Sepuluh ☁️ Kakak Genit
Mungkin hanya aku yang baru menyadarinya, tetapi kini Rina dan Bila terus-terusan menatap meja lab kami dari jauh. Entah apa yang mereka pikirkan, aku sibuk berdempetan dengan Dala untuk mencampur dan mengukur suhu CuSO⁴ serta NaOH.
Sebelum memulai praktikum tadi, Bu Heni menyuruh kami semua membereskan meja lab masing-masing. Baru saja aku mengambil lap basah dari luar, wanita kisaran kepala tiga itu berseru padaku, "Nadir, tolong ambilkan gelas kimia ukuran sepuluh dan dua puluh lima mili di bawah."
Tanpa banyak bicara aku meninggalkan apa yang ada di tanganku untuk Dala Dan melenggang ke bawah. Banyak pasang mata kakak kelas menatapku berlalu dengan luaran jas putih. Dengan rambut diikat tinggi, aku mampu melihat semua tatapan mereka dengan lebih jelas. Perasaanku saja atau seisi sekolah ini membenci kelas akselarasi? Hanya iri, mungkin. Peduli amat selama mereka tidak menggangguku.
"Nad?"
Aku mendongak, mendapati Keenan mematung di depan pintu gudang peralatan praktikum. Tangannya membawa sebuah kardus berisi pipet tetes dan gelas kimia biasa, di dekat kakinya ada satu kardus lagi berisi gelas-gelas yang diminta Bu Heni.
Kugigit bibir sebentar sambil mematung memerhatikannya kesulitan mengangkat satu kardus lagi. "Sini kubantu," tawarku dengan suara bergetar. Sejujurnya, aku belum pernah bicara dengan Keenan sejak dulu, bahkan saat kami sudah sekelas.
Dia tersenyum manis, lesung pipinya jadi terlihat. "Makasih, lho," ucapnya tulus.
Langkahku maju, berjongkok di dekat kaki Keenan untuk mengambil kardus yang tak mampu dia raih. Suasana jadi sangat canggung, dia tampak takut saat berjalan bersisian denganku.
"Eh, anu. Sebenernya aku nggak disuruh ngambil gelas kimia, tapi ini inisiatif aja," katanya setelah aku melangkah lebih dulu ke arah tangga.
Nggak ada yang tanya, batinku. Namun, nyatanya aku hanya mengangguk seraya berusaha memasang senyum di depannya. Kemudian, seperti yang kalian lihat di awal, aku sudah kembali ke meja lab dan sibuk sendiri dengan termometer.
Kutarik lembar kerja yang tadi diberi Bu Heni, menunjuk kolom pertama pelaksanaan percobaan. "NaOH 1 M nya 5 ml. Terus CuSO⁴ 1 M nya yang 25 ml," bisikku pelan.
Dala mengambil pipet lagi, menambah cairan ke gelas kimia. "Kau tulis sama liatin suhunya aja." Tangan berlapis sarung tangannya mulai cepat dan cekatan bekerja.
Aku mengambil papan scanner dan pulpen, mencatat semua reaksi yang terjadi dengan cepat. Praktikum ini akan berlangsung tiga kali dengan senyawa berbeda. Semoga saja praktikum selanjutnya lab kimia biasa sudah bisa di pakai. Agak menyeramkan di sini.
Empat puluh lima menit kemudian, kami semua selesai. Cairan biru memenuhi meja lab di tiap-tiap gelas, sisa campuran dua senyawa itu. Tidak ada yang meledak, tenang saja. Senyawa kali ini bisa dibilang lumayan aman meski semuanya tetap harus mengikuti prosedur keselamatan kerja lab.
Begitu anak-anak kelasku keluar dari lab, kakak kelas sebelas reguler sudah berkumpul di depan kelas masing-masing. Lebih tepatnya, baru saja keluar karena bel istirahat.
Kuhela napas panjang, lega sebab setengah hari sudah berlalu. Kulepas jas lab perlahan, menggantungnya pada lengan lantas melenggang sendirian hendak ke kantin.
Tanpa suara, Dala menyusul langkahku bahkan terang-terangan mengaitkan lipatan sikunya dengan milikku. Dia masih mengenakan jas putih, menyingkap rambutnya ke tepi sedikit.
