8. Jason Masih Tidak Menyukainya

Pulang sekolah, seperti biasa Gio akan mengantar Diana pulang. Gio membawa tas Diana, tangan kanannya menggenggam erat tangan kiri cewek itu. Mereka berjalan bersebelahan, melihat Diana yang masih sedikit pucat, Gio menahan napas.

"Mau gue gendong aja?" usul Gio akhirnya.

Diana menggeleng, "Gue punya kaki."

"Yang bilang itu keyboard laptop siape?"

Diana kesal. Dia tidak mau lagi menjawab omongan Gio. Dia membuang wajah ke sisi. Gio tersenyum geli.

"Ngambekan lo, mah."

"Daripada elo, rentan jadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga!" Diana membela diri.

"Lo salah." Gio tidak setuju, "gue bisa keras sama siapa pun, kecuali sama lo."

"Kata orang yang baru pertama ketemu gue udah nampar gue." 

Gio bersenandung pura-pura tidak mendengar.

Saat mereka pertama kali bertemu, Gio tidak banyak berpikir. Dia hanya penasaran kenapa Giraka bisa jatuh cinta pada cewek ini. Bagi Gio, cewek semacam Diana itu jumlahnya banyak, tidak perlu sampai membuat Giraka cemas menjelang kematiannya.

Tapi semakin mengenal Diana, Gio semakin menyukainya. Semakin ingin memilikinya, terobsesi sampai gila.

Gio bahkan ragu-ragu, dia berpikir ... dia bahkan sanggup membunuh orang demi mengekang cewek itu.

Gio selalu tahu dia gila. Pola pikirnya selalu ekstrem dan berbahaya. Diana adalah pengekangnya, selama Diana tidak meninggalkannya, Gio akan baik-baik saja.

"Pulang Bos?" pertanyaan Fandi yang baru keluar kelas mengejutkan Gio.

Gio meluruskan pandangan dan mengangguk, "Hm," lalu dia melirik sebelah Fandi, "ke mana Gugun? Biasanya lo berdua kek kembar siam. Nggak terpisahkan."

"Gugun jalan sama ceweknya."

Jawaban Fandi bukan hanya membuat Gio kaget, Diana juga terbelalak tidak percaya.

"Gugun punya cewek?" tanya Diana.

Fandi terkekeh, "Masih gebetan sih. Keknya bentar lagi jadian, motor gue dipinjem Gugun buat jemput cewek itu ke sekolahnya."

"Terus lo pulang gimana?" 

"Nanti gue nebeng sama yang lain." Fandi seolah sama sekali tidak keberatan. Dia berjalan berdampingan dengan Gio, lalu malak, "pinjem duit Bos."

"Berapa?" Gio merogoh sakunya.

"Ceban ada? Duit gue dipinjem Gugun buat nraktir cewek itu ke bioskop." Fandi menjelaskan, "buat beli rokok di depan. Gue ganti besok."

"Gio mengambil uang 50 ribu di dompetnya, "Pake aja. Nggak ada duit kecil."

"Gue ganti besok." Fandi tersenyum, "kecuali lo pengin tahu sesuatu, baru gue bisa terima."

Gio benar-benar senang bergaul dengan Fandi. Fandi tidak pernah berani menerima sesuatu dari Gio selama merasa Gio tidak mendapatkan manfaat apa pun darinya. Kalau dia berkata hanya akan meminjam uang dan akan mengganti besok, cowok itu akan benar-benar mengganti uang Gio keesokan harinya.

"Oke."

"Gue duluan." Fandi sudah ditunggu oleh beberapa temannya yang lain di kejauhan. Gio mengangguk, melihat Fandi yang setengah berlari menghampiri teman-temannya.

"Kadang gue ngerasa Fandi ini orangnya lumayan baik." Diana memuji.

"Ampe lo naksir Fandi, gue colok mata lo." 

Diana menyikut perut cowok itu, "Gue udah capek berurusan sama 1 psiko, nggak perlu nambah-nambah."

Gio setuju, dia merangkul Diana dan berkata lembut, "Hm. Lo bahkan udah kerepotan sama gue, nggak punya waktu buat mikirin cowok lain."

Diana hanya menoyor kepala Gio pelan, Gio tertawa, setelah menjauh sedikit, dia kembali menempeli Diana seperti prangko.

***

Sesampainya di tempat parkir, Diana langsung masuk ke mobil Gio. Duduk di kursi co pilot dan mengembuskan napas pelan. Sore ini masih terasa panas.

Gio bergegas masuk dan menyalakan AC. Dia meraba kening Diana sebentar, setelah memastikan demam Diana tidak kembali tinggi, dia memasangkan safety belt untuk pacarnya, Diana terkekeh melihat perilaku telatennya.

"Lama-lama lo cocok jadi nyokap gue." Diana mengeluh.

