11 : KETIKA BULAN MENANGIS

Masih terngiang dengan jelas memori tentang kejadian yang menimpa Zyan setengah jam yang lalu di kepala Navier. Ia masih tidak percaya jika gadis itu mendapatkan perlakukan seperti itu di keluarganya.

"KEMANA AJA KAMU DARI TADI, ZYAN?!" teriak wanita paruh baya dari dalam rumah besar bergaya mediterania itu. Navier memperhatikan dari jarak jauh percakapan yang terjadi diantara kedua perempuan tersebut.

"Maaf, Ma. Tapi tadi Zyan bener-bener kejebak di jalan karena hujan. Zyan lupa bawa payung, Ma," ujar Zyan mencoba menjelaskan.

"BANYAK ALASAN KAMU!"

Plakk

Kedua mata Navier membulat sempurna saat mendengarkan suara tamparan yang sangat keras itu menggema di langit malam yang sunyi. Ia bahkan dapat membayangkan seperti apa sakitnya tamparan tersebut.

"INI UDAH JAM BERAPA?!" seru wanita itu. Sepertinya ia tidak peduli apabila ada tetangga yang mendengar.

"MA, ZYAN TAHU---"

"HARUSNYA KAMU INISIATIF DONG BUAT BAWA PAYUNG! KAMU TAHU? KAKAK KAMU BAHKAN PENYAKIT MAAGNYA KAMBUH KARENA TELAT MAKAN MALAM!" seru wanita itu tepat di wajah Zyan.

"ZYAN TAHU ZYAN SALAH, MA!"

"MULAI SEKARANG SAMPAI SATU MINGGU KE DEPAN, KAMU URUS SEMUA KEPERLUAN KAMU SENDIRI! INI HUKUMAN KARENA KAMU UDAH PULANG DI ATAS BATAS WAKTU YANG UDAH MAMA TENTUKAN!" seru wanita itu lagi.

"TAPI, MA---"

"GAK ADA TAPI-TAPIAN! CEPAT MASUK KE DALAM RUMAH DAN TIDUR!" seru wanita itu untuk terakhir kalinya.

Navier meringis saat membayangkan betapa kerasnya tamparan yang Zyan terima. Itu pasti sangatlah sakit!

***

Di dalam ruangan serba biru itu terlihat seorang gadis yang sedang terduduk di atas kasur king size miliknya. Ia duduk termenung. Pandangan gadis itu kosong. Seperti raga tanpa jiwa.

Dia, Zyan. Zyan Arana Wulandari. Seorang gadis yang terkenal periang dan memiliki selera humor yang cukup baik. Namun, kalian tidak bisa menemukan pribadi Zyan yang seperti itu saat ini. Karena yang ada saat ini adalah pribadi Zyan yang lain. Pribadi yang jarang ia perlihatkan pada orang-orang.

Zyan sedang menangis. Menangis dalam diam. Titik terapuhnya yang selalu ia sembunyikan rapat-rapat. Batas kesabarannya sebagai manusia sedang ia tahan sebisa mungkin agar tidak meledak.

Gadis itu sama seperti remaja kebanyakan. Masih labil. Sedang dalam masa pencarian jati diri. Rasa emosional yang ia miliki sedang berada di titik puncak.

"Ya, Tuhan...."

Zyan bergumam dengan nada pasrah. Gadis itu bukanlah tipe orang yang apabila sedang marah akan melampiaskan kemarahannya tersebut kepada orang-orang. Ia hanya mampu menangis apabila sedang emosi yang teramat sangat atau kesabarannya yang sedang diuji. Disaat seperti ini ia hanya mampu meminta kepada Yang Maha Kuasa agar dirinya senantiasa diberi kekuatan.

Apakah Rani sudah tidak menyayanginya?

Sering sekali terlintas pertanyaan seperti itu di benak Zyan apabila sedang dalam kondisi seperti ini. Gadis itu mengusap pipinya yang terasa hangat. Ia kembali teringat bagaimana rasa sakit yang luar biasa ia dapatkan dari kerasnya tamparan Rani.

