Tujuh Belas ☁️ Naik Kereta Api Tut Tut Tut!

Note:

Sebelum kalian scroll, alangkah baiknya baca bismillah dulu.

Kalau mata Anda sliwer abis baca part ini dan seterusnya, jangan salahkan saia '-')/ sebab diriku tak bisa ngetik teenfict yang baik dan benar.

Oh, ayo dong komen, biar saia semangat dan mau terus ngetik sampe tamat✨

Aku terbangun saat matahari tak tampak lagi dan gemericik air memenuhi pendengaranku. Oh, tidak. Ini belum malam. Mataku sempat melirik jam digital di sisi terdepan bis melewati puluhan kepala, masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Rasa hangat mendadak melingkupi tubuhku dalam balutan jaket pastel yang kubawa dari rumah. Astaga enak banget, aku tak mau bergerak, terlanjur nyaman dengan posisi meringkuk di ujung tempat duduk.

"Masih belum bangun, eh?" Tempat kepalaku bersandar bergerak pelan.

Detik itu pula aku terlonjak kaget, lekas-lekas mendempet dinding bis di sebelah kananku. "SORI!" pekikku panik, tak begitu kencang sebab aku masih ingat kalau di bis ada banyak orang. Aduh! Bisa-bisanya aku enggak sadar itu bahu kanannya!

Dala masih di posisi duduknya yang normal, sambil menyungging senyum tipisnya. "Dua jam lho, Nad. Pegel leherku," lirihnya. "Sini, gantian!"

"Ogah!" Kubenahi diriku dan duduk seperti biasa lagi, lantas bersedekap. Tampaknya bukan aku saja yang terlelap sedari tadi. Abidine, Taufan, Bila, bahkan Pak Faruq juga tertunduk-tunduk. Sepupuku dan ketua kelas bahkan berpelukan di ujung sana, berbagi sarung dan earphone masing-masing di satu telinga.

Jalanan mulus, kusingkap tirai bis, mengintip keadaan di luar jendela, dan memang benar kami sudah di ujung tol.

"Hih, sini woi." Dala menarik bahuku agar mendekat dan menjadikannya sandaran kepala. "Bentar doang. Gor-nya udah deket."

Rasanya seperti mengemban dosa akhirat. "Kau sering ke sini, 'kan?"

Kepalanya bergerak di bahu kiriku. "Begitu keluar dari tol, Rumah Anakku bakal keliatan." Wangi parfumnya menyapa hidungku perlahan. Ah, bau cowok.

Selebihnya, aku memutuskan diam dan membiarkan Dala lelap sejenak. Pikiranku masih separuh bertahan di alam mimpi, dan mungkin lima belas menit pertama kuhabiskan untuk bengong tanpa berbuat apa-apa. Menit selanjutnya, barulah aku ikut meletakkan kepala di puncak kepala Dala.

"Kok kau ikutan tidur pula?" Tubuhnya miring ke arahku sambil melepas sepatu dan menaikkan kakinya ke posisi jongkok.

"Anget," jawabku.

:.:.:

Semuanya berjalan lancar. Kami turun di depan Gor kala awan gelap menyingkir. Pak Faruq memastikan tidak ada salah satu dari kami yang tercecer atau diculik om-om ibu kota. Pertandingan akan dimulai jam satu siang. Masih ada beberapa jam untuk kami foto-foto dan mencari jajan sebelum membeli tiket.

Bila, seperti biasa merebutku saat Pak Faruq menawari Abi dan diriku untuk ikut dengannya ke salah satu stan. "Saya duluan yang sama Nadir!" Gadis itu kemudian mengibaskan rambutnya sok sombong sebelum menarikku masuk kerumunan.

Tidak hanya SMA kami dan sekolah lawan saja yang berkeliaran di sini. Ada banyak orang-orang lain yang penasaran dan ikut menonton pertandingan. Itu sebabnya banyak pedang kaki lima yang berjejer di trotoar dan halaman depan Gor.

Seharusnya DBL bisa dilakukan di kota kami saja, tetapi lapangan kota sedang dalam masa perbaikan dan blablablabla yang tidak aku paham mengapa sampai dipindahkan acaranya ke Jakarta.

Setengah jam berkeliling mencekal es teh, Bila mengajakku kembali ke tempat berkumpul. Untungnya, penyakit aneh yang suka muncul tiba-tiba seperti tadi pagi tidak keluar lagi.

