5 : CRAZY PEOPLE
"Ini apa, Pak?" tanya Bani saat Pak Sobirin, wali kelas XII IPA 3 selesai membagikan selembar kertas yang lebih mirip dengan surat pemberitahuan.
"Surat pemberitahuan soal agenda tahunan kelas dua belas," jawab Pak Sobirin.
Mata Navier berbinar saat wali kelasnya itu menjawab pertanyaan Bani. "Festival Seni, Pak?"
"Iya, Navier."
Navier, Gilang, dan Bani bersorak. Ini adalah agenda tahunan yang paling mereka tunggu sejak kelas sepuluh. Festival Seni merupakan salah satu ajang bagi ketiga lelaki itu untuk menunjukkan kebolehannya.
Seperti yang kita tahu. Seni bukan hanya sebatas keindahan di dalamnya. Alunan nada juga merupakan bagian dari seni. Bermain musik merupakan keahlian Navier, Gilang, dan Bani sejak kecil. Mereka sering bermain musik bersama. Bahkan saat ini mereka tergabung dalam satu band yang sama.
Awalnya pembuatan band tersebut hanya didasari oleh keisengan mereka. Namun, semakin lama band tersebut semakin dikenal luas. Bahkan mereka juga pernah tampil pada acara festival seni kota yang mendapatkan penghasilan cukup besar atas konser pada festival tersebut.
Sifat kemanusiaan tentu masih ada pada diri ketiganya. Sebagian penghasilan yang mereka dapat dari konser pada festival seni kota mereka sumbangkan kepada panti asuhan.
Hingga popularitas band mereka melambung tinggi. Semakin hari semakin banyak tawaran untuk manggung di berbagai tempat dan acara. Mulai dari kafe-kafe hingga acara seni kecil-kecilan hingga besar-besaran.
Mereka bertiga tidak sendiri. Mereka turut mengajak Delan dan Rafael untuk bergabung bersama mereka. Navier selaku ketua band juga mempercayai Delan untuk menjadi manager mereka. Ia percaya pada Delan karena sahabatnya itu memiliki sikap yang disiplin, tegas, dan tidak pernah menyia-nyiakan waktu.
"Kalian tampaknya bersemangat sekali," ujar Pak Sobirin.
"Tentunya, Pak!" seru Navier, Gilang, dan Bani serempak.
Meskipun nama mereka telah melambung tinggi di kota, hanya angkatan kelas dua belas dan guru-guru saja yang tahu jika merekalah pemilik nama band terpopuler di kotanya beberapa waktu terakhir ini. Pasalnya, mereka selalu menghindar dari awak media jika ditanya soal identitas mereka.
"Navier, Gilang, Bani, Delan, dan Rafael. Persiapkan diri kalian dengan baik. Dalam festival seni Bhakti Nusantara tahun ini, kalian adalah bintangnya," ujar Pak Sobirin.
Kelima lelaki itu membentuk sikap hormat dengan jari-jari tangan yang berada pada pelipis. Senyum mengembang pada wajah mereka.
"ASHIAPP!!"
***
Zyan merenggangkan seluruh otot tubuhnya. Ia mengembuskan napas panjang. Beban pikirannya sejak tadi kini telah lenyap setelah ia menuliskan jawaban soal terakhir di atas selembar kertas.
Zyan merupakan salah satu anggota dari klub matematika di sekolahnya. Hari ini klub tersebut baru saja mengadakan tes yang biasa diadakan setiap akhir dari pembelajaran suatu materi, untuk mengukur seberapa mampu anggotanya dalam menguasai materi tersebut. Ia bahkan harus melewatkan jam pelajaran sejarah, mata pelajaran favoritnya.
"Baiklah. Bagi yang sudah selesai silakan keluar dari ruangan dan segera mengikuti jam pembelajaran selanjutnya. Lembar jawab dan soal biarkan saja di atas meja dalam keadaan dibalik. Nanti saya yang akan mengambilnya," ujar Pak Bagas selaku pembina klub matematika.
"Dasya, gue duluan, ya?" ujar Zyan berbisik pada Dasya, teman yang duduk di sampingnya sekaligus teman satu kelasnya.
Dasya mengangguk.
Zyan berjalan keluar ruangan. Rambut hitamnya yang tampak anggun terikat bergerak mengikuti irama tubuhnya. Khususnya saat gadis itu menuruni tangga, karena letak ruangan untuk tes matematika tadi berada pada lantai dua.
Brukkk
"Aduh, Kenzo! Lo kalo jalan liat-liat dong!" gerutu Zyan saat tak sengaja menabrak sesosok lelaki paling menyebalkan yang pernah ia kenal. Dan yang lebih parahnya lagi, sesosok lelaki itu merupakan teman satu kelasnya.
