17 : PERSIAPAN

Hari ini adalah hari terakhir para murid bersekolah di semester satu. Dan esoknya akan diadakan pembagian buku rapor kepada para wali murid.

Zyan sedang menyapu teras kelasnya. Kelasnya mengadakan kerja bakti membersihkan kelas untuk hari esok. Semuanya bekerja. Tidak ada satupun yang sedang duduk santai. Anak laki-laki bertugas membersihkan jendela, merapikan kelas, dan membuang sampah ke TPS sekolah. Sedangkan anak perempuan membersihkan papan tulis, menyapu, dan mengepel lantai.

"Zyan...."

Zyan menoleh dan mendapati Arthur yang sedang memegang lap untuk membersihkan jendela. "Kenapa?"

"Habis bersih-bersihnya selesai anterin gue keliling sekolah, ya?" pinta Arthur.

Dahi Zyan bergelombang. "Buat apa?"

"Ya, biar gue tau tentang sekolah ini. Gue udah sebulan sekolah di sini dan gue belum sempet keliling sekolah," jawab Arthur apa adanya.

Benar juga.

"Lo, kan bisa sama yang lain. Kenzo, Mares, Fano, atau yang lainnya. Kenapa harus gue?" ujar Zyan.

"Kalo gue maunya sama lo gimana?" Arthur menggoda Zyan.

"Nggak lucu!" Zyan mengeluarkan nada dinginnya.

"Siapa juga yang bilang lucu? Lo kira gue lagi ngelawak, ya?" kata Arthur.

"Apaan sih, Thur!" sahut Zyan kesal.

"Segitu doang ngambek. Gemes gue jadi pengen cubit pipinya," ujar Arthur.

Zyan menatap Arthur tajam. Menyebalkan!

"Mau, ya, Zy?" ujar Arthur kembali memohon kepada Zyan.

"Nggak!"

"Please?"

"Nggak, Thur!"

"Zyan cantik..."

"Makasih."

"Ayo dong, Zyan!"

"Gue nggak mau, Arthur!"

"Masa nggak mau? Padahal banyak perempuan yang ngantri dengan senang hati buat nemenin gue keliling sekolah."

"Bodo amat!"

"Zyan Arana Wulandari...."

"Gue bilang nggak, ya nggak!"

Zyan kehilangan kesabarannya. Mungkin juga karena faktor ia sedang datang bulan sehingga emosinya berubah-ubah.

"Nanti gue beliin es krim vanila kesukaan lo deh," ujar Arthur.

"Shit!" Umpat Zyan dalam hati.

Zyan berpikir sejenak. Arthur selalu saja melibatkan es krim vanila jika ia akan kalah dalam berdebat dengan Zyan sejak dulu mereka kecil. Demi Tuhan, gadis itu selalu lemah dengan es krim vanila!

"Tiga puluh menit," ujar Zyan pada akhirnya yang mampu membuat Arthur tersenyum. Ia tahu Zyan pasti akan mengiyakan permintaannya jika ia membawa es krim vanila kesukaan Zyan.

***

Navier, Gilang, dan Bani berlari dengan kencangnya di lorong kelas dua belas. Mereka bahkan sampai menabrak beberapa orang. Entahlah apa yang sedang mereka hindari.

"WOI BANI! BURUAN ELAH KEBURU ROSA TAMBAH DEKET!" seru Gilang karena Bani berlarinya sangat lambat. Padahal lelaki itu berada paling depan. Sehingga Navier dan Gilang yang berada di belakangnya kewalahan karena harus mengimbangi lari mereka sangat cepat dan menunggu Bani yang larinya sangat lambat.

"GILA! SI ROSA BAWA TEMEN-TEMENNYA!" seru Navier yang berada paling belakang. Lelaki itu sempat menoleh ke belakang dan mendapati Rosa berserta beberapa temannya membawa sapu yang teracung ke arah mereka bertiga.

Navier dan Gilang menambah kecepatan lari mereka. Tidak peduli dengan Bani yang napasnya sudah tersengal. Dengan hati-hati keduanya menuruni tangga dan tiba di lorong kelas sebelas.