Aku memelototinya, memasang raut apa yang kau lakukan?! Ada banyak pasang mata yang melirikku sekarang, dengan tatapan benci dan tidak senang.
Dala malah nyengir lebar. "Beli susu yok."
Mataku melirik ke arah lain, tangga di sebelah lab kimia dihinggapi segerombolan kakak kelas perempuan yang bajunya keluar-keluar dan pipinya merah blush-on. Ini tidak bakal berakhir baik. Dari tatapan mereka aku bisa melihat niat-niat membully.
"Belum setahun, udah berani gandengan aja," cibir salah satunya. Perempuan dengan kuncir kuda tinggi dan poni anti badai yang kaku macam sapu ijuk.
Tak kuindahkan mereka, memilih cuek meski Dala masih menggelayutiku. Biar saja, toh mereka tidak menyentuhku secara fisik. Mentalku sudah kebal kalau-kalau mereka membully secara mental.
Di tangga pertama yang kuinjak, gadis yang rambutnya digerai menyelonjorkan kakinya tiba-tiba. Refleksku dan Dala cukup bagus untuk menghindar dan kembali menuruni tangga dengan tenang.
"Nadir!" panggil suara cempreng sok imut yang dibuat-buat. "Udah berani punya pacar, nih?"
Apaan, sih? Anak-anak remaja Indonesia tidak ada yang waras, kah? Semua-mua yang dekat dianggap pacaran. Tak kurespons dia, entah namanya siapa atau bagaimana dia tahu namaku.
Kudapati Dala melirikku sambil mengangkat sebelah alis. Aku menggeleng pelan, memberinya jawaban. Kalian tidak paham? Dala bertanya apakah aku mengenal cewek-cewek itu, dan aku menggeleng.
"Wih, dikacangin kakaknya," timpal temannya disertai suara kekehan.
Bacot, sok kenal sok dekat. Sudahkah kubilang hari ini mungkin tak lagi tenang? Hebat, itu menjadi kenyataan sekarang.
"Heh." Sebuah tangan menarik kerah seragamku sebelum kaki ini menepaki anak tangga terakhir. "Kalo ditanya itu jawab!" Gadis yang rambutnya digerai, dia membalikkan tubuhku hingga bersitatap dengannya.
Rangkulan Dala terlepas, dia menatap kosong ke arah gadis itu-Rachel, aku melihat name tagnya sekilas.
Aku bergeming dengan ekspresi datar menatap matanya. Buat apa takut, dia takkan berani membunuhku kalau masih ingat Tuhan. Sikap diamku rupanya membuat Rachel naik pitam. Namun, ini memang salah satu cara aman untuk menangani hal beginian.
"Denger, nggak?!" bentaknya.
Kurasakan semua mata tertuju padaku saat ini. Antara malu, kesal, dan marah menyelimuti dadaku saat ini. "Lepas," kataku tenang. "Kau cuma mengurangi jam istirahatku. Pergi sana." Kutepis tangannya dengan mudah, kemudian berlalu menuruni sisa anak tangga.
Rachel mematung di tempatnya, menggeram kesal dan berlari naik setelahnya.
Dala menyusulku setengah berlari. "Aku nggak tau kau bisa seberani itu?"
"Cuekin aja-" puncak kepalaku mendadak dingin. Dala pun merasakannya sedikit, kemudian buru-buru menarikku menjauh dari atap terbuka koridor.
Dia mendongak lebih dulu, sementara aku meratapi rambut serta seragam bagian atas bahkan jas lab putihku ditumpahi cairan berwarna biru terang. Bau vanila menepiskan segala asumsiku tentang senyawa yang kami campurkan tadi. Ini hanya minuman berpemanis buatan.
Puluhan pasang mata menjadikanku sorotan utama mereka. Beberapa menatap iba, sisanya kembali berlalu setelah beberapa detik.
Aku mengeluh dalam hati sebab tak ada baju ganti. Ingatkan aku menonjok muka kakak kelas itu seperti Yoga di kemudian hari. Kulirik Dala yang tangannya tergenggam erat. "Dah dah, kau jadi ikutan goblok kalo ngeladenin mereka." Kutarik tangannya ke arah lain. "Bantu aku nyuci jas lab."
