25 : GREENHOUSE

Lima belas menit lagi bel masuk akan berbunyi. Navier mengisi waktu santainya dengan berduet bersama Gilang. Gilang---yang kebetulan hari ini membawa gitar ke sekolah---mengiringi nyanyian Navier dengan gitarnya. Yeah... meskipun Navier bukan seorang vokalis seperti Delan, suaranya masih layak untuk didengarkan.

Ada hati yang termanis dan penuh cinta
Tentu saja 'kan kubalas seisi jiwa
Tiada lagi
Tiada lagi yang ganggu kita
Ini kesungguhan
Sungguh aku sayang kamu

Seluruh perhatian penghuni kelas XII IPA 3 disedot oleh Navier dan Gilang. Keduanya sukses mengadakan konser dadakan. Navier yang sejatinya seorang drummer, tangannya terasa gatal apabila tidak bergerak. Alhasil, meja di hadapannya menjadi sasaran empuk Navier untuk membuat ketukan.

Rosa and the gang pun diam-diam melayangkan tatapan kagum mereka pada trio trouble maker-nya XII IPA 3---minus Bani yang entah tengah menghilang ke belahan bumi mana. Sebagai perempuan normal, mereka tidak bisa mengelak tentang pesona yang Navier dan Gilang miliki. Dan sejujurnya saat Festival Seni kemarin, mereka sempat menjadi fans dadakan dari NAGIBADERA.

Siapa juga perempuan yang bisa menolak pesona anak band?

"EH GILA DIA ANAKNYA SURYA BRAMASTA?!"

Perhatian yang sebelumnya disita oleh Navier dan Gilang kini beralih pada segerombolan siswi yang duduk di pojokan. Mereka dikenal sebagai 'biang gosipnya' kelas XII IPA 3. Para siswi itu sedang berebut ponsel salah satu dari mereka.

"LO PADA ABIS DAPET GOSIP BARU?" seru Rosa bertanya.

"IYA, SAA! SINI LO MAU TAU NGGAK?"

Rosa dan kawan-kawan segera berlari menuju pojokan kelas mereka, bergabung bersama para 'biang gosip'. Tak lama kemudian disusul oleh siswi lainnya.

"Dasar cewek! Ngegosip mulu kerjaannya," cibir Gilang.

"ROROOO!! LALANGGG!!"

Navier dan Gilang meringis saat mendengar teriakan melengking dari ambang pintu kelas. Keduanya menatap makhluk mars yang berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka. Alis keduanya saling bertautan, entahlah berita apa yang kini dibawa oleh makhluk mars tersebut.

"Lo pada udah baca berita belum?" tanya makhluk mars tersebut yang tak lain adalah Bani. Napas lelaki itu putus-putus.

"Berita apaan?" tanya Navier. Gilang yang duduk di sebelahnya meletakkan gitarnya.

"Tentang dedek gemas kesayangan gue," jawab Bani.

"Dedek gemas yang mana? Lo, kan punya banyak," kata Gilang.

"Dedek Zyan."

Navier dan Gilang saling bertukar pandangan. Mereka tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Bani. Tatapan keduanya seolah-olah berkata: Zyan? Tuh cewek kenapa?

"Lo berdua wajib baca ini," kata Bani setelah menyodorkan ponselnya.

Navier dan Gilang menatap layar ponsel Bani. Layarnya menampilkan sebuah laman browser yang penuh dengan berita-berita terkini. Kedua lelaki itu menatap satu persatu judul berita dengan saksama.

Putri Bungsu Keluarga Bramasta, Zyan Arana Wulandari, Telah Resmi Diperkenalkan.

Keluarga Bramasta Akhirnya 'Go Public' Tentang Putri Bungsu Mereka.

Vyas Irene Nayandari dan Zyan Arana Wulandari Tampil Menawan saat Menghadiri Makan Malam Keluarga Para Crazy Rich.

Tampak Manis dengan Balutan Dress Hitam, Berikut 10 Potret Anggun dari Zyan Arana Wulandari.

"Lo sekarang bacanya gosip, Ban?" tanya Gilang.

"Itu bukan gosip, Lalang! Itu fakta. Fakta tentang dedek gemas kesayangan gue," gemas Bani.