"Kanan apa kiri?!" tanya Gilang dengan nada panik.

"Kanan!" Navier menjawabnya juga dengan nada panik.

Brukk

"Kanan, Lang! Bukan kiri!" seru Navier kesal karena ia bertabrakan dengan Gilang. Gilang berada di sisi kanannya. Saat Navier hendak berlari ke arah kanan justru Gilang berlari ke arah kiri. Otomatis keduanya bertabrakan.

"Iya, iya! Sori gue panik soalnya," kata Gilang.

"NAH DAPET SATU! MAMPUS LO! SURUH SIAPA KABUR WAKTU KERJA BAKTI!"

Navier dan Gilang saling menatap saat mendengar seruan Rosa yang terdengar hingga lorong kelas sebelas. Mereka bisa menebak jika Bani pasti telah tertangkap oleh Rosa dan teman-temannya.

"KANAN, LANG! ABIS ITU LANGSUNG KE LORONG KELAS SEPULUH!" seru Navier yang langsung diiyakan oleh Gilang. Mereka kembali berlari.

Rupanya, Navier, Gilang, dan Bani berlarian untuk menghindari Rosa yang murka kepada ketiganya. Ketiganya kabur saat disuruh untuk kerja bakti membersihkan kelas untuk hari esok.

Diantara Navier dan sahabatnya, hanya Delan dan Rafael yang berada pada jalan yang benar. Mereka termasuk siswa teladan yang tidak pernah melanggar aturan. Sedangkan Gilang dan Bani kebalikannya. Sudah tak terhitung berapa kali mereka keluar-masuk ruang BK sejak kelas sepuluh karena melanggar aturan. Mulai dari terlambat, tidak menggunakan atribut sekolah dengan lengkap, ataupun ketahuan bolos. Sedangkan Navier sendiri berada pada pihak yang netral. Terkadang ia bisa menjadi siswa teladan, tapi terkadang juga ia bisa menjadi siswa yang bandel.

Navier dan Gilang sudah berada di lorong kelas sepuluh. Mata Navier mendapati Zyan yang sedang berjalan dengan teman laki-lakinya. Ia tidak tahu siapa itu.

"ZYAN!"

Gadis yang memiliki nama tersebut menoleh. Ia menatap Navier heran.

"Kenapa, Kak?" tanyanya.

Navier menarik tangan Zyan dan teman laki-lakinya untuk berdiri di depan sebuah pot bunga. Zyan yang tangannya ditarik tiba-tiba terkejut. Keterkejutan gadis itu bertambah saat Navier berjongkok di belakangnya dengan Gilang. Lebih tepatnya di belakang Zyan, teman laki-lakinya, dan pot bunga.

"Lo diem aja di sini! Kalo ada yang nanyain gue atau Gilang, jawab aja lo nggak tahu," ujar Navier dalam keadaan berbisik.

Zyan sebenernya masih kebingungan, hanya saja gadis itu lebih memilih untuk mengangguk dan diam.

Aneh juga sebenarnya jika ada yang melihat Zyan dan Arthur. Ya, laki-laki yang sedang bersama Zyan saat ini adalah Arthur. Keduanya berdiri di depan sebuah kolam ikan yang penuh dengan pot bunga disekitarnya. Mereka justru terlihat seperti patung-patung orang yang biasanya ada di kolam ikan.

"Eh, lo!"

Zyan dan Arthur menoleh saat melihat tiga orang kakak kelas perempuan mereka yang membawa sapu di tangannya.

"Iya?" sahut Zyan dan Arthur hampir berbarengan.

"Lo liat dua cowok yang lari-lari di sekitar sini nggak?" tanya salah satunya.

Zyan dan Arthur menggelengkan kepalanya.

"Bener?" tanyanya memastikan.

"Bener kok, Kak. Yang ada di lorong ini dari tadi cuma kita. Ya, kan?" ujar Zyan sembari menyenggol lengan Arthur.

