26 : TERNYATA PEDULI
Bukan karena dunia ini yang terlalu sempit. Melainkan semestalah yang menginginkan pertemuan kita untuk terjadi dengan mudah.
- s t y a k n a -
***
Navier mendekati motornya. Ia baru saja mengikuti bimbingan belajar tambahan di sekolah. SMA Bhakti Nusantara memperketat jadwal untuk kelas dua belas karena sebentar lagi akan menghadapi try out dan sederet agenda ujian lainnya.
"Gue duluan," pamit Navier pada Gilang dan Bani yang motornya terparkir di sebelah motor Navier.
"Yoi," balas Gilang.
"Hati-hati di jalan, Roro Sayang!" timpal Bani dengan wajah sumringah.
Navier bergidik ngeri mendengar ucapan Bani. Ia menyalakan mesin motornya. Deruan knalpotnya membuat Navier menjadi pusat perhatian. Cowok itu kemudian melajukan motornya keluar dari area sekolah.
Navier mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Ia menikmati angin sore yang terasa menyegarkan setelah hampir sepuluh jam berada di sekolah. Dasinya berkibar karena angin. Sebentar lagi matahari akan tumbang di ufuk barat.
Navier tiba-tiba mengingat Zyan. Ia tak habis pikir. Bagaimana bisa gadis itu bertahan selama ini dalam tuntutan ibunya? Saat mereka di greenhouse tadi, Zyan mengatakan jika dirinya tidak menyukai matematika. Zyan juga mengatakan bahwa ia pernah menjuarai olimpiade matematika nasional ketika kelas dua SMP. Tidak suka matematika, tapi menjadi juara di olimpiade matematika nasional. Aneh, begitulah kira-kira batin Navier.
Zyan juga bercerita bahwa kesehariannya adalah membaca buku kumpulan rumus dan soal. Navier bergidik seketika. Melihat modul bertuliskan matematika saja sudah membuatnya pusing, apalagi jika disuruh membaca modul tersebut dan memahami isi-isinya. Bisa-bisa Navier muntah. Navier tak mengerti apa isi dari otak Zyan.
Pikiran Navier kini bercabang. Ia teringat akan ucapannya ketika mengajak Zyan untuk berteman. Entahlah apa yang ada di dalam pikirannya saat itu, mengajak Zyan berteman, dan berjanji akan selalu ada untuknya.
Tetapi, melihat Zyan tersenyum seperti tadi membuatnya merasa damai. Entah karena apa. Mungkin karena ia ingat dengan janjinya pada Arthur, di mana dirinya akan selalu membuat Zyan bahagia. Berhasil membuat Zyan tersenyum seperti tadi adalah awal yang baik untuk Navier memenuhi janjinya pada Arthur.
***
Zyan merapikan alat shalatnya setelah selesai menggunakannya. Gadis itu baru saja menunaikan ibadah shalat maghrib. Ia meletakkan alat shalatnya pada lemari kayu yang berada di mushola rumahnya.
Zyan tersenyum ketika berpapasan dengan salah satu pembantu rumahnya. Mereka mengobrol sebentar. Setelah itu Zyan melanjutkan langkahnya kembali ke kamar. Gadis itu menaiki tangga sebelah timur dan menyusuri lorong-lorong rumahnya. Hingga tiba di ujung lorong, sebuah pintu putih setinggi dua meter dengan hiasan dream catcher berwarna biru menyambut kedatangan Zyan.
Ruangan serba biru tertangkap oleh indera penglihatan Zyan begitu ia membuka pintu kamarnya. Gadis itu berjalan mendekati nakas yang terletak di sebelah kasurnya. Zyan meraih ponselnya dan menekan tombol power.
08XX-XXXX-XXXX
Save back, Navier.
Zyan mematung di tempat saat membaca salah satu notifikasi dari aplikasi Whatsapp. Gila, gila, gila! Zyan tidak salah baca, kan?
Zyan Arana Wulandari
Kak Navier?
Tak butuh waktu lama untuk pesan tersebut diterima oleh penerima. Terbukti dengan tanda dua centang abu-abu.
08XX-XXXX-XXXX
Iya ini gue, Teman.
Zyan mengembuskan napasnya secara perlahan. Tanpa Zyan sadari ia menahan napasnya sejak membaca notifikasi pesan dari Navier.
