkusan makanannya dengan sukacita, "Kok nggak gabung sama anak-anak di bawah?"
Vincent menaikkan sebelah bahunya, menepuk-nepuk badan piano, "Kangen sama Beliau ini."
Kemudian Vincent menekan-nekan tuts, memainkan lagu yang terdengar ceria dan light-hearted, yang kedengaran familiar.
"Ini... theme song-nya Harvest Moon kan?" Lala terbahak.
Cowok itu hanya nyengir lebar sambil meneruskan permainan kekanakkannya.
Selama ini Lala tumbuh di lingkungan pemusik profesional. Ayahnya, ibunya, juga sebagian besar anggota keluarganya merupakan pemuja aliran klasik. Dia menghabiskan masa kecilnya bolak-balik menyaksikan orkestra musik dalam suasana yang 'berkelas dan elegan', dengan melibatkan gaun yang pantas, setelan necis, wibawa, dan nama besar keluarga.
Karena itulah kunjungan Lala ke klub musik untuk pertama kalinya seminggu yang lalu benar-benar menjadi sesuatu yang berbeda.
Berbeda bukan dari segi aliran. Klub Musik SMA bakti mayoritas beranggotakan murid yang mampu memainkan classical instruments 'betulan', seperti biola, piano, cello, string bass, hingga flute. Di bawah kepemimpinan Vincent, klub memang diboyong ke arah musik klasik, alasannya adalah musik modern sudah punya representasi, yaitu divisi band yang masih merupakan percabangan Klub Musik.
Dan Vincent memang menarik Lala sebagai 'anggota darurat' karena mencari murid yang bersedia belajar dari awal dan menguasai alat musik dengan cepat itu sulit, sehingga tidak heran bila anggota Klub Musik sedikit dan itu-itu saja. Ditambah, Lala bisa main biola, jadi cowok itu tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Tetapi apa yang disadari Lala sejak bergabung adalah, anggota Klub Musik sebetulnya cuma murid-murid biasa. Ada yang kakak kelas, adik kelas, atau satu angkatan dengan Lala. Mereka hanya kumpulan remaja yang kebetulan memiliki minat terhadap musik klasik dan berusaha mengasah bakat mereka dengan instrumen pilihan masing-masing. Tidak ada 'nama besar' siapapun yang dibawa-bawa. Mereka hanya hadir di sana, bermain dan berlatih sambil tertawa-tawa.
Untuk pertama kalinya, Lala menemukan musik klasik yang tidak membuatnya merasa terintimidasi. Yang tidak terasa seperti too much matcha latte. Dan sejujurnya, Lala menyesal karena selama ini telah memiliki pandangan begitu sempit terhadap musik. Karena sesuai dengan kata Vincent tempo hari ketika mereka mengobrol tentang musik hingga berjam-jam seusai kelas; dunia ini luas. Musik klasik bisa terjadi di mana saja. Kapan saja. Dimainkan oleh siapa saja. Di panggung orkestra yang megah. Di teater pertunjukkan seni. Di dalam stasiun. Di tengah-tengah adegan mengharukan sebuah film. Di ruangan sempit sebuah rumah di tengah kota yang padat. Di pagi hari yang cerah atau di malam yang berhujan.
Lala jadi teringat sore di beberapa hari lalu, ketika jadwal latihan mereka berbarengan dengan kelompok sub-divisi angklung yang terkadang berbagi ruang musik untuk berlatih. Mereka melakukan gladi resik Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta yang akan dibawakan saat upacara bendera hari Senin. Suara yang dihasilkan paduan suara angklung di sekolahnya sudah menjadi semacam trademark bagi warga sekitar dan selalu sukses membuat pendengarnya terkagum-kagum. Termasuk Lala. Walaupun Lala sudah mendengarkan permainan mereka setiap Senin berkali-kali, entah mengapa sore itu apa yang diperdengarkan mereka terasa jauh lebih menghanyutkan.