"Kau kudu maafan sama Pak Faruq, lho, Bil," kataku tatkala Bila memutar arah demi menghindari wali kelas kami. Atau jangan-jangan dia naksir sama Pak Faruq?! Modelan Sugar Daddy?! "L-lagian itu kekanak-kanakan. Masa cuma rolling tempat duduk, segitu marahnya kau sama Pak Faruq?"

Gadis di depanku mendengkus. "Ga mau. Nanti aja pankapan. Nggak mood aku."

Mungkin pikiranku sedikit berlebihan. Bila hanya sedang PMS dan hormonnya tidak stabil. "Dasar cewek," cibirku, mengambil alih tangannya dan kembali ke barisan kelas meski Bila mencak-mencak tidak jelas.

"Idih, nggak ngaca—kau juga cewek!" serunya tak terima. "Terus kau sama dia apa? Frienzone?" Bibir merah Bila cemberut, mengembungkan pipi.

Lho, kok dia jadi ikut marah denganku? "Dia siapa pula, bah?"

"Candala, lah! Siapa lagi?" Ditunjuknya yang punya nama sambil mendelik tak senang hati. "PDKT aja terus sampe mampus—"

Abidine segera menutup mulut temannya itu dengan telapak tangan sebab sadar kami masih di dekat wali kelas. "Maaf, Pak. Bila emang gini kalo PMS—bawaannya kayak kesurupan cempe."

Yang tadi ditunjuk rupanya tak ambil pusing. Candala hanya mengangkat bahunya sambil makan kerak telor di sebelah Taufan. Dilihat dari mukanya pun semua orang bakal tahu—mungkin hanya aku—kalau anak itu sungguh tak peduli dan malas menimpali alih-alih tersipu malu.

Ini tidak seburuk yang kupikirkan sebelumnya. Meski udara Jakarta sedikit berbeda dari pekarangan rumahku, aku baik-baik saja dengan keramaian. Bila memang masih merajuk, tetapi setelah disogok batagor oleh Abidine, gadis itu duduk anteng di sebelah Taufan. Moodnya membaik setelah kami membeli tiket dan masuk Gor.

Aku bingung harus mengategorikan pemandangan ini sebagai zina atau cuci mata. Kalian tahu, 'kan, kalau pemain basket itu seperti apa wujudnya? Nah, baru kali ini kami melihat Giam dengan pesonanya di tengah lapangan. Seragam basket merah biru SMA kami tampak cocok di badannya.

Sejak awal aku sudah bisa menebak SMA kami yang bakal menang. Dala bahkan berani bertaruh kalau SMA lawan yang menang, dia akan mentraktirku eskrim sepuasnya. Nah, biar kuberi tahu bagaimana cara kami mengetahui hal tersebut.

Pertama, sejak dua tim memasuki lapangan, ketua tim SMA kami sudah memberi aura angkuh yang dapat mengintimidasi lawan. Itu menjadi kerugian mental bagi sekolah lawan. Kedua—aku tidak tahu ini sesuatu yang harus dibanggakan atau tidak—, muka-muka tim basket kami lebih sangar atau malah terkesan ngajak gelut. Untuk ukuran besar tubuh, kedua sekolah sama saja, jadi tidak ada yang bisa diambil dari sana.

Kenapa aku dan Dala yang mengetahui itu? Karena kami sering berkomunikasi dengan mimik wajah. Jadi, membaca air muka mereka semua adalah sesuatu yang lebih mudah daripada menyelesaikan soal probabilitas.

Terbukti, dua puluh menit pertama, SMA kami sudah mencetak skor dua kali lebih banyak dari SMA lawan. Di menit-menit terakhir yang mendebarkan, saat semua orang fokus bersorak-sorai atau mendadak menjadi suporter macam Abi, Dala menarikku keluar dari kerumunan.

"SMA kita bakal menang, dah lah." Dala terus mencengkeram erat pergelangan tanganku agar tak hilang melewati celah-celah lautan manusia.

Bukan masalah, sih. Aku juga tak begitu menyukai pertandingan olahraga, yang penting sudah liat Giam berkelit, lompat-lompat, dan mendadak jadi keren di tengah lapangan.

Langsung kuambil napas dalam begitu kami keluar dari deretan kursi penonton. "Jadi, mau ke mana ini?"

:.:.:

Dala gila.

Rambut panjangku berpilin ke mana-mana mengikuti arus udara. Poni bahkan tak tahu lagi bagaimana jabriknya. Kucengkeram kuat-kuat lekukan besi meski di belakang, temanku yang tidak waras sedang melingkarkan tangannya sehingga aku tak mungkin jatuh. Namun, tetap saja.

Candala gila!

"Ini ilegal, La'!" jeritku memejamkan mata, gemetaran di belakang gerbong kereta.

