Lima Belas ☁️ Dirumahkan Sesaat

Kemarin, Pak Faruq memanggil kami berempat ke ruang bimbingan konseling. Aku dan Dala bertemu lagi dengan Bu Endang yang kini geleng-geleng kepala melihat tiga anak akselarasi di ruangannya.

Candala langsung menyerahkan ponsel Bila dan memutar rekaman penyerangan itu. Yoga tentu saja menyangkal bahwa Jamal lah yang pertama kali memicu konflik, jadi kuserahkan ponselku yang merekam kejadian di gerbang utama. Kali ini, Yoga kalah telak. Dia terbukti bersalah dan humas SMA kami sudah menelpon STM Pangeran untuk dimintai pertanggungjawaban terkait anak didiknya.

Lepas dari masalah Yoga, kami bertiga dikenai masalah lain; hukuman skorsing tiga hari dimulai dari besok. Alasannya masuk akal, karena kami jelas terlihat seperti menjebak Yoga prihal dua rekaman itu, dan baku hantam serta penggunaan senjata tajam di lingkungan sekolah.

Surat skorsing keluar dengan cepat, dan di sinilah aku sekarang. Merenung di kamar sambil meratapi langit biru dari jendela. Kalian tahu? Nenek tak lagi muncul, dia benar-benar menghilang, tak kembali lagi nyaris dua minggu. Ibuku jelas marah saat pulang kerja kemarin malam. Wanita itu menghardikku secara gamblang di depan pacar barunya yang datang ke rumah.

Aku marah, aku membanting pintu kamar setelah dikatai tidak niat sekolah. "AKU SEKOLAH ATAS KEINGINANKU SENDIRI, BUKAN UNTUKMU!" teriakku di depan wajah wanita yang melahirkanku. "FAKTANYA, AKU MASUK AKSELARASI AGAR CEPAT BERPISAH DENGANMU!"

Hari itu benar-benar kacau. Aku menangis semalaman tanpa suara, tanpa makan malam. Sudah pernahkah kubilang pada kalian, bahwa aku kurang menyukai ibuku? Dia kadang bisa sangat jahat, egois, dan tidak peduli pada anak gadisnya. Wanita itu justru membawa lelaki baru, memintanya berkenalan denganku, "Calon ayahmu," katanya.

Hatiku hancur, baru kali ini aku merasa begitu terpuruk sampai-sampai ingin mencabuti syaraf-syaraf leher sendiri. Orang tuaku bercerai, ibuku memiliki kekasih baru, nenek satu-satunya yang mengerti aku sudah menghilang. Apa lagi yang bisa lebih buruk dari ini? Sekarang aku merasa bersalah sudah membentaknya.

Pagi tadi dia berusaha menegurku dari depan pintu kamarku. Aku menguncinya dari dalam, membiarkannya pergi bekerja dengan pacarnya, seperti biasa. Kujauhkan semua hal yang bisa membuat pikiranku semakin negatif, seperti ponsel dan foto-foto keluarga.

Masa liburanku akan berakhir hari Jumat, tetapi hari Sabtu libur. Kesimpulannya, aku akan kembali masuk sekolah Senin depan. Waktu libur lima hari terlalu lama untukku yang tidak betah di rumah.

Nah, begitu ibu pergi, aku langsung menghambur dapur dan membuat sarapan. Enzim di perutku sudah adu mekanik sejak malam. Aku memang tak begitu pandai memasak, tetapi setidaknya masih bisa sedikit-sedikit dan sudah terbiasa.

Tengah hari, waktu terasa merayap lambat, seolah aku berada di planet lain kebalikan dari film Interstellar. Di kamar, sungguh aku mirip mayat yang tergeletak di bawah cahaya matahari menembus jendela. Percayalah aku belum mandi sejak kemarin sore.

Kira-kira yang di sekolah lagi apa, ya? Hari ini masuk seperti biasa, class meeting hanya sehari saja. Minggu depan aku sudah kelas sebelas, dan materi akan dimulai.

Dua jam kemudian, kalian akan menemukanku tergeletak di atas meja belajar dengan sketchbook terbuka. Aku memutuskan menggambar, membuka komis lagi untuk lima hari ke depan, tetapi kepalaku terlalu buntu untuk sekadar menggoreskan pena di atas kertas.

Kugosok-gosok wajahku di permukaan meja tanpa tujuan. Ayolah ide, keluar dari kepalaku sekarang juga! Aku harus mencari uang demi membunuh waktu luang yang berharga!

