30 : SELAMAT ULANG TAHUN, ZYAN!

Bertambah usia itu adalah takdir, tetapi bertambah dewasa itu adalah pilihan.

- s t y a k n a -

***

Hari Senin. Entah kesalahan apa yang pernah dibuat oleh hari Senin hingga hampir semua pelajar membencinya. Murid-murid SMA Bhakti Nusantara kini berbaris dengan rapi di lapangan sekolah. Sepuluh menit lagi upacara bendera akan segera berlangsung.

Biasanya, Zyan akan menekuk wajahnya sepanjang waktu di hari Senin. Namun kali ini berbeda. Entah apa yang merasukinya, wajah gadis manis itu kini tampak berseri-seri. Seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru oleh orangtuanya.

"Lo kesambet, Zy?" tanya Sani dengan heran. Gadis itu berbaris tepat di belakang Zyan dan memandang sahabatnya itu dengan aneh.

"Iya, gue kesambet. Kesambet pesonanya Kak Navier," jawab Zyan ngelantur. Sebuah seringaian terbit pada bibirnya.

Sani memasang wajah seperti ingin muntah. Ia merasa geli mendengar ucapan Zyan barusan.

"Fan, temen lo urusin, nih!" Sani berbisik pada Fano yang berdiri di sebelahnya.

"Kita kenal?" balas Fano. Sani naik pitam seketika setelah mendengar balasan tersebut.

"Enyah lo dari hadapan gue!" seru Sani saking kesalnya. Volume suaranya yang terbilang cukup keras berhasil membuat gadis itu menjadi pusat perhatian. Zyan, Kia, Kenzo, dan Mares yang berbaris saling berdekatan menahan tawanya saat melihat wajah kikuk Sani.

Hari ini Zyan genap berusia enam belas tahun. Ia senang sekali. Gadis itu tidak pernah mengharapkan kado atau pun pesta ulang tahun. Punya kesempatan untuk bisa berkumpul bersama sahabat-sahabatnya saja adalah hadiah bagi Zyan.

Tapi, ada satu yang sedikit Zyan herankan. Sejak kecil, Kia dan Sani selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun di hari kelahirannya. Namun sampai saat ini, kedua sahabatnya itu belum memberinya ucapan selamat. Zyan bukannya berharap, hanya heran saja.

Apakah Kia dan Sani lupa jika hari ini Zyan berulang tahun?

***

Navier sedang menyalin catatan Biologi yang gurunya tulis di papan tulis. Kelas XII IPA 3 saat ini sedang pelajaran Biologi. Cowok itu sedang dalam mode rajin-rajinnya. Kelas XII kini sudah memasuki bulan-bulan yang padat. Hanya tinggal hitungan minggu saja mereka akan menjalani serangkaian acara mulai dari simulasi hingga yang menjadi finalnya yaitu UN.

"Nav," panggil Gilang yang duduk di samping Navier.

"Hm?" sahut Navier tanpa mengalihkan pandangan dari buku catatannya.

"Lo beneran nemuin bonyoknya Zyan kemarin?" tanya Gilang.

"Iya," jawab Navier enteng.

Yang Navier katakan memang benar. Kemarin sore setelah 'rapat' dengan Absurdkiawan, Navier meminta bantuan Rafael yang keluarganya merupakan pemilik perusahaan musik untuk membuat janji pertemuan dengan orangtua Zyan hari itu juga. Awalnya Navier sedikit ragu, namun saat mengingat janjinya pada Arthur untuk selalu membuat Zyan bahagia, Navier mendapatkan kepercayadiriannya. Zyan pernah bercerita padanya jika beberapa tahun terakhir ini orangtuanya tidak bisa hadir dalam perayaan ulang tahunnya. Dengan menghadirkan kedua orangtua Zyan, Navier berharap gadis itu mendapatkan momen yang spesial di hari kelahirannya tahun ini.

Gilang geleng-geleng dibuatnya. "Jangan bilang lo suka sama Zyan, Nav? Ngaku lo!"

Navier terpaksa menghentikan aktivitasnya. Ia memutar bola matanya dan menatap Gilang dengan malas.

"Gaje lo!" cibir Navier.

Gilang melirik gurunya yang sedang sibuk menulis di papan tulis. Cowok itu lalu bergerak agar lebih dekat dengan Navier.

"Kalo lo nggak suka sama tuh cewek, terus hubungan kalian selama ini disebut apaan? Lo mau jawab 'cuma sahabatan' lagi? Aduh, Nav! Hubungan lo sama anak iblis itu nggak bisa kalo cuma disebut sebagai temen deket. Kalian lebih dari deket. Yakin lo nggak ada perasaan apa pun sama Zyan?" bisik Gilang panjang lebar.

"Gaya lo udah kayak wartawan yang lagi nyari berita gosip aja. Join sama Rosa aja sana! Klop banget dah pasti lo berdua," balas Navier ikut berbisik.

"Dih, kebiasaan lo suka banget ngalihin topik!" cibir Gilang.

Navier hanya menggidikkan bahunya. Ia kembali menatap ke arah depan. Belum ada satu detik Navier menoleh, bulu kuduknya meremang seketika. Aura horor langsung menyelimutinya saat mendapati gurunya tengah memperhatikan dirinya dan Gilang dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

Mampus kecyduk!

Navier menelan salivanya dengan susah payah. Tangan kirinya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Cowok itu berusaha bersikap setenang mungkin di bawah tatapan mengintimidasi dari gurunya.

"Lo suka sama Zyan, kan, Nav?" bisik Gilang.