Anak itu menjawab sesuatu, tetapi aku tak mampu mendengarnya sebab berisik suara besi-besi dari rel kereta. Sungguh, hari masih siang, kami keringatan di bawah terik matahari, dan sekarang aku sedikit emosi.

Sadar bahwa aku tak menjawab perkataannya, Dala mengulangi lagi. "Biar cepet sampe, Nad! Nanti kita turun—"

"Matamu!" hardikku. "Aku nggak mau mati muda, Bung, di kota perantauan pula! Apa kata ayahku nanti?"

"Anak perempuannya nekat—hei, kau bisa berdiri sendiri. Kita nggak lagi manjat gerbong, ada pengaman besi, kau nggak perlu megangin jendela mulu."

Meski dia benar, bahwa kami berada di gerbong paling belakang yang memiliki pagar besi melingkar setinggi setengah meter, tetapi tetap saja aku takut terjungkal lalu mati dengan cara yang tidak etis. Bahuku gemetaran sendiri, memeluk bingkai jendela. Jaket pastel kuningku bergerak-gerak ditiup angin, dan beruntung aku menggunakan celana panjang.

Candala berhenti memegangi satu sisi lenganku, tubuhnya merosot dan duduk di sebelah kakiku. "Maaf udah ngajak kau naik beginian," katanya menyesal. Anak itu menunduk di antara celah kedua lutut yang ditekuk.

"Udah sampe sini, baru sekarang kau nyesel?" dengkusku tidak terima. "Yah, mau gimana lagi. Udah terlanjur—tapi nanti kita pulang harus pake cara normal."

Dala tetap terdiam di tempat. "Gimana kalo ayahku nggak ada?" desisnya, terdengar patah semangat sekali anak ini. "Aku cuma ingat mukanya enam belas tahun lalu."

Perlahan, aku ikut berjongkok di sebelahnya, tanpa melepaskan tubuh dari sisi gerbong. Punggungku langsung mendempet pintu kereta saat sudah berhasil duduk dengan benar. Sumpah jantungku deg-degan! Apalagi saat melihat jalanan berlalu mundur.

"Mukanya pasti nggak jauh beda," kataku mengatur napas. "Jadi kita ke Rumah Anak dulu buat lihat di mana ayahmu tinggal?"

Yang kutanyai menggeleng. "Kita langsung ke rumahnya."

Eh? Serius? Ingatan anak ini setajam apa, sih? Kelebihannya adalah sesuatu yang langka, hanya sedikit orang yang bisa mengingat dengan jelas runtutan hidupnya dari pertama dilahirkan.

Aku sempat meragukan Dala. Bagaimana kalau dia hanya berhalusinasi dan semua ingatannya adalah bentuk amnesia disosiatif? Namun, demi dirinya yang sudah menemaniku akhir-akhir ini, mungkin tidak apa menemaninya balik. Anggap saja jalan-jalan.

Lima belas menit kemudian, kereta berhenti. Barulah aku bisa tenang dan memasuki gerbong kereta agar bisa turun dengan waras. Ada rasa bersalah di dadaku lantaran kami menumpang kereta tanpa membeli tiket, tetapi memang tidak ada yang menyadarinya. Tadi aku dan Dala masuk ke stasiun lewat gerbang belakang, kemudian berlari mengejar gerbong paling belakang sebelum melewati peron supaya tidak ketahuan petugas.

Di antara kerumunan manusia yang berdesakan turun dari gerbong, tak ada satu pun yang sadar—bahwa kami adalah penyusup kecil. Namun, tidak begitu dengan gadis berambut cokelat kuncir kuda, berseragam almamater abu-abu gelap dan rok selutut—belum pernah kulihat sebelumnya. Tatapannya seakan memelas padaku sebelum ditarik oleh dua lelaki lain. Dia terus melihatku sembari menggeret koper pink-nya sampai kami berpisah di arah berbeda.

Aku menoleh sejenak, menatap langkahku dan Candala di peron abu-abu kusam bergaris kuning. Hatiku gusar. Tak berlangsung lama, sebab kepala ini tak bisa menahan diri untuk tidak menoleh dan mendapati gadis tadi memberiku kode berupa gestur tangan horizontal di depan bibir.

Ini tidak benar. Gadis itu menyembunyikan sesuatu. Tapi kenapa aku? Atau dia tahu kami menyusup? Tapi kok dia bakal tutup mulut?