Suara ketukan di jendela yang menyadarkanku lagi, bahwa aku harus segera melakukan sesuatu agar tidak mati bosan. Mataku melirik tak selera ke jendela kamar, asal suara ketukan tadi. Jantung di balik rongga ini seakan berhenti berdetak barang sedetik dua detik saat itu juga.

Wajahnya di sana, polos seperti tak ada dosa, tanpa ekspresi selain normal macam biasa. Eh, kenapa anak itu bisa di kamarku? Kamarku, 'kan, di lantai dua!

Buru-buru kubukakan jendela agar Dala bisa masuk, dan benar saja tubuhnya langsung ringsek ambruk di atas kasurku tertarik gravitasi. Apa kata tetangga kalau ada yang melihatnya masuk kamarku dengan cara yang tidak etis?!

"Nadir, main yok?" Nadanya persis anak-anak SD yang menjemput temannya untuk main bola di lapangan.

"Kau ini kesurupan apa?!" seruku menjauh dari kasur, membiarkannya berdiri tegak di lantai. Kupandangi anak itu dari atas sampai bawah, kaos hitam polos dan celana abu-abu panjang, tanpa sendal, juga rambutnya yang dihinggapi dedaunan.

Dala tak mau turun dari kasur, dia merayap ke bingkai jendela dan duduk di ambangnya seraya menggerak-gerakkan kaki yang bergelantungan. Seandainya kudorong anak ini, dia mungkin sudah gepeng di halaman samping rumahku. "Kau nggak bosen apa?"

Aku menepuk jidat. "Kau bisa masuk lewat pintu depan, Bung. Aku sendirian di rumah."

"Lantas, apa kau mau menerimaku sebagai tamu?" Dia menoleh sebentar, lalu kembali memandangi dua kakinya di udara. "Paling-paling aku disuruh pulang atau ke mana, kek," desahnya melemaskan bahu.

"Suuzon. Sana pulang."

"Tuh, 'kan?"

Tubuhku serta-merta luluh lantak di kasur. Peduli amat Candala jadi ilfil atau bagaimana, itu urusannya. Rasanya hari ini aku tak bersemangat untuk hidup. Seperti aku ingin menangis saja seharian, berharap langit menjadi lebih gelap agar Tuhan seolah mendengar hatiku menjerit.

Padahal aku tahu, semua yang kusebutkan tadi itu benar-benar tidak berguna-menangis, uring-uringan, galau, dan sebagainya-, tetapi bila dipikirkan lagi, terkadang perasaan seperti memang diperlukan untuk menjadikanmu seorang manusia.

Jadi, aku tak menahannya lagi, bahkan di dekat Dala. "Persetan dunia ini! Argh!" Kuamuk bantal dan guling, kemudian bergulat dengan selimut. Dala yang melihat langsung mengernyitkan dahi, tetapi tidak berkata apa-apa.

Beberapa detik selanjutnya, aku terisak dalam balutan selimut. Dengan begitu, kuharap Dala paham dan mau meninggalkanku sendirian. Namun, yang kurasakan malah hangat tubuhnya di punggungku.

"Aduh, kau ini," decaknya benar-benar memelukku dari belakang, hanya terhalang selimut yang membungkusku seperti kepompong. "Kupikir kau lebih sangar dari muka jutekmu." Tangan serta kakinya maju, dan sempurnalah aku jadi guling raksasa.

Aku meronta-ronta dalam dekapannya. "Lepas, woi! Mati anak orang!"

"Daripada galau," katanya tak mengindahkanku, "mending kita main ke sekolah."

"Tapi kita diskors!"

Dala menyingkir, melompat riang ke lantai dengan senyum cerah. "Skorsing artinya berhenti belajar sejenak. Bukan berarti kita tidak boleh main ke sana."

:.:.:

Aku mandi dengan cepat usai Dala menurut untuk menunggu di ruang tamu, dan kami berangkat ke sekolah menjelang ashar. Barulah awan mulai berdatangan memeluk matahari sore, menjadikan suasana tidak sepanas tadi siang.

Dala sempat pulang sebentar, mengambil botol kaca dan selembar kertas beserta pulpennya. "Nanti pinjem punggung lagi, ya?"