"Ya terus urusannya sama gue sama Navier apaan?" tanya Gilang lagi.

"DEDEK ZYAN ITU ANAKNYA SURYA BRAMASTA, LALANG! PENGUSAHA YANG PUNYA SEKOLAH INTERNASIONAL ELIT DI DAERAH KELAPA GADING!" seru Bani tepat di depan wajah Gilang. Spontan, Gilang memundurkan kepalanya.

Navier tidak terlalu mendengarkan perdebatan kedua sahabatnya. Ia men-scroll up layar ponsel Bani, membaca satu persatu judul artikel yang diunggah oleh blog 'gosip' tersebut.

Saat tengah asyik membaca, Gilang merebut ponsel Bani dari Navier. "Bagi-bagi dong, Nav! Gue, kan penasaran," katanya.

Keduanya lantas membaca artikel-artikel itu secara bersamaan.

"Kok di foto anak iblis jadi cantik, sih?" komentar Gilang saat menatap foto Zyan yang terpampang pada layar ponsel Bani. Pada foto tersebut, Zyan berdiri di atas karpet merah dan tersenyum ke arah kamera seraya melambaikan tangan.

"Jelas lahh! Dedek gemas kesayangannya siapa dulu, dong?" sahut Bani sambil menepuk dadanya, bangga.

"Segitu bencinya lo sama dia?" tanya Navier seraya terkekeh.

"Gue yakin tuh cewek pasti nyogok ke tukang fotonya biar muka dia jadi cantik gini," kata Gilang masih tidak terima dengan aura bidadari pada diri Zyan yang terpancar dalam foto tersebut.

Dalam waktu kurang dari lima menit, berkat 'biang gosip' kelas, nama Zyan sukses menjadi trending topic di kelas XII IPA 3. Ada yang iri karena Zyan lahir di keluarga kaya raya, ada yang sinis dan menganggap bahwa berita tersebut hanyalah gosip, dan sisanya kebanyakan tidak menyangka jika Zyan adalah putri bungsu dari keluarga Bramasta.

Navier terdiam di atas tempat duduknya. Memorinya membawanya ke masa lalu saat dirinya mengantarkan Zyan pulang dengan sepeda. Rumah Zyan berada di kawasan perumahan elit. Zyan memintanya untuk berhenti di depan sebuah gerbang besar berwarna hitam. Tingginya kurang lebih tiga meter dengan tembok putih yang membentengi sekelilingnya. Pantas saja rumah gadis itu besar sekali, Navier kini tahu alasannya.

***

Zyan melangkah dengan lesu. Gadis itu barusan mengambil buku di lokernya. Kepalanya terasa berat oleh beban pikiran. Wajahnya tertekuk, jelas sekali jika suasana hatinya sedang buruk.

Alasannya ada tiga. Satu, Zyan kurang tidur karena semalam acara makan malam bersama rekan-rekam bisnis papanya selesai pukul sebelas. Dua, tadi pagi ia mendapat kabar bahwa dirinya gagal menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti olimpiade matematika nasional, dan kesempatan itu diberikan kepada Dasya. Dan tiga, satu sekolah kini menjadikan dirinya sebagai trending topic.

Acara semalamlah penyebabnya. Tanpa diberitahu orangtuanya, Zyan tahu betul alasan Rani dan Surya kukuh mengajaknya hadir ke acara berbau glamor itu. Mereka hendak meng-go public-kan Zyan sebagai putri bungsu keluarga Bramasta. Ya... begitulah. Sejak awal pernikahan Rani dan Surya, Zyan meminta kepada orangtuanya untuk tidak membuka identitasnya kepada publik. Alasannya hanya satu, saat itu Zyan belum bisa menerima kenyataan bahwa Rani semudah itu berpaling dari Rano---almarhum ayahnya.

"Jadi dia yang namanya Zyan?"

"Ternyata di aslinya lebih cantik daripada di internet."

"Biasa aja, tuh. Nggak ada yang wah sama sekali dari dia."

"Beruntung banget, ya dia bisa lahir di keluarga kaya?"

"Nggak percaya gue kalo cewek biasa aja kayak dia itu anaknya Surya Bramasta."

Zyan mendengus. Memang, ya fungsinya mulut manusia itu hanya dua? Jika bukan untuk makan, ya untuk membicarakan orang lain.