"Diem, Lang!" desis Navier sambil berpura-pura menatap buku catatannya.

"Tuh, kan! Lo pasti suka sama Zyan. Lagian juga kalo misalnya lo nggak suka, buat apa lo sampe repot-repot ketemu sama bonyoknya?" balas Gilang tak mempedulikan desisan Navier.

"Lo bisa diem nggak, Lang?" tanya Navier dalam keadaan masih mendesis.

"Jadi lo udah move on, nih, dari Azela? Wah... parah, sih, lo, Nav! Dedek gemes kesayangannya Si Bani main lo ambil gitu aja," ujar Gilang. Cowok itu terkekeh.

"Diliatin sama guru, Onyet!" desis Navier lebih kencang dari sebelumnya. Kesabarannya telah habis sudah.

Gilang awalnya tak mengerti dengan maksud perkataan Navier barusan. Cowok itu menatap ke arah depan dan seketika tubuhnya berjengit karena kaget. Punggungnya yang semula ia sandarkan pada sandaran kursi kini telah menegak. Nyalinya menciut saat tatapannya bertubrukan dengan tatapan mengintimidasi dari gurunya.

"Sialan lo, Nav, ngapain nggak bilang sama gue dari tadi?" desis Gilang dengan takut-takut.

Navier mendengus kasar. Padahal ia sudah memperingati Gilang sampai dua kali. Cowok itu saja yang tidak peka dengan peringatannya.

Dasar teman tidak tahu diuntung!

***

Zyan sedang di perpustakaan saat ini. Ia baru saja mengembalikan novel yang ia pinjam tiga hari yang lalu. Saat ia hendak keluar dari perpustakaan, gadis itu tak sengaja menabrak pundak seseorang.

"Eh, ma---Arthur?"

Pundak seseorang yang tidak sengaja Zyan tabrak adalah pundak Arthur. Mereka tadi sempat meringis. Tapi saat menyadari siapa yang mereka tabrak, wajah meringis mereka berubah. Suasana canggung segera menyelimuti keduanya.

"Sorry, Thur. Gue jalannya nggak liat-liat," ujar Zyan mengawali percakapan.

Arthur mengangguk mengerti. "Santai aja. Gue juga minta maaf."

Zyan mengangguk. Ia merotasikan bola matanya dengan tidak pasti. Gadis itu tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Ia sedang berusaha menghindari kontak mata dengan Arthur.

"Selamat ulang tahun, Zy."

Zyan sempurna mendongak, menatap Arthur yang lebih tinggi darinya. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia seperti tidak percaya dengan apa yang barusan Arthur katakan.

"Wish you all the best. Tetep jadi Zyan yang gue kenal, ya?" ujar Arthur disertai senyumannya. Cowok itu kemudian pamit dan melenggang pergi dari hadapan Zyan.

Zyan mematung di tempat. Semula matanya menatap pilar sekolah yang ada di hadapannya, lalu ia menoleh ke belakang dan menatap punggung tegap Arthur yang memasuki perpustakaan.

Hari ini, tepat di hari kelahirannya, Arthur adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun pada Zyan.

***

Pukul lima sore. Navier sudah rapi dengan celana setelan tuxedo hitam dan kemeja putih yang bagian lengannya ditekuk hingga siku. Ia memasukkan jas hitamnya ke dalam ransel kecil. Cowok itu lalu menyambar kunci motor dan helmnya.

Lana, Lavia, Rangga, Viona, Viela, Refan, dan Viusa yang tengah menonton TV bersama di ruang tengah menatap Navier dengan heran. Navier tadi memang sudah izin akan pergi sore ini, dan mereka pikir Navier akan main ke rumah salah satu sahabatnya. Tapi melihat pakaian Navier yang kelewat rapi dan formal membuat semuanya bingung.

"Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Lavia mewakili yang lainnya.

"Ke rumah temen, Ma. Dia ulang tahun hari ini. Viero diundang ke pesta ulang tahunnya," jawab Navier.

"Kok bajunya formal banget?" tanya Viela.

"Temen Viero yang satu ini ini keturunan sultan, Kak. Keluarga besarnya bakal dateng juga ke pesta. Jadi, ya, gitu," jawab Navier. Viela mengangguk mengerti.

Navier menoleh dan mendapati Vioma yang menatapnya penuh curiga.

"Ma, Viona curiga kalo Viero udah punya cewek," ujar Viona pada Lavia yang duduk di sampingnya.

Lavia menatap putri sulungnya itu dengan tatapan tak mengerti. "Maksud kamu apa?"

"Mama emang nggak curiga apa pun sama Viero?" tanya Viona. Lavia menggeleng sebagai jawaban.

Viona menghela napas sejenak sebelum akhirnya berkata, "Akhir-akhir ini Viero lebih sering keluar rumah. Kalo di rumah juga kerjaannya kalo nggak main gitar atau drum, ya, main HP. Mama tau nggak, Ma? Viona, tuh, pernah mergok Si Viero lagi main HP sambil senyum-senyum sendiri. Aneh, kan, Ma? Cuma ada dua kemungkinan cowok senyum-senyum sendiri kalo main HP. Kalo bukan karena temennya, ya, berarti ceweknya."

"Lo ngomong gitu seakan-akan gue nggak ada," cibir Navier. Padahal cowok itu sedang berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Eh, iya. Viela juga pernah diceritain sama temen. Dia bilang katanya pernah liat Viero di Pusat Kuliner sama cewek. Berdua. Cewek itu siapa, Ro?" sahut Viela.

