22 : ABSURDKIAWAN

Zyan mengemasi alat tulisnya untuk dimasukkan ke dalam tasnya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu. Ia baru saja melaksanakan jadwal piketnya sehingga baru sempat berkemas.

"Jadi, kan?" tanya Zyan seraya menatap Kia, Sani, Kenzo, Mares, dan Fano satu persatu. Kebetulan mereka berenam tergabung dalam regu piket yang sama.

"Cie... yang udah nggak marah sama gue," ujar Kenzo menggoda Zyan.

Zyan hanya melirik Kenzo. Gadis itu tak mau memperpanjang pertengkarannya dengan Kenzo. Cukup saat di kantin saja.

Mengingat kejadian kantin mampu membuat Zyan kembali merasakan malu. Saat itu, ingin rasanya ia mencakar Kenzo ketika temannya itu dengan santainya menyerukan nama Navier hingga sang pemilik nama menghampirinya. Untung saja ada Kia dan Sani yang membantunya sehingga Navier tak mencurigai apapun dari dirinya.

For your information, Zyan CS dan Kenzo CS kini sudah berteman baik. Semenjak menghabiskan waktu bersama di kantin tadi siang, mereka menjadi akrab seketika. Memiliki selera humor yang sama dan nyambung dalam topik pembicaraan apapun membuat mereka nyaman satu sama lain.

"Jadi dong! Mumpung besok Sabtu dan kita libur," balas Kenzo penuh antusias. Berhubung sekolah mereka menerapkan sistem full day at school sehingga menjadikan mereka memiliki libur di hari Sabtu.

Ngomong-ngomong, para remaja tersebut memiliki rencana untuk mampir ke rumah Zyan. Zyan sebagai tuan rumah tentu saja menyetujuinya. Gadis itu sama sekali tidak keberatan, justru ia sangat senang karena ia tak akan kesepian untuk hari ini. Mengingat ia adalah anak bungsu dan kakaknya sudah duduk di bangku kuliah.

"Yang cewek nebeng kita-kita aja. Itung-itung irit pengeluaran juga," ujar Mares memberi saran.

"Setuju banget! Uang gue juga menipis soalnya," sahut Sani diiringi kekehan.

"Kalo gitu gue sama Mares, Sani sama Fano, terus Zyan sama Kenzo. Oke?" timpal Kia.

"Kok gue sama Kenzo?" sahut Zyan.

"Kenapa emang?" tanya Kia.

"Lo lupa? Kenzo, kan udah sama Dasya. Ya, kali gue nebeng cowok orang. Gue nggak mau disangka pelakor!" jawab Zyan.

"Gue sama Dasya belum pacaran kok. Jadi santai aja," balas Kenzo.

"Lah? Jadi selama ini lo belum resmi sama Dasya?" tanya Sani terkejut bukan main. Pasalnya yang gadis itu tahu Kenzo dan Dasya sudah menjalin sebuah hubungan. Kedekatan mereka bahkan sudah mereka go public-kan.

"Belum. Niatnya besok waktu hari Senin gue mau nembak dia. Doain, ya?" kata Kenzo.

Semuanya tersenyum seraya mengacungkan jempol---sebuah bentuk dukungan yang mereka berikan untuk Kenzo.

"Walaupun belum resmi tetep aja guenya nggak enak sama Dasya," ujar Zyan.

"Kalo gitu lo sama gue aja."

Zyan, Kia, Sani, Kenzo, Mares, dan Fano menoleh ke arah ambang pintu kelas mereka. Keenam remaja tersebut mendapati Arthur yang tengah bersandar pada dinding seraya melempar senyumnya.

"Kok lo belum pulang, Thur?" tanya Mares.

"Tadi abis susulan ulangan harian Sejarah ke tiga," jawab Arthur apa adanya. "Kalian semua mau ke mana?" lanjutnya.

"Main ke rumah Zyan," jawab Fano mewakili.