Kuiyakan saja biar cepat. Hatiku merasa bersalah mengingat ini masih jam pelajaran kelas akselarasi, dan aku berkeliaran di tengah masa hukuman. Aku seperti ... anak yang bolos sekolah. Sebelumnya aku belum pernah begini, maksudku sampai diskors atau dipanggil ke BK sebab kenakalan.

"Pertama kali, huh?" katanya datar. Melihat alisku terangkat sebentar, dia kembali bertanya, "Kau mulai dekat dengan Bila?"

Sebenarnya aku tak begitu nyaman dengannya. Namun, karena perempuan di kelas akselarasi selain diriku hanya tersisa anak itu, mau tidak mau kami berteman. Bila adalah bendahara kelas, dia pandai mengelola keuangan dan bisa galak sewaktu-waktu kalau uang kas kami nunggak.

Matanya belum lepas menatapku sampai aku membalas tatapannya. Dia bertanya, seperti apa, sih, tipe temanku? Hanya lewat iris cokelatnya aku bisa mengerti apa yang ingin dia sampaikan. Ah, rasanya sudah lama kami tidak bicara silent mode begini.

"Yang kalem, bisa diajak mikir, dan punya otak sastra kriminal."

Dia terkekeh, menonyor pelipisku sebelum tangannya meraih milikku di ujung zebra cross. Salah satu alisnya terangkat, Tapi aku nggak punya otak sastra kriminal, kenapa kau mau berkawan denganku?

Kedua alisku bertaut, dan dia malah tertawa. Anak ini sukses membuat kepalaku melupakan tangisan beberapa menit lalu.

"Besar nanti," katanya, "kau mau jadi apa?"

Banyak cita-cita yang pernah hinggap di benakku sejak kecil. Ingin menjadi dokter, tentara, guru, sampai astronot. Namun, semakin bertambah usiaku, semakin sadar pula bahwa semua itu jauh lebih sulit diraih ketimbang diimpikan saja.

Jadi, aku menggeleng. "Entahlah. Kau?"

Kami menyebrang saat lampu merah menyala. Dala menggandeng tanganku di pergelangan seperti orang tua. "Aku mau jadi pelukis yang melukis di luar angkasa."

Itu konyol untuk impian peserta didik di SMA unggulan. "Kenapa kau tidak masuk SMK kesenian alih-alih ikut pertukaran pelajar dan akselarasi?"

Dia mengangkat bahu. "Aku cuma mengikuti ke mana hidup membawaku." Genggamannya lepas, separuh dadaku merasa tidak rela, masih ingin digenggamnya seperti anak ayam. "Tapi, apa kau nggak sedih semisal aku masuk SMK?"

"Kenapa harus sedih?"

"Kita nggak bakal ketemu, dan kau mungkin masih di kelas sekarang. Tanpa kenal Bila, Taufan, atau berurusan dengan Jamal." Dala menundukkan kepalanya, menatap kaki-kaki kami menendangi kerikil. "Dan mungkin aku akan sama diamnya sepertimu."

Memikirkan hal itu membuat organ dalam tempurung kepalaku bekerja keras. Benar juga. Bisa kubayangkan diriku saat ini kalau Candala tidak pindah ke kelas kami. Aku akan sangat kesepian, menghadapi orang tuaku tanpa tempat untuk bercerita tanpa suara, seperti yang aku dan Dala lakukan.

Hadirnya anak itu mengubah hidupku secara harfiah. Aku baru menyadarinya. Nadir tak sependiam enam belas tahun terakhir, yang tidak bisa berekspresi, atau tak memiliki simpati terhadap lingkungan.

Hidupku ... jauh lebih berwarna. Dala kerap membawaku jalan-jalan betulan sepulang sekolah. Entah ke manapun itu, selalu saja ada tempat baru yang kami kunjungi. Awal pertemuan kami di bekas taman kanak-kanak terbengkalai itu benar-benar awal dari kisah teenfict-ku.

"Nadir?" Suaranya membuat diriku merinding. Caranya memanggil namaku sangat berbeda dari dirinya memanggil nama lain.

Aku hanya menatapnya tanpa bersuara, dan dia paham maksudku. Itulah salah satu dari sekian banyak rasa sukaku pada lelaki itu.

"Kalau kau mencariku, aku akan selalu ada di tempat itu. Tapi, untuk menemukannya, aku ingin kau berusaha. Karena di dunia ini tak ada yang cuma-cuma. Kalau kau mencariku, maka kau bersungguh-sungguh dengan perasaanmu."

