9 : AKHIR TANPA AWAL
"Zyan, jangan bilang lo udah tahu soal semua ini?" tanya Kia dengan nada mengintimidasi.
"Lo kenapa gak pernah cerita ke kita kalo Arthur udah balik?" sahut Sani.
"Dan apa ini alasan dari perubahan sikap lo beberapa hari terakhir?" ujar Kia dan Sani hampir bersamaan.
"Santai! Satu-satu dong tanyanya," ujar Zyan mencoba bersikap biasa.
"Gimana mau santai, Zyan? Si brengsek itu udah balik dan gue yakin dia pasti bakal ganggu hidup lo lagi!" ujar Kia yang tampak gemas.
"Dia bukan brengsek, Kia!" tegur Zyan.
"Pemain hati wanita? Yang bener aja! Apa itu namanya kalo bukan brengsek?" ujar Kia.
"Ibaratkan aja nih, ya. Dia itu rela ngebuang berlian cuma buat dapetin sampah, Zy!" sahut Sani yang sama kesalnya dengan Kia.
"Gak ada topik lain selain ini?" tanya Zyan yang tampak malas membahas topik pembicaraan saat ini.
"Jujur sama kita, Zy! Seberapa besar tempat buat nama Arthur di hati lo?" tanya Sani. Lebih tepatnya ia sedikit mendesak Zyan.
"Gue harap lo bisa belajar dari pengalaman," ujar Kia.
"Udah gak ada tempat buat nama Arthur di hati gue. Dia cuma sebagian dari masa lalu. Dia gak ada sangkut-pautnya sama masa depan gue!" jawab Zyan pada akhirnya.
"Cuma sebagian dari masa lalu lo bilang?! Terus apa kabar sama gelang bulan perak yang masih selalu lo pake itu sampai saat ini?" tanya Sani. Spontan, Zyan melirik sebuah gelang perak yang melingkar manis di tangan kanannya.
"Cinta ternyata bisa mengubah lo sampai segitunya, ya?" ujar Kia tak percaya. "Sampai-sampai lo rela mertahanin perasaan lo buat orang yang udah ninggalin lo dalam kondisi paling rapuh," lanjutnya.
"Cinta itu wajar. Tapi, tolong logika juga harus tetap berjalan!"
***
"LOMPAT, LANG! LOMPAT!"
"SABAR!"
"ITU AWAS ADA KAKTUS!"
"GUE JUGA LIAT KALI!"
"NUNDUK! NUNDUK! LOMPAT, LANG!"
"BERISIK LO, BAN!"
Dan masih banyak lagi seruan yang terdengar dari sudut baca ruang kelas dua belas IPA tiga. Tempat tersebut adalah tempat bersarangnya Navier, Gilang, Bani, Delan, dan Rafael ketika kelas mereka dilanda jam kosong, seperti saat ini.
"Lo berdua main apaan? Berisik banget," ujar Delan yang merasa terganggu aktivitas membacanya.
"Jangan buka yang aneh-aneh lo pada!" ujar Rafael memperingati. Ia begitu khawatir pada laptopnya jika riwayat pencariannya di internet berisi yang tidak-tidak setelah dipinjam Gilang dan Bani.
"Serius amat?" gumam Navier saat merasa ucapan Delan dan Rafael yang tidak direspon oleh Gilang dan Bani.
"LOMPAT, GILANG! DINOSAURUSNYA NABRAK KAKTUS BARU TAU RASA LO!" seru Bani gemas.
Astaga! Demi apa Navier, Delan, dan Rafael memiliki teman seperti mereka? Lihatlah apa yang sedang mereka lakukan saat ini! Keduanya tengah memainkan permainan Dinosaurus yang melompati pohon kaktus yang selalu muncul pada browser ketika internet belum terkoneksi.
"YHAAA, LALANG! GAME OVER, KAN JADINYA!" seru Bani kecewa saat sang Dinosaurus menabrak pohon kaktus ketika poin mereka sudah banyak.
"Kalo bukan ciptaan Tuhan, udah dari tadi gue tusuk lo pake belati, Ban! Kesel gue!" ujar Gilang tampak kesal karena ulah Bani sejak tadi.
"Santai di pantai sambil makan capcay!" ujar Navier mencoba meredam kekesalan Gilang.
"Kesel gue, Nav sama Bani," ujar Gilang.
"Orang sabar pantatnya lebar, Lang!" sahut Bani.
"Otak lo tuh, ya!" seru Delan dan Rafael bersamaan. Mereka sepertinya juga mulai kesal kepada Bani.
"NAVIER! DICARIIN AZELA TUH!" seru salah satu teman kelas Navier.
"Oh, ya?" ujar Navier yang kemudian beranjak berdiri.