Zyan Arana Wulandari
Oke, Kak.
Zyan membanting ponselnya ke atas kasur. Gadis itu mempraktikkan gerakan guling depan di atas kasurnya. Mulutnya mengucapkan kalimat yang hanya ia yang mampu mengucapkannya. Zyan berguling ke sembarang arah. Kasurnya yang semula rapi kini jadi berantakan.
"Mimpi apa gue semalem?!" jerit Zyan yang tertahan oleh bantal.
Zyan mengakui bahwa ini adalah reaksinya yang paling berlebihan. Amat sangat berlebihan. Hanya mendapatkan pesan dari Navier saja berhasil membuat gadis itu memperagakan semua gerakan dalam senam lantai. Andai saja ini adalah penilaian, guru olahraganya pasti akan memberinya nilai sempurna.
"YA ALLAH GUE AUTIS! YA ALLAH GUE GILA!! KIA... SANI... BAWA GUE KE RSJ SEKARANG JUGA!!!"
Zyan kini lompat-lompat di atas kasurnya. Wajahnya kelewat sumringah. Tangannya menggenggam bantal---menganggap bahwa bantal itu adalah manusia dan mengajaknya untuk ikut lompat-lompat.
"Zyan---"
"AAAA!"
Zyan terjatuh dari kasurnya karena terkejut. Vyas tiba-tiba saja muncul di ambang pintu kamar Zyan dan mengejutkan Zyan yang tengah melampiaskan kegembiraannya. Gadis itu menatap adiknya yang tergeletak di atas lantai seraya meringis dengan tatapan bingung.
Zyan segera berdiri. Ia membenarkan ekspresi wajah meringisnya menjadi ekspresi datar. "Apa?"
"Ada temen lo di bawah," ujar Vyas. Tanpa menunggu balasan Zyan, gadis itu lebih dulu meninggalkan kamar adiknya.
Zyan menatap kepergian Vyas. Gadis itu berdecak sebal. "Ganggu aja, sih, orang lagi seneng juga," cibir Zyan.
Zyan membenarkan kasurnya terlebih dahulu sebelum turun ke lantai satu. Ia penasaran, siapa yang malam-malam begini bertamu ke rumahnya?
***
Navier sedang membantu Lavia membuat omelet dengan wajah tertekuk. Bukan, bukan karena cowok itu terpaksa membantu Lavia. Melainkan karena ia harus menyiapkan makanan untuk tamu yang datang tanpa diundang.
"Viero, mana piringnya?" tanya Lavia.
"Eh, iya. Viero ambilin dulu sebentar," kata Navier.
Navier mengambilkan piring untuk Lavia. Lavia kemudian meletakkan omelet buatannya di atas piring yang Navier ambilkan. Dengan cekatan, wanita paruh baya itu memotong timun, tomat, dan selada sebagai pelengkap omelet buatannya.
"Jadi, deh. Nih kamu kasihin ke Bani," kata Lavia.
"Iya, Ma," balas Navier dengan terpaksa.
Navier melangkah keluar dari dapur bersamaan dengan Viela yang membawa nampan berisi segelas air putih. Keduanya berjalan beriringan menuju ruang tamu rumah mereka. Setibanya di sana, sesosok makhluk mars yang kedatangannya sama sekali tidak diharapkan oleh Navier menunjukkan senyumannya yang paling lebar.
"Aduh, saya jadi terharu. Kak Viela nggak usah repot-repot harusnya. Biar Navier aja yang bawa nampannya," ujar Bani dengan nada yang terdengar menjengkelkan di telinga Navier.
Viela tersenyum. "Nggak repot-repot, kok. Itung-itung bantu Viero nyambut tamunya."
"Aduh, Kak Viela kayaknya harus mundur deh," kata Bani.
"Kenapa memangnya?" Viela bertanya tak mengerti.
"Soalnya manisnya kelewatan kalo lagi senyum," jawab Bani. Viela geleng-geleng dibuatnya.
"Kak Viela ke kamar aja. Biar dia jadi urusan Viero," kata Navier yang jengah mendengar gombalan Bani yang basi. Cowok itu tak terima apabila kakak kesayangannya terus-terusan digoda oleh Bani. Viela mengangguk patuh.