Juga saat ini, lagu tema dari Harvest Moon yang dimainkan Vincent--walaupun jelas-jelas bukan komposisi klasik--entah mengapa semakin membuat Lala tersadar. Pada dasarnya, yang terpenting adalah permainan yang dapat membuat pendengarnya tergugah.
Berkat Vincent dan Klub Musik, Lala mau tak mau harus mengakui kalau untuk pertama kalinya, pandangan negatifnya terhadap musik klasik berubah. Untuk pertama kalinya, dia merasa dia bisa relate dengan perasaan orangtuanya ketika mereka memainkan instrumen bersama kelompok orkestra mereka di hadapan para penonton atau ketika membicarakan soal musik satu sama lain.
Untuk apa Lala menyimpan ketidaksukaan tak berdasar terhadap musik klasik bila itu yang membuat ayah dan ibunya tergugah?
Apa selama ini gue nggak adil ke Ayah dan Ibu? Lala membatin, mendadak merasa sendu.
Cowok berkacamata itu menutup permainannya dengan sumringah. Keheningan sejenak menyelimuti ruangan temaram itu.
"Feeling better?" tanyanya pada Lala, membuat gadis itu terkesiap.
"Iya, sedikit." Lala mengakui malu, "Dan... semakin mantap mutusin buat gabung Klub Musik. Setelah pensi, gue pengen lanjut jadi anggota tetap. Masih ada lowongan, kan, Kak?"
Senyuman cerah Vincent terbit, "For real?! Awesome!" kemudian dia terkekeh, "Tergerak karena Harvest Moon?"
Lala cemberut, "Bukan itu."
Vincent tersenyum kecil, "Apa yang buat kamu berubah pikiran?"
"Ng... kalian semua." Lala mengakui, semakin merona. "Klub Musik. Permainan-permainan yang menyentuh. Kamu."
Tuh, kan. Jadi ketularan pake aku-kamu gara-gara nih cowok.
Senyuman Vincent memudar.
"Aku?"
Lala memutuskan menyerah berusaha mempertahankan harga dirinya. Dia menghela napas, "Kak, emang belum pernah ada yang bilang kakak ganteng? Mana ada adik kelas yang kuat nolak ditawarin gabung di ekskul yang sama dengan kakak kelas half bule yang ganteng nggak ada obat?"
Rona merah menjalari leher, pipi, dan telinga Vincent begitu mendengar pengakuan terang-terangan Lala. Dia tergagap ketika menyahut, "Well, you're the first one to let me know."
"Kak Vincent bakal jadi pianis populer." Lala tersenyum memandangi Vincent, yang balas menatapnya dari balik kacamata bulatnya dalam diam.
Setelah beberapa saat hanya saling berpandangan dalam kebisuan, Vincent berdeham kecil.
"Mau dengerin satu permainanku lagi?"
Sepasang mata Lala membulat penuh harap, "Canon?"
Vincent mengangguk, "As you wish. It's a beautiful piece. Someday I'd like to play it in front of people. Like, on a real stage. Real concert. Disaksikan banyak orang, membuat mereka tepuk tangan keras, standing ovation. Ikut merasakan keindahannya." pandangan Vincent tak fokus, seperti menerawang.
Lala menatap cowok itu dengan kagum. Sepasang mata Vincent terlihat begitu berbinar-binar di tengah gelapnya ruangan. Dengan perkataan-perkataan itu. Dengan harapan yang besar itu.
Tersadar dari lamunan mereka, Lala dan Vincent saling nyengir.
"Am I being cringey just now?" Vincent terkekeh salah tingkah.
Lala cepat-cepat menggeleng, "Nggak, lumayan keren barusan."
Vincent menggulirkan bola mata seolah skeptis, namun Lala dapat melihat cowok itu tersipu.
"Here goes nothing."
Lala mengangguk antusias. Sedetik kemudian, jemari panjang milik Vincent mulai menari di atas tuts, memperdengarkan dentingan indah Canon ke seisi ruangan. Mempesona telinga yang menangkapnya. Membuat waktu seolah terhenti.
https://youtu.be/rNsgHMklBW0
♪
bersambung ke part 2
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top