"Zyan sama lo, ya, Thur? Gue tiba-tiba nggak mood buat kasih tebengan ke Zyan," celetuk Kenzo dengan alibi yang tak masuk akal.

"KEN---"

"Kali-kali boncengan sama mantan. Sekalian flashback kisah kasih masa lalu boleh lah," potong Kenzo dengan berbisik berhasil membuat Zyan naik pitam.

"Mantan-mantan! Pacaran aja belum pernah," balas Zyan berbisik.

"Makanya pacaran biar bisa jadi mantan," kata Kenzo dengan santainya.

Zyan yang sudah kelewat emosi bersiap melayangkan pukulan mautnya ke arah Kenzo. Kenzo yang menyadari hal tersebut pun segera mengambil langkah seribu. Alhasil, pukulan Zyan mengenai udara kosong.

Kenzo sialan!

***

Selama perjalanan, tak ada yang membuka suara di antara Zyan dan Arthur. Keduanya sama-sama membisu. Arthur fokus mengendarai motornya, sedangkan Zyan hanyut dalam pikirannya sendiri.

Arthur menghentikan motornya ketika lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Keduanya tangannya terlepas dari kemudi. Ia diam-diam mencuri pandang ke arah Zyan melalui spion motornya.

"Zyan...," panggil Arthur setelah sebelumnya sempat berdeham.

"Hm?" balas Zyan cuek.

"Lo..." Arthur kehabisan kata-kata. Ia seketika lupa hendak mengatakan apa tadi.

"Lo?" kata Zyan menirukan Arthur.

"Eh---ehm---lo masih aktif nulis cerita di dunia oranye?" tanya Arthur basa-basi.

"Masih," jawab Zyan.

"Kemarin gue iseng baca cerita lo---bagus. Ternyata peminatnya makin banyak. Ratingnya juga keren. Para pembaca juga ngedukung lo. Selamat, ya," ujar Arthur.

"Makasih," ucap Zyan.

"Yang semangat nulisnya. Siapa tau suatu saat ada penerbit yang mau nerbitin cerita lo," kata Arthur.

"Aamiin," balas Zyan.

Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Arthur segera melajukan motornya. Perjalanan menuju rumah Zyan sudah ia lalui setengahnya.

"Lo lagi suka sama cowok, ya?" tanya Arthur.

"Iya," jawab Zyan terus terang.

Arthur tersenyum miris. Bohong jika ia berkata tidak sakit hati mendengar jawaban Zyan barusan.

"Siapa namanya?" tanya Arthur penasaran.

"Bukan urusan lo!" ketus Zyan.

Arthur menghembuskan napas panjang. Tanpa Zyan menjawab pun sebenarnya Arthur sudah tahu jawabannya.

Navier.

Jujur saja akhir-akhir ini Arthur terus memikirkan hal tersebut. Apakah Zyan benar-benar sudah move on darinya? Sefatal itukah kesalahannya sehingga dengan mudah Zyan berpaling dari dirinya?

Yang benar saja! Bodoh sekali dirinya memiliki pertanyaan seperti itu dalam benaknya. Zyan bahkan sudah sangat membenci dirinya.

Awalnya Arthur sedikit ragu apakah Zyan benar-benar sudah melupakannya secepat itu. Namun, saat melihat antusias Zyan saat melihat pentas seni dari perwakilan ekstra kurikuler musik ketika Festival Seni, melihat gadis itu yang tak bisa mengalihkan pandangannya dari sang Drummer, membuat Arthur sadar bahwa hati Zyan bukan lagi miliknya.

"Siapapun cowok yang lo suka saat ini, gue yakin dia cowok baik-baik. Gue percaya dia pasti bisa bikin lo bahagia," ujar Arthur berhasil membuat Zyan semakin tidak mengerti arah dari pembicaraan mereka berdua.