"Ayo dimakan masakannya, Ban. Gue ke dalem dulu," pamit Viela.
"Iya, Kak. Dah!" balas Bani seraya melambaikan tangannya.
Bugh
Bani meringis kesakitan saat lengan kirinya menjadi sasaran empuk dari pukulan Navier. Cowok itu tidak tanggung-tanggung memukul Bani.
"Cepet abisin omelet lo abis itu cabut dari rumah gue!" tajam Navier.
Bani menatap Navier tak percaya. "Roro ngusir Baban?"
"Iya."
"Kok Roro tega sama Baban?" kata Bani mendramatisir.
"Nggak usah ngedrama. Lo tau nggak kalo nama lo itu ada di black list rumah gue?" tanya Navier.
Bani semakin menatap Navier tak percaya. "Sejak kapan?"
"SEJAK TADI! Buruan abisin makanan lo, Ban!" gemas Navier kelewat kesal. Ia memberi penekanan saat mengucapkan kalimat 'sejak tadi'.
Bani memasang wajah bagaikan orang paling tersakiti di dunia, dan Navier sudah jengah melihatnya. Entahlah apa yang membuatnya betah menjadi sahabat dari makhluk mars itu selama tiga tahun.
Namun kenyataannya, Navier hanya bercanda dengan kalimatnya tadi. Ia tidak benar-benar akan mengusir Bani setelah cowok itu menghabiskan omeletnya. Bani adalah anak kost, dan sekarang adalah tanggal tua. Sudah menjadi kebiasaan Bani sejak kelas sepuluh untuk mencari makanan gratis ketika transferan dari orangtuanya belum cair. Biasanya, setiap bulannya cowok itu secara bergilir akan door to door ke rumah Navier, Gilang, Delan, dan Rafael. Dan bulan ini adalah giliran Navier yang rumahnya didatangi oleh Bani.
"Transferan dari bonyok belum cair?" tanya Navier basa-basi. Cowok itu sedang membenarkan senar gitarnya yang mengendur.
"Belum. Sekarang, kan masih tanggal tua," jawab Bani dengan kalem. Sifat menyebalkannya memang akan hilang jika perutnya sudah diberi jaminan.
"Eh, iya. Gue lupa sama tujuan utama gue ke rumah lo," kata Bani. Cowok itu meletakkan piring omeletnya yang isinya tinggal setengah. "Gue punya berita terkini tentang dedek gemas kesayangan gue," lanjutnya seraya mengutak-atik ponselnya.
"Zyan maksud lo?"
"Iyalah. Siapa lagi emang?"
Navier mendengus. Sepertinya Bani telah teracuni oleh para biang gosip di kelas mereka. Kerjaannya kini hanyalah mencari berita terhangat dari murid seantero sekolah.
"Coba Roro baca," ujar Bani seraya menyodorkan ponselnya. Navier menerima ponsel tersebut. Navier membaca salah satu berita yang dipilih Bani dari sekian banyak judul artikel yang ada.
Tak hanya memiliki paras yang rupawan, Zyan Arana Wulandari juga memiliki segudang prestasi. Dilihat dari catatan prestasi yang pernah diraihnya, Zyan pernah menjuarai olimpiade matematika nasional dua tahun lalu ketika dirinya masih duduk di bangku kelas dua SMP. Putri bungsu dari keluarga Bramasta itu juga pernah mengikuti seleksi lomba atletik cabang lari dan menjadi kandidat kuat untuk mewakili DKI Jakarta di tingkat nasional.
"Gue udah tau," ujar Navier.
Mata Bani terbelalak tak percaya. "Seriusan?! Roro tau dari siapa?"
"Mau tau aja atau mau tau banget?" tanya Navier, sengaja.
Bani berdecak sebal. Ia menekuk wajahnya. Navier yang melihatnya pun tertawa.
"Gue tau dari orangnya langsung," kata Navier.
"HAH?!" Bani berseru kaget. Bani berharap telinganya tidak salah mendengar. Navier pun gelagapan dibuatnya. Barusan ia kelepasan.
"Roro abis ngobrol-ngobrol sama Dedek Zyan? Roro abis ketemuan sama Dedek Zyan? Kalian berdua ada hubungan apa sebenarnya?" serbu Bani kembali mendramatisir.
"Ngelantur lo!"