Kami berjalan kaki kemudian. Aku merasa seperti anak hilang karena sebelum ini belum pernah sekalipun bepergian tanpa orang tua. Terus kupelototi punggung Dala, takut tiba-tiba hilang dan tersesat tanpa bisa kembali. Skenario terburuknya adalah kami ketinggalan bis malam nanti dan tidak bisa pulang.

"Ayo, Nad. Jangan ngilang." Dala menarik tali tas ranselku.

Dan perjalanan kami dimulai.

Ada banyak tempat yang kami lewati. Sesekali Candala membuka mulut, memberi tahuku satu dua hal tentang lokasi kami. Namun, ternyata Nadir tetaplah Nadir yang pelupa. Bukan hanya nama orang, tetapi apa yang dianggapnya tidak penting, seperti pemandangan barusan. Semua ini hanya kunikmati sejenak untuk seterusnya dilupakan.

Dulu, saat aku masih singgah di taman kanak-kanak, ayah pernah membawaku ke Jakarta untuk liburan dan hadiah dari kantornya. Mungkin itu Jakarta daerah lain, sebab aku tak mengingat semua tempat ini—atau aku yang pelupa sejak dini. Satu yang kurekam jelas di kepala, kota ini adalah sarang penjahat. Entah perampok, pembunuhan, ekspor impor ilegal, sampai penculikan.

"Nad?" tegurnya seraya menyodorkan botol. "Mikirin apa?"

Hanya gelengan yang kuberi padanya setelah menerima minum. Pikiranku kali ini bukanlah hal penting. Biarkan Dala fokus pada pencarian ayahnya dulu, atau setidaknya biarkan anak itu duduk tenang di salah satu bangku beratap dedaunan rindang tepi jalan.

Dala menghela napasnya pelan, terdengar lelah dan lega di saat bersamaan. "Semakin dekat, semakin kutahan langkahku ke sana. Aku ragu kalo tiba-tiba ayah nolak anaknya sendiri."

Sepintas aku meliriknya mendongak. Duduk berdua dengannya selalu membuatku tenang sejenak, lantas depresi kemudian—iya, memang selalu begitu kenyataannya.

"Tapi kalo nggak kau coba," kataku, "kau nggak bakal tau, 'kan?" Saku depan jaketku bergetar. Kurogoh isi di dalamnya dan mendapati Bila memanggil.

Ragu-ragu, aku menoleh pada Dala. Dia juga terdiam menatap ponsel di tanganku dengan wajah terkejut. Pikiran kami sama; kalau aku mengangkatnya, nanti Bila tahu kami kabur diam-diam, tetapi kalau tidak diangkat, nanti yang lain akan mencari kami pakai poster anak hilang.

Mau tidak mau, ketimbang wajahku masuk berita, kuangkat saja telponnya dan menghidupkan speaker sehingga Dala juga bisa mendengarkan. "Kenapa, Bil?"

"Kau di mana, bah?" Suara itu kudengar samar-samar di tengah latar belakang keributan Gor. Pertandingan mungkin sudah selesai, atau ada ronde dua lagi, aku tidak tahu.

Dala mengibaskan tangannya horizontal di depan leher berkali-kali. "Bilang lagi di toilet!" katanya tanpa suara.

"Kebelet, Bil. Kenapa?"

Beberapa detik, suaranya seakan lenyap ditelan kerumunan. "Hah?! Ya, kok ada suara mobil?!" teriaknya berusaha mengalahkan keributan di seberang sana.

Lelaki di sebelahku menepuk jidatnya keras-keras. "Bilang, lagi beli minum sama aku."

"Hooh," kataku canggung, "sekalian keluar bentar, beli minum sama Dala. Mau titip?" Aku tidak berbohong. Kami memang keluar dan membeli minum, oke?

"Thai tea! Bentar," suaranya sedikit menjauh dari mikrofon. "Pan, Abi! Mau nitip minum sekalian gak? Oh, Nadir! Samain aja kita bertiga! Makasi, cepet balik! Jangan bucin mulu!"

Kalimat terakhirnya membuatku mengangkat kepala dan menoleh pada orang yang sama-sama melihatku. Mata kami bertemu sebentar, sebelum aku sadar itu salah satu perbuatan dosa.

Usai membuang wajah, aku mengangguk patah-patah. "I-iya." Pipiku rasanya hangat!

Panggilan ditutup sepihak dari Bila, dan kami dilanda keheningan yang menyiksa sebab malu. Kuhitung, beberapa menit terasa sangat lambat berjalan, dan tak satu pun dari kami yang membuka suara.

Kalau sudah begini, aku jadi takut ngapa-ngapain!