Arthur menghembuskan napas dalam. Ia sedang menata hatinya. Otaknya sedang bekerja keras menyusun kalimat yang akan ia ucapkan selanjutnya.

"Gue mundur, Zy," ujar Arthur berhasil membuat Zyan menatap Arthur seutuhnya.

"Maksud lo?"

"Gue sadar diri kalo gue ini emang nggak pantes buat dapetin lo. Kesalahan gue terlalu fatal dan lo berhak benci sama gue karena hal itu. Lo pantes nyebut gue brengsek, Zy. Lo nggak salah dan lo berhak ngatain gue kayak gitu.

"Gue minta maaf karena lebih milih Zarina daripada lo. Gue lakuin itu bukan tanpa alasan. Asal lo tau, Zy. Alasan kenapa gue nerima pertunangan gue sama Zarina adalah karena hal itu satu-satunya cara yang bisa menyelamatkan perusahan Papa."

Dahi Zyan bergelombang. Apa maksud dari ucapan Arthur?

"Perusahaan Papa dituduh melakukan korupsi. Nama Papa dan perusahannya tercemar. Beberapa perusahaan memutuskan hubungan kerja sama mereka sama perusahaan Papa. Papa bahkan sempat depresi karena hal itu. Beruntungnya ada temen Papa di Meksiko yang bersedia membantu Papa buat balikin nama baiknya. Tapi semua itu nggak gratis. Pertunangan gue sama anaknya temen Papa alias Zarina jadi syaratnya. Papa dan Mama yang waktu itu bener-bener memohon ke gue buat nerima pertunangan itu, gue nggak sanggup buat nolak mereka, Zy. Mau bagaimanapun Papa kerja juga buat gue. Gue nggak mau nama Papa terus-terusan tercemar dan depresi karena mikiran hal itu. Jadi, gue bener-bener minta maaf karena harus buat keputusan kayak gini tanpa peduli sama perasaan lo, Zy," ujar Arthur panjang lebar berhasil membuat Zyan terdiam seribu bahasa.

Arthur tidak main-main. Ia benar-benar mengatakan yang sebenarnya. Laki-laki itu bersungguh-sungguh meminta maaf kepada Zyan dan berharap kali ini gadis itu memaafkannya.

"Thur...," Zyan bingung harus merespon bagaimana.

"Maaf." Hanya itu yang mampu Zyan katakan. Jujur ia merasa sangat bersalah karena tidak pernah mau mendengarkan penjelasan dari Arthur.

"Nggak, Zy. Lo nggak perlu minta maaf. Lo nggak salah sama sekali. Di sini yang salah itu gue," kata Arthur.

Tak terasa motor Arthur telah tiba di depan gerbang rumah Zyan. Gadis itu segera turun dari motor Arthur. Ia melepas helm yang ia gunakan dan menyodorkannya kepada Arthur.

Arthur tersenyum menerimanya. Ia menatap kedua bola mata Zyan dengan lekat. Laki-laki itu memberanikan diri meraih kedua tangan Zyan.

"Mulai hari ini gue bakal mundur, Zy. Gue berhenti berjuang buat lo. Bukannya gue udah nggak sayang, tapi gue sadar diri. Cowok brengsek kayak gue nggak berhak buat dapetin cewek sebaik lo," kata Arthur masih mempertahankan senyumnya.

Tangan Arthur bergerak untuk mengusap pipi Zyan dengan lembut.

"Makasih karena udah pernah jadi bagian dari hidup gue. Makasih juga karena udah ngizinin gue buat singgah di kehidupan lo. Dan makasih karena udah mau dengerin penjelasan dari gue. Maaf karena udah buat lo kecewa. Gue sayang sama lo. Bahagia selalu, ya!" ucap Arthur penuh ketulusan. Sorot matanya begitu dalam menatap Zyan.

"Gue duluan," ucapnya untuk terkahir kali sebelum benar-benar pergi.