"Iya, Kak. Bener kata temen gue," sahut Arthur.

Salah satu diantara mereka menangkap pergerakan yang terjadi di belakang Zyan dan Arthur. Zyan dan Arthur saling lirik.

"Itu yang di belakang lo apa?" tanyanya.

Zyan dan Arthur menoleh ke belakang mereka. "Cuman pot bunga, Kak," kata Zyan.

"Kok tadi ada yang gerak-gerak?" tanyanya lagi.

"Mungkin kucing," sahut Arthur.

"Masa ada kucing masuk sekolah?" timpal yang lainnya lagi.

Ketiganya berjalan mendekati Zyan dan Arthur. Jantung keduanya berdetak sangat cepat. Ditambah saat melihat wajah ketiga kakak kelasnya yang mengintimidasi itu.

"Kalian sudah selesai bersih-bersih kelas?"

Rosa dan teman-temannya menoleh saat mendengar suara wali kelas mereka.

"Belum, Pak. Ini kita lagi nyari Navier sama Gilang," jawab Rosa.

"Ngapain nyari Navier sama Gilang?" tanya guru itu.

"Mereka kabur, Pak. Nggak mau ikut bantuin bersih-bersih kelas. Sebenernya sama Bani juga, Pak. Cuma Bani udah ketangkep sama kita tadi," jelas Rosa.

"Ngapain kalian repot-repot nyari mereka? Tinggal dicatat saja. Nanti saya akan laporkan mereka ke guru BK," ujar guru tersebut memberi saran.

"Abis riwayat sendiri, Nav!" ujar Gilang berbisik kepada Navier.

"Abis mereka pergi, sendiri harus lebih dulu nyampe kelas sebelum mereka," sahut Navier ikut berbisik.

"Gimana caranya?" tanya Gilang bingung.

"Tinggal lewat lorong sebelah timur. Mereka pasti, kan lewatnya lorong sebelah barat karena lebih deket. Nggak pa-pa sendiri lebih jauh, yang penting lari kita harus cepet. Terus nanti nyampe kelas sendiri harus akting bersih-bersih, biar mereka nggak nyatet kita," jawab Navier.

Gilang menatap Navier takjub. Sahabatnya itu memang dapat diandalkan dalam urusan membuat rencana. Khususnya dalam kabur, menyusup, dan bersembunyi. Sudah sejak kelas sepuluh Navier menolong Gilang saat terlambat dan hampir ketahuan bolos. Dasar mereka!

Rosa bersama teman-teman dan wali kelasnya berjalan beriringan ke kelas mereka. Navier dan Gilang yang merasa sudah aman keluar dari persembunyian mereka.

"Zy, makasih, ya udah nolongin kita. Gue sama Gilang buru-buru harus ke kelas," ujar Navier.

"Iya, Kak sama-sama," jawab Zyan.

Navier dan Gilang kembali berlari. Mereka sedikit menjaga jarak dengan teman dan wali kelasnya. Beberapa langkah mereka berlari, mereka belok kiri dan berjalan menuju lorong kelas sepuluh bagian timur.

Dari arah yang berseberangan, Navier dan Gilang terus mengawasi agar mereka tidak ketahuan. Mereka hanya berlari kecil, tidak secepat tadi. Itu mereka lakukan untuk menghindari kecurigaan.

Tak butuh waktu lama bagi Navier dan Gilang untuk sampai di kelas mereka. Beruntung teman dan wali kelasnya belum sampai. Sesuai rencana, mereka segera berakting seolah-olah mereka sedang bersih-bersih kelas. Mereka mengambil alat kebersihan yang tersisa di pojok kelas.

"Loh Navier? Gilang?" suara wali kelas XII IPA 3 terdengar dari arah ambang pintu. Navier dan Gilang menoleh.

"Kenapa, Pak?" ujar keduanya serempak.

Wali kelasnya itu menatap Rosa dan temannya untuk meminta penjelasan.

"Kok lo pada ada di kelas sih? Bukannya tadi kalian lari-lari?" tanya Rosa tak mengerti.