"Ayah..." Zyan tak mampu lagi untuk menahan isakannya. Ia menutup mulutnya serapat mungkin agar tidak ada satupun yang dapat mendengar jika ia sedang menangis.

***

"PELAN-PELAN, VIEROO!"

"Ini udah paling pelan, Vionaa!"

"INI MASIH KECEPETAN! NANTI KALO GUE JATUH GIMANA?!"

"Masa bodo sih!"

"LAGIAN LO TUH UDAH KELAS DUA BELAS! UDAH PUNYA DAN UDAH BOLEH BAWA MOTOR SENDIRI! NGAPAIN MASIH PAKE SEPEDA SIH KE SEKOLAHNYA?!"

"Hidup-hidup gue ngapain lo yang ngatur?!"

"LO NGESELIN!"

"Suami lo emang kemana sih? Sampai-sampai harus gue yang nganterin lo. Ngerepotin iya! Orang mau sekolah juga. Ngapain juga pagi-pagi bercukur, eh! Parkur, eh! Bersyukur, eh! Apaan sih namanya?"

"MANICURE, ZHEYENG! LAGIAN TUH KAKAK IPAR LO LAGI NGANTERIN SEKOLAH ADIK SAMA KEPONAKAN LO!"

"ALASAN! Bilang aja lo gak mau nganterin Si Refan sama Viusa, kan?"

"EMAK MACAM APA GUE KALO GAK MAU NGANTER ANAKNYA SEKOLAH?!"

"Emak paling kejam di dunia!"

"BERANI LO NGATAIN GUE?!"

"ADUH, KAK! KAK VIONA LEPASIN! SAKIT, PINTER!"

Navier melepas salah satu tangannya dari kemudi sepeda. Ia memegang telinganya yang terasa panas setelah di tarik oleh Viona.

"KDRT LO SAMA ADIK SENDIRI!" seru Navier kelewat kesal.

"Sabar, Mas! Sabar! Orang ganteng di sayang Viona," sahut Viona diiringi kekehan geli saat melihat adiknya itu sedang kesal.

"EMANG GUE GANTENG DARI DULU! BARU NYADAR LO?!" balas Navier masih mempertahankan nada tingginya.

Sebuah ide terlintas di kepala Navier. Ia tersenyum miring. Kemenangan akan ia dapatkan sesaat lagi.

"NAVIEROOOO!!" teriak Viona histeris saat Navier menambah kecepatan sepedanya secara tiba-tiba.

Sedangkan Si Pengemudi sepeda hanya memasang wajah polosnya tanpa dosa.

***

Zyan membenarkan ikatan ekor kudanya yang sedikit berantakan. Ia menghadap ke belakang. Memastikan apakah barisannya lurus atau tidak.

Jam pembelajaran pertama di hari Senin pada kelas Zyan adalah pelajaran olahraga. Setelah lima belas menit dijemur di bawah sinar matahari pagi saat upacara bendera, mereka harus kembali dijemur di bawah sinar matahari pagi saat pelajaran olahraga.

Kelasnya telah membuat barisan. Zyan berada pada barisan perempuan paling depan. Di sampingnya terdapat Citra yang juga memimpin paling depan pada barisannya.

"Baiklah. Rentangkan tangan kalian!" seru Pak Bambang, guru olahraga kelas sepuluh.

Kelas Zyan segera saja melaksanakan perintah gurunya itu. Mereka merentangkan tangan mereka tanpa merubah barisan yang telah tertata rapi.

"Zyan, pimpin pemanasan pada pagi hari ini!" ujar Pak Bambang memberi perintah. Zyan pun mengangguk dan berjalan ke depan barisan. Berdiri tepat di samping Pak Bambang.

"Kalian semua ikuti gerakan Zyan!" ujar Pak Bambang memberi perintah kepada kelas Zyan.