"Jawab Baban, Ro! Jangan kau khianati aku di belakang," kata Bani semakin menjadi-jadi.
Navier mengusap wajahnya frustrasi. "Abisin makanan lo buruan! Gue bisa gila lama-lama."
Dan saat itu juga, sisi kejam Navier kembali keluar. Ia tak peduli jika keluarganya mendengar perdebatannya dengan Bani. Setelah Bani memasukkan suapan terakhirnya, tanpa membiarkan sahabatnya itu menelan kunyahan terakhirnya, Navier menarik Bani keluar dari rumahnya. Navier meletakkan motor Bani di luar pagar rumahnya dan kemudian mengunci pagar rumahnya.
"Roro ngapain naroh motor Baban di luar?"
Navier tersentak kaget. Ia lalu mendengus kasar. Bagaimana bisa dirinya lupa untuk mengeluarkan pemilik motornya juga? Cowok itu kembali membuka pagarnya dan mendorong Bani keluar. Navier kemudian mengunci pagar rumahnya untuk kedua kalinya.
"MAKASIH OMELETNYA, RORO SAYANG! ALHAMDULILLAH CACING-CACING DI PERUT BABAN UDAH KENYANG!" teriak Bani dari luar.
"ENYAH LO DARI BUMI SEKARANG JUGA!" balas Navier.
"SIAP MELUNCUR!"
Navier bergidik. Apa benar yang barusan menyahuti teriakannya adalah manusia? Navier ragu akan hal itu.
***
Di ruang tengahnya, Zyan berkumpul dengan Absurdkiawan. Teman yang tadi dimaksud oleh Vyas adalah mereka. Mereka hendak mengerjakan tugas matematika bersama.
Dari mereka berenam, hanya Kenzo yang serius mengerjakan tugasnya. Aneh, biasanya cowok itu yang paling tidak serius jika disuruh mengerjakan tugas. Kia dan Sani mengerjakan juga, namun diselingi oleh pembahasan mengenai fashion dan idol KPOP kesukaan mereka. Sedangkan Mares dan Fano sibuk dengan ponsel mereka, hendak push rank katanya. Zyan beda lagi ceritanya. Gadis itu telah menyelesaikan tugasnya dari jauh hari karena tugas tersebut diberikan pada minggu lalu. Alhasil, Zyan kini berbaring di sofa ruang tengahnya seraya menulis di aplikasi Wattpad lewat laptop untuk memublikasikan bagian baru dari ceritanya.
"Zy, yang nomor tujuh belas caranya gimana?" tanya Kenzo.
"Liat soalnya," kata Zyan. Kenzo menyerahkan buku paketnya.
Zyan menerima buku paket Kenzo. Gadis itu membaca soal yang dimaksud oleh cowok itu. Ia mencermatinya selama beberapa detik.
"Ini dicari dulu FPBnya, baru lo kali sama yang ini," ujar Zyan.
"Bukannya nyari KPK, ya?" tanya Kenzo.
"Kalo lo nyarinya KPK, mau sampai subuh lo ngerjain juga nggak bakal ketemu jawabannya," kata Zyan.
Kenzo menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Benar juga. Sejak tadi Kenzo mencari KPK dari soal tersebut selama setengah jam dan hasilnya nihil.
Drrt... Drrt... Drrt...
Zyan melirik ponselnya yang bergetar. Ada satu pesan masuk. Gadis itu meraihnya dan membaca notifikasi yang tertera pada layar.
Kak Navier
Lo udah ngomong sama Nyokap?
Zyan yang semula berbaring mengubah posisinya menjadi duduk. Kia dan Sani menatap sahabatnya itu yang tiba-tiba terbangun. Keduanya saling bertukar pandang.
Zyan Arana Wulandari
Belum, Kak. Mama belum pulang.
Tak butuh waktu lama, seseorang di seberang sana membalas pesan Zyan.
Kak Navier
Inget, ngomongnya baik-baik.
Btw, lo sebenernya manggil nyokap lo Bunda atau Mama?
Zyan Arana Wulandari
Bunda, Kak.
Tapi semenjak Bunda nikah sama Papa, panggilan aku ke Bunda berubah jadi Mama.
Zyan tersenyum sendiri membaca chat-nya dengan Navier. Hal tersebut tak luput dari indera penglihatan Kia dan Sani.