"Lari-lari ngapain coba? Dari tadi kita di kelas bersih-bersih. Nah lo malah keluyuran keluar kelas," ujar Gilang tanpa merasa berdosa.

"HEH ENAK---"

"Kamu berbohong sama saya, Rosa?" tanya wali kelas mereka.

"Ng-nggak, Pak! Kita nggak bohong! Navier sama Gilang yang bohong, Pak! Udah jelas-jelas tadi mereka tuh kabur sama Bani, Pak!" ujar Rosa membela dirinya.

"Tapi kenapa mereka semua sekarang ada di kelas?" ujar guru tersebut.

Rosa menggelengkan kepalanya dengan polos.

"Kalian ini. Makanya jangan suka nuduh orang sembarangan!" ucap guru tersebut untuk terakhir kalinya sebelum melenggang pergi.

Rosa menatap tajam ke arah Navier dan Gilang. Kedua laki-laki itu hanya tersenyum lebar hingga deretan gigi mereka terlihat.

"DASAR LAKNAT! AWAS AJA LO BERDUA, YA!"

***

"Kakak kelas cowok yang tadi itu siapa?" tanya Arthur.

Zyan dan Arthur menjadikan kantin sebagai titik terakhir yang dikunjungi dari tur keliling sekolah mereka.

"Dia Kak Navier," jawab Zyan singkat karena ia sedang mengunyah makanan.

"Terus temennya?" tanya Arthur lagi.

"Dia Kak Gilang," jawab Zyan.

"Lo akrab sama mereka? Tadi waktu gue perhatiin kalian kaya udah kenal lama," ujar Arthur.

Zyan diam beberapa saat. Bukannya bermaksud mendiamkan Arthur, hanya saja tidak baik jika berbicara saat sedang makan.

"Gue udah tau mereka dari beberapa bulan yang lalu. Tapi kita baru saling kenal sebelum lo pindah ke sini. Kita keliatan akrab karena Kak Navier itu orangnya ramah dan enak aja kalo diajak ngobrol," ujar Zyan pada akhirnya setelah menelan makanannya.

"Ramah?" Arthur belum paham.

Zyan mengangguk. "Dia salah satu kakak kelas paling ramah yang pernah gue kenal. Dia nggak sok senioritas kaya kakak kelas kebanyakan. Anaknya juga asyik dan nggak dingin."

Arthur mengangguk mengerti. "Lo kayanya kenal banget sama yang namanya Xavier itu."

"Navier, Thur! Bukan Xavier," kata Zyan membenarkan.

"Nah, ya itulah."

"Kan, gue udah bilang tadi! Gue itu keliatan akrab sama Kak Navier karena dia anaknya ramah, enak kalo diajak ngobrol. Ditambah Si Sani tuh suka sama salah satu temennya, namanya Kak Delan. Gara-gara itu gue tau sedikit lah tentang Kak Navier," ujar Zyan.

Arthur dapat melihat rasa antusias Zyan saat menceritakan tentang Navier. Ada hal yang sedikit mengganjal di hatinya.

"Lo.... suka sama Kak Navier?" tanya Arthur.

"Nggak."

"Terus?" tanya Arthur lagi.

"Terus apanya?"

"Lo keliatan antusias banget waktu cerita soal Kak Navier," ujar Arthur.

"Masa sih?"

"Iya," jawab Arthur.

"Gue cuma kagum. Sejenis nge-fans gitu."

"Ternyata lo bisa juga nge-fans sama orang di dunia nyata," kata Arthur diiringi kekehan.

"Maksud lo?"

"Biasanya, kan lo tuh suka halu. Ngaku-ngaku pacarnya Zayn Malik lah, adiknya Justin Bieber lah, kembarannya Ariana Grande lah. Mereka-mereka itu cuma ada di dunia imajinasi lo doang," ujar Arthur.

"Mereka itu ada kok di dunia nyata. Cuman beda negara aja sama gue. Berarti, kan gue nggak halu."