Navier menatap Viela dengan tatapan tak percaya. Biasanya kakak keduanya itu tidak akan banyak bicara jika sikap resek Viona kumat. Tapi mengapa sekarang justru Viela seolah-olah mendukung Viona untuk menyudutkannya?

Itu pasti waktu gue lagi jalan sama Zyan, batin Navier.

"Wah... brader gue udah besar ternyata. Boleh lah kenalin ke kita-kita siapa ceweknya," timpal Rangga ikut-ikutan. Cowok itu menunjukkan cengiran kudanya.

"Kamu udah punya---"

"Viero pamit. Udah jam lima lebih. Pasti udah ditunggu sama yang lain. Dah!" Navier memotong kalimat Lavia dengan cepat sebelum mengambil langkah seribu untuk keluar dari rumahnya.

"SELESAI PESTA NANTI AJAKIN CEWEKNYA MAIN KE RUMAH, RO! PAPA MAU KENALAN SAMA CALON MANTU!"

Dan Navier pun hanya bisa menyebut dalam hati.

***

Navier memimpin rombongan NAGIBADERA menuju rumah Zyan. Setibanya di kediaman keluarga Bramasta, mereka langsung disambut oleh Absurdkiawan. Mereka memberi arahan kepada Navier CS agar memarkirkan kendaraan mereka di halaman samping.

"Demi rakyat Kota Bikini Bottom yang tetep mandi walaupun ada di air! Lo nggak salah alamat, kan, Nav?" ucap Gilang setelah melepas helmnya. Ia menatap bangunan megah rumah Zyan yang ada di hadapannya.

"Kalo gue salah alamat, mana mungkin ada temen-temennya Zyan di depan tadi?" balas Navier. Cowok itu turun dari motor sport merahnya. Ia lalu mengeluarkan jasnya dari dalam ransel dan menitipkan ranselnya pada mobil Rafael.

Gilang, Bani, bahkan Delan berdecak kagum melihat arsitektur rumah Zyan. Mereka sering berkunjung ke rumah Rafael yang sejatinya keturunan orang kaya. Mereka mengira rumah Rafael adalah yang terbesar dan termegah, ternyata ada yang lebih dari itu.

Navier juga diam-diam mengagumi arsitektur rumah Zyan. Cowok itu memang pernah ke rumah Zyan beberapa kali, tapi itu hanya sampai depan gerbang saja. Dari depan saja rumah bernuansa putih ini sudah terlihat sangat megah, lantas bagaimana dengan isinya nanti?

"Keluarganya Zyan udah pada dateng, Ken?" tanya Navier pada Kenzo.

"Baru sepupu-sepupunya. Kakek-nenek sama bonyoknya belum dateng," jawab Kenzo seraya membenarkan dasinya yang miring. Cowok itu tak jauh berbeda dengan Navier---menggunakan setelan tuxedo hitam.

Navier, Gilang, Bani, Delan, dan Rafael kemudian mengikuti Kenzo ke halaman belakang rumah Zyan lewat halaman samping. Navier menyampirkan jasnya ke pundak, ia belum mau mengenakannya sekarang. Gilang dan Bani pun sama. Bedanya adalah Gilang menenteng jasnya sedangkan Bani mengikat bagian lengan jasnya pada lehernya. Hanya Delan dan Rafael yang sejak tadi kalem-kalem saja dengan setelan tuxedo yang sangat pas di tubuh mereka.

Saat 'rapat' pesta kejutan untuk Zyan kemarin sore, Kia dan Sani mengatakan bahwa keluarga besar Zyan akan turut menghadiri pesta tersebut. Kedua gadis itu sudah mewanti-wanti mereka agar berpakaian yang rapi dan sopan. Mengingat sebagian besar anggota keluarga besar Zyan---khususnya dari keluarga papanya---merupakan konglomerat dan orang-orang pemilik jabatan tinggi lainnya. Delan yang memang dasarnya adalah anak yang rapi jadinya ia tidak banyak komplain. Rafael apalagi. Cowok yang dilahirkan di keluarga pemilik perusahaan musik itu tentunya sudah biasa mengenakan setelan tuxedo untuk menghadiri acara-acara glamor seperti ini.

Navier, Gilang, Bani, Delan, dan Rafael tercengang setibanya mereka di halaman belakang rumah Zyan. Navier, Delan, dan Rafael melotot. Sedangkan Gilang dan Bani sampai membuka mulut mereka. Kelima cowok itu mengerjap beberapa kali, mengira ada yang salah dengan penglihatan mereka.

"Ini halaman rumah apa outdoor-nya hotel bintang lima?" ujar Bani masih dalam keterkejutannya. Cowok itu berkali-kali berdecak kagum.

"Ini beneran rumahnya Zyan, Ken?" tanya Navier pada Kenzo yang berdiri di sebelahnya.

Kenzo mengangguk. "Gue juga waktu pertama kali ke sini nggak percaya kalo rumah segede ini rumahnya Zyan. Jangan lupain fakta kalo bonyoknya Zyan konglomerat."

Navier meneguk salivanya dengan susah payah. Sulit sekali untuk membayangkan Zyan yang kesehariannya selalu sederhana dan tak pernah macam-macam kenyataannya lahir di keluarga konglomerat dan memiliki rumah semewah ini. Satu-satunya barang mahal yang selalu Zyan bawa hanyalah ponselnya yang berlogo buah apel, sisanya sama sekali tidak ada yang mencolok.

"Gue saranin lo lamar Zyan sekarang juga, Nav. Gue jamin masa depan lo bakalan cerah," bisik Gilang pada Navier. Mendengar hal itu membuat Navier melayangkan tatapan tajamnya.