Mata Zyan mengikuti kepergian Arthur. Hingga saat punggung tegap itu hilang dari pandangannya, setetes air mata jatuh mengenai pipinya. Dinding pertahanan hatinya hancur sudah. Dadanya terasa sesak. Seharusnya ia senang karena akhirnya ia terbebas dari Arthur. Tapi, mengapa justru hati kecilnya seolah tak rela jika Arthur berhenti memperjuangkan dirinya?

***

Kenzo, Mares, dan Fano sibuk mengamati setiap detail rumah Zyan. Katakan saja mereka norak. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah Zyan, ketiga laki-laki itu terus saja berdecak kagum melihat arsitektur rumah Zyan yang bergaya Mediterania. Rumah Zyan didominasi oleh warna-warna monokrom seperti hitam, putih, dan abu-abu serta beberapa sentuhan warna perak pada perabotannya. Dari pintu utama saja mereka sudah disambut oleh pilar-pilar yang menjulang tinggi dengan gagahnya serta lampu gantung berhiaskan permata. Begitu pintu utama dibuka, rumah yang bagaikan istana tersebut simetris di kedua sisinya. Semuanya benar-benar tersusun rapi dan seimbang kanan-kiri.

Zyan dan teman-temannya kini sedang berada di ruang tengah. Jendela yang menjulang setinggi tiga meter mengarah langsung ke halaman samping rumah Zyan. Zyan, Kia, dan Sani terduduk di atas sofa empuk berwarna hitam. Sedangkan Kenzo, Mares, dan Fano terduduk di sebuah karpet bulu berwarna abu-abu.

"Norak banget sih lo pada kayak nggak pernah main ke rumah sultan aja," cibir Sani saat melihat teman-temannya.

"Sumpah demi apa pun! Ini rumah apa istana? Ya, kali rumah segede ini," kata Kenzo.

"Mana semua pintu yang ada tingginya dua meteran," sahut Mares.

"Eh, Zy. Itu permata yang ada di lampu gantung permata asli?" tanya Fano menimpali.

Zyan berdecak. "Pertanyaan lo nggak ada yang beredukasi sedikit, Fan?"

"Itu udah paling beredukasi, Zy. Kalo misalkan asli, mau gue maling tuh lampu gantung. Lumayan kalo gue jual," ujar Fano diakhiri dengan kekehan.

"Dasar pelakor!" sahut Sani.

"Kok pelakor, San? Kan, Fano mau maling lampu gantung," timpal Kia tak mengerti.

"Ya, maka dari itu. Pelakor sama dengan pencuri lampu orang," balas Sani.

"Terus Knya singkatan dari apa?" tanya Kia.

"Bukan singkatan dari apa-apa," jawab Sani santai.

"Kok gitu?" sahut Kia tak mengerti.

"Ya, terserah gue lah! Gue yang buat juga. Komen mulu kayak netizen," balas Sani.

"Aneh-aneh aja lo pada," kata Zyan seraya menggelengkan kepalanya.

"Permisi, Non Wulan. Ini camilannya," ujar Bi Sri seraya membawa sebuah nampan berisi berbagai macam camilan. Wanita paruh baya tersebut sedikit menunduk ketika menyerahkannya kepada Zyan.

"Eh, iya. Makasih, ya, Bi," balas Zyan sambil menerima nampan yang Bi Sri berikan. Gadis itu tak lupa untuk tersenyum.

"Non, Aden, sok atuh dimakan camilannya. Kalo kurang nanti calling-calling Bibi aja. Nanti saya ambilkan," ucap Bi Sri dengan ramah.

"Siap, Komandan!" seru Kenzo antusias seraya memperagakan sikap hormat.

"Kalo laper bilang, Ken! Rumah Zyan persediaannya banyak kok," sahut Kia, bercanda.

"Oke! Zy, gue abisin makanan di rumah lo, ya?" kata Kenzo.