Zyan mulai memimpin jalannya pemanasan. Mulai dari kepala, tangan, hingga kaki. Dan yang terakhir adalah lari mengelilingi lapangan sekolah sebanyak sepuluh kali, karena itu sudah menjadi ketetapan Pak Bambang agar para muridnya dapat merasakan bagaimana rasanya saat dihukum oleh guru. Ya, rata-rata guru di sekolah ini selalu memberikan hukuman berupa lari mengelilingi lapangan sekolah sebanyak sepuluh kali kepada muridnya yang melanggar peraturan.

"CUKUP!" seru Pak Bambang dari tengah lapangan.

Semua murid kelas Zyan terduduk dengan kaki di luruskan di pinggir lapangan. Mereka mencoba menetralkan detak jantung mereka.

"Kalian istirahat dulu sepuluh menit. Saya akan mengambil peralatan yang akan digunakan untuk olahraga hari ini," ujar Pak Bambang. "Zyan, jika dalam sepuluh menit saya belum kembali, perintahkan kepada teman-temanmu untuk kembali berbaris seperti semula," tambahnya.

Zyan mengangguk. Meskipun kelas Zyan memiliki ketua kelas, Pak Bambang lebih mempercayakan Zyan untuk menjadi 'asistennya' saat jam pembelajaran olahraga. Tentu saja karena Zyan adalah murid yang selalu menuruti perintah Pak Bambang. Zyan selalu memperhatikan penjelasan Pak Bambang dengan baik. Hingga saat penilaian praktik, gadis itu selalu berhasil mendapatkan nilai tertinggi.

"ZYAN!"

Zyan menoleh saat merasa namanya diserukan. Ia mendapati Kenzo dan Mares yang tengah berdiri di tengah lapangan sembari melambaikan tangan mereka.

"APAAN?!" tanya Zyan balas berseru.

"AYO MAIN BASKET SAMA KITA!" seru Mares.

"GUE TAHU LO BISA MAIN BASKET!" seru Kenzo, menyahut.

"IYA! AYO BURUAN! SEBELUM PAK BAMBANG DATENG!" seru Mares, menimpali.

Zyan mengangguk tanda setuju. Ia membenarkan tali sepatunya yang terlepas terlebih dahulu sebelum menghampiri kedua teman laki-lakinya itu.

Brukk

"Eh! Maaf gue gak sengaja," ujar Zyan saat tidak sengaja menabrak seseorang. Ia mendongak dan mendapati Arthur. Zyan dan Arthur sama-sama menunjukkan raut wajah terkejut mereka.

"Sorry," ujar Zyan sekali lagi sebelum meninggalkan Arthur dan menghampiri Kenzo serta Mares.

Zyan tiba di tengah lapangan. Kenzo segera saja melemparkan bola basket ke arah Zyan. Gadis itu berlari dari tengah lapangan sembari menggiring bola. Ia menembak bola dari luar garis dan masuk.

"WAH GILA! THREE POINT!" seru Mares tidak percaya.

"PINTER BASKET JUGA LO, YA?!" sahut Kenzo dengan berseru.

"MAKANYA, JANGAN PERNAH NGEREMEHIN ZYAN ARANA!" seru Zyan.

"IYAIN BIAR FAST!" seru Kenzo dan Mares serempak.

Kini tiba saatnya Kenzo untuk mengambil jatah gilirannya. Ia melakukan hal yang sama seperti Zyan, tetapi bolanya meleset. Berlanjut dengan Mares. Lelaki itu berhasil menembak bola tepat ke arah keranjang, tetapi bolanya terpantul oleh besi yang berada di pinggir keranjang sehingga bola tersebut tidak masuk.

Teman sekelas mereka menatap kagum ketiganya. Bagaimana tidak? Ketiganya jika berada di kelas terkenal dengan julukan trouble maker, pembuat masalah. Baik Zyan, Kenzo, dan Mares seringkali membuat suasana kelas menjadi gaduh. Ketiganya juga sama-sama para penduduk bangku kelas bagian belakang, yang dimana jika ada siswa siswi yang duduk pada bangku kelas bagian belakang akan dicap sebagai murid yang antara niat dan tidak niat untuk sekolah.