Arthur mengembuskan napas panjang. Lebih baik ia mengalah daripada harus berdebat dengan Zyan. Zyan mengeluarkan lidahnya, bermaksud untuk mengejek Arthur karena menurutnya ia telah memenangkan perdebatan.

Namun, di sisi lain Arthur merasa bersyukur. Zyan masih mau mengobrol dengannya setelah kejadian di rumahnya beberapa minggu yang lalu. Selama penilaian akhir semester berlangsung ia jarang sekali mengobrol dengan Zyan. Ditambah mereka berada pada ruangan yang berbeda. Tetapi sekarang mereka justru terlibat percakapan yang lumayan panjang.

Zyan memang beda. Disaat banyaknya orang di luar sana yang membenci masa lalu mereka, Zyan justru masih menerima dan bahkan berteman dengan masa lalunya. Tidak salah, bukan jika Arthur kagum dengan sosok perempuan seperti Zyan ini?

***

Navier membuka kancing kemejanya yang paling atas. Ia merasa gerah. Padahal kemejanya berwarna putih sehingga tidak menyerap panas matahari.

Navier terduduk di bangku depan kelasnya. Hari ini adalah hari pembagian buku rapor semester satu. Lana memintanya untuk ditemani mengambil rapor. Padahal ia juga bersama Lavia. Lantas, untuk apa Navier ikut? Yang ada ia hanya akan menjadi nyamuk diantara kedua orangtuanya.

"Hai, Navier!"

Navier menoleh dan mendapati Azela yang tengah tersenyum ke arahnya. Ia membalas senyuman gadis itu. Azela mendekat dan duduk di samping Navier.

"Gimana nilai lo?" tanya Azela.

"Belum tau. Papa sama Mama lagi ngambil rapotnya," jawab Navier.

"Om Lana udah pulang?"

Navier mengangguk. "Iya, seminggu yang lalu."

"Besok gue main ke rumah lo, ya?" ujar Azela.

"Ngapain? Besok, kan minggu. Lo harusnya ke gereja."

"Oh, iya! Yahh.... Padahal gue pengen banget ngobrol bareng Om Lana. Biasanya, kan Om Lana suka cerita pengalamannya waktu terbang ke sana ke sini," kata Azela.

Navier terkekeh. Ya, Lana memang sering menceritakan tentang pengalamannya ketika Azela sedang berkunjung ke rumah.

"Gimana kalo nanti?" ujar Azela lagi.

"Nanti gue mau latihan buat festival seni," sahut Navier.

"Terus kapan dong?"

Navier hanya menggidikkan bahunya.

"Eh, Azela?"

Navier dan Azela menoleh saat mendengar suara Lana. Disusul dengan Lavia di belakangnya.

"Om, Tante," ujar Azela sopan sembari menyalami keduanya.

"Kamu udah ambil rapot?" tanya Lavia. Wanita itu mengusap rambut Azela dengan lembut.

"Udah, Tante. Tadi diambil sama Papa," jawab Azela.

"Pasti nilainya bagus-bagus," ujar Lana.

Azela hanya tersenyum sebagai jawaban.

"Pastinya nilainya bagus-bagus, kan rajin belajar. Nggak kaya itu tuh yang di belakang, kerjaannya main PS terus sampe-sampe nilai matematikanya C," timpal Lavia yang lebih tepatnya sedang menyindir.

Navier menghembuskan napas panjang. Setibanya ia di rumah nanti pasti akan terjadi pengajian akbar yang penceramahnya tidak lain adalah Lavia. Dakwahnya berisikan materi nilai matematika Navier, siraman rohani tentang pentingnya belajar, sampai anak tetangga yang menjadi panutan.

Lana mendekati Navier. Ia menepuk pundak anaknya pelan. "Namanya juga anak laki-laki, Ma. Kalo nggak bandel, ya bukan anak laki-laki namanya!"

Navier mengedipkan sebelah matanya ke arah Lana. Berterima kasih karena telah membelanya. Lana membalasnya dengan acungan jempol.