"Giliran Azela semangat," cibir Bani.
"Syirik amat lo jadi orang, Ban!" sahut Rafael.
"Bisa ae lo, Tong," ujar Delan terkekeh geli.
"Kenapa, Zel?" tanya Navier sesampainya di depan kelas. Ia mendapati Azela yang tengah bersandar pada pilar sekolah sembari menatap lapangan sekolah dari lantai tiga.
"Eh, Navier," ujar Azela. "Gue mau ngajakin lo ke aula," tambahnya.
"Aula? Ngapain?" kedua alis Navier saling bertautan.
"Semua ketua ekskul seni disuruh ke aula buat pengambilan nomor undian sama pelaporan persiapan," jawab Azela.
"Oh, iya! Gue hampir aja lupa. Sebentar gue ambil proposal dulu di laci meja," ujar Navier yang kemudian kembali masuk ke dalam kelas. Beberapa saat kemudian lelaki itu kembali keluar dengan sebuah proposal di tangan kirinya.
"Yuk, Zel," ujar Navier yang dibalas dengan anggukan kepala dari Azela.
***
"Boleh gue duduk di sini?" ujar seseorang sembari menunjuk bangku Citra. Zyan hanya meliriknya. Tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan orang itu selanjutnya.
Suara gesekan kursi yang bertemu dengan lantai menggema di langit kelas sepuluh IPS tiga yang tengah lengang. Hanya ada Zyan, orang itu, dan beberapa murid laki-laki yang sedang berkumpul sembari menghabiskan makanan yang sudah mereka beli di kantin.
"Hai, Kamu. Apa kabar?" ujar seseorang itu mencoba membuka percakapan.
"Baik. Sama seperti yang lo liat terakhir kali waktu di bandara," jawab Zyan sedikit ketus.
"Gue tahu gue salah, Zy," ujar seseorang itu sembari menghembuskan napas panjang.
"Bagus kalo sadar," sahut Zyan. Masih dengan nada ketusnya.
"Segitu marahnya lo sama gue?" tanya seseorang itu.
"Apa peduli lo? Lo BUKAN siapa-siapa gue!" ujar Zyan sembari menekan pada kata 'bukan'.
"Zyan," ujar seseorang itu melembut.
"Pergi lo dari sini!" bentak Zyan. Volume suaranya yang terbilang keras berhasil membuat perhatian satu kelas terpusat padanya.
"Gue mau ngomong baik-baik," ujar seseorang itu yang masih berusaha sabar.
"PERGI LO DARI HADAPAN GUE, ARTHUR!" bentak Zyan sekali lagi.
Arthur tertegun. Ini adalah kali pertama gadis di hadapannya ini membentaknya. "Lo mau gue pergi?"
"IYA! Mau sampai kapan lo bakal ada di sini, hm?" ujar Zyan.
"Lo mau tau sampai kapan gue bakal ada di samping lo?" tanya Arthur. Zyan hanya terdiam, memberi kesempatan pada Arthur untuk melanjutkan perkataannya.
"Gue bakal selalu ada di samping lo. Sampai lo sendiri yang minta gue buat pergi dari hidup lo untuk selamanya," ujar Arthur yang berhasil membuat Zyan tertohok.
"Mungkin kesalahan gue belum bisa lo maafin. Dan lo juga belum bisa menerima lagi kehadiran gue di hidup lo. Tapi lo jangan sampai lupa!" ujar Arthur yang sedikit menggantung.
"Kalo bulan gak bakal bisa bersinar di malam hari tanpa bantuan matahari."
***
Navier menguap di atas tempat duduknya. Azela memperhatikan lelaki itu dari samping. Gadis itu lantas terkekeh geli saat melihat sifat Navier yang mudah sekali merasa bosan.
"Baru lima menit, Nav. Masa udah bosen?" ujar Azela.
"Lo tau sendiri, kan? Gue ini orangnya gampang bosen," jawab Navier.
"Iya, gue tau. Tapi ini baru lima menit, Navier! Acaranya aja bakal sampai bel istirahat kedua. Masih setengah jam lagi," ujar Azela.
"Seriusan? Kenapa lo gak bilang dari tadi? Tau gitu gue tinggal minta tolong ke Rendi aja buat wakilin gue ke sini," ujar Navier.
"Mentang-mentang lo ketua, ya? Rendi itu bakal ngewakilin lo kalo lo emang bener-bener gak bisa," ujar Azela sembari memukul lengan Navier pelan.