Sedangkan sekarang? Lihatlah! Bahkan ketiganya bermain bersama dengan akur. Mereka tampak sesekali tertawa bersama. Benar-benar fenomena yang sangat langka.

Tidak ada pemandangan Zyan, Kenzo, dan Mares yang tengah bertengkar meributkan sesuatu. Melainkan hanya pemandangan Zyan, Kenzo, dan Mares yang tengah bermain bola basket bersama dengan akur.

Teman sekelas mereka pun akhirnya bisa bernapas lega karena tiga serangkai itu akhirnya bisa berdamai meski hanya sejenak. Tidak tahu apakah nanti akan kembali bertengkar atau tidak.

***

Navier sedang berada di tepi jalan. Bel tanda selesainya pembelajaran hari ini telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Ia baru keluar dari area sekolah karena baru saja menyelesaikan tugas piketnya.

Navier menoleh ke kanan dan kiri. Mengamati jalan agar tahu kapan ia harus mulai menjalankan sepeda gunung miliknya. Jalanan siang ini cukup padat. Banyak sekali kendaraan yang berlalu-lalang.

Namun, di saat ia hendak mengayuh sepedanya, Navier mendapati seseorang yang tampak tidak asing olehnya. Seseorang itu tepat berada di seberang jalan. Terduduk di tepi trotoar sembari menunggu ada kendaraan umum yang lewat.

"AZELA!"

Seseorang itu menoleh. Dan tepat sesuai tebakan Navier. Seseorang yang berada di seberang jalan itu adalah Azela, teman sekaligus adik iparnya.

Navier menyeberang saat jalanan sedang kosong. Lelaki itu menghampiri Azela yang tengah tersenyum lebar melihat kehadiran Navier.

"Dewi Fortuna gue akhirnya dateng," ujar Azela. Ia merasa senang bukan main saat melihat Navier. Ia pikir ia harus menggunakan kendaraan umum hari ini untuk pulang.

"Gue cowok! Ya, kali gue dikatain dewi," ujar Navier merasa sedikit tidak terima.

"Just kidding," ujar Azela sembari mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan. Simbol akan perdamaian. "Anterin gue pulang dong, Nav," lanjutnya.

"Abang lo kemana emang?" tanya Navier.

"Bang Rangga lagi jemput Viusa, Refan, sama Kak Viona. Jadi, dia gak bisa jemput gue," jawab Azela.

Navier menghembuskan napas panjang. Lagi-lagi Rangga! Apakah pria itu tidak cukup membuatnya kesal setengah mati tadi pagi karena harus mengantar perempuan paling menyebalkan yang pernah ia kenal? Dan sekarang ia harus mengantar Azela pulang. Masalahnya bukan terdapat pada Azela. Melainkan Rangga. Enak saja pria itu memberikan tugas antar-jemputnya dengan cuma-cuma pada dirinya!

"Ya, udah. Buruan naik!" ujar Navier. Azela bersorak kecil karena senang. Ia segera saja naik ke atas benda berbentuk silinder yang menjadi tempat untuk penumpang sepeda.

"Pegangan!" titah Navier.

"Iya-iya," ujar Azela sembari meletakkan tangannya di atas pundak Navier.

Navier menjalankan sepedanya. Dalam hati ia sedang berusaha mengusir rasa itu. Rasa yang tumbuh dalam hati kecilnya selama tiga tahun terakhir ini.

Bagaimana mungkin Navier bisa dengan mudahnya menerima kenyataan bahwa gadis yang sangat ia kagumi sejak dulu merupakan bagian dari keluarganya? Hal itu seakan-akan membuat Navier dipaksa untuk berhenti tanpa memulai.