Karena empat baris kalimat tanpa jeda itu, sepanjang perjalanan ke sekolah membuat otakku semakin panas. Aku terus memikirkannya dengan jantung berdebar. Apa maksudnya? Terlebih di kalimat terakhir. Jangan-jangan dia tahu aku suka padanya?! Ah, tidak. Aku tidak benar-benar naksir padanya. Tolong artikan rasa sukaku semata-mata karena dia teman sekelas dan kebetulan rumah kami berdekatan.

Candala mengajakku masuk ke lingkungan sekolah lewat dinding belakang, melompat dari ventilasi kamar mandi perempuan yang kemarin kubuat mengintip. Kami berhasil masuk tanpa ketahuan dan langsung naik ke lantai dua.

Anak itu menemukan cara untuk memanjat ke atap sekolah. Lompat dari jendela ke tempat tandon air, memanjati dinding ruang kesenian yang miring lima belas derajat, dan melompati penangkal petir.

Langit sudah hampir rebah saat kami mulai meletakkan pantat. Aku mendesah lelah sebab mengikuti langkahnya yang lebar-lebar. Dala juga mengembuskan napas keras-keras setelah berhasil bersandar pada dinding atap segitiga siku-siku.

"Kau ... sering ke sini, ya?" tanyaku terengah-engah, mengusap peluh di wajah dan leher.

"Baru pertama kali."

Gila! Kenapa dia nekat mengajak anak gadis ke tempat yang bahkan bisa dibilang berbahaya sebab ketinggian?!

Kami terdiam, seperti biasa. Aku memenuhi janji sebagai alas menulisnya. Dala menulis dengan cepat, dari yang punggungku rasakan, mungkin dia menulis beberapa rumus atau hitung-hitungan. Kemudian, digulungnya kertas itu dan memasukkannya ke dalam botol kaca.

Aku diam melihatnya berdiri dan tampak mencari sesuatu. Dirinya menghilang beberapa detik di balik atap segitiga siku-siku dan kembali tanpa botolnya.

Peduli amatlah. Mataku lebih tertarik pada pemandangan di atas sini. Kalau dilihat dari bawah, mungkin kami takkan terlihat barang pucuk kepala saja. Lapangan sekolah tak terlihat, hanya pucuk-pucuk pohon saja, sebab kami bersembunyi di balik sisi lain yang menghadap tengah-tengah sekolah.

Lumayan lama kami membungkam bibir. Dadaku terasa lebih tenang ketimbang di rumah. Pikiranku kembali sejuk dan mampu bekerja dengan baik lagi. Tak ada yang sadar bahwa dunia sudah menunjukkan pukul setengah enam. Awan-awan tadi sudah menyingkir, menyisakan semburat jingga indah di kaki barat.

"Pindah, yok?" ajak Dala, dia bangkit lebih dulu. "Penghuni sekolah udah pada pulang, jadi aman buat ke sebelah." Tangannya menunjuk atap yang kami belakangi. "Mataharinya juga lebih keliatan, lho."

Aku menurut dan menyusulnya. "Hei, ingat pertanyaanmu yang di lampu merah tadi?" Setelah mendapat anggukannya, aku melanjutkan, "Menurutmu, cocoknya jadi apa?"

Diam lagi, suara burung berkoak terdengar sangat kencang sebab heningnya suasana. "Kok aku? Kan itu cita-citamu."

"Siapa tau kau liat bakat terpendamku."

Bibirnya menyungging senyum. "Bung, tak ada orang yang berhak menentukan masa depanmu kecuali kau sendiri. Gambaranmu bagus, puisimu juga, kalau kau mau jadi seniman, takkan ada yang boleh melarangmu tanpa sebab."

"Sebenarnya," kataku, "aku mau jadi penulis."

"Nah! Terus?"

Aku hanya menimang-nimang apakah itu sebuah pekerjaan yang cocok dan berguna, kemudian gajinya juga. Kalau dipikir-pikir lagi, royalti hasil penjualan novel tidak seberapa, paling cuma buat jajan. Itu pun kalau bukunya laku, kalau tidak? Lain cerita dengan para sastrawan yang sudah punya nama seperti Eka Kurniawan, Jonathan Stroud, atau Andrea Hirata.

Melihatku diam, Dala merangkulku seolah kami kakak adik. "Yang kau pikirkan itu masalah nanti, belakangan aja. Sekarang kau kudu cari cara gimana biar dari SMA udah punya nama dan pengalaman."