Gertakan kursi yang menyadarkan lamunanku untuk menoleh dan mendongak, mendapati Dala berdiri. Dia mengangguk tanpa melihatku, lantas berjalan lebih dulu. Tanpa disuruh dengan kata-kata, aku tahu Dala ingin aku mengikutinya lagi.

Terkutuklah masa remaja yang merepotkan ini!

Hari benar-benar masih panas. Awan-awan buyar membubarkan diri dari langit yang menaungi kami. Polutan Jakarta sungguhan membuat suhu terasa dua kali lipat dari kota kami—ini hiperbola, mungkin suhunya hanya naik satu sampai dua saja.

Sepanjang perjalanan di atas trotoar hitam putih, yang kupandang hanya punggung Dala berlapis kemeja navy. Ketika anak itu berbelok di jalan kecil, barulah dia meraih ujung jaketku ke sisinya.

"Jangan hilang, di sini banyak om-om," lirihnya, dan lelaki itu masih belum mau melihat mataku.

Aku pasrah saja ditarik-tarik, berbelok melewati tikungan-tikungan menuju perkampungan yang lebih asri. "Kau yakin di sini tempatnya?" tanyaku selepas melirik jalan bata di depan.

Banyak anak-anak cowok di sana, yang naik di atas motornya sambil mengangkang, yang rambutnya kuning-kuning Jawa Metal. Dari tampangnya saja sudah terlihat jelas mereka bagaimana. Dengan asap mengepul dan celana sobek-sobek kurang kain.

Tanpa sadar aku meraih telapak Dala dan meremasnya kuat-kuat. Ini berbeda dari Yoga serta antek-anteknya yang sudah jelas bodoh. Kali ini aku berada di kota orang, kalau dikejar aku tak tahu harus pergi sembunyi ke mana. Lagi, tidak ada kenalan di sini yang bakal kebetulan lewat dan membantu.

"Bakal jauh kalo muter." Dia terdiam sejenak, berpikir sambil memperlambat langkahnya sebelum mendekat pada anak-anak tidak beres itu. "Trobos aja, Nad. Nanggung, dikit lagi sampe."

Kurasakan telapaknya membalas genggamanku intens. Bedanya, hanya aku yang gemetaran, sementara tangannya begitu besar dan kuat seperti biasa.

Apapun itu, kami benar-benar maju. Berkali-kali kuyakinkan kalau tidak bakal ada salah satu dari jamet itu yang menghadang. Kupasang wajah sedatar mungkin, seperti biasa kuperlihatkan pada dunia sebelum mengenal Candala.

"Mau ke mana, nih?"

Mampus!

Yang badannya paling bongsor menghadang jalan. Tingginya sedikit melampauiku sehingga perlu mendongak. Wajahnya sangar, berbintik pipi dan kusam keabu-abuan. Perlu kuakui wajahnya paling mulus di antara temannya yang lain, tanpa jerawat, hanya pipi chubby.

Dala diam saja, seperti sebelum-sebelumnya kala menghadapi orang lain. Manik gelapnya menatap tajam pada si bongsor, kemudian melirik jalanan di belakang lemaknya.

"Bayar biaya nyebrang jembatan dulu, cantik." Laki-laki di sisi satunya menimpali, menatapku dari atas sampai bawah.

Tak bisa kubohongi, dia memang tampan—bahkan lebih dari Candala. Tinggi dan suaranya membuatku merinding sendiri. Jaketnya kumal, jemarinya berplester di sana-sini.

Kudekap tas ranselku erat-erat, memindahkannya dari punggung ke depan dada dengan sebelah tangan.

"Jutek banget, Non?" cengir salah satunya lagi menghampiri kami. "Wah, cowoknya diem aja, nih? Ceweknya buat kita boleh, nggak?" Orang itu, yang telinganya ditindik macam durian, meraih pundakku dan berbisik di antara telingaku dan Dala.

Bogem mentah diterimanya setelah itu. Dala melayangkan tinjunya telak di tulang lunak hidung cowok tadi. "Awas kau pegang-pegang!" ancamnya galak, kemudian menoleh lagi ke depan, di mana si Bongsor masih berdiri tegap. "Minggir."

Di belakang, huru-hara mulai meledak. Percayalah, aku tidak mengharapkan pertarungan elit macam di film teenfict, tetapi Candala melakukannya.

Terhitung enam jamet mengepung kami. Salah satunya sudah tersungkur di belakang seraya memegangi hidungnya yang berdarah—oh sungguh, ternyata hidung memang sasaran empuk semua bogem. Tersisa lima termasuk si Bongsor yang tebal.