***

Zyan menatap papan tulis yang penuh dengan angka-angka itu dengan bosan. Hari ini adalah jadwalnya les mapel Matematika. Ia lalu menoleh ke arah kanan. Ada Thala dan Stela yang sibuk berkutat dengan buku latihan soal mereka. Tentor mereka memberikan sepuluh soal latihan tentang trigonometri. Zyan sudah selesai mengerjakannya sejak sepuluh menit yang lalu.

Drrtt... Drrtt... Drrtt...

Zyan melirik ponselnya yang bergetar. Layarnya menyala dan tertera sebuah pesan masuk dari kontak yang ia beri nama 'Azkia'.

Nashwa Azkia Anggia : Lo lagi les kan?

Zyan mengerutkan keningnya. Gadis itu merasa heran sekaligus bingung. Tak biasanya Kia bertanya seperti ini.

Zyan Arana Wulandari : Iya. Knp?

Tak butuh waktu lama bagi balasan pesan Zyan dibaca oleh Kia.

Nashwa Azkia Anggia : Nanti pulangnya gue jemput, bareng Sani juga.

Zyan melihat jam pada ponselnya. Pukul 17.15. Jika Kia mengajak Zyan untuk main, ini sudah terlalu sore. Lagipula, untuk apa Kia dan Sani repot-repot akan menjemputnya?

Zyan Arana Wulandari : Ada apaan nih? Tumben bener.

Nashwa Azkia Anggia : Mamanya Sani ultah. Kita diundang buat dateng ke pesta ultahnya di hotel yang deket rumah lo.

Zyan Arana Wulandari : Emang iya? Setau gue mamanya Sani ultahnya bulan Juli. Ini masih April, Ki.

Nashwa Azkia Anggia : Sok tau lo. Orang ultahnya juga hari ini.

Zyan semakin dibuat tak mengerti. Zyan, Kia, dan Sani sudah berteman sejak kecil. Mustahil jika mereka tidak tahu tentang satu sama lain, termasuk tentang tanggal ulang tahun orangtua. Zyan ingat betul bahwa Mama Sani berulang tahun di bulan Juli. Sejak kapan ada sejarahnya Mama Sani mengganti bulan kelahirannya menjadi April?

Nashwa Azkia Anggia : Lo fokus les aja. Nanti gue sama Sani di depan tempat bimbel lo, nanti ada mobilnya Sani di sana. Lo tau kan mobilnya Sani yang kayak apa?

Abis jemput lo, kita cabut ke butik. Nggak mungkin kan lo ke pesta pake baju casual?

Zyan mengembuskan napas panjang. Baiklah. Ia menurut saja. Gadis itu lalu mematikan ponselnya dan kembali fokus pada lesnya.

***

Absurdkiawan---minus Kia dan Sani---dan NAGIBADERA, dibantu dengan sepupu-sepupu Zyan dan anak-anak kelas X IPS 3 serta beberapa anak kelas X lainnya, bahu membahu menyiapkan pesta kejutan untuk Zyan dengan sebaik mungkin. Para cowok memasang dekorasi dan menata meja kursi di halaman belakang. Navier CS berkali-kali memanjat kursi untuk memasang lampu dan dekorasi lainnya. Sedangkan para cewek menata makanan dan minuman di meja hidangan. Keluarga besar Zyan satu persatu berdatangan.

Bi Sri dan para pembantu rumah tangga di rumah Zyan juga turut membantu. Mereka siap mondar mandir jika ada yang membutuhkan bantuan mereka. Sedangkan dua satpam rumah Zyan menertibkan kendaraan yang diparkir di halaman samping. Mereka semua dengan senang hati membantu melancarkan misi kejutan untuk Zyan---majikan muda mereka yang sudah mereka anggap anak sendiri.

Sementara di sisi lain, Kia dan Sani betulan menjemput Zyan di tempat lesnya. Zyan terkejut saat melihat Kia dan Sani yang mengenakan gaun. Setelah melaksanakan ibadah shalat magrib di masjid terdekat, ketiga gadis itu lalu langsung meluncur ke butik milik Nenek Zyan. Kia dan Sani langsung saja menyuruh Zyan untuk mengenakan gaun yang sudah dipesankan khusus untuknya. Sani beralibi bahwa ibunya yang memesankan gaun tersebut untuk Zyan kepada Nenek Zyan. Awalnya Zyan keberatan karena merasa merepotkan Ibu Sani. Tetapi Sani mencoba memberi pengertian. Gadis itu juga terpaksa mengarang cerita bahwa Kia juga dipesankan gaun oleh ibunya.

Butuh setengah jam hingga Zyan siap. Seperti disihir oleh Ibu Peri yang ada di serial animasi Cinderella, penampilan Zyan kini berubah seperti putri kerajaan. Zyan mengenakan gaun panjang berwarna navy yang bagian atasnya dipenuhi oleh brokat berwarna silver. Leher dan pundaknya terekspos sempurna. Terdapat tiara yang sangat manis melingkar di kepalanya. Kakinya dilindungi oleh wedges berwarna senada dengan gaunnya. Rambutnya yang panjang dicepol dengan rapi. Wajah manis yang dimiliki oleh gadis itu kini dipermanis dengan polesan kosmetik yang dibuat senatural mungkin.

"Gue heran sama Zyan. Dia kalo didandanin kayak gitu cantiknya naudzubillah, tapi dari dulu tuh anak nggak pernah suka dandan-dandan kayak gini," bisik Sani pada Kia seraya memperhatikan Zyan yang tengah menatap pantulan dirinya pada cermin.