Bahkan jika boleh jujur, Navier belum sepenuhnya menganggap Azela sebagai adik iparnya. Azela masih menjadi perempuan yang menempati posisi istimewa di hatinya setelah sang Ibu.

Dan satu hal lagi yang membuat Navier harus berhenti tanpa memulai. Perbedaan keyakinan yang ia miliki dengan yang Azela miliki. Dirinya seorang muslim dan Azela seorang katolik. Kakak iparnya, Rangga, dulunya juga seorang katolik. Namun, setelah ia memantapkan hati untuk menjadi pendamping hidup Viona, ia memutuskan untuk menjadi seorang mualaf.

Lupakan! Mengingat hal tersebut hanya membuat Navier merasa hidupnya tidak adil. Padahal Tuhan telah memberikan segala kenikmatan untuknya.

***

"Assalamualaikum, Ayah," ujar Zyan memberi salam. Tepat di hadapannya telah terdapat sebuah pusara dengan dinding keramik berwarna hitam.


ARANO DANUTAMA

Itulah nama yang tercantum pada nissan. Sosok pahlawan yang sebenarnya dalam hidup Zyan.

Zyan menatap satu lagi pusara yang terdapat di sebelah pusara pertama. Dinding keramiknya senada dengan dinding keramik pusara pertama, hitam. Hanya saja pusara yang satu ini berukuran lebih kecil.


XIAM ARANO PUTRANDARA


"Hai, Xiam. Apa kabar?" tanya Zyan yang lebih tepatnya bergumam. Gadis itu menunjukkan senyum palsunya. Ia sedang menguatkan diri saat butiran bening lolos dari pelupuk matanya.

Zyan terduduk diantara dua pusara tersebut. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolahnya. Terdapat keranjang rotan kecil yang ia bawa pada tangan kanannya. Keranjang rotan kecil itu berisi berbagai jenis warna bunga mawar. Ada merah, putih, dan merah muda.

Zyan menaburkan bunga tersebut di atas kedua pusara secara bergantian. Tak lupa ia juga menuangkan air dalam botol kaca yang sudah ia bawa tadi.

"Ayah, Xiam, Zyan kangen banget sama kalian," ujar Zyan dalam gumaman. Matanya sembab. Pandangan gadis itu terfokus pada dua nissan di hadapannya.

"Zyan boleh, kan cerita sama kalian?" ujar Zyan lagi.

"Zyan lagi dihukum sama Bunda karena Zyan pulangnya di atas batas waktu yang udah Bunda tentuin. Zyan dihukum buat urusin semua keperluan Zyan sendiri selama satu minggu ke depan."

"Zyan sedih karena Bunda gak mau dengerin penjelasan Zyan. Coba aja Bunda mau dengerin penjelasan Zyan. Pasti Zyan gak bakal kena hukuman kaya gini."

"Ayah, Xiam, sebenernya Bunda masih sayang gak sih sama Zyan? Semenjak Ayah sama Xiam pergi dan Bunda menikah sama Papa, sikap Bunda berubah. Bunda jadi lebih sibuk sama kerjaan yang dia punya. Bunda juga udah jarang masak makanan di rumah. Padahal kalo boleh jujur Zyan kangen makan makanan buat Bunda."

"Bunda juga kelihatannya lebih sayang sama Kak Vyas daripada sama Zyan. Bunda kayanya bangga banget punya anak berprestasi dan terkenal kaya Kak Vyas."

"Jelaslah Bunda bangga sama Kak Vyas. Gimana gak bangga? Kak Vyas itu udah cantik, tinggi, putih, pinter lagi dari kecil. Seorang atlet basket terkenal yang jelas-jelas bakal dapat dukungan penuh dari keluarga. Model majalah remaja yang lagi jadi trend anak muda. Bahasa inggrisnya juga bagus. Temannya banyak."