"Ternyata, ya, San. Ada yang punya doi baru," celetuk Kia, sengaja.
"Iya, Ki. Mana dari tadi senyam-senyum sendiri kayak orang gila," sahut Sani.
Zyan sadar diri saat dirinya menjadi bahan sindiran oleh Kia dan Sani. Gadis itu membenarkan posisi duduknya.
"Aduh, orang jaman sekarang kalo ngomong suka nggak ngaca. Padahal dianya juga punya doi baru. Yang lagi digebet sama kakak kelas mah bebas," balas Zyan. Sindiran tertuju pada Kia.
Kia gelagapan mendengar sindiran Zyan. "Kenapa gue juga yang kena batunya?" gumamnya sepelan mungkin.
"Lo punya doi baru?" tanya Sani dengan berbisik. Namun, Zyan masih dapat mendengarnya.
"Iya, San. Kia itu punya doi baru. Iya, kan, Ki?" Zyan menjawab pertanyaan Sani.
"Parah lo, Zy---"
"Siapa?" potong Sani.
"Itu loh yang jadi DJ sama rappernya Bhakti Nusantara," kata Zyan.
"KAK RIO?!" Sani berseru heboh.
"Lo pada diem bisa nggak, sih? Lagi puyeng nih kepala gue," protes Kenzo.
Zyan, Kia, dan Sani terdiam. Mereka kembali ke aktivitas masing-masing.
"Sstt..."
Zyan melirik ke arah Sani saat mendengar gadis itu mendesis.
"Kia gebetannya Kak Rio?" tanya Sani tanpa suara. Zyan mengangguk sebagai jawabannya.
Sani mengangguk mengerti. Mulutnya terbuka membentuk huruf 'O'.
***
Navier membaca ruang percakapannya dengan Zyan di Whatsapp. Cowok itu bolak-balik dari kasur ke meja belajarnya. Ayolah, ada apa dengan pemuda itu?
"Gue nggak lagi ngasih harapan ke anak orang, kan?" tanya Navier entah kepada siapa.
Rupanya, Navier sedang berperang dengan batinnya. Entah apa yang ada di dalam kepala Navier hingga memutuskan untuk meminta nomor Zyan dari salah satu kenalannya yang ada di kelas sepuluh dan bertukar pesan kepada gadis itu.
Navier adalah anak laki-laki semata wayang dari orangtuanya. Tiga saudaranya yang lain adalah perempuan. Lingkaran hidupnya yang dikelilingi oleh perempuan sejak kecil membuat Navier tumbuh menjadi pemuda yang peka terhadap perasaan perempuan. Sebelumnya, Navier dan Zyan saling mengenal karena gadis itu sering bertengkar dengan Gilang. Navier mengenal Zyan sebagai adik kelasnya, tidak lebih. Tetapi, semenjak dirinya terikat janji karena berhutang budi kepada Arthur, hubungan Navier dan Zyan berubah menjadi sedekat sekarang.
Navier sudah berani mengirim pesan duluan kepada Zyan. Navier juga mengajak Zyan untuk berteman. Cowok itu berjanji kepada Zyan untuk menjadi teman yang baik. Naluri Zyan sebagai seorang perempuan pasti akan bekerja. Ketika ada pemuda yang sebelumnya hanya ia ketahui namanya, tiba-tiba bersikap peduli dengannya dan bersedia untuk selalu ada untuknya pada saat apa pun. Navier sadar diri. Perbuatannya itu lebih dari cukup untuk membangkitkan harapan pada diri Zyan.
Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, terdapat sebuah dorongan yang membuatnya melakukan semua hal yang telah Navier lakukan pada Zyan. Navier yakin dirinya pasti sudah gila. Atas dasar apa sebenarnya hingga Navier bisa bersikap seperti itu kepada Zyan? Berbagai pertanyaan kini berebut untuk memenuhi benak Navier.
Apakah dirinya benar-benar peduli kepada Zyan?
CANDRAWULAN
Hola!
Tinggalkan jejak sebagai bukti bahwa kalian telah membaca bagian ini dengan pemberian vote + komen, biar gak sider.
Maafkan bila terjadi kesalahan dalam kepenulisan.
Keep reading CANDRAWULAN until the end.
Thanks and see you 💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top