"Kayak nggak tau Zyan aja. Tuh cewek paling anti sama yang namanya ribet," balas Kia berbisik.

***

Zyan dibuat tambah bingung saat mobil Sani justru parkir di halaman rumahnya. Ia menatap Kia dan Sani, meminta penjelasan. Namun Kia hanya menjawab begini, "Nggak mungkin, kan lo mau bawa buku les ke pesta?"

Zyan kembali menurut. Ia turun dari mobil dan menatap pintu rumahnya. Gadis itu semakin bingung. Rumahnya tampak lebih sepi dari biasanya. Istana milik keluarga Bramasta itu bahkan terlihat gelap, tidak ada satu pun lampu yang menyala kecuali lampu-lampu yang ada di taman. Satpam rumahnya juga tidak memberitahu tentang apapun saat tadi membukakan gerbang. Ke mana perginya semua orang? Pikir gadis itu.

"Kok rumah lo jadi horor gini, ya?" celetuk Sani sambil memasang wajah ketakutan. Gadis itu memeluk dirinya sendiri saat dirasa bulu kuduknya meremang.

Zyan, Kia, dan Sani saling berdekatan. Zyan memimpin di depan, sedangkan Kia dan Sani di belakangnya. Zyan membuka pintu utama rumahnya. Terdengar suara berderit saat pintu tersebut terbuka, kemudian suara itu menggema di dalam rumahnya yang gelap. Meskipun dalam kegelapan, Zyan tahu betul benda apa saja yang ada di hadapannya sekarang.

Ketiga gadis itu melangkah pelan-pelan. Mata mereka sangat awas terhadap sekitar. Beberapa kali mereka saling protes saat gaun mereka tidak sengaja terinjak satu sama lain. Lalu kembali hening. Hanya terdengar suara jarum detik pada jam yang terletak di ruang tamu.

Zyan berjengit saat melihat sebuah pigura berukuran sedang yang terpasang di dinding ruang tamu. Gadis itu lalu berdecak. Itu adalah fotonya sendiri. Di dalam foto tersebut Zyan mengenakan gaun putih selutut dan rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Foto tersebut diambil saat usianya sembilan tahun. Bagaimana bisa Zyan terkejut melihat fotonya sendiri?

Zyan berhenti. Ia menoleh ke belakang saat dirasa hanya dirinya seorang yang berada di ruang tamu, dan benar saja. Dengan pencahayaan yang minim, Zyan tidak mendapati Kia dan Sani di belakangnya. Ke mana perginya dua gadis itu?

"Halo?" ujar Zyan dengan sedikit berseru. Ia berharap ada yang menyahuti seruannya.

"Ada orang di rumah?" seru Zyan lagi dengan volume lebih keras.

"Bi Sri?"

"Mama?"

"Papa?"

Zyan celingukan dalam kegelapan. Gadis itu dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Ini seperti adegan-adegan di film horor yang pernah ia lihat. Biasanya jika sudah seperti ini tidak lama lagi akan muncul jump scare dengan sosok hantu yang menyeramkan. Zyan jadi parno sendiri membayangkannya.

Zyan menyipitkan matanya saat melihat ada setitik cahaya dari arah halaman belakang. Gadis itu bisa melihatnya lewat kaca yang tertutupi oleh gorden tipis. Dengan tangan yang terkepal untuk menahan segala rasa takutnya, Zyan melangkah menuju halaman belakang. Lebih tepatnya menuju setitik cahaya itu.

Zyan tiba di depan pintu kaca yang membatasi rumahnya dengan halaman belakang. Cahaya yang tadi ia lihat hanya setitik kini memenuhi penglihatannya. Tangannya terangkat untuk menyibak gorden yang menutupi kaca dan meraih gagang pintu. Alangkah terkejutnya Zyan ketika melihat pemandangan yang ada di hadapannya saat pintu berhasil terbuka.

Halaman belakang rumahnya sudah disulap menjadi area pesta terbuka dengan dekorasi yang sangat cantik. Kolam renangnya dipenuhi oleh bola-bila kecil yang di dalamnya terdapat lilin. Ada banyak sekali meja kursi yang ditata rapi di area rumput dan separuh area golf. Separuh area gold lainnya dijadikan sebagai tempat photobooth dengan bentuk background yang berbeda-beda. Area lapangan basket sudah diubah menjadi panggung kecil dengan beberapa kursi dan alat musik. Area terbuka tersebut juga sudah seperti lautan manusia. Ada Absurdkiawan yang berdiri di barisan paling depan. Setitik cahaya yang ia lihat dari dalam rumah tadi berasal dari lilin yang tertancap pada kue yang dibawa oleh Kia dan Sani---entah bagaimana ceritanya kedua gadis itu bisa berada di sana. Di belakang mereka terdapat teman-teman satu kelasnya sekaligus teman-teman dekatnya dari kelas lain. Zyan terkejut begitu melihat NAGIBADERA yang berdiri di sisi kiri. Kelima cowok itu tampak menawan dengan penampilan mereka saat ini, khususnya Navier. Jantung Zyan berdegup kencang ketika Navier melempar senyumnya saat tatapan mereka bertemu. Lalu tatapan itu terputus saat Gilabg dengan jail menutupi mata Navier.

Zyan tambah terkejut saat mendapati keluarga besarnya berdiri di sisi kanan. Ada sepupu, kakek-nenek, om dan tante, serta kerabat-kerabatnya. Bahkan terdapat Vyas di antara mereka. Entah bagaimana caranya gadis itu sudah berada di Indonesia lagi. Tidak jauh dari tempat mereka berada, ada Bi Sri dan pembantu rumah tangga lainnya yang selama ini menemani Zyan. Bi Sri tersenyum ketika Zyan menatapnya. Tak ketinggalan dua satpam yang tadi berjaga di pos kini sudah pindah ke halaman belakang.