"Hm," jawab Zyan singkat.

"Lo main ke rumah Zyan buat silaturahmi apa numpang makan?" tanya Fano.

"Dua-duanya," jawab Kenzo yang kemudian tertawa.

Bi Sri ikut tertawa. Ia menggelengkan kepalanya. Melihat anak-anak muda itu membuatnya kembali mengingat masa mudanya dulu. Belajar, bermain, bertengkar dengan teman karena hal kecil, kisah kasih di sekolah, dan indahnya persahabatan.

"Bibi balik dulu ke dapur, ya," ujar Bi Sri.

"Iya, Bi," jawab semua serempak.

Kia, Sani, Kenzo, Mares, dan Fano mulai menikmati camilan yang diberikan oleh Bi Sri. Sedangkan Zyan sibuk mengganti chanel televisi.

"Gue masih nggak nyangka kalo kita bakal main bareng kayak gini," celetuk Sani.

"Iya. Padahal sendiri sering banget berantem. Apalagi tuh Si Tengil sama Si Bucin," sahut Kia seraya menunjuk Zyan dan Kenzo menggunakan alisnya.

Zyan dan Kenzo hanya diam. Zyan sibuk dengan remot televisinya dan Kenzo sibuk dengan mulutnya yang penuh mengunyah camilan. Mereka berdua berpura-pura tidak mendengar apa yang Kia katakan.

"Pake pura-pura budeg lagi. Klop banget dah demi apa," ucap Mares sambil tertawa.

"Eh, iya. Gimana kalo kita bikin nama buat squad kita?" ujar Sani. Gadis itu yang semula sedang tiduran di sofa kemudian bangkit menjadi posisi duduk.

"Kita?" kata Fano.

"Lo aja kali!" sahut yang lainnya serempak.

Bibir Sani maju beberapa senti seperti anak kecil yang sedang cemberut. Ia berdecak kesal. "Tau ah!" serunya kesal.

Mares tertawa. "Sensi amat, San. PMS, ya?" tebal Mares seratus persen benar.

Sani melipat kedua tangannya di depan dada. Gadis itu membuang muka. Ia malas menatap wajah teman-temannya yang kini sedang menertawakan dirinya.

"Ayo siapa yang punya ide buat nama squad kita?" ucap Fano.

"Bucinaesthetic?" usul Kia.

"Eh, Ki. Mohon maaf aja gue bukan bucin, ya!" sahut Kenzo tak terima.

"Pinter banget ngelesnya. Kontak Dasya aja lo namain 'Bichestri' ditambah emot lope-lope," kata Mares.

"Laknat lo, Res pake buka kartu gue!" ucap Kenzo kesal. Mares justru tertawa.

"Bichestri apaan?" tanya Zyan penasaran.

"Chest artinya apa?" tanya Mares.

"Dada," jawab Zyan.

"Ya, udah. Bi ditambah dada terus ditambah ri. Jadinya apa?" ujar Mares.

Zyan tampak berpikir sejenak. "Bidadari?" ucapnya pada akhirnya. Mares mengangguk.

"Wah... ternyata gue ada saingannya," ujar Zyan seraya terkekeh.

"Gimana kalo 'Baby Unicorn'?" usul Sani. Gadis itu sudah tidak cemberut lagi.

"Lo mau bikin squad bareng cowok, Bre. Ya, kali namanya 'Baby Unicorn'," sahut Fano tak terima.

"Pejuang Dede Gemas?" tanya Sani.

"Doi gue bukan adik kelas," jawab Fano, Mares, dan Kenzo serempak.

"Pecinta Bening-Bening?" tanya Sani.

"Gue kalo suka sama orang nggak mandang fisik," jawab Kia.

"Masyarakat Receh?" tanya Sani.

"Sorry aja humor gue dollar," jawab Zyan.

"Lah terus mau apaan namanya, Bambank?!" seru Sani kesal, lagi.