Dala menyembunyikanku di balik punggungnya, mengambil kuda-kuda kokoh. Sejenak aku lupa kalau dia pintar bela diri sejak masuk Rumah Anak. Meski perawakannya kurus tinggi macam anak kurang gizi, tenaga anak itu lebih dari cukup untuk membanting dua laki-laki sekaligus di hadapannya sampai berdarah dan tersungkur di dekat jamet yang hidungnya patah.

Tiga temannya yang lain bergidik ngeri, tetapi masih tak jera atau bergeser sedikit pun memberi kami jalan.

"Nggak sayang badan," desis Candala seraya memutar tumitnya dan menendang dua kepala yang tadi sempat dia banting. "Muka doang serem," decihnya garang, "minggir!"

Cukup sepi di sini untuk mengundang keributan, takkan ada yang datang. Pun seseorang lewat, pasti akan memilih pergi ketimbang ikut babak-belur. Sebab sepi itu pula, telingaku dapat dengan jelas menangkap suara knalpot motor gede, jauh dari belakang kami.

Candala juga menyadarinya, rahangnya bergemeletuk. "Sial." Anak itu mengambil ancang-ancang, menendang dua kepala orang kurus yang lainnya dengan tendangan atas tepat di ubun-ubun.

Luluhlah dua jamet itu, memegangi kepalanya. Aku bahkan meringis mendengar bunyi hantamannya yang tidak main-main. Hanya tersisa si bongsor saja, matanya gemetaran melihat Dala menyeka peluh di leher.

"Kau tau? Orang gemuk lebih mudah patah tulang karena timbunan lemaknya," kataku, maju melewati Candala dan melakukan tendangan 'perusak masa depan negara' sekuat yang kubisa.

Si bongsor ambruk di tengah jalan, sempat kulihat wajahnya meringis menggigit bibir. Sebentar saja kunikmati pemandangan itu, kemudian menarik Dala cepat-cepat melompatinya dan lari menjauh dari gerombolan motor yang datang.

"Nad—"

"Kenapa?!" jawabku di sela senggalan napas. "Kau ngilu juga liat yang tadi? Cuma gegara kalian sama-sama cowok—eh, belok sana dulu!"

Di tengah padatnya pemukiman penduduk setengah kumuh, kami berlarian diiringi gaungan knalpot seram. Mereka mengejar kami, salah satu jamet—yang hidungnya patah tadi—mungkin menelpon atasannya, atau bagaimana aku tak begitu paham.

Kutarik Candala ke celah sempit bagian belakang rumah warga. Di balik tanaman pucuk merah, tertutup papan-papan kumuh, tersembunyi dari jalanan kecil tepi sungai kotor kecokelatan. Kami berhipitan, menahan napas agar tubuh muat di antara dua dinding.

Kini, aku yakin Dala bisa mendengar degup jantungku menjerit. Bertemu hantu mungkin bisa kusangkal dengan penjelasan ilmiah, tetapi beda cerita kalau dikejar-kejar makhluk yang nyata di depan mata!

Sembari menunggu motor-motor itu lewat, kami mengatur napas dan sebisa mungkin tetap tak bersuara. Kulupakan jaketku yang kotor terkena serpihan dinding keropos dan beberapa jaring laba-laba.

"Gila," keluh Dala mengusap peluh di pelipis. Rambutnya jadi lepek turun ke bawah. "Mereka maunya apa, sih?"

Mana kutahu!

Waktu berlalu, mungkin sekitar sepuluh menit kami harus menempelkan punggung di dinding bata minim semen yang kasar. Mereka seharusnya sudah lewat dan jauh dari sini. Dirasanya aman, Candala merayap duluan keluar diikuti adzan ashar berkumandang.

Kuregangkan tubuhku begitu keluar dari himpitan tembok. "Masih jauh?" tanyaku ikutan celingukan kanan-kiri, siapa tahu beberapa dari mereka masih mengintai.

Dala menggeleng. "Seingatku ada di jalan seberang ... kita kudu balik ke jembatan tadi."

Perjalanan kami berlanjut. Hari kian sore, dan waktu kami tidak lebih banyak dari janji manis om-om pinggir jalan yang sok kaya. Berkali-kali aku menengok sekitar, memang benar-benar sepi di sekitar sini. Kupikir Jakarta adalah kota yang sangat padat sampai tak ada tempat seperti ini.

"Di sini kebanyakan manula, Nad," jelasnya tanpa kupinta. "Ayahku senang lingkungan yang sepi, tetapi tak mau jauh-jauh jauh dari keributan metropolitan."

Hmm ... tak heran anaknya jadi seperti ini.