"Nggak mau gue jadi nyokap lo, soalnya nggak bisa ngapa-ngapain lo."

"Jadi pacar gue juga nggak bisa ngapa-ngapain gue." Diana berkata sombong, "sex before marriage itu forbidden banget."

"Siapa juga yang mau jadi cowok lo?" Gio tersenyum mengejek, "gue bakalan jadi laki lo, yang merkosa lo pagi, siang, malem."

"Lo kira itu jadwal minum obat!" Diana melotot. Gio tertawa. Mobilnya mulai melaju meninggalkan parkiran. Hendak mengirim Diana pulang.

Tidak sampai 45 menit Gio sampai di depan rumah Diana. Dia turun dan membuka pagar rumah pacarnya, masuk lagi ke mobil dan memasukkan mobilnya. Diana meringis, padahal dia sudah bilang dia bisa turun untuk membantu Gio membuka pagar supaya dia tidak perlu naik-turun mobil, tapi Gio bilang tidak usah.

Terkadang Diana merasa bukankah Gio terlalu memperlakukannya seperti benda yang rapuh.

Saat mereka sampai di depan rumah. Diana menemui seseorang yang sedang duduk di teras sambil memakan buah.

Diana tercengang, "Kak Jason udah pulang? Kapan?"

Jason berdiri, dia memeluk Diana yang menghampirinya, mengusap-usap kepalanya, "Beberapa jam yang lalu." Dia tersenyum semringah, "kamu agak hangat. Sakit?"

"Tadi aku ikut olahraga, kepanasan jadi demam sedikit. Tapi ini udah baikan." Diana menenangkan. Dia memeluk kakaknya lagi, "oleh-oleh. Ada oleh-oleh?"

"Di rumah." Jason merasa Diana tidak pernah tumbuh walau usianya sudah 18 tahun. Dia masih menjadi gadis kecil yang selalu menagih oleh-oleh setiap Jason berpergian. 

"Oke." Diana hendak masuk, Gio mengikutinya, tapi saat Gio akan lewat, Jason menghalangi jalannya.

"Mau ke mana lo?" tanya Jason sinis.

Sejak awal Jason tidak menyukai Gio, setelah penghinaan neneknya Gio pada adiknya, kebenciannya berlipat ganda. Kalau bukan karena Diana yang menangis sampai sakit setelah dipaksa menjauh dari Gio, Jason benar-benar ingin menendang cowok urakan di depannya sejauh mungkin.

"Baru pulang, Kak?" Gio memiliki wajah yang tebal. Bahkan tidak kapok setelah pernah dipukuli Jason beberapa minggu yang lalu. Karena Jason adalah kakaknya Diana, Gio bahkan tidak menyimpan dendam. "mau masuk."

"Nggak ada aturan masuk. Nggak ada. Pergi lo." Jason mengusir, "atau gue semprot lo pake air disenfektan. Minggat." 

"Semprot aja. Biar nanti lo gue cium."

Jason adalah seorang homophobia. Karena saat dia pernah duduk di bangku SMA, dia sedang buang air kecil di urinoir dan ada seorang pria setengah baya yang berani mengusap bokongnya. Walau Jason langsung menghajar pria itu sampai sekarat, tetap saja meninggalkan jejak trauma. Sejak itu, dia benar-benar jijik dengan segala hal yang berbau 'pelangi'.

Walau Jason tahu Gio bercanda, Jason tetap tidak bisa menahan wajah ngerinya, "Lo-!"

"Kak." Diana memanggil. Menghentikan pertengkaran Jason dan Gio yang selalu membuatnya sakit kepala.

Jason mau tidak mau mengalah, pada akhirnya dia menyingkir, dia melepas sandal dan melemparkan ke  arah kepala Gio saat Gio nekad melemparinya kiss bye.

Gio tertawa sambil mengelak. 

Diana mencubit perut Gio agar dia berhenti mencari masalah dengan Jason.

"Lo itu bisa nggak jangan bikin Kak Jason marah-marah?" Diana menegurnya.

"Dia yang tensinya naik tiap ngeliat muka gue, gue yang disalahin."

Diana tidak bisa menyangkalnya. Tapi walau bagaimana pun Jason kakaknya, jadi Diana masih condong berada di pihaknya.

Pada akhirnya Gio tidak bisa mampir terlalu lama karena Jason ada di rumah. Uring-uringan setiap melihat wajah Gio. Diana mengusir Gio pulang, walau Gio tidak rela, dia juga tidak mau membuat Jason jauh lebih membencinya.

Sesampainya di rumah, Gio menghentikan langkah di ruang tamu. Matanya menyipit tajam saat melihat Emili sudah berada di sana.

Wajah Gio muram saat dia bertanya sinis, "What the fuck are you doing here, Bitch?!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top