Zyan tak mampu membendung air matanya saat mendapatkan kejutan seperti ini di hari ulang tahunnya. Ia mengira mereka lupa jika hari ini ia berulang tahun. Bahkan sampai detik ini baru Arthur yang mengucapkan selamat kepadanya. Tangisnya semakin pecah saat mereka semua menyanyikan lagu 'Happy Birthday' untuknya.

"SELAMAT ULANG TAHUN, ZYAN!"

"WISH YOU ALL THE BEST LAH YA!"

"TETEP JADI ZYAN YANG KITA KENAL!"

"PAJAKNYA DITUNGGU!"

"TAMBAH TUA AJA LO, ZY!"

Dan masih banyak lagi seruan-seruan lainnya yang berasal dari teman-temannya. Dengan berlari kecil, Zyan menuruni tangga dan berhambur ke pelukan Kia dan Sani. Kue yang sebelumnya mereka bawa sudah berpindah tangan ke Kenzo. Zyan menangis sejadinya.

"Makasih atas surprise-nya. Makasih banyak semua. Makasih udah mau datang," ujar Zyan dengan suara parau kepada semua yang hadir di sini.

***

Sesi pemotongan kue.

Kia yang bertugas sebagai MC di pesta kejutan ini bertanya kepada Zyan untuk siapakah potongan kue yang pertama akan diberikan. Zyan melihat ke sekelilingnya, gadis itu seperti sedang mencari sesuatu.

"Mama sama Papa di mana?"

Pertanyaan Zyan barusan berhasil membuat semua orang saling lirik. Sejak tadi orangtua Zyan memang belum terlihat. Semuanya celingukan, mencoba mencari keberadaan orangtua Zyan. Namun nihil hasilnya. Pasangan suami istri itu tidak ada di sini.

Zyan menghela napasnya, helaan napas yang sarat akan kekecewaan. Di saat semua orang terdekatnya berkumpul saat ini untuk memberinya kejutan ulang tahun, orangtuanya justru tidak hadir. Ini adalah ulang tahun keenamnya yang ia lewati tanpa orangtua. Terakhir kali ulang tahunnya dirayakan bersama orangtua adalah saat perayaan ulang tahunnya yang kesepuluh.

"Potongan kue yang pertama ini aku persembahkan buat Bi Sri," ujar Zyan melalui mic.

Semua orang menatap Bi Sri. Wanita paruh baya itu dengan wajah kikuk maju ke depa dan berdiri di samping Zyan. Bi Sri menerima piring kecil berisi potongan kue yang Zyan berikan padanya.

"Makasih, Bi, karena udah jagain Zyan dari kecil. Bi Sri selalu sabar ngadepin Zyan waktu kecil yang cerewetnya minta ampun. Makasih udah mau jadi teman Zyan dan jadi ibu kedua Zyan setelah Mama," ujar Zyan dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu lalu memeluk Bi Sri dengan erat.

"Sama-sama, Non. Selamat ulang tahun, ya," balas Bi Sri. Wanita paruh baya itu mengusap punggung Zyan dengan penuh kasih sayang. Tanpa orang-orang ketahui, Zyan tengah menangis di dalam pelukan Bi Sri. Bi Sri yang menyadari hal itu hanya bisa memberikan pelukannya. Ia tahu jika majikannya ini tengah bersedih karena orangtuanya tidak hadir di tengah-tengah mereka.

Kia menatap Sani, Kenzo, Mares, dan Fano yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Gadis itu lalu menatap gerombolan Navier. Tatapannya seolah-olah berkata: Orangtuanya Zyan ke mana?

***

Zyan sedang mengobrol dengan keluarganya. Kia dan Sani sejak tadi berada di sisi gadis itu. Di balik senyum dan tawa yang Zyan tunjukkan di hadapan keluarganya, Kia dan Sani tahu betul jika Zyan sedang tidak baik-baik saja.

"Zyan pamit dulu, ya? Mau gabung sama temen-temen. Selamat menikmati hidangannya," pamit Zyan yang dibalas anggukan dari keluarganya.

Zyan, Kia, dan Sani menjauh dari keluarga Zyan. Mereka lalu duduk di meja yang tak jauh dari tempat meja hidangan berada.

"Lo duduk dulu di sini. Biar gue sama Kia ambilin makanan sama minuman buat lo," ujar Sani.

"Makasih," balas Zyan. Kia dan Sani mengangguk.

Zyan duduk termenung sendirian. Wajah cerianya kini berubah jadi murung. Gadis itu masih merasa kecewa karena orangtuanya tidak hadir.

Zyan menatap teman-temannya. Mulai dari Kia dan Sani yang tengah mengambilkan makanan dan minuman untuknya. Lalu ada Kenzo, Mares, dan Fano yang sibuk melahap kue-kue dan camilan dalam porsi yang cukup banyak. Ada pula Arthur dan teman-teman sekelasnya yang lain yang sedang sibuk di area photobooth. Lalu Zyan melihat NAGIBADERA sedang berada di panggung dan mencoba semua alat musik yang ada di sana.

Zyan lalu menatap keluarganya. Vyas dan sepupu-sepupu perempuan asyik mengobrol tentang fashion dan topik yang bertema girly lainnya. Sedangkan sepupu-sepupu laki-laki sibuk mabar game online dengan teman-temannya yang berasal dari kelas lain. Para om-om dan tante-tante saling bertukar cerita tentang bisnis yang mereka jalani. Sedangkan kakek-neneknya sedang mengenang masa muda ketika melihat Zyan dan teman-temannya.