Sejak tadi aku hanya mengekor di belakang punggungnya, menatap tumit sepatu Dala tanpa selera menatap pemandangan sekitar. Habisnya, tidak ada yang bisa dinikmati. Tak ada pemandangan cantik selain sungai kotor. Ke mana, sih, pemerintah kota Jakarta? Malu kalau dilihat ASEAN.

"Nah," ucapnya menghela napas panjang, berhenti mendadak hingga ubun-ubunku menabrak tulang belikatnya keras. "Hati-hati, Nad. Kita dah sampe."

Rumah tua, dengan banyak ukiran dan kayu-kayu pahat cantik. Catnya kusam, tak beda jauh dari deretan rumah lain. Pot-pot tanaman dari ember cat dan polibag, semuanya berisi tanah kering. Tak ada satu pun tumbuhan yang hidup kecuali lumut-lumut di dinding dan sela bingkai jendela.

Kami naik ke berandanya pelan-pelan, kemudian Dala mulai mengetuk pintu. "Permisi?"

Tak sebentar anak itu melakukannya, maka kubiarkan dia terus mencoba sementara aku duduk di sisi kakinya, meringkuk sambil merasakan otot-otot kakiku yang mengencang.

Aku kesulitan menelan ludah berkali-kali sejak Candala mencoba mengetuk pintu kayu berukiran apik. Pasalnya, sudah nyaris sepuluh menit kami tak mendapat jawaban. Pun tak ada tetangga di sekitarnya yang merasa terganggu atau menjerit ke manakah sang pemilik rumah pergi.

Candala tetap tak menyerah. Berkali-kali dia menggelengkan kepala dan tetap mengetuk pintu tak lupa salam sopan. Dari wajahnya, bisa kubaca jelas isi hatinya; dia tak mungkin salah rumah. Ini persis seperti di ingatannya, tetapi kenapa tidak ada respons?

"Sekali lagi," pasrahnya, menempelkan dahi di permukaan pintu sambil menutup mata kecewa. "Aku janji abis ini kita pulang."

Tak kujawab kata-katanya, sebab dia memang tidak bertanya. Aku takkan membuatnya terburu-buru mengambil keputusan, kami sudah sejauh ini dan sangat disayangkan kalau mundur begitu saja. Meski itu artinya ketinggalan bis dan dimarahi Pak Faruq, hanya dengan ini aku bisa membalas kebaikan Dala.

Percobaan terakhir, tetap tak ada sahutan dari dalam. Netranya seketika layu, tetapi dia menoleh dan tersenyum kecil padaku. "Ayo pulang, Nadir?"

Tunggu, ada yang menggangu di sudut mataku. Siluet, tidak ... memang orang! Mengintip di balik kaca jendela gelap. Aku lekas beranjak, melewati Dala dan mengetuk kaca beberapa kali. "Permisi? Halo?"

Kepalanya bergerak!

:.:.:

Detik pertama Candala melihat sang empunya rumah, keningnya mengernyit dalam. Namun, detik selanjutnya dia tersenyum manis sambil menyapa dan memperkenalkan diri.

Pemiliknya adalah kakek-kakek kepala tujuh. Terlihat rapuh dan ringkih dengan helai memutih, juga tongkat dalam genggaman. Kelihatannya, dia tidak baik-baik saja. Ada alat bantu dengar di telinga kanannya, dan beberapa suntikan insulin tercecer di meja tengah.

Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu. Candala yang bicara seutuhnya, aku benar-benar hanya diam saja tanpa berkutik, berusaha menebak-nebak ... apakah memang kakek ini ayahnya?

Dari segi fisik, mereka memang mirip. Matanya—meski sudah nyaris kelabu seutuhnya—memiliki kilau sejenis milik Dala. Saat kulihat pigura di dindingnya, kakek itu mirip sekali dengan Candala kala masih muda. Namun ....

"Aksara sudah meninggal."

Aku tak mengenal nama siapa yang disebutkan, tetapi bila Candala melongo tidak percaya, itu berarti ayahnya.

Lelaki itu bertanya lebih rinci lagi, tentang Aksara, siapa kakek ini, dan keluarganya. Wahid—kakek di hadapanku—sahabat mendiang kakeknya Dala, menjawab dengan senang hati. Dia yang merawat Aksara sejak ditinggal mati kedua orang tuanya.

Aksara kemudian menikah dan memiliki seorang anak laki-laki. Sebab hal yang rahasia, Aksara diburu otoritas negara dan harus dihukum mati.