Bicara dengannya selalu menyenangkan. Semua topik jadi berbobot ketika aku bertemu Candala, berbeda saat bersama Abidine. Apapun masalahku, Dala selalu punya solusi praktis dan tidak lebih ruwet dari pikiranku.

Gilirannya bercerita, aku hanya bisa mendengarkan tanpa berkomentar. Tentangnya yang ingin menjadi astronot tetapi kurang beruntung dengan kondisinya sekarang—hidup di bawah naungan pemerintah tanpa ibu dan ayah. Dala memutuskan menjadi pelukis, agar kelak saat dia meninggal, jejaknya (lukisan yang pernah dia lukis) bisa terus hidup.

Semua yang anak ini katakan terdengar begitu pintar di telingaku. Entahlah, perencanaan dan keyakinannya tampak sangat realistis, tidak hanya angan-angan kosong.

Di dekatku, Dala menjadi orang yang berbanding terbalik dengan dirinya yang di kelas. Dia tak melepas senyum, memandangiku lalu beralih ke langit yang mulai digantungi bintang. Denganku, dia meluapkan semua kata-kata yang ditahannya di depan banyak orang.

"Ayo pulang," ujarnya setelah adzan magrib berkumandang.

Besoknya, anak itu datang lagi. Pagi-pagi buta, saat aku masih mimpi berpidato di hadapan sekumpulan zombie apokaliptik. Aku hanya mengintip dari balik jendela, sementara Ibu yang membukakan pintu, kemudian berkata, "Tidak terima pengamen." sambil tersenyum lebar dan mempersilakan Dala masuk. Ibu mengenalnya, tentu saja dari Pak RT.

Aku sudah menyusun rencana sejak semalam—makan sebelum ibu pulang, lantas menyiapkan sarapan di kamarku untuk pagi hari—agar tak perlu keluar sampai dua orang dewasa yang belum sah itu berangkat kerja. Semuanya rusak karena Dala.

Davin—kalau tidak salah ingat nama pacar ibu—yang mengetuk pintu kamarku dan memberitahu bahwa temanku datang. Dia memanggilku dengan sebutan sayang, juga nada yang lembut, tetapi aku takkan termakan triknya untuk mendekatiku agar bisa menikah dengan ibu.

"Sayang-sayang, matamu!" hardikku. Aku tidak mau keluar atau membuka pintu meski mereka memaksa. Tidak! Aku masih kesal!

Pria kepala tiga itu menghela napas panjang. "Dengar, Nadir. Aku cuma mau kau dan ibumu bahagia—"

"Kalau kau mau aku bahagia," potongku sambil menggebrak pintu dengan tinju, "maka tinggalkan kami dan menikahlah dengan jalang lain!"

Dia terdiam, pun seisi rumah. Dua manusia di bawah mungkin mendengar kata-kata kasarku, tetapi aku tak peduli lagi mau ibu marah atau membuangku ke kolong jembatan.

David sepertinya masih mau membicarakan sesuatu denganku, sebab tak kudengar ketukan langkahnya menjauhi pintu kamar. "Tidak bisakah kita bicarakan ini baik-baik?" tanyanya, nada suara pria itu lebih lembut dan dalam lagi.

"Terserah kalian," kataku, "tapi ini bukan seperti di cerita-cerita anak broken home yang bakal terima-terima aja sama keputusan orang tuanya." Sebenarnya ini yang kutunggu-tunggu. Semua alibi sudah kusiapkan, kalau mereka memang ingin berdebat, ya ayo. "Bukankah kalian harus bermesraan di tempat kerja? Sana pergi!"

Langkahnya baru benar-benar menjauh setelah ibu menjemputnya di depan pintu kamarku. "Ibu harap kau bisa jadi gadis yang lebih baik," kata ibu dengan tegas.

"Nadir harap punya ibu lain yang lebih baik." Kusuarakan itu lantang-lantang.

Sejenak kami melupakan keberadaan Candala di ruang tengah. Begitu ibu serta pacarnya pergi, keluar dari gerbang, dan kusaksikan mereka berangkulan mesra, barulah teman sekelasku satu itu naik ke kamarku.

Dia mengetuk pintu perlahan. "Keren juga nonton drama setengah tujuh pagi," komentarnya sebelum aku membukakan pintu.