Kami melesat dengan cepat, menahan malu sebab menjadi pusat perhatian semua mata memandang. Dala menurut dan mengekoriku ke kamar mandi dekat kelas aksel.
Beruntung, rok dan sepatuku tidak ikut jadi korban. Hanya kemeja atas, rambut, dan jas lab yang lengket. Dala menungguku di depan pintu kamar mandi, membawakan jas lab yang sudah kubasuh air hingga glukosanya hilang.
"Kau nggak bisa diem gitu aja, Nad," ujarnya dari luar sementara aku membuka seragam di dalam kamar mandi. "Jaman sekarang bully udah nggak musim. Kau bisa tinggal lapor Pak Faruq."
Aku menggeleng, membasahi sedikit demi sedikit bagian kerah, punggung, dan lengan untuk menghilangkan bekas birunya. Sadar bahwa Dala tak bisa melihat gelenganku, aku bicara, "Tidak, bung. Itu masalahnya bakal lebih panjang dan mereka akan menganggapku tukang lapor."
Kubuka celah pintu sedikit, menyerahkan seragam atasanku yang sudah bersih. Masih ada rambutku yang harus dicuci sebelum berketombe dan lengket. Kututup kembali pintunya, mulai membilas kepala hingga rambut panjangku main seluncuran di lantai kamar mandi.
"Tapi kau nggak bakal diem aja, 'kan?" tanya Dala memastikan.
Selesai. Bahu, leher, dan kepalaku tak lagi lengket. Aku membuka sedikit pintu, melongokkan kepala dan menatap Candala sedang menunduk mengamati bajuku. "Tenang, bung. Kita harus tetap elegan menangani kasus pembullyan." Senyumku mengembang, kali ini entah bagaimana aku senang sekali membayangkan praktikum kimia selanjutnya.
Candala mematung di tempatnya melihatku tersenyum. "Nad," panggilnya dan aku mengangkat alis. Dia membuang muka, menyerahkan baju seragamku yang masih lembab. "Pake baju dulu."
"Heh, aku pake kaos berlengan, tau."
。 ☆ 。
Kami kembali ke kelas setelahnya. Rina dan Bila memasang raut wajah jelek di bangkuku dan Candala. Apa lagi ini? Kenapa mereka jadi macam itu?
Bila bangkit, menepuk kedua pundakku dengan alis bertaut. "Sudah kuduga, bau vanila." Dia memaksaku duduk di bangkuku sendiri. "Dengar, aku sama Rina tau kau dirundung kak Rachel, 'kan?"
Aku menatap Candala yang balas menatapku. Di matanya ada pesan tersirat, bahwa aku harus jujur pada mereka. Jadi aku mengangguk. "Iya."
Kali ini Rina menyodoriku dua kaleng susu beruang. "Kau nggak sempet ke kantin, 'kan? Bu Heni nyuruh kita minum susu abis dari lab meski percobaannya nggak seberapa."
Aku tidak percaya mereka peduli padaku. "Makasih, Rin," kataku sungguh-sungguh. Tiba-tiba aku merasa bersalah mengabaikan kebaikan teman sekelas selama ini. Aku tak pernah ada saat mereka minta tolong padaku. Dan saat ini, bahkan tak ada yang meminta dua orang ini menolongku, Bila dan Rina tetap datang.
"Sama-sama," ucap Rina membalas senyumanku. "Kalo kau dibully lagi, bilang kita aja, oke?"
Mereka meminjamiku handuk di UKS setelahnya untuk mengeringkan rambut. Sebab terlalu panjang, butuh waktu lebih lama hingga kering. Mata pelajaran selanjutnya berjalan lancar, guru membolehkanku tetap mengenakan handuk selama tidak mengganggu pelajaran.
Pukul empat sore, Dala absen membawaku jalan-jalan sepulang sekolah. "Kuantar aja, kau kudu cepat pulang buat nyuci jas lab." Itulah alibinya.
Aku menolak tawaran Dala untuk mengantarku, tetapi dia tetap mengikutiku. "Sudah kubilang, nggak usah."
"Ini aku mau pulang, bukan nganterin dirimu. Jangan geer, deh," kilahnya, tetap berjalan di belakangku.
Sepuluh menit kemudian, dia menghilang dari balik punggungku, menuju gang lain. Padahal rumahku sudah di depan mata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top