Navier menoleh ke samping. Di hadapannya kini telah terdapat seorang gadis berdarah campuran Asia-Eropa. Postur tubuhnya yang tinggi menandakan jika gadis itu terlahir dari keturunan negeri kincir angin, negeri yang penduduknya terkenal karena memiliki postur tubuh tertinggi di dunia. Sedangkan warna kulitnya yang terbilang kecokelatan mempertegas bahwa gadis itu juga merupakan keturunan penduduk yang tinggal di daerah tropis, Indonesia.
Dia, Azela. Azela Mclaren Davidson. Gadis yang berhasil mengisi kekosongan hatinya selama tiga tahun terakhir ini.
Siapa juga yang tidak akan jatuh hati kepada gadis ramah dan rendah hati sepertinya? Navier juga yakin bahwa semua kaum Adam pasti akan jatuh hati pada Azela di detik pertama mereka bertemu. Seperti dirinya.
Dirinya bertemu dengan Azela untuk pertama kali pada festival seni di saat keduanya masih duduk di bangku kelas sepuluh. Pada saat itu, kelas sepuluh dan sebelas mendapatkan tugas untuk membuat laporan hasil pengamatan kegiatan festival seni saat itu. Laporan tersebut pun dibuat secara berkelompok.
Navier sedang mengambil beberapa gambar pada festival seni untuk dijadikan dokumentasi, karena itu adalah tugasnya dalam kelompok. Hingga secara tidak sengaja saat kelompok Azela melewati kelompok Navier, Azela menabrak bahu Navier hingga membuat kamera lelaki tersebut terjatuh dan rusak.
Azela yang merasa bersalah pun meminta maaf dan berjanji akan mengganti kamera Navier dengan yang baru. Dan pada saat itulah awal dari semua rasa yang ada pada hati Navier bersemi untuk Azela.
"Gak usah ngeliatin gue! Gue tau gue cantik," celetuk Azela yang berhasil membuyarkan lamunan Navier.
"Apaan sih lo! Siapa coba yang lagi ngeliatin lo?" ujar Navier mencoba mengelak saat dirinya ketahuan memperhatikan Azela.
"Terus aja ngelak! Tinggal jujur aja apa susahnya sih? Ngeliatin bidadari, kan wajar," sahut Azela yang tingkat kepercayaan dirinya setara dengan Rangga mulai kambuh.
"Mulai deh! Lo berguru, ya sama Bang Rangga?" tanya Navier. Pasalnya, Azela dan Rangga memang tidak ada bedanya sebagai kakak beradik. Jika mengingat hal tersebut terkadang membuat harapan Navier mengecil. Tidak mungkin, bukan apabila Navier harus memendam rasa kepada saudara iparnya sendiri?
Memang seperti itulah adanya. Navier baru mengetahui jika Azela adalah adik dari kakak iparnya itu pada saat ia duduk di bangku kelas sebelas. Bisa dibilang kisah cinta pertamanya ini terlalu banyak mengalami drama. Dimulai dari pertemuan tidak sengaja karena insiden tabrakan, jatuh hati pada pandangan pertama, hingga terpaksa membunuh perasaan sendiri karena berada pada satu keluarga besar yang sama.
Bahkan kisah kita terpaksa harus berakhir tanpa memulai.
***
"Zyan, di kelas lo ada murid baru, ya?" celetuk Stela memecah keheningan. Gadis itu sedang bersama Zyan dan Thala di lobi sebuah pusat bimbingan belajar. Mereka berada pada satu kelas yang sama pada bimbingan belajar tersebut. Meskipun berbeda kelas jika berada dia sekolah.
Zyan hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Siapa sih namanya? Gue penasaran," ujar Stela.
"Bilang aja mau lo deketin, kan? Giliran cogan aja lo semangat," sahut Thala yang sedang membaca sebuah majalah yang tersedia di lobi pusat bimbingan belajar tersebut. Keduanya akan
"Hitung-hitung buat tambah kenalan, Thal," jawab Stela.
"Tambah kenalan atau tambah gebetan?" tanya Thala berhasil membuat Stela terskakmat.
"Oh, iya, Zy. Siapa nama murid baru di kelas lo?" ujar Stela bertanya sekali lagi.
"Arthur. Arthur Dewa Bagaskara," jawab Zyan sedikit malas saat menyebut nama itu.
"Widih! Namanya aja udah cakep, apalagi orangnya, ya?" ujar Stela tampak girang.
"Jangan bahas cowok mulu! Buruan masuk ke dalam! Udah masuk jadwalnya kita," ajak Thala.
CANDRAWULAN
Hola!
Tinggalkan jejak sebagai bukti bahwa kalian telah membaca bagian ini dengan pemberian vote + komen, biar gak sider.
Maafkan bila terjadi kesalahan dalam penulisan.
Keep reading CANDRAWULAN until the end.
Thanks and see you 💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top