Kia, Sani, Kenzo, Mares, dan Fano jadi berdebat. Mereka sibuk berargumen. Sedangkan Zyan yang sejujurnya sedang tidak mood memilih untuk menjadi penonton saja.

Zyan menatap teman-temannya satu persatu. Kia itu orangnya sedikit telmi, Sani itu orangnya barbar, Kenzo itu mulutnya bisa mengalahkan pedasnya cabai jika sedang julid, Mares itu orangnya gaje, sedangkan Fano itu sukanya bikin anak orang naik darah. Dan dirinya sendiri itu moody-an.

Zyan menjentikkan jarinya. "Absurdkiawan?" ujarnya membuat perdebatan teman-temannya terhenti.

Sepuluh detik lengang. Mereka semua saling tatap.

"Gue setuju!" seru Kenzo memecah lengang.

"Duain. Namanya keren parah," sahut Kia.

"Gue juga setuju," timpal Sani, Mares, dan Fano bersamaan.

"Eh, ngomong-ngomong. Atas dasar apa sampai lo punya usul nama sekeren itu?" tanya Kia penasaran.

"Karena kita berenam itu beda-beda. Kita semua punya kepribadian yang unik. Kadang kita kayak rival, tapi kadang kita juga bisa kayak sohib yang udah lama banget kenal. Aneh alias absurd. Jadilah 'Absurdkiawan'!" ujar Zyan menjelaskan.

Semuanya bertepuk tangan. Mereka memuji ide cemerlang Zyan. Mengapa mereka tidak kepikiran sejak tadi?

Zyan mengulurkan tangannya. Ia menatap teman-temannya untuk memberi kode. Mereka semua yang mengerti kode dari Zyan pun langsung mengulurkan tangannya. Tangan mereka bertumpuk-tumpuk dengan Zyan yang berada di paling bawah dan Mares yang berada di paling atas.

"Absurdkiawan?"

"Memang absurd!"

***

Navier tertawa saat mendengar celotehan polos yang terlontar dari mulut Viusa. Ia sedang berkumpul bersama keluarga besarnya di halaman belakang rumahnya yang terbilang cukup luas. Tadi sore keluarga Rangga berkunjung ke rumahnya, termasuk Azela.

"Eh, iya. Yang katanya udah punya calon kapan dikenalin nih?" celetuk Navier berhasil membuat semuanya menoleh menatap Viela.

"Oh, iya. Kapan mau ngenalin calon lo, La?" sahut Viona.

Viela tersenyum kikuk. Kini ia menjadi pusat perhatian karena Navier. Gadis itu pun hanya bisa tersenyum menatap satu persatu anggota keluarganya.

"Kak Viela udah punya calon?" tanya Azela penasaran.

Viela mengangguk pelan. "Iya," jawabnya.

"Kok kamu nggak pernah cerita ke Mama sama Papa kalo udah punya calon, Viela?" tanya Lavia.

"Maaf, Ma, Pa. Viela nggak bermaksud untuk nyembunyiin hal ini dari kalian. Viela cuma nunggu waktu yang tepat buat cerita ke Mama sama Papa," jawab Viela apa adanya.

"Oke. Jadi, berhubung makanannya udah siap. Ayok kita makan!" seru Rangga antusias, mencoba mencairkan suasana.

"Yee dasar perut karet! Giliran makan aja semangat lo," cibir Navier yang duduk di seberang kakak iparnya itu.

"Yee dasar tukang syirik! Makan banyak itu perlu biar badannya nggak kurus kerempeng kayak gitu," balas Rangga mencibir.

"Kaca di rumah lo rusak apa gimana nih?" kata Navier santai, namun tersirat nada tak terima di baliknya.

"Stop! Kalian ini berantem nggak inget umur! Nggak malu sama anak sama ponakan?" lerai Lavia.