Mataku menelaahnya sejenak, kaus abu-abu dan celana hitam pendek. Tangan kanannya mencekik leher gitar. "Nggak punya receh," kataku.

"Minta cintanya aja boleh, nggak?"

Kulempar dia dengan pantat boneka harimauku—David yang memberikannya, aku tidak suka. "Sejak kapan kau jadi alay begini, Bung?"

Candala tertawa, masuk kamarku sambil cekikikan dan meletakkan jarinya di permukaan gitar. "Sejak sebelas Januari bertemu," gombalnya, memetik senar dari potongan nada lagu Sebelas Januari milik GIGI. "Pasti belum mandi." Netranya menilikku dari atas sampai bawah. "Sama, aku juga."

Cih, anak ini kenapa, sih?

Dia benar, aku belum mandi. Jadi kukurung dia di kamarku setelah mengambil baju dan ngacir mandi di kamar mandi bawah. Setelahnya, barulah kusuruh dia turun dan sarapan denganku.

"Cowok tadi," katanya seraya membantuku mencuci piring, "ayah barumu?"

Aku menggeleng sambil mengerucutkan bibir. "Bukan. Tapi ibu tergila-gila sama cowok itu. Padahal mukanya kayak baju zaman paleolitikum, nggak punya setrikaan." Memang benar, itulah yang kupikirkan kalau melihat mukanya.

Jam berputar begitu cepat, matahari semakin tinggi. Kami naik ke kamar, kubiarkan Dala genjreng-genjreng menemaniku bekerj—menggambar pesanan orang.

"Kau nggak boleh gitu sama ibumu, lho." Dirinya merebah di lantai, terlentang di sebelah gitarnya. "Aku tau kau emosi, tapi tetep aja nggak sopan. Kau harus minta maaf nanti."

"Iya." Kuhela napas panjang, kembali fokus pada sketsa di kertas. Orderan kali ini lumayan membuatku naik darah, ada remaja yang minta dibuatkan gambar dirinya dan ibunya sedang berpelukan untuk hari ulang tahun ibunya tiga hari lagi. "Kau nggak mandi?" tanyaku mengalihkan topik.

Dala menggeleng. "Aku mandi sebelum tidur."

Selebihnya, dia hanya meracau tidak jelas. Tentang wajah ayahnya, cantik paras ibunya yang tinggal nama, dan bagaimana mereka membuang Dala. Tentang aku yang seharusnya lebih bersyukur darinya. Tentang namanya yang memiliki arti kurang bagus.

Menjadi pendengar adalah salah satu kelebihanku. "Jadi kau mau nyari ayahmu ke Jakarta?" tanyaku usai anak itu bercerita. Sketsa juga sudah selesai, tinggal kupindah ke media digital.

"Cuma dia satu-satunya yang masih hidup, 'kan?" Punggungnya bangkit. "Tapi aku nggak mungkin ke sana sendirian."

"Jangan suruh aku ikut," tolakku langsung. Mana bisa dan mana berani aku pergi ke Jakarta tanpa sepengetahuan orang tuaku. Nanti tersesat? Dapat duit dari mana pula? Iya kalau bisa pulang, kalau tidak? Masih banyak dosaku!

Kami sama-sama terdiam lagi, sampai Dala menjentikkan jari. "Ada dua kali kesempatan kita ke sana!" Wajahnya langsung bersinar. "Pertama, ikut tim suporter buat lomba basket akhir Februari ini! Bulan kemarin mereka masih tanding biasa, 'kan? Nah, kayaknya bulan ini mereka masuk final, dan lombanya di GOR Jakarta!"

Tunggu, aku baru tahu sekolah kami ikut lomba basket. Sejak kapan?

"Sejak zaman bahula, Bung. Itu kegiatan rutin," katanya seakan mampu membaca pikiranku. "Nah, biasanya OSIS minta 5 orang perwakilan kelas untuk ngeramein acara. Giam, toh, salah satu anggota basketnya. Jadi kemungkinan kelas kita bakal ikut semua."

Oh iya! Giam anak basket. Eh, kenapa bulan lalu kelas akselerasi nggak ada yang ikut jadi suporter? Katanya wajib perwakilan 5 orang per kelas?

"Pak Faruq minta izin buat kita nggak ada yang ikut, soalnya mau semesteran, 'kan? Kita mau naik kelas 11 waktu itu."

Benar juga. "Kapan berangkat?"

"Minggu depan!"