"Eh, Zy. Ngaca dong! Lo juga kalo jalan liat-liat!" balas Kenzo.
"Lo ngapain coba jam segini keluyuran di luar kelas?" Zyan dan Kenzo berucap bersamaan.
"Lo duluan," ujar Zyan mempersilakan.
"Nggak. Lo duluan aja. Ladies first," sahut Kenzo.
"Lo duluan."
"Nggak. Lo duluan."
"Lo duluan aja, Ken!"
"Lo duluan aja, Zy!"
"Kenzo!"
"Zyan!"
"Zyan? Kenzo? Kalian berdua ngapain?" tanya Dasya yang tiba-tiba saja datang.
"Tuh, Sya! Gebetan lo ngeselin," ujar Zyan sembari menunjuk Kenzo. Rumor jika Dasya dan Kenzo saling mengagumi sudah bukan lagi menjadi rahasia. Dua sejoli itu selalu saja berhasil menjadi sorotan, khususnya pada angkatan kelas sepuluh.
Dasya menunduk untuk menutupi wajahnya yang merona. Sedangkan Kenzo menatapnya penuh arti. Zyan segera menyadari maksud tatapan tersebut.
"Dasya, Kenzo, gue duluan ke kelas. Bye," pamit Zyan sebelum akhirnya ia mengambil langkah seribu menuju kelasnya.
***
"Untuk kelas XII IPA 3, siapa yang belum mengikuti ulangan harian fisika pada saat pertemuan kemarin?" tanya Bu Sarah, guru fisika kelas dua belas.
"GILANG, BU!" seru seluruhnya serempak.
"Danendra Gilang Pratama?" tanya Bu Sarah.
"IYA, BU!" seru seluruhnya.
"Baiklah, Gilang. Silahkan bawa selembar kertas sobekan dan alat tulis. Kamu kerjakan soal yang saya berikan di perpustakaan. Kamu akan menjalani ulangan harian susulan," ujar Bu Sarah.
"SIAP, BU!" seru seluruhnya.
Gilang mendengus. Teman-temannya sungguh menyebalkan! Mereka semua tahu jika Gilang belum belajar sama sekali. Dan kini mereka semua sedang menguji kesabaran seorang Gilang.
Dengan langkah berat, Gilang berjalan ke depan kelasnya untuk mengambil soal ulangan yang tergeletak di atas meja guru. Sebelum lelaki itu menggenapkan langkahnya keluar dari kelas, ia melayangkan tatapan tajamnya untuk semua temannya yang sedang berusaha menahan tawa mereka yang siap meledak kapan pun.
"SEMANGAT MENEMPUH ULANGAN HARIAN SUSULAN, LALANG SAYANG!" teriak Bani yang disambut dengan gelak tawa satu kelas yang sudah tidak dapat ditahan lagi.
"Dasar sirik! Sabar, Lang! Ujian orang ganteng emang kayak gini," gumam Gilang dengan segala kekesalannya yang memuncak.
***
Zyan kembali berkutat dengan selembar kertas di atas meja dan sebuah pulpen yang terapit diantara jari telunjuk dan jari tengahnya.
Perasaan kesal, lelah, dan senang bercampur aduk menjadi satu.
Kesal karena ia terpaksa mengikuti ulangan harian susulan mata pelajaran yang ia sukai karena harus mengikuti tes klub matematikanya terlebih dahulu. Lelah karena ia juga turut kehilangan waktu istirahatnya karena tes tersebut dan kini perutnya berteriak untuk segera diisi sesuatu. Dan juga senang karena beruntungnya ia telah mempelajari materi yang tengah menjadi bahan soal ulangan harian dadakan ini.
Gadis manis dengan ikatan ekor kuda itu memilih mengerjakan soal ulangan harian pada bagian sudut perpustakaan, tempat paling nyaman untuk ia berkonsentrasi dalam mengerjakan soal. Hanya ada dirinya dan penjaga perpustakaan.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam," ujar Zyan spontan saat mendengar seseorang yang mengucapkan salam. Gadis itu mendongak dan mendapati seorang lelaki yang baru saja memasuki perpustakaan. Lelaki itu duduk tak jauh dari tempat Zyan berada. Mungkin bagian sudut perpustakaan juga merupakan tempat favoritnya untuk mencari ketenangan.
Zyan tidak terlalu menghiraukan kehadiran lelaki itu. Gadis itu kembali fokus pada soal-soal ulangan harian yang masih menunggunya.
"Mba, Mas, saya keluar dulu. Jangan berisik, ya?" ujar penjaga perpustakaan. Zyan dan sosok lelaki di sampingnya mengangguk.