"Setiap Kak Vyas lagi ada pertandingan, Bunda selalu sempetin waktu buat lihat pertandingannya. Sedangkan waktu Zyan ikut lomba menulis cerita atau cerpen, Zyan lakukan semuanya sendiri. Mulai dari daftar, daftar ulang, ikut lomba, sampai pengumuman hasil. Bunda bahkan gak pernah tanya gimana hasil lomba menulis Zyan. Tapi, giliran Kak Vyas jadi pemenang atas pertandingannya, Bunda langsung foto bareng Kak Vyas, terus diliatin ke satu keluarga besar sambil bangga-banggain Kak Vyas."

"Zyan capek, Ayah, Xiam. Zyan cuma pengen jadi orang biasa. Tapi, nama keluarga kita yang udah terpandang sebagai keluarga olahragawan ngebuat Zyan mau gak mau harus ikut melanjutkan perjalanan kalian-kalian sebagai generasi penerus. Bunda juga nuntut Zyan supaya bisa selalu lolos seleksi olimpiade matematika. Padahal Bunda tahu sendiri Zyan sama sekali gak suka matematika dari kecil."

"Setiap ada orang yang tanya Zyan ini anak siapa, Zyan jawab kalo Zyan ini anak Ayah sama Bunda. Orang-orang yang denger jawaban Zyan pasti langsung ngira kalo Zyan ini juga seorang olahragawan. Sama kaya Ayah, Bunda, Kakak, Xiam, Kakek, Nenek, Om, Tante, dan semua saudara Zyan."

Zyan mengusap air matanya dengan kasar. Tubuhnya bergetar hebat karena menahan tangisannya agar tidak sampai terisak. Suasana pemakaman yang cukup sepi memberikan kesempatan bagi Zyan untuk melepaskan semua beban yang ia tanggung sendirian.

"Zyan cuma pengen ngebuat kalian bangga sama Zyan lewat jalan Zyan sendiri. Bahkan sampai Zyan udah SMA, Zyan belum bisa bikin Ayah dan Bunda bangga punya anak kaya Zyan. Belum bisa bikin Kak Vyas bangga punya adik kaya Zyan. Belum bisa bikin Xiam bangga punya kakak kaya Zyan. Dan belum bisa bikin keluarga bangga punya anggota kaya Zyan."

"Dulu, yang selalu bisa ngertiin Zyan cuma Ayah sama Xiam. Kalian berdua selalu nemenin Zyan kalo lagi nulis. Nemenin Zyan kalo lagi ngegambar. Nemenin Zyan kalo lagi main musik. Dan selalu nemenin Zyan disaat Zyan lagi menghabiskan waktu dengan berbagai hal yang berbau seni."

"Tapi sekarang? Siapa yang bakal nemenin Zyan? Ayah sama Xiam udah pergi ninggalin Zyan buat selamanya. Bunda sama Kak Vyas gak mungkin nemenin dan ngertiin Zyan. Papa apalagi, dia justru gak tau apa bakat, minat, dan kelebihan Zyan."

Angin berhembus cukup kencang. Hal itu berhasil menerbangkan beberapa anak rambut Zyan yang terlepas dari ikatan.

Zyan melirik jam tangan hitam yang melingkar manis di tangan kanannya. Waktu telah menunjukkan sore hari. Zyan lantas berdiri. Kakinya sedikit kebas karena terlalu lama berjongkok.

"Ayah, Xiam, Zyan pulang, ya? Udah sore soalnya. Besok-besok Zyan janji bakal ke sini lagi kok," ujar Zyan sembari menatap nissan ayah dan adiknya. Ia tersenyum saat beberapa kenangan bersama keduanya berebut masuk ke dalam memori otak Zyan.

"Assalamualaikum, Ayah, Xiam."


CANDRAWULAN


Hola!

Tinggalkan jejak sebagai bukti bahwa kalian telah membaca bagian ini dengan pemberian vote + komen, biar gak sider.

Maafkan bila terjadi kesalahan dalam penulisan.

Keep reading CANDRAWULAN until the end.

Thanks and see you 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top