"Kalian ngapain, hm?" ujar Lavia yang melihat kelakuan suami dan anaknya.

"Mama jangan sering marah-marah! Nanti cepet tua loh," sahut Lana.

"Kan, emang udah tua," celetuk Navier.

Sedetik kemudian Navier sadar apa yang telah ia katakan. Ia memukul pelan mulutnya. Merutuki dirinya yang senang sekali ceplas-ceplos.

Navier menatap Lavia dengan takut-takut. Wanita paruh baya itu sedang menatapnya tajam. Astaga! Tamatlah riwayat Navier!

Sedangkan Azela terkekeh di tempatnya. Ia ingin sekali tertawa, tapi ia sadar ini bukan waktu yang tepat.

***

Zyan terdiam di jok belakang mobil Surya. Ia baru saja pulang mengambil rapor dengan kedua orangtuanya. Dan kini ia sedang diantar ke rumah Sani. Gadis itu sudah memiliki janji dengan dua sahabatnya.

"Semester dua belajarnya harus lebih sering! Nilai kamu nanggung semua. Andai semuanya bisa ditambah satu, pasti nilai kamu udah A semuanya," kata Rani.

"Iya, Ma." Zyan menjawabnya singkat.

"Nanti ke rumah Sani mau ngapain?" tanya Surya, mencoba basa-basi.

"Kerja kelompok."

Dahi Surya bergelombang. "Udah ambil rapot kenapa masih kerja kelompok?"

"Ini buat nilai awal di semester dua, Pa. Awal semester dua nanti kelas dua belas ada acara namanya festival seni. Kelas sepuluh sama sebelas dapet tugas berkelompok buat bikin laporan hasil pengamatan festival seni. Kelompok Zyan mau nyiapin semuanya dari sekarang. Biar besok tinggal ngelakuin pengamatan sama ngambil foto buat dokumentasi," jelas Zyan. Surya mengangguk mengerti.

"Pulangnya jangan kemaleman!" sahut Rani. Zyan lagi-lagi menjawabnya dengan singkat.

Mobil Surya tiba di pekarangan rumah Sani. Zyan menyalami kedua orangtuanya. "Zyan kerja kelompok dulu."

Terdengar gumaman pelan sebagai sahutan atas perkataan Zyan. Zyan membuka pintu mobil dan kembali menutupnya perlahan. Matanya menangkap kepergian mobil Surya.

"Zyan?"

Zyan menoleh dan mendapati Mama Sani.

"Eh, Tante," ujar Zyan. Ia mendekat dan menyalami Mama Sani.

"Saninya ada, Tante?" tanya Zyan sopan.

"Ada kok. Itu lagi di kamarnya sama Kia. Ini aja baru masuk rumah setelah ngambil rapot," jawab Mama Sani. "Kamu langsung masuk aja! Tante mau belanja ke warung dulu soalnya persedian di dapur abis," lanjutnya.

Zyan mengangguk. Ia menuruti perintah Mama Sani. Ia membuka pintu utama rumah Sani dengan perlahan sembari mengucapkan salam.

"WA'ALAIKUMUSALAM! GUE SAMA KIA DI KAMAR, ZY!"

Teriakan itulah dan menyambut Zyan setelah mengucapkan salam. Ia berjalan ke kamar Sani. Diketuknya pintu kamar sahabatnya itu. Ternyata pintunya tidak dikunci. Zyan meraih gagang pintu dan membukanya.

"Astagfirullah!" Zyan tersentak kaget.

Baru saja Zyan masuk, gadis itu sudah disambut oleh Kia yang sedang mengenakan masker wajah berwarna putih. Penampilannya yang terlihat seperti hantu di mata Zyan dan berhasil membuat gadis itu terkejut.

"Lo mau ikut maskeran, Zy?" tanya Sani saat Zyan duduk di sampingnya.