Penjaga perpustakaan tersebut melangkah keluar dari perpustakaan.
"Ah! Soal apaan ini?!" seru sosok lelaki di sampingnya secara tiba-tiba. Hal itu tentu saja berhasil membuat Zyan tersentak.
"Untung nggak nyoret!" gerutu Zyan dalam hati.
"Aelah! Napa harus pake salah tulis sih?" seru lelaki itu lagi.
Zyan mengepalkan tangan. Mencoba menahan kekesalannya. Gadis itu mengembuskan napas panjang.
"Ujian apa lagi? Gue pake nggak bawa tipe-x!" seru lelaki itu lagi, lagi, dan lagi.
Gertakan gigi Zyan terdengar sangat pelan, namun jelas. Rahangnya mengeras. Gadis itu mulai kehilangan kesabarannya.
Tukk
Zyan melirik sosok lelaki di sampingnya. Sepertinya lelaki itu baru saja melemparkan sebuah benda padat yang mengenai lengan atasnya. Rupanya itu adalah sebuah karet penghapus berwarna hitam.
"Lo punya tipe-x?" tanya lelaki itu. Zyan tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Bukannya Zyan sombong. Hanya saja gadis itu terlalu kaku untuk berinteraksi dengan orang baru.
Zyan kembali melirik lelaki itu. Ia terkejut saat lelaki itu memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut dan mengeluarkannya kembali. Zyan tahu apa yang akan dilakukan lelaki itu.
"Gue nggak punya tipe-x. Gue adanya label," ujar Zyan setelah mengeluarkan selembar kertas label dari tempat pensil. Gadis itu menyodorkan labelnya.
Kedua alis lelaki itu saling bertautan.
Zyan berdecak. "Dari pada lo pake air liur lo buat ngehapus. Jorok tau nggak? Mending juga pake label."
Lelaki itu tidak menjawab. Tangannya kemudian menerima label yang disodorkan Zyan.
"Sama-sama!" ujar Zyan sedikit menekan perkataannya.
Dasar orang tidak tahu terima kasih!
Bel istirahat kedua sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Zyan dan sosok lelaki tadi masih berada di perpustakaan. Bahkan hingga sang penjaga belum kembali.
"Akhirnya selesai juga," gumam Zyan sembari menatap lembar jawabnya. Gadis itu merenggangkan seluruh otot tubuhnya.
"Lo udah selesai?" tanya lelaki itu pada Zyan. Zyan hanya mengangguk.
"Bantuin gue mau?" tanyanya.
"Bantuin apa?" kini giliran Zyan yang bertanya.
"Fisika. Gue belum belajar sama sekali. Please," ujar lelaki itu. Ia menunjukkan raut wajah memelasnya. Jika boleh jujur, ingin sekali Zyan tertawa karena melihat wajah lelaki yang duduk di sampingnya ini. Tapi ia masih memiliki otak untuk berpikir agar tidak menertawainya.
"Coba gue liat," ujar Zyan. Gadis itu menerima kertas soal yang disodorkan padanya. Zyan membaca soal dengan teliti.
"Soal segampang ini lo nggak bisa?" ujar Zyan heran kepada lelaki ini. Pasalnya, soal itu sangatlah mudah. Bagaimana bisa lelaki ini tak mampu mengerjakannya? Zyan juga yakin jika lelaki di sampingnya ini berasal dari jurusan IPA. Buktinya ia sedang mengerjakan soal ulangan harian fisika. Seharusnya ia lebih paham tentang materi ini daripada ia yang sejatinya berasal dari jurusan IPS.
"Gue, kan dah bilang. Gue belum belajar sama sekali," sahut lelaki itu.
Zyan memutar bola matanya. Entah dorongan dari mana, mulutnya terbuka dan mulai menjelaskan cara pengerjaan soal tersebut. Mulai dari yang diketahui, yang ditanya, dan cara penyelesaiannya. Bahkan bisa dibilang gadis itu menjelaskan dengan sangat rinci. Tangan gadis itu terus menari-nari di atas selembar kertas kosong yang kini telah terisi penuh dengan coretan angka dan rumus.
"Paham?" tanya Zyan memastikan.
"Nggak," jawab lelaki itu kelewat jujur.
"Kok nggak sih? Harusnya lo paham dong!" ujar Zyan yang nada suaranya meninggi.
"Ya, terus gue harus gimana?" ujar lelaki itu.
"Oke. Gue jelasin sekali lagi. Tapi lo dengerin! Jangan masuk telinga kanan keluar telinga kiri!" ujar Zyan.
"Hm."