Zyan merasa senang saat semua orang-orang terdekatnya berkumpul dan bekerja sama untuk memberinya kejutan di hari ulang tahunnya. Rencana mereka berhasil seratus persen. Zyan bahkan tidak menduga jika akan mendapat kejutan seperti ini. Terlalu banyak kejutan yang terjadi pada hari ini.

Tapi semua itu terasa kurang. Saat mendapatkan kejutan seperti ini, orangtuanya adalah orang yang paling ia harapkan dapat hadir dan berdiri di barisan paling depan. Tetapi semua itu sepertinya hanya akan menjadi harapannya. Buktinya sampai saat ini mereka belum tampak batang hidungnya. Jika mereka tidak dapat hadir karena urusan pekerjaan, Zyan sudah memakluminya hingga lima kali. Ini adalah kali keenam mereka tidak hadir di perayaan ulang tahunnya. Jika alasannya lagi-lagi sama, Zyan benar-benar akan kecewa berat.

Tanpa Zyan sadari, dari dua arah yang berbeda, dua pasang bola mata tengah memperhatikannya dari kejauhan. Dua pasang bola mata itu adalah milik Navier dan Arthur. Mereka memperhatikan Zyan sejak gadis itu sedang berkumpul dengan keluarganya. Sorot mata mereka berubah jadi sendu saat melihat wajah murung Zyan. Navier dan Arthur paham, ketidakhadiran orangtuanya adalah penyebab gadis itu murung.

Dalam waktu yang bersamaan, Navier dan Arthur berdiri. Mereka hendak menghampiri Zyan. Namun, niat Navier untuk menghampiri Zyan ia urungkan ketika melihat Arthur yang lebih dulu menghampiri Zyan. Cowok itu kembali duduk. Matanya mengawasi Arthur dan Zyan dari atas panggung.

***

"Hai, Zy."

Zyan mendongak dan mendapati Arthur yang tersenyum. Cowok itu duduk di kursi yang ada di sebelahnya. Dengan segera Zyan mengatur ekspresinya agar kembali menjadi ceria.

"Hai, Thur," balas Zyan balik menyapa.

Arthur lalu menyodorkan sebuah paper bag berukuran besar. Arthur memberi kode agar Zyan menerimanya. Zyan pun menurut dan menerimanya dengan bingung.

"Ini apa?" tanya Zyan sambil mengintip isi dari paper bag tersebut.

"Itu kado dari gue. Ada juga kado titipan dari Mama, Kak Angel, Kak Aleeya, sama Alice. Ada titipan salam dari mereka sekaligus maaf karena nggak bisa dateng," jawab Arthur. Angel, Aleeya, dan Alice adalah saudari-saudari Arthur.

"Kalian nggak usah repot-repot kasih gue kado harusnya. Tapi ngomong-ngomong, sampein makasih gue buat mereka. Sampein juga salam gue, ya?" ujar Zyan. Arthur mengangguk.

Setelah itu Arthur pamit. Zyan mengangguk dan menatap kepergian Arthur. Tak lama setelah itu, tiba-tiba saja ada yang menepuk pundaknya. Ia terkejut lalu menoleh.

Zyan berdecak saat melihat pelakunya. "Kak Navier bikin kaget aja."

Navier terkekeh lalu duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Arthur.

"Happy birth day," ujar Navier disertai senyumnya.

Zyan menatap mata Navier. Berdekatan dengan Navier seperti ini berhasil membuat jantungnya bekerja di luar normal. Gadis itu dapat merasakan darahnya berdesir hebat. Malam ini Navier terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari biasanya. Zyan meneliti setiap inci dari wajah Navier. Mulai dari alis yang tebal, mata yang menawan, hidung mancung, dan rahang yang tegas. Gila! Mimpi apa Zyan semalam sampai-sampai bisa duduk berdekatan dengan cowok yang nyaris sempurna ini?

"Gue tau gue ganteng, Zy."

Zyan kembali berdecak dan membuang pandangannya. Mengapa ia menyebutkan jika Navier ini nyaris sempurna? Karena kekurangannya adalah memiliki sifat PD yang terlalu tinggi.

"Narsis banget, sih, Kak!" cibir Zyan.

Navier tertawa. "Nih kado buat lo," ucapnya seraya menyodorkan sebuah kotak besar berwarna biru dengan pita berwarna silver. "Kebetulan banget warnanya kembaran sama dress lo," tambahnya.

Zyan menerima kotak tersebut dengan susah payah. "Besar banget. Isinya apaan?"

"Cie penasaran," kata Navier. Zyan lagi-lagi berdecak. Zyan lalu meletakkan kado dari Navier bersebelahan dengan kado dari Arthur.

Baru saja Zyan membenarkan posisi duduknya, ucapan Navier berhasil membuatnya mematung di tempat.

"Lo cantik malam ini."

Deg

Zyan menelan salivanya dengan susah payah. Ia rasa seluruh sistem sarafnya mati selama beberapa detik. Gadis itu juga menahan napasnya tanpa sadar. Perutnya terasa tertekan ke dalam. Zyan juga dapat merasakan hawa di sekitar menjadi panas. Ia yakin seratus persen wajahnya kini sudah seperti tomat ranum. Serangan butterfly syndrome yang mendadak seperti ini memang sering membuat orang-orang nyaris gila.