Zyan menggeleng, menolaknya. Gadis itu memang seperti itu sejak dulu. Ia belum pernah dan tidak ingin menggunakan bahan kimia apapun untuk merawat dirinya. Kecuali sabun, sampo, pasta gigi, dan sabun pembersih wajah. Hanya itu saja. Bahkan disaat kebanyakan remaja perempuan di luar sana yang suka sekali pergi ke salon untuk perawatan saja Zyan tidak mau mengikutinya. Zyan jika pergi ke salon hanya untuk potong rambut.

Berbeda dengan kedua sahabatnya. Kia dan Sani sudah diibaratkan sebagai seorang partner. Mereka sering pergi ke salon bersama, membeli produk kecantikan dan perawatan bersama, dan sebagainya. Sangat bertolak belakang dengan Zyan yang setiap harinya hanya belajar, belajar, belajar. Melewati masa mudanya hanya untuk berkutat dengan setumpukan buku tebal.

"Gue bosen," ujar Zyan.

"Ya, udah makanya ikut maskeran aja sama kita biar lo nggak bosen," sahut Sani dengan suara kecil. Ralat! Dengan suara tidak jelas. Gadis itu takut jika nanti maskernya retak karena maskernya sudah mulai mengering.

"Gue nggak suka pake begituan," kata Zyan.

"Lo nggak suka karena lo belum pernah coba. Coba dulu sini," timpal Kia.

Zyan menggeleng tegas. Ia tahu kedua sahabatnya sedang mencoba mempengaruhinya. Dasar!

"SANI! ZYAN! KIA! WOI LO PADA ADA DI MANA?!"

Zyan menatap Kia dan Sani bergantian. Gadis itu meminta penjelasan dari sahabatnya.

"Kita satu kelompok sama Kenzo, Mares, dan Fano," jawab Sani.

Zyan melotot. "APA?! Kok lo nggak bilang-bilang ke gue?"

"Suruh siapa kemarin lo malah pergi jalan-jalan sama mantan keliling sekolah!" sahut Kia.

"Arthur bukan mantan gue! Pacaran aja nggak pernah!"

"Emang nggak pernah. Tapi sama-sama berjuang, kan pernah," kata Kia.

Zyan menatap Kia tajam. Sedangkan Kia yang ditatap tajam oleh Zyan justru terkekeh geli.

"Bentuk kelompoknya itu undian. Siapa juga yang bakal tau kalo Kenzo, Mares, sama Fano bakal satu kelompok sama kita," ujar Sani.

Ceklekk

Zyan, Kia, dan Sani menoleh saat pintu kamar Sani dibuka. Ketiga gadis itu mendapati ketiga teman laki-lakinya yang sedang menunjukkan cengiran mereka.

Zyan menghembuskan napas panjang. Ia pasrah. Apalah salahnya sampai ia terus menerus disatukan dengan makhluk paling menyebalkan yang pernah ia kenal dalam satu kelompok?

Sungguh jahat gurunya!

***

"HELO WASAP MAMANG!"

Sebuah seruan menyambut Navier begitu ia dan motornya tiba di pekarangan rumah Rafael. Navier melepaskan kaitan helmnya dan lalu ia letakkan di atas spion.

Navier berhasil kabur dari pengajian akbar Lavia. Untung saja ia memiliki alibi yang meyakinkan. Walaupun pada awalnya ia sedikit terdesak karena Viona mengintimidasinya.

"Udah pada kumpul?" tanya Navier sembari membenarkan letak tas pada punggungnya.

"Udah. Cuman Si Rafael lagi di kamar mandi. Panggilan alam karena tadi makan ayam geprek banyak banget. Mules deh perutnya," jawab Gilang mewakili.

"Terus Si Delan lagi di ruang tamu. Ngambek katanya kesel sama gue. Padahal gue nggak ngapa-ngapain," sahut Bani sok polos.

"Nggak ngapa-ngapain lo bilang?! Lo masukkin HP Delan ke kolam ikan dan lo bilang nggak ngapa-ngapain?! Otak dipake, jangan cuma sekali pake langsung buang!" ucap Gilang tidak bisa santai.

Navier menggelengkan kepalanya. Terkekeh geli sesaat. Bagaimana bisa ia tahan memiliki teman seperti mereka selama tiga tahun?