Langkah Zyan membawanya menuju greenhouse sekolah. Entahlah mengapa kakinya mengajak Zyan ke sana. Tapi setelah dipikir-pikir, greenhouse adalah tempat yang tepat untuk menenangkan diri. Kebetulan sekali pintunya sedang tidak terkunci. Tempat itu jarang sekali dikunjungi oleh murid ataupun guru-guru. Yang berkunjung hanyalah guru biologi ketika kelasnya sedang melakukan praktik atau pengamatan tentang tumbuhan dan para penjaga sekolah untuk merawat tanaman-tanaman di sana.

Zyan duduk di atas tumpukan batako. Buku yang tadi ia ambil dari loker ia letakkan di atas pahanya. Matanya dimanjakan oleh pemandangan serba hijau sejauh mata memandang. Rasanya menyegarkan sekali melihat tanaman-tanaman tumbuh subur dan terawat.

"Apa kata Mama nanti kalo dia tau gue nggak lolos seleksi buat ikut olimpiade matematika?" gumam Zyan. Gadis itu memandangi secarik kertas berupa hasil tesnya ketika seleksi. Tertulis angka 98,75 dengan tinta merah.

"Semuanya bakal baik-baik aja."

Zyan tersentak kaget saat mendengar sebuah suara menyahuti gumamannya. Gadis itu tanpa sengaja menjatuhkan kertas hasil tesnya ke tanah. Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari sumber suara. Namun nihil. Tak ada siapa pun di greenhouse kecuali dirinya.

"Di belakang lo."

Zyan memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Meskipun terhalang oleh rak besi tempat tanamam-tanaman hias diletakkan, indera penglihatannya mendapati seorang cowok tengah berdiri seraya menatapnya. Zyan tahu betul siapa cowok tersebut.

Navier mengitari rak besi yang menjadi penghalang di antara dirinya dan Zyan. Langkah kakinya yang lebar membuat cowok tersebut tak membutuhkan waktu lama untuk tiba di hadapan Zyan. Ia berjongkok mengambil kertas milik Zyan dan kemudian kembali berdiri tegak. Cowok itu membaca kertas tersebut.

Tes Seleksi Olimpiade Matematika Nasional
SMA Bhakti Nusantara

Zyan Arana Wulandari
Nilai : 98,75

"Nilai tes seleksi lo bahkan lebih tinggi dari nilai tes seleksi yang ikut olimpiade matematika nasional tahun kemarin," ujar Navier. "Lo tau Delan, kan?" lanjutnya.

Zyan mengangguk.

"Dia wakil Bhakti Nusantara di olimpiade matematika nasional tahun kemarin. Nilai tes seleksi dia itu 95," kata Navier.

Zyan terkejut mendengarnya. Gadis itu tak percaya bahwa Delan adalah wakil sekolahnya dalam olimpiade matematika nasional tahun kemarin. Yang membuat Zyan lebih tak percaya adalah nilainya lebih tinggi dari milik Delan. Rupanya Sani tidak salah menjadikan Delan sebagai doi.

***

Navier dan Zyan duduk bersebelahan di atas batako. Mereka sejak tadi membicarakan banyak hal. Zyan menang banyak hari ini. Kelihatannya, sih, gadis itu biasa-biasa saja ketika mengobrol dengan Navier. Tetapi kenyataannya jantung Zyan bekerja di luar normal. Perempuan mana yang tidak senang ketika berdekatan bahkan mengobrol dengan idola mereka?

"Ngomong-ngomong, lo... beneran anaknya Surya Bramasta?" tanya Navier hati-hati.

Zyan yang semula sedang tertawa kini terdiam. Gadis itu menghela napas sejenak. "Kak Navier udah baca beritanya, ya?

Navier mengangguk.

"Iya. Surya Bramasta itu Papa aku, Kak. Papa tiri lebih tepatnya," ujar Zyan.

"Papa tiri?" Dahi Navier berkerut tak mengerti.

"Ayah---papa kandung aku---dan adik aku meninggal tiga tahun yang lalu karena kecelakaan tunggal. Setengah tahun kemudian, Bunda menikah lagi dengan Papa," ujar Zyan menjelaskan.

