3. Manipulatif
Kata-kata Fandi memang sangat bagus. Namun para polisi tentu saja tidak mudah dikendalikan. Mereka juga sering berhadapan dengan orang-orang yang pandai bicara.
Namun Fandi tampak sangat percaya diri. Tampak sekali walau berbohong dia sama sekali tidak memiliki dampak psikologis.
Fandi adalah anak tertua dari 3 bersaudara. Dia memiliki satu adik laki-laki yang masih SMP dan satu adik perempuan yang baru masuk SD. Sebagai anak sulung, dia tidak lagi terlalu diperhatikan. Walau kebutuhannya tetap dipenuhi orang tuanya, tapi karena keduanya sama-sama bekerja, jadi tidak bisa selalu memantau perkembangannya.
Fandi berasal dari keluarga sederhana. Dia sering bergaul dengan orang-orang kaya semacam Gio, tapi di antara yang lainnya ... dia paling senang bergaul dengan putra bungsu Reiner tersebut.
Itu karena Gio selalu memahami situasi mereka, dan tahu cara memberi dan memetik manfaat saat berteman dengannya. Gio tidak menuntut berlebihan apa lagi menganggap Fandi sebagai kacungnya. Fandi juga tidak terlalu menyanjung namun sebagai gantinya, dia juga tidak pernah berpikir untuk benar-benar memeras Gio.
Fandi senang dengan pertemanan yang saling menguntungkan karena dia tidak terlalu percaya dengan ikatan persahabatan.
Satu-satunya sahabat terdekat yang Fandi miliki adalah Gugun yang selalu menjadi teman sekolahnya bahkan sejak mereka masih SD. Mereka juga tetanggaan.
"Kami akan menyelidiki segalanya lebih menyeluruh." seorang polisi berkata bijak, "tapi apa yang kamu lakukan sudah termasuk main hakim sendiri." pria itu melihat Gio yang masih memasang wajah cuek acuh tak acuh, "kami akan memanggil wali kamu."
Fandi dan yang lainnya sudah diizinkan meninggalkan kantor polisi setelah memberikan beberapa kesaksian. Namun Diana tetap tinggal bersama Gio, menemaninya. Tidak lama kemudian Reiner -ayahnya Gio- datang bersama pengacara keluarga mereka.
Saat melihat wajah putranya yang begitu cuek, Reiner hanya bisa menghela napas.
Gio 'dibebaskan' bersyarat. Reiner sudah mendengar kronologi ceritanya, tentang Diana yang dilecehkan dan menyebabkan Gio mengamuk lagi.
Reiner bertanya-tanya, melihat karakter putranya yang seberingas ini saat mencintai seseorang, apa di masa depan Diana akan baik-baik saja?
***
"Gue pikir ... lo harus lebih berhati-hati sama Fandi, Gi." di perjalanan menuju sekolah, Diana berkata parau. Mereka naik taksi. Diana duduk di sisi Gio, menatapnya dengan sorot layu, "dia bener-bener bahaya."
"Bahaya?" beo Gio.
"Dia ... dia terlalu manipulatif." Diana sedikit tidak nyaman. Walau bagaimana pun Fandi adalah teman pertama Gio di sekolah, kesannya di benak Gio pasti cukup dalam. "dimusuhin Fandi ... bisa ngerusak beberapa hal dalam hidup lo."
"Lo tahu itu." Gio mengusap punggung tangan Diana dengan jari-jarinya, "jadi jangan nyari perkara sama dia."
"Fandi tipe orang yang bisa balikin hitam dan putih, dia juga bisa nipu orang tanpa mimik bersalah, beberapa orang yang kenal sama dia bakalan celaka setiap berhadapan sama dia." Gio tersenyum kecil dan mengatakan, "di luar sekolah ... dia juga punya banyak 'temen' dari berbagai umur. Kenalannya nggak terbatas, kalo lo bikin dia marah, di sekolah hidup lo berantakan, di luar kehidupan lo lebih nggak aman."
Diana semakin cemas, "Lo ... nggak takut sama dia?"
"Takut?" Gio berkata pelan, "gue nggak pernah takut sama apa pun."
Satu-satunya ketakutan yang pernah Gio alami setelah sekian lama saat Diana meminta Gio untuk melepaskannya. Saat orang tua Diana tidak mengizinkan Gio menemui Diana lagi bahkan berkata akan menjodohkan Diana dengan Glenn.
Untuk pertama kalinya, Gio benar-benar mengalami yang disebut krisis kehidupan.
Gio bahkan tidak mengeluh atau meminta belas kasihan saat Jason memukulinya tanpa ampun. Tidak apa-apa dia dipukuli, selama Diana tidak direnggut darinya, Gio akan baik-baik saja.