Diam-diam Dala menggigit bibirnya kuat-kuat seraya mengepalkan tangan. Kendati demikian, dia tetap meminta Kakek Wahid untuk melanjutkan ceritanya.

Ibu Candala meninggal saat melahirkan karena pendarahan. Sebelum Aksara ditembak mati, almarhum sempat mengasingkan anaknya. "Negara diam-diam juga mencari keturunan dari Aksara. Kasusnya mungkin sudah dilupakan sekarang, tetapi aku masih ingat sangat jelas dengan ingatan yang mulai jadi rongsokan ini." Kakek Wahid mengambil napas dalam. "Kalau memang kamu Candala, jangan beritahu nama aslimu untuk negara."

Aku tidak paham, satu kata pun mengenai kasus ayahnya Candala. Kejahatan macam apa yang sudah dia lakukan sampai dikejar untuk hukuman mati?!

Tidak banyak yang Dala tanyakan setelah penjelasan jelas itu. "Terima kasih, Kek." Senyumnya manis sekali, mempesona seperti biasa, tetapi mungkin hanya aku yang menyadari ada goresan perih di sana.

Kami memutuskan pamit dan pulang ke stasiun naik angkutan umum. Sepanjang perjalanan Candala hanya diam. Aku tahu ini waktu baginya untuk menenangkan diri sendiri dan menerima kenyataan. Aku takkan mengganggunya, tetapi kami harus pulang.

Kali ini, aku dan Dala pulang lewat jalur normal. Kami membeli tiket kereta, tiga ribu saja, tidak perlu lari-lari lagi seperti sebelumnya.

Tak begitu banyak penumpang kereta sore di akhir pekan. Meski tertera nomor kursi di tiket, tetapi di antara banyaknya gerbong dan tempat duduk kosong, kami seolah bebas menguasai daerah ini sendirian. Pegangan tangan di langit-langit gerbong berayun pelan waktu kereta mulai bergerak meninggalkan peron.

Hingga saat itu pula, Dala benar-benar lemas. Walau tampangnya sejak awal seperti anak nolep (no life), kali ini haruskah kusebut dia mayat berjalan?

"La'?" panggilku mengguncang bahunya.

Di antara tempat-tempat kosong sepi penumpang, kami memilih duduk di ujung dekat pintu ke gerbong lain. Aku tepat di sebelah dinding, dan Dala hanya berjarak semeter dariku.

Rambutnya benar-benar lemas menjuntai ke bawah. Sejak tadi dia terus-terusan menunduk, atau memandang ke arah lain ... asal tidak ke arahku. Anak ini marah? Atau bagaimana?

"Can—"

"Pinjami aku," selanya, menggeser duduk lebih dekat denganku.

Aku tertegun sejenak. Kupikir dia tak mau membuka mulut lagi di depanku. "Apa?"

Candala tak berhenti, dia benar-benar mengikis habis jarak semeter yang dibuatnya sendiri. Hingga tangan kanannya menyelinap di balik rambut dan sisi terjauh lenganku. "Bahumu." Wajahnya tenggelam dalam ceruk leherku. Napasnya yang hangat, juga air matanya.

Lho.

Eh?

Anak itu tak lagi mengeluarkan suara kecuali deru napasnya sendiri. Dia tak membuka mulut, sebagai gantinya dua lengan berbalut kemeja itu memelukku erat-erat dari samping kiri.

Sebagai orang yang cukup layak kau bilang nyaris tak beremosi, aku jelas tidak paham rasanya; kehilangan, patah hati, cemburu, dan beberapa perasaan yang umumnya sering dirasakan perempuan. Semua yang kupikirkan hanya rasa rasionalitas. Kalau ayahmu sudah meninggal, ya sudah. Mau bagaimana lagi, 'kan?

Seberapa kencangnya kau menangis, seberapa kuatnya kau menentang dunia, sebanyak apapun air mata yang kau kuras, semua itu takkan mengganti apa yang sudah tiada.

Itulah yang kupikirkan.

Namun, perlahan aku sadar. Manusia pun perlu emosi, meski itu sedikit tidak perlu. Untuk apa? Untuk menjadikanmu manusia.

Hari itu, Candala mengajarkanku satu hal lagi. Bahwa semua orang memang berhak menangis. Juga saat aku marah pada ibu beberapa minggu lalu. Hal yang kupikir memalukan, ternyata adalah hal yang wajar di mata semua orang.

Maka kubalas rangkulannya. Seerat dan sehangat yang dia pernah lakukan padaku di ayunan pada hari pertama kami bicara. Memang awalnya terkesan tidak perlu, tetapi kalau memang itu yang dia butuhkan, kenapa tidak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top