"Maaf, gue nggak bermaksud."

"Nggak pa-pa. Kak Navier, kan nggak tau," kata Zyan seraya tersenyum.

Hening. Kecanggungan kini menyelimuti keduanya. Suara dedaunan yang bergerak menjadi melodi tersendiri.

"Zy," panggil Navier pelan.

"Kenapa, Kak?"

"Gue boleh tanya?"

"Boleh. Tanya apa?"

Navier tampak berpikir sebentar. Ia sedang berusaha mencari kalimat yang pas agar tidak menyinggung perasaan gadis di sampingnya ini.

"Hubungan lo sama nyokap... agak renggang, ya?" tanya Navier lebih berhati-hati dari sebelumnya.

"Maksudnya?"

"Gue mau minta maaf sebelumnya. Lo inget nggak waktu gue nganterin lo pulang naik sepeda?" tanya Navier.
Zyan mengangguk.

"Sebelum gue cabut dari rumah lo, gue nggak sengaja denger dan liat perdebatan lo sama nyokap. Dan... semuanya," kata Navier. Cowok itu tak enak hati apabila mengatakan bahwa dirinya juga melihat kejadian ketika Mama Zyan menampar gadis itu.

Alih-alih menjawab, Zyan hanya tersenyum menanggapinya. Namun, hal itu berhasil membuat Navier diselimuti rasa bersalah. Cowok itu merutuki kebodohannya. Mereka berdua memang saling mengenal, tapi apa hak Navier untuk bertanya tentang hal privasi seperti itu?

"Gue bener-bener minta maaf, Zy. Gue tau gue nggak berhak tanya-tanya soal privasi lo. Maaf---"

"Bunda dari kecil selalu punya ambisi yang besar."

Navier terdiam ketika Zyan memotong ucapannya.

"Ayah sama Bunda bertemu dengan cara paling kuno, perjodohan. Mereka menikah bukan atas dasar saling mencintai dan menyayangi. Mereka berdua berasal dari keluarga terpandang. Ayah lahir dari keluarga olahragawan yang disegani, sedangkan Bunda lahir dari keluarga para cendekiawan. Mereka dikaruniai tiga anak. Kakak aku---Vyas, aku, dan adik aku---Xiam. Kak Vyas dulunya alumni SMA Bhakti Nusantara. Aku yakin Kak Navier tau siapa Kak Vyas," ujar Zyan.

Navier mengangguk. Ia ingat siapa Vyas. Mantan kapten tim basket putri terbaik yang pernah dimiliki oleh SMA Bhakti Nusantara. Gadis itu adalah kakak kelasnya. Vyas adalah murid kelas dua belas ketika Navier duduk di bangku kelas sepuluh. Navier tak menyangka dunia akan sesempit itu saat mengetahui bahwa Zyan adalah adik Vyas.

"Dari aku kecil, Bunda udah ngenalin tentang dunia sains ke aku, Kak. Khususnya matematika. Bunda berharap aku bisa jadi penerus keluarganya karena Kak Vyas dan Xiam lebih milih terjun di dunia olahraga sebagai penerus dari keluarga Ayah. Aku ngelewatin masa kecil dengan belajar, belajar, dan belajar. Bahkan sampai saat ini pun sama. Bunda ngelakuin itu tanpa peduli aku suka atau nggak.

"Aku suka seni. Entah itu seni rupa, seni musik, apa pun itu. Dan aku juga suka sastra. Lucu, kan? Di saat keluarga aku passion-nya di olahraga sama akademik, aku justru di seni sama sastra. Cuma Ayah sama Xiam yang selalu dukung dan kasih aku semangat. Sampai pada saat kecelakaan tunggal tiga tahun lalu merenggut nyawa keduanya, nggak ada lagi orang yang ngedukung aku. Bahkan Kak Vyas. Hubungan kita berdua memang udah renggang dari kecil."

Tatapan Zyan berubah menjadi sendu. Gadis itu menunduk dan memainkan jari-jari tangannya.

"Aku selalu iri sama Kak Vyas dari kecil," ujar Zyan setelah beberapa saat.

Navier memilih untuk diam saja. Cowok itu tahu yang dibutuhkan Zyan saat ini hanyalah didengarkan.