Lana terkekeh geli melihat pertengkaran antara anaknya dan menantunya. "Sudah-sudah. Ayo semuanya ke dapur! Makan malamnya sudah siap," ujarnya.

Semuanya menuju dapur secara bergantian. Navier yang tidak berselera untuk makan pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara Azela yang memanggilnya.

"Nav, lo mau ke mana?" tanya Azela.

"Ke kamar," jawab Navier.

"Gue ikut boleh? Gue bosen kalo di sini sendirian," tanya Azela.

"Emang lo nggak makan?" balas Navier balik bertanya.

"Sebelum ke sini gue udah makan. Jadinya gue masih kenyang," jawab Azela.

"Ya, udah. Ayo!" sahut Navier.

Azela mengekor di belakang Navier menuju kamar laki-laki itu. Hingga tiba di depan sebuah pintu berwarna putih tulang dengan papan kayu bertuliskan 'Viero' yang digantung menggunakan tali rami, langkah Navier dan Azela terhenti. Navier pun membuka pintu kamarnya.

Ruangan bernuansa merah menyambut kedatangan Navier dan Azela. Aroma maskulin menyeruak masuk ke dalam indera penciuman gadis itu. Tak banyak barang di dalamnya---khas seperti kamar anak laki-laki pada umumnya. Hanya terdapat sebuah kasur berukuran king size, nakas, lemari, keranjang pakaian kotor, meja belajar, dan drum serta gitar yang berada di sudut ruangan.

"Yang namanya kamar cowok emang nggak bisa dibohongin, ya? Sederhana. Nggak kayak kamar cewek yang banyak banget pernak-perniknya," ujar Azela seraya terkekeh.

"Namanya juga cewek. Liat barang yang lucu dikit aja langsung gemes dan minta beli," sahut Navier.

"Kok tau?" tanya Azela.

"Ya, tau lah. Di rumah ini, kan cowoknya cuma dua. Gue sama Papa. Kecuali kalo Kak Viona lagi nginep di sini, cowoknya nambah dua lagi karena ada Bang Rangga sama Refan. Jadinya gue paham lah dikit-dikit tentang cewek," jawab Navier.

"Lo itu kebalikannya gue," ujar Azela.

"Maksud lo?"

"Iya. Lo anak cowok sendiri dan kebanyakan saudara sama sepupu lo itu cewek. Sedangkan gue anak cewek sendiri dan kebanyakan sepupu gue itu cowok," jelas Azela.

"Eh, iya juga, ya?" kata Navier yang baru menyadari.

Navier dan Azela menikmati pemandangan dari jendela kamar Navier. Jendelanya yang kebetulan terbuka membuat embusan angin malam menerpa wajah keduanya. Beberapa anak rambut Azela yang tergerai beterbangan karenanya.

"Nav...," panggil Azela pelan.

"Iya?"

Azela menghembuskan napas dalam sebelum akhirnya ia berkata, "Setelah lulus SMA nanti, gue sama keluarga bakal balik ke Belanda."

Navier menoleh sempurna ke arah Azela. Bagaikan terkena sambaran petir. Laki-laki itu menatap Azela tak percaya.

"Lo bercanda?" tanya Navier.

Azela menggeleng. "Nenek sakit keras dan dokter memvonis kalo umur Nenek nggak bakal lama lagi. Keluarga gue disuruh balik karena keluarga besar Papa bakal ngadain pertemuan buat bahas pembagian harta warisan, mengingat kalo Nenek itu satu-satunya orangtua yang cuma Papa punya sekarang," ujar Azela menjelaskan.

"Berarti Kak Viona sama Refan ikut?" tanya Navier dan Azela mengangguk sebagai jawabannya.

"Apa lo bakal balik lagi ke Indonesia?" tanya Navier sedikit hati-hati.

Azela tersenyum. Senyuman yang selalu menjadi candu bagi Navier. Namun, melihat Azela yang tersenyum seperti itu justru membuat dadanya terasa sesak.