:.:.:

Candala memutuskan pulang sebelum ibu dan pacarnya datang. Katanya, aku harus mengatasi masalah keluargaku sendiri tanpa campur tangan orang lain yang tidak berkepentingan. Juga, aku kudu meminta maaf pada mereka sebab perkataanku pagi tadi.

Jadi, aku menyiapkan makan malam. Alakadarnya saja, apa yang ada di kulkas kumasak semua agar cukup untuk tiga orang.

"Semangat, Bung." Itu yang Dala ucapkan sebelum menyeret gitarnya pulang.

Menjelang isya, dua orang itu baru pulang. Ibu terkejut melihatku sudah duduk di meja makan. Sebenarnya, aku tidak suka perasaan seperti ini—seakan aku yang salah dan harus meminta maaf sampai sujud-sujud, membuktikan bahwa aku tak bisa hidup tanpa mereka. Namun, ini bukan saatnya mengedepankan ego. Aku harus cepat berdamai dan menyelesaikan permasalahan ini biar kepalaku tidak meledak sewaktu-waktu.

Mereka langsung meletakkan tas dan duduk berhadapan denganku. David tersenyum sopan, pun ibu keheranan—aku berhenti memanggilnya Mama sejak bertengkar dengan ayah.

"Ayo dimakan? Nggak Nadir kasih racun, kok. Tenang aja," kataku memulai duluan.

Yah, semuanya berjalan lebih bagus dari perkiraanku. Kami makan dengan tenang, tidak ada yang membanting piring—kami tahu itu mahal, dan ini bukan sinetron.

Kemudian, entah kesurupan apa, ibu membantuku mencucikan piring sebelum bertanya apa alasanku menyiapkan makan malam. Nah, di sanalah aku berhasil memancing mereka.

"David—Om David bilang ibu mau membicarakan hal ini baik-baik. Jadi aku berinisiatif membuat makan malam, agar jadi anak yang baik."

Mereka bertukar pandang. "Ibu senang Nadir mulai tenang, tapi kau tau, 'kan, tentang itu?"

"Kalian sudah menyebar undangan pernikahan?" tebakku asal, dan mereka mengangguk. "Wow, inikah yang dinamakan bicara baik-baik?" Aku benar-benar mencoba tidak meledak di depan mereka.

"Ibu sudah sering bilang bahwa kami meminta izin, tapi Nadir nggak pernah mau mendengarkan." Ibu menatapku sayu, tangannya meraih milikku di atas meja.

Kuperhatikan lamat-lamat genggaman tangan kami. "Itu pernyataan, bukan meminta izin," kataku. "Kalau aku bilang sekarang bahwa aku tidak setuju, akankah kalian membatalkan pernikahannya? Tidak, 'kan?"

David terlihat seperti menahan napas. "Dengar, Nadir. Tidak semua masalah orang dewasa bisa kau pahami."

Aku mengangguk-angguk sambil mengerucutkan bibir. "Iya. Tapi lain kali tolong bilang langsung, singkat, padat, dan jelas, kalau kalian akan menikah tanpa persetujuanku."

Alis mereka sama-sama terangkat. "Itu tandanya kau setuju?"

"Ahaha, ya enggak, lah." Aku mengangkat bahu. "Hmm ... akan buang-buang uang kalau pernikahannya dibatalkan. Minggu depan, 'kan? Nah, kalian menikahlah. Tapi aku takkan pernah menganggap David sebagai ayahku, dan aku tak akan hadir di pernikahan kalian."

"Nadir—"

"Ini pernyataan, bukan permintaan persetujuan." Aku tersenyum lebar, bangkit dari kursiku. "Terima kasih. Nadir mau balik ke kamar."

Cukup singkat, 'kan? Meski berbeda dari rencanaku sebelumnya—mencak-mencak sambil menghardik mereka—tetapi tampaknya ini jauh lebih baik. Moodku sedang bagus malam ini, sayang sekali kalau harus marah-marah. Di hari pernikahan mereka nanti, aku berencana ikut suporter ke Jakarta.

Candala benar. Kalau memang ini pilihan mereka, maka biarkanlah para orang dewasa itu yang mengemban beban. Aku tak perlu ikut-ikutan. Apapun akhirnya nanti, bagaimana ujung dari hubungan mereka, aku takkan ikut ambil andil, bodo amat.

"Oh, iya. Ibu," panggilku. "Nadir minta maaf sudah kasar tadi pagi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top