"Kak Vyas selalu jadi kebanggaan keluarga. Banyak yang suka sama dia. Cantik, pinter, multi talenta, pokoknya semua yang baik-baik ada di dia. Coba Kak Navier liat koleksi pialanya di rumah. Satu lemari pun nggak cukup buat nampung semua piala dia. Dari pertama kali Kak Vyas masuk sekolah, guru-guru di sekolahnya selalu jadiin Kak Vyas sebagai murid kesayangan. TK, SD, SMP, SMA dan sampai dia kuliah.

"Sedangkan aku? Selama ini aku selalu ada di bawah nama besar keluarga dan kakak aku. 'Adiknya Vyas, ya?', 'Anaknya Pak Rano dan Bu Rani, ya?', 'Itu cucunya Pak Danu, kan? Yang satu keluarga atlet berprestasi semua?', dan masih banyak lagi. Aku muak sama itu semua. Aku nggak mau orang-orang kenal aku karena aku adiknya Kak Vyas, anaknya bonyok, atau cucunya Kakek. Aku mau dunia tau aku karena aku sendiri, Kak. Karena aku adalah Zyan."

Navier menatap wajah Zyan. Tampak adanya raut lelah dan tertekan pada wajah gadis itu.

"Kadang aku suka minder kalo berdiri di samping Kak Vyas. Dia nyaris sempurna buat jadi kakak dari cewek biasa-biasa aja kayak aku. Dan yang paling sakit itu ketika keluarga mulai banding-bandingin aku sama Kak Vyas. Mereka semua bilang kalo aku harus bisa ngikutin jejak Kak Vyas. Jadi atlet basketlah, jadi juara kelaslah, dikenal banyak oranglah, dan sebagainya, dan sebagainya."

Zyan menatap pot gantung yang berada di atasnya. Gadis itu tersenyum tipis. Lebih tepatnya Zyan tengah tersenyum miris.

"Kak Vyas selalu dapet semuanya. Dukungan, perhatian, dan semangat. Dia selalu dikelilingi sama orang-orang yang sayang sama dia. Teman-temannya kompak, sahabat-sahabatnya setia kawan. Dia bisa dapetin teman sebanyak yang dia mau, karena semua orang suka sama dia."

"Lo juga punya banyak teman, kan?" ujar Navier. Setahunya, Zyan adalah pribadi yang tergolong hangat. Mudah saja bagi Zyan untuk berbaur dengan orang lain.

Zyan tertawa pelan. "Punya, sih, Kak. Tapi nggak ada yang tulus."

"Maksud lo?" Navier bertanya tak mengerti.

"Mereka temenan sama aku cuma kalo ada butuhnya aja. Kayak misalkan nyalin tugas, nyontek waktu ulangan harian, atau minta diajarin materi matematika yang belum mereka pahami. Nggak ada yang bener-bener tulus temenan sama aku, Kak. Cuma Kia sama Sani yang tulus karena kita udah jadi sahabat dari kecil, sisanya zonk. Lagian mana ada yang mau punya temen yang moody-an kayak aku?"

"Kalo temen-temen lo yang cowok gimana?" tanya Navier.

"Temen-temen cowok yang mana, Kak?"

"Yang tiga orang. Cowok yang biasanya berantem sama lo," kata Navier.

Zyan awalnya bingung. Namun selang beberapa detik ia akhirnya paham. Yang Navier maksud adalah Kenzo, Mares, dan Fano.

"Mereka bertiga memang ngeselin orangnya. Setiap kita ketemu pasti ada aja hal yang diributin. Tapi beberapa waktu lalu, kita setuju buat damai. Aku, Kia, sama Sani mutusin buat akur sama mereka. Harapannya, sih, semoga mereka beneran tulus temenan sama aku, Kak," ujar Zyan.

Setelah itu, Zyan menceritakan semuanya pada Navier. Tanpa terkecuali. Entahlah apa yang membuat gadis itu dengan mudahnya bercerita tentang hidupnya. Navier pun berusaha menjadi pendengar yang baik.

"Kalo nyokap lo sama bokap tiri lo udah nikah setengah tahun setelah bokap kandung lo meninggal, kenapa lo baru dikenalin ke publik sekarang sebagai anak mereka?" tanya Navier. Cowok itu sendiri juga tidak mengerti mengapa ia penasaran dengan Zyan.