Zyan kembali menjelaskan dari awal. Seperti tadi, dimulai dari yang diketahui, yang ditanya, dan cara penyelesaiannya. Kali ini gadis itu menjelaskan lebih rinci.
"Kali ini lo dah paham?" tanya Zyan kembali memastikan.
Hening. Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Zyan. Keningnya berkerut menandakan jika ia sedang berpikir.
"Lo paham?" tanya Zyan sekali lagi.
"Eh, gimana tadi caranya?" ujar lelaki itu.
Kesabaran Zyan kini telah lenyap. Gertakan giginya semakin terdengar jelas. Gadis itu bahkan sampai memukul meja karena kesal.
"Lo pikir aja sendiri! Kesel gue!" kata Zyan. Gadis itu mengemasi barang-barangnya. Ia hendak pergi meninggalkan perpustakaan. Namun, sebuah seruan membuat langkahnya terhenti.
"WOI, GILANG! ULANGAN HARIAN SUSULAN LO UDAH SELESAI BELOM?!"
"KANTIN KUY LAH! LAPER NIH GUE!"
"SUMPAH TADI GUE DI KELAS DIKATAIN JOMLO KAGAK ADA LO!"
Zyan mematung di tempat saat melihat gerombolan siswa kelas dua belas memasuki perpustakaan. Gerombolan tersebut sedang berjalan ke arahnya. Namun, saat melihat Zyan yang mematung membuat gerombolan tersebut ikut terhenti langkahnya.
"Eh, ada cewek," ujar salah satu diantaranya dengan nada genit. "Sendirian aja, Neng?" tambahnya.
"Tunggu dulu! Di sini cuma ada lo sama Gilang. Kalian berduaan dari tadi?" ujarnya lagi.
Zyan spontan mengangguk. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana.
"G-gue gak salah liat, kan? Yang lagi berdiri di depan gue ini... Kak Navier CS?"
"Lo adik kelas, ya?" Pertanyaan tersebut membuat Zyan tersentak. Bukan karena pertanyaannya, melainkan orang yang memberinya pertanyaan.
Navier.
Ini adalah kali pertama Zyan mendengar secara langsung suara idolanya. Ayolah! Apakah mereka tidak mengerti jika Zyan sudah dibuat gugup setengah mati?
"Hei?" tanya Navier lagi.
"Eh, i-iya, Kak. A-aku adik kelas," ujar Zyan terbata.
"Lo dari tadi cuma sama Gilang?" tanya Navier.
"Gilang?" Zyan tampak tak mengerti.
"ITU GUE!" seru lelaki menyebalkan yang tadi sempat membuat mood Zyan hancur. Kedua bola mata Zyan sempurna membulat.
Jangan bilang dia temennya Kak Navier? Berarti dia kakak kelas dong? Mampus gue! Mana tadi gue sempet ngebentak dia, batin Zyan.
"Eh, Kakak-kakak. Permisi, ya aku mau keluar," ujar Zyan sopan.
"Sama temen gue sopan, manggilnya 'Kak'. Giliran sama gue? Mana ada!" sahut Gilang.
"Itu karena gue nggak tau kalo lo kakak kelas!" balas Zyan.
"Tapi harusnya lo tau dong!" sahut Gilang.
"Tapi gue beneran nggak tau!" balas Zyan.
"Alasan! Bilang aja lo pura-pura nggak tau," sahut Gilang.
"KAK GILANG, lo tuh nggak tau terima kasih banget, ya? Udah untung gue mau ngajarin soal fisika tadi. Udah untung juga gue mau kasih pinjam label gue ke lo. Terus, ada lo bilang terima kasih? Nggak ada! Harusnya lo tuh malu. Dimana-mana kakak kelas yang ngajarin adik kelasnya. Bukan malah kebalikannya!" seru Zyan sembari menekan pada kata 'Kak Gilang'.
Zyan melanjutkan langkahnya.
"LABEL LO KETINGGALAN NIH! DIAMBIL NGGAK? KALO NGGAK BUAT GUE!" seru Gilang yang lagi-lagi berhasil membuat langkah Zyan terhenti.
Zyan membalikkan badan. Dia berjalan dengan langkah malas menuju Gilang. Dengan kasar, ia merampas label yang berada pada genggaman Gilang.
"Santai dong!" ujar Gilang tanpa beban.
"CRAZY PEOPLE!" seru Zyan dari ambang pintu.
CANDRAWULAN
Hola!
Tinggalkan jejak sebagai bukti bahwa kalian telah membaca bagian ini dengan pemberian vote + komen, biar gak sider.
Maafkan bila terjadi kesalahan dalam penulisan.
Keep reading CANDRAWULAN until the end.
Thanks and see you 💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top