"Kemungkinan gue nggak bakal balik, Nav," ujar Azela pelan, sangat pelan.

Navier menatap Azela dengan lekat. Kedua manik mata gadis itu memerah. Sudah dapat dipastikan sebentar lagi cairan bening bak kristal tersebut akan lolos dari pelupuk matanya.

Tanpa ba-bi-bu, Navier meraih tangan Azela dan menariknya ke dalam dekapannya. Tangis Azela pecah begitu ada dalam dekapan Navier. Navier mengusap rambut Azela dengan lembut, berusaha memberikan ketenangan bagi gadis tersebut.

Azela merasa bersalah karena harus meninggalkan sosok laki-laki yang begitu menyayanginya dan selalu ada untuknya. Bahkan Navier rela menjadi pelindung bagi Azela. Ya, gadis itu tahu perihal Navier yang menyukainya. Gadis itu pun sebenarnya sama saja seperti Navier, mengagumi laki-laki itu dalam diam. Keduanya sama-sama tertarik pada pandangan pertama. Namun, mengingat kenyataan pahit bahwa mereka berbeda agama dan berada dalam satu lingkup keluarga yang sama, baik Azela dan Navier terpaksa membunuh perasaan masing-masing.

Azela tidak ingin meninggalkan Navier, sama saja seperti Navier. Ia tak ingin ditinggalkan oleh Azela. Namun, apa dayanya? Papanya bahkan sudah mendaftarkan dirinya di salah satu universitas ternama di Belanda. Bahkan kata Papanya, Azela hanya boleh kembali ke Indonesia saat ia sudah lulus kuliah. Itu pun belum pasti.

Navier perlahan melepaskan pelukannya. Ia membantu Azela untuk menyeka air matanya.

"Kalo lo nggak bakal balik lagi, apa Kak Viona sama Refan juga nggak bakal balik?" tanya Navier.

"Terkecuali Kak Viona, Refan, sama Bang Rangga. Mereka boleh balik ke Indonesia waktu liburan tiba. Papa udah daftarin Refan buat sekolah di Belanda, termasuk gue. Papa udah daftarin gue ke salah satu universitas di sana. Kata Papa, gue cuma boleh balik kalo udah lulus kuliah," jawab Azela.

Navier tersenyum getir. Apakah Tuhan benar-benar ingin membuat mereka bertambah jauh? Setelah perbedaan agama, hubungan keluarga yang ada, dan kini keputusan keluarga Azela untuk kembali ke Belanda. Apa lagi selanjutnya?

Azela memberanikan diri untuk mengusap puncak kepala Navier. Gadis itu tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari mata Navier sedikit pun.

"Gue bukan yang terbaik untuk lo perjuangin. Gue nggak mau konsentrasi belajar lo keganggu karena hal ini. Lupain gue, ya?" ucap Azela penuh harap.

Navier sedikit terkejut mendengarnya. Apakah Azela tau mengenai perasaannya?

"Lo...," ucapan Navier menggantung.

"Gue ke luar dulu, ya? Gue haus," ujar Azela mengalihkan topik pembicaraan. Gadis itu tak mau terus-terusan larut dalam suasana sedih.

"Gue temen---"

"Nggak usah! Gue bisa sendiri kok," potong Azela cepat. Dengan segera ia keluar dari kamar Navier.

Navier membanting tubuhnya ke atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya menjadi tidak stabil. Tangannya terkepal kuat menahan segala rasa yang berkecamuk di dada.

Egoiskah jika Navier meminta Azela untuk selalu berada di sisinya?

CANDRAWULAN


Hola!

Tinggalkan jejak sebagai bukti bahwa kalian telah membaca bagian ini dengan pemberian vote + komen, biar gak sider.

Maafkan bila terjadi kesalahan dalam kepenulisan.

Keep reading CANDRAWULAN until the end.

Thanks and see you 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top