"Itu permintaan aku," jawab Zyan. "Jujur, dulu aku nggak setuju sama pernikahan Bunda dan Papa. Aku nggak terima aja karena Bunda secepat itu berpaling dari Ayah. Kak Vyas pun sama, tapi cuma sesaat karena setelah itu Papa menjanjikan akan memberikan beasiswa ke salah satu universitas ternama di Singapura, universitas impian Kak Vyas dari jaman SMP. Dia sekarang kuliah di sana," tambahnya.

Navier mengangguk mengerti. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lagi karena ia sudah terlalu jauh mengetahui tentang hidup Zyan. Navier mengembuskan napas panjang.

Dulu, Navier mengira kehidupan orang-orang kaya pasti selalu bahagia. Namun, pemikiran itu kini sirna setelah mendengar cerita Zyan. Memang, dalam segi ekonomi keluarga Zyan serba berkecukupan. Tetapi uang bukanlah segalanya, kan? Ada satu hal yang tidak dapat dibeli oleh keluarga Zyan dengan uang, yakni waktu.

Merujuk pada cerita Zyan, hubungan antar anggota dari keluarga Bramasta renggang karena jarang menghabiskan waktu bersama. Surya terlalu sibuk dengan perusahaannya, sedangkan Rani sibuk dengan penelitian sana penelitian sini dan bekerja dari pagi sampai sore sebagai tenaga pengajar di berbagai tempat. Vyas sibuk dengan tugas kuliahnya dan basket, sedangkan Zyan sibuk berkutat dengan dunianya selama berjam-jam.

Zyan adalah korban sekaligus salah satu pelaku dari renggangnya hubungan keluarganya. Zyan adalah korban karena gadis itu kurang mendapatkan perhatian dan dukungan dari orangtuanya. Gadis itu hidup dalam tuntutan Rani yang menaruh harapan besar agar Zyan bisa menjadi penerus dari keluarganya. Salah satu alasan mengapa Zyan memiliki siklus perubahan suasana hati yang sangat cepat adalah karena gadis itu berusaha untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya.

Dan Zyan adalah salah satu pelaku karena gadis itu hanya melihat melalui sudut pandangnya saja. Ia berpikir bahwa dirinya adalah korban. Padahal jika gadis itu mencoba untuk melihat dari sudut pandang orang lain, mungkin ia akan mengerti. Vyas contohnya. Zyan mengira Vyas selalu hidup bahagia karena semua orang mendukung dan menyukainya. Padahal belum tentu seperti itu kenyataannya. Tidak menutup kemungkinan, kan jika Vyas sama tertekannya seperti Zyan karena gadis itu adalah putri sulung? Bebannya sebagai Si Sulung adalah menjaga nama baik keluarga sebaik mungkin dan menjadi contoh bagi adik-adik dan saudara-saudaranya. Dan pada saatnya nanti, Vyas akan menjadi penerus dari perusahaan Surya. Beban yang harus ditanggungnya akan semakin berat saat ia harus menjaga eksistensi perusahaan papanya.

Navier benar-benar bersyukur karena terlahir sebagai bagian dari keluarganya saat ini. Meskipun tidak hidup dalam gelimangan harta, tetapi keluarganya sangat seru dan kompak. Keluarganya saling melengkapi satu sama lain. Ada Lana yang humoris, Lavia yang tegas tapi penyayang, Rangga yang narsis, Viona yang galak, Viona yang lemah lembut, dan Viusa serta Refan dengan segala tingkah polos mereka.

"Lo nggak sendirian di dunia ini, Zy. Ada Kia, Sani, Kenzo, Mares, Fano, dan juga... ada gue," ujar Navier berhasil membuat Zyan menatap cowok itu dengan lekat. Ada rona merah yang muncul secara perlahan pada pipinya.

"Makasih, Kak." Zyan melemparkan senyumnya pada Navier.

Navier mengulurkan tangannya. Cowok itu seperti hendak mengajak berjabat tangan. Zyan mengerutkan dahinya. Gadis itu tidak mengerti dengan maksud Navier.