Tidak apa-apa tangan atau kakinya patah, tapi dia tidak bisa dipisahkan dengan cewek yang saat ini duduk di sisinya.
Gio sendiri tidak paham, kenapa perasaannya pada Diana begitu dalam? Pertemuan mereka begitu singkat dan abstrak, tapi bayangan Diana benar-benar terlalu melekat, membuat Gio tahu kalau dia ... sudah tidak bisa lagi tanpa Diana.
Dia yang tidak pernah menghargai siapa pun, untuk pertama kalinya menghargai seseorang.
Dia yang tidak pernah mencintai siapa pun, akhirnya tahu kalau dia sudah dijatuhkan.
Dia yang sudah tidak pernah mengharapkan apa pun, menyimpan harapan yang sangat tinggi agar di masa depan ... dia tidak akan pernah dipisahkan dari kekasihnya.
Gio gila. Dia tahu itu. Sejak awal dia tidak pernah menjadi orang normal. Sejak dia ditikam berkali-kali oleh orang tuanya, dikecewakan dan tidak dipedulikan, dibuang ke Australia demi menjaga 'perasaan' kakaknya yang sekarang sudah tidak ada.
Gio selalu menyadarinya ... dia sudah sakit jiwa dan sangat berbahaya.
Tapi pada Diana yang lemah dan sakit-sakitan ini, Gio tahu dia tidak mampu melukainya.
Apa yang spesial dari Diana? Gio juga ingin tahu. Penyakit di tubuhnya menumpuk, sesekali dia akan collaps dan terengah-engah seolah sudah berada di ujung napasnya. Mencintai Diana seperti digantung di sebuah tali tipis, tapi Gio tidak mampu mengelak lagi.
"Gue nggak pernah takut apa pun." Gio menjelaskan, "Fandi juga tahu itu."
Fandi juga tidak akan berani untuk terlalu menginjak garis batas Gio. Dia tahu kalau Gio orang yang nekad. Kalau Fandi terlalu berani, Gio bahkan tidak akan ragu untuk membunuh Fandi dengan kedua tangannya sendiri.
Fandi dan Gio sama-sama menyadari posisi dan kemampuan satu sama lain, jadi mereka menghargai dan saling menghormati.
"Ya, gue pikir juga gitu." Diana tersenyum manis, "Gio nggak pernah takut sama siapa pun."
"Mulai sekarang lo nggak diizinin naik bus lagi." Gio menautkan jari-jari mereka, "kalo gue nggak bisa jemput, gue bisa nyuruh supir."
"Rumah gue nggak terlalu jauh ke sekolah." Diana menolaknya, "naik bus masih baik-baik aja. Ada angkot juga."
"Kemarin gue denger ada dua cewek yang naik angkot hujan-hujan, salah satunya diperkosa sama supir angkot setelah diancam."
"Jangan nakut-nakutin gue." Diana memelototinya. "gue nggak bakalan naik angkot yang sepi."
"Di angkot juga banyak yang ngerokok, lo punya asma."
Diana tersenyum lagi, "Itu sebabnya gue naik bus. Karena ber-AC, nggak boleh ada yang ngerokok."
Gio tahu Diana ini sulit dibujuk, itu sebabnya daripada berdebat dengannya, Gio lebih memilih memutuskan setiap hari akan menyempatkan diri mengantar jemput Diana ke sekolah saja.
Gio memerhatikan wajah pacarnya yang pucat. Badan Diana juga sedikit hangat.
Gio senang memegangi Diana seperti sekarang. Itu karena dia selalu dihantui paranoidnya sendiri. Seolah Diana bisa menghilang kapan pun saat Gio melepaskannya sebentar.
"Lo bener-bener jelek."
Diana mendelik, dia mencoba menarik tangannya tapi Gio tidak melepaskannya, "Kalo gue jelek ngapain lo pegang tangan gue?"
"Yang gue pegang tangan lo, bukan muka lo."
"Awas kalo lo berani megang muka gue!" Diana memelototinya.
"Gue lebih pengin cium sih."
Diana menyingkir, menjauh dari wajah Gio yang memasang ekspresi aneh. Diana ketakutan dan memperingatkan, "Jangan macem-macem, Gi!"
Gio menelan ludah, matanya menyipit dan menjawab tenang, "Gue pengin banyak macem."
Pada akhirnya, obrolan mereka semakin menjurus. Diana tidak tahan lagi untuk menabok mulut Gio, memintanya diam.
Gio hanya tertawa.
Dia masih tidak menyangka ... kalau pada akhirnya ... cintanya pada Diana ... sudah tidak lagi bertepuk sebelah tangan.
***
Don't forget vote, comment, & share rakyatkuuuu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top