Navier, Gilang, Bani, dan Delan berjalan menuju ruang musik yang ada di rumah Rafael. Meninggalkan pemilik rumah yang masih sibuk dengan panggilan alamnya. Dasar mereka! Di sinilah tempat mereka biasa berkumpul dan berlatih bersama.

"Hai, Beb! Udah lama nggak Aa peluk mesra," ujar Bani pada gitarnya setelah ia mengeluarkannya dari dalam tas gitarnya. Lelaki itu menciumi permukaan alat musik itu.

"Najis!" cibir Gilang.

"Lalang apaan sih?! Kalo sirik tuh bilang! Cemburu bilang! Marah bilang! Aa tuh nggak paham maksud Si Eneng tuh apa," sahut Bani menjadi-jadi.

"ANAK SIAPA YA AMPUN! PENGEN GUE SENTIL GINJALNYA!" seru Gilang yang kesal kelewat batas.

Navier dan Delan tertawa melihat perdebatan antara Gilang dan Bani. Gilang menatap tajam keduanya. Bisa-bisanya mereka tertawa di atas penderitaan sahabatnya?

Navier mengeluarkan stik drum dari dalam tas yang ia bawa---stik drum yang baru saja ia beli kemarin karena yang lama sudah dipatahkan oleh Viona saat mereka bertengkar. Ia memainkan dengan cara memutarnya. Lelaki itu berjalan mendekat ke arah drum dan duduk di atas kursinya.

Pintu ruang musik terbuka. Rafael yang membukanya. Sepertinya lelaki itu sudah selesai dengan panggilan alamnya. Ia berjalan mendekati yang lain.

"RAFAEL AWAS AD---"

Gilang berseru. Namun, seruannya terhenti saat sebuah suara membuat semuanya menoleh menghadap Rafael.

Krekk

"Ada gitar gue...."

Semuanya terdiam. Menatap gitar berwarna putih yang telah retak dan beberapa senarnya terputus. Kedua kaki Rafael menapak di atasnya.

Itu gitar Gilang. Gitar yang baru saja Rafael injak secara tidak sengaja itu adalah hadiah dari kedua orangtuanya saat Gilang dan band mereka sukses menggelar konser pertamanya.

"Krikk.... Krikk...."

Navier dan Delan menatap Bani tajam. Lelaki itu justru menirukan suara jangkrik di saat suasana seperti ini.

"Eh, maaf, Lang, maaf. Gue nggak sengaja, beneran! Sori, ya?" ujar Rafael yang tampak merasa sangat bersalah.

Gilang hanya diam. Ia bingung harus apa. Ia ingin marah pada Rafael karena telah mematahkan gitarnya, namun itu juga sebenarnya bukan salah Rafael sepenuhnya. Itu juga salahnya karena meletakkan gitarnya sembarangan.

"Gue ganti deh. Gue beliin yang baru, gimana? Tapi maafin gue dulu, ya?" ujar Rafael.

Navier menepuk pundak Gilang. "Maafin Rafael, Lang! Dia, kan udah minta maaf dan mau ganti rugi."

Gilang menuruti kata-kata Navier. Ia memaafkan Rafael.

"Ayo kita beli gitar baru buat lo," kata Rafael.

"Iyain dah. Anak sultan mah tinggal gesek kartunya langsung jadi. Transferan lancar terooss!" sahut Bani.

Kelima lelaki itu pergi ke pusat perbelanjaan terdekat. Rafael akan membelikan gitar baru untuk Gilang. Navier, Gilang, dan Bani menggunakan motor sport mereka. Sedangkan Delan dan Rafael menggunakan mobil Rafael.

CANDRAWULAN


Hola!

Tinggalkan jejak sebagai bukti bahwa kalian telah membaca bagian ini dengan pemberian vote + komen, biar gak sider.

Maafkan bila terjadi kesalahan dalam kepenulisan.

Keep reading CANDRAWULAN until the end.

Thanks and see you 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top