"Kenalin, gue Naviero Candra Gurdara. Biasa dipanggil Navier. Anak dari Bapak Lana dan Ibu Lavia. Siswa kelas XII IPA 3. Semester ini adalah semester terakhir gue di SMA Bhakti Nusantara. Dan gue, atas nama ketulusan, bersedia menjadi teman lo, Zyan Arana Wulandari."

Zyan mengerjapkan matanya beberapa kali. Tubuhnya seperti terpaku di tempat. Ia menatap Navier dengan pandangan tak percaya. Apa yang baru saja Navier lakukan padanya?

"Zyan Arana Wulandari, bersediakah lo jadi temen gue?" tanya Navier.

Zyan tak mampu menahan senyumnya untuk mengembang. Matanya memanas karena terharu. Rona merah pada pipinya pun semakin menebal. Gadis itu membalas uluran tangan Navier.

"Aku bersedia, Naviero Candra Gurdara."

Senyuman Zyan menular ke Navier. Cowok itu ikut tersenyum. Ada perasaan hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat melihat gadis di hadapannya itu melengkungkan bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Mulai saat ini dan seterusnya, gue bakal berusaha jadi teman yang baik buat lo. Bakal ada di saat lo senang dan sedih. Tempat berbagi suka dan duka. Ikut bahagia saat lo bahagia, dan akan menghibur saat lo sedih," ujar Navier. Cowok itu menatap Zyan dengan penuh ketulusan.

Zyan terserang butterfly syndrome saat ini. Seperti ada jutaan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya. Melihat Navier tersenyum seperti itu membuat Zyan percaya bahwa laki-laki itu tulus mengajaknya untuk berteman.

"Jangan galau lagi. Lo omongin baik-baik sama nyokap lo kalo tahun ini belum jadi rejeki lo buat ngewakilin sekolah di olimpiade. Gue yakin nyokap lo bakal ngerti. Oke, Teman?" kata Navier.

Zyan tertawa mendengar kalimat terakhir Navier. Gadis itu tersenyum lantas mengangguk.

"Siap, Teman!"

CANDRAWULAN


Hola!

Happy 1,5 K readers CANDRAWULAN!

Terima kasih banyak kepada para pembaca setia yang udah ngikutin cerita ini dari awal sampai saat ini. Cerita ini nggak bakal jadi apa-apa tanpa dukungan kalian semua. Maaf kalo ceritanya masih 'amburadul', aku lagi mencoba memperbaiki kesalahan biar jadi lebih baik lagi ke depannya. Dan maaaaff bangettt karena aku sering banget gantungin kalian di akhir bab. Sampai-sampai aku sering diteror dengan pertanyaan, "Kapan update?". Intinya, big thanks from me and ily more than 3k zheyenk ^3^

Minggu-minggu kemarin aku disibukin sama PTS dan UH-UH, belum lagi tugas seabreg yang deadlinenya h+1 setelah tugas dikasih. Once again, i'm so sorry karena updatenya kelamaan dan ngegantungin kalian.

Second, hari ini adalah ulang tahun cerita CANDRAWULAN!

Satu tahun yang lalu, aku ngebuat cerita ini karena unsur 'iseng'. Separuh dari alur cerita ini aku ambil dari pengalaman pribadi sama temen-temen. Keseruan aku saat bantuin temen-temen buat modus ke kakak kelas yang mereka idolakan itu jadi awal lahirnya cerita ini. Alasan aku nulis CANDRAWULAN itu supaya keseruan aku dan temen-temen saat di sekolah bisa dikenang. Hanya itu. Dulu aku nggak peduli mau ada yang baca atau nggak. Dan betapa nggak percayanya aku saat tau kalo tulisanku ini bisa diterima oleh pembaca di dunia oranye ini. Banyak yang gemes liat autisnya Zyan waktu ketemu/modus sama Navier. Dan banyak yang ngakak liat kocaknya Navier CS. Dan semenjak itu, aku mutusin buat serius garap cerita ini. Aishhh! Secinta itu deh aku sama kalian semuaaa :"

Tinggalkan jejak sebagai bukti bahwa kalian telah membaca bagian ini dengan pemberian vote + komen, biar gak sider.

Maafkan bila terjadi kesalahan dalam kepenulisan.

Keep reading CANDRAWULAN until the end.

Thanks and see you 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top