"A-aku cantik, kan, karena aku cewek," ujar Zyan. Dalam hati ia merutuki mulutnya yang berbicara dengan terbata.

"Tapi lo cantiknya beda. Mbak Kendall sama Mbak Gigi yang jadi pacar halunya Gilang aja kalah cantik sama lo," kata Navier.

Nih cowok nggak tau apa ya kalo jantung gue udah dugun-dugun?!

"Apaan, sih, Kak," balas Zyan dengan memalingkan wajahnya.

Navier mendekat ke arah Zyan. Bibirnya kini berada tepat di depan telinga Zyan. Jantung Zyan nyaris copot dari tempatnya saat merasakan embusan napas Navier menerpa kulit wajahnya.

"Lo nge-fly nggak waktu gue bilang cantik?"

Zyan langsung mengumpat dalam hati. Perasaan malu, kesal, dan ingin melayang bercampur aduk menjadi satu. Kakak kelasnya ini masih bertanya apakah ia nge-fly atau tidak?!

Zyan mendorong wajah Navier agar menjauh dengan telapak tangannya. Ini tidak bisa dibiarkan. Pasokan oksigen di sekitar Zyan mulai menipis. Bisa-bisa Zyan kehilangan nyawanya hanya karena nge-fly. Sedangkan Navier hanya terkekeh saat melihat pipi Zyan yang memerah karena ulahnya.

"Zy..."

"Hm?" Zyan memberikan respon singkat. Gadis itu tidak mau menatap Navier dengan alasan ingin menenangkan degup jantungnya yang selalu bekerja di luar normal jika berdekatan dengan Navier seperti ini.

Navier memperhatikan Zyan dari samping yang tidak mau menatap dirinya. Cowok itu tahu Zyan sedang salah tingkah. Sepertinya ucapan Arthur waktu dulu benar adanya.

Zyan istimewa.

"Lo pernah deket sama cowok nggak?" tanya Navier.

Zyan menoleh menatap Navier. Gadis itu tercengang sekaligus bingung dengan maksud dari pertanyaan cowok itu.

"Pernah. Kenapa?"

"Cowok itu termasuk ke dalam tipe idaman lo?" tanya Navier lagi.

Zyan mengangguk kecil.

"Tipe didaman lo itu yang kayak gimana?" tanya Navier lagi dan lagi.

Zyan mengernyitkan keningnya karena bingung. "Kak Navier kenapa, sih?"

"Jawab aja pertanyaan gue," ujar Navier dengan suara beratnya.

Zyan berpikir sejenak. "Aku sebenernya nggak punya tipe idaman yang spesifik, sih, Kak. Asalkan anaknya punya selera humor yang oke, kalo diajak ngobrol itu nyambung, terus ngehargain aku sebagai perempuan. Udah gitu aja. Oh iya satu lagi! Aku paling suka kalo ngeliat cowok jalan ke masjid. Adem aja gitu ngeliatnya, apalagi kalo cogan."

Navier yang awalnya mendengarkan dengan serius berdecak setelah mendengar kalimat terakhir Zyan.

"Hidup lo kayanya nggak pernah jauh-jauh dari profesi lo sebagai cogan hunter," cibir Navier tetapi dibarengi dengan kekehan.

"Ya jelas dong, Kak! Profesi aku yang satu itu membantu banget kalo aku lagi nyari role player buat cerita-cerita yang aku buat," kata Zyan.

"Role player apaan?"

"Tanya aja sama temen-temen Kak Navier yang kpopers. Mereka pasti tau role player itu apa," jawab Zyan.

"Kenapa bukan lo aja yang jelasin?"

"Susah kalo jelasin tentang apa itu role player ke cowok yang bukan fan boy," ujar Zyan.

Satu menit berlalu. Navier dan Zyan saling diam.

"Kalo menurut lo, gue ini orangnya gimana?" tanya Navier.

"Mmm... Kak Navier itu baik. Ramah banget ke semua orang, dan orangnya itu enak aja kalo dijadiiin temen ngobrol. Terus alim juga, mungkin? Soalnya aku pernah beberapa kali ngeliat Kak Navier sama Kak Delan selalu ikut shalat dhuhur berjamaah kloter pertama di sekolah," jawab Zyan.

"Berarti intinya tipe idaman lo itu easy going sama alim?" tanya Navier.

Zyan mengangguk.

Lagi, satu menit berlalu dengan saling diam. Zyan sibuk mengamati sekitar, sedangkan Navier tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Kalo gue daftar boleh nggak, Zy?" tanya Navier.

Zyan menoleh. "Daftar apaan, Kak?"

Navier menatap kedua bola mata Zyan dengan lekat. Entah apa yang dicari oleh cowok itu, ia hanya ingin menyelami tatapan Zyan. Setelah beberapa bulan dekat dengan gadis ini, Navier baru menyadari jika Zyan memiliki bola mata yang besar dan indah. Iris matanya berwarna cokelat lumer jika terkena cahaya. Cowok itu lalu menelusuri setiap inci wajah Zyan. Mulai dari alis yang rapi, mata yang indah, bibir mungil, dan kulit wajah yang terawat.

"Daftar jadi gebetan lo. Boleh nggak?"

CANDRAWULAN

Hola!

Tinggalkan jejak sebagai bukti bahwa kalian telah membaca bagian ini dengan pemberian vote + komen, biar gak sider.

Sebenernya aku mau publis chapter ini tanggal 16 kemarin, tapi ada aja kendalanya. Maapkeun ya? :D

Maafkan bila terjadi kesalahan dalam kepenulisan.

Keep reading CANDRAWULAN until the end.

Thanks and see you 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top