Lima ☁️ Aku Sudah Besar

Ribuan ulangan harian sudah kulalui sejak hari pertama sekolah setelah tahun baru itu. Namun, hidupku tetap tak ada bedanya dengan tahun-tahun kemarin. Pada akhirnya, Candala masuk ke dalam orang-orang yang kujauhi meski dia pendiam, meski tak ada yang pernah mendengar suaranya.

Kadang saat-saat pulang sekolah adalah masa-masa yang paling kunantikan. Membayangkan tidur manja di kasur, baca novel sampai malam, lalu mengulangi hari yang sama untuk menunggu pulang sekolah lagi. Ada kalanya juga aku tak ingin pulang ke rumah, hanya untuk menghindari huru-hara di sana.

Pun di rumah, waktuku lebih banyak habis di dalam kamar. Ayah bekerja, ibu juga demikian. Mereka pulang menjelang senja hanya untuk bertukar argumen dan ayah berakhir tidur di sofa panjang ruang tamu, sementara ibu berisak tangis dalam balutan selimut mereka.

Aku sudah lupa kapan terakhir kali kami makan bersama di meja makan, atau pertanyaan, "Bagaimana sekolahmu?" yang dulu sering mereka lemparkan. Peduli apa saat ini, aku pun tak lagi merindukannya. Yang kuinginkan sekarang hanyalah pergi jauh-jauh ke ruang kosong, di mana aku bisa menjadi diriku sendiri dan menangis sepuasnya.

Abidine tak mengerti, pun tak tahu masalah ini. Padahal dia yang biasanya paham apa saja pada diriku. Benakku juga tak mau mengumbarnya, dia hanya teman sekaligus sepupuku, dan dia takkan berbuat apa-apa selain mendengarkanku berkesah.

Segalanya semakin runyam saat aku ada di ujung kelas sepuluh. Sebentar lagi Februari, aku harus lebih fokus pada ulangan-ulangan harian karena hanya itu yang akan menentukan nilaiku. Kelas akselarasi tak punya ulangan semester.

Tak ada yang memerhatikan rautku selama di kelas, setidaknya air wajah ini nyaris selalu sama bentuknya dalam keadaan apapun. Aku memang berniat menyembunyikannya dari sekitar, termasuk Pak Faruq yang akan menayaiku ini itu kalau terciduk memiliki masalah—beliau merasa bertanggungjawab atas semua yang terjadi pada anak akselarasi.

Candala tampak acuh sejak pertama, aku tak mengkhawatirkannya. Belakangan memang kami terpaksa sekelompok, sebab Pak Faruq yang memaksa kami. Beliau masih yakin bahwa dua orang yang memiliki suatu pekerjaan pasti akan berdialog.

Sayang, aku tak lagi bicara selain keperluan khusus—misalnya dipanggil Pak Faruq ke kantornya seperti sekarang ini. Beliau memijat-mijat pangkal hidung hingga jidat, kemudian menatapku lelah. Amat kentara sebuah titik lelah di matanya.

"Apa, sih, yang membuatmu nggak mau buka suara?" tanyanya, tak mengindahkan riuhnya guru-guru yang hilir mudik meja masing-masing.

Aku diam, memikirkan jawaban yang tepat. Kalau kubilang aku enggan membuka mulut karena memiliki trauma masa lalu, beliau jelas akan khawatir dan bersikap berlebihan, jangan sampai itu terjadi. Tak ada alasan khusus sebenarnya. Aku hanya lelah dengan cara manusia berkomunikasi. Dikatakan langsung mereka tidak percaya dan lebih meyakini penilaian sendiri. Tak ada bedanya aku dengan Candala, orang lain di luar sana pun bisa sok menyimpulkan pacarnya selingkuh hanya dengan melihat orang lain mendekat, padahal belum tentu itu pacarnya pacarmu. Bingung? Aku juga bingung.

"Bapak tau, beberapa dari kalian, terutama yang cerdas, akan lebih sulit mendapat teman karena pola pikir yang bicara bahwa berteman tak ada gunanya. Kalian berpikir bahwa bisa melakukannya sendiri."

"Nadir takkan menyalahkan pemikiran bapak, itu memang benar, dan termasuk salah satu alasanku tak memiliki teman dekat." Kepalaku menunduk, menatap kedua tangan yang saling bertaut di atas rok abu-abuku.

Pak Faruq termenung sejenak. "Berarti masih ada alasan lainnya?"

Aku mengangguk. Pembicaraan itu sama seperti minggu-minggu sebelumnya, tidak membuahkan hasil bagi Pak Faruq. Aku pulang lebih lambat dari anak-anak lain, nyaris menjelang magrib.

Alasan lainnya mengapa aku tak ingin membuka suara karena, dengan mengucap kata ... orang mampu menilaimu. Orang mampu melihat apa yang sedang dirimu rasakan, dan aku tak mau mereka mengenal diriku lebih dalam. Ada segudang rahasia yang ingin kupendam sendiri, katakanlah aku pelit tak ingin berbagi dalam hal itu.

Kepalaku jadi pusing sendiri kala mengingat hal apa saja yang tak ingin kubagi dengan orang lain. Begitu keluar dari kantor guru, aku langsung ngacir keluar gerbang dan buru-buru pulang. Jalan kaki, orang tuaku sibuk, kalian ingat?

Melewati perpustakaan kota tepi jalan raya, perempatan halte bus tanpa penumpang, memasuki jalan kecil ... untuk menemukan sekolah lamaku. Taman kanak-kanak dekat rumah, sudah kosong karena kepala sekolahnya memutuskan pindah lokasi. Gedung-gedungnya sudah beralih fungsi sebagai gudang arsip, sementara jungkat-jungkit, ayunan, perosotan, dan lainnya sengaja dibiarkan karena beliau tahu ada banyak anak kecil di sini.

Tempat ini menjadi favoritku setelah anak-anak yang dulu sering bermain di sini telah beranjak dewasa dan tak lagi mampir. Tersembunyi pohon lebat, juga pagar warna-warni yang pudar dan berkarat, terkesan menyeramkan, tetapi mereka tidak tahu bahwa melihat senja di sini lebih asik daripada di cafe kopi.

Kulempar tas sekolahku begitu saja di tepi ayunan, lantas membiarkan rokku mencium debu dan pasir di permukaan ayunan. Perlahan, decitan terdengar lirih seakan menjerit menahan bobotku dan gesekan besi-besi penyangga.

Sesekali ingin rasanya aku menghilang.

Sesekali rasanya aku ingin menghilang.

Rasanya sesekali aku ingin menghilang.

Sesekali aku ingin menghilang rasanya.

Rasanya aku ingin sesekali menghilang.

Kata-kata itu berputar dalam benakku, terus berulang teracak-acak. Aku tak ingin kembali ke rumah kala mengingat adegan tadi pagi. Pandanganku kabur, terhalang senyawa-senyawa pembentuk derai di pelupuk.

Kuremas besi berkarat ayunan kuat-kuat seraya menunduk, memerhatikan seragam sekolahku yang tak lagi baru. Juga bayang-bayang dedaunan yang bergerak ditimpa angin dan surya senja.

"Nadir?"

Ringisanku berhenti detik itu juga. Ini suara siapa? Tidak, aku belum pernah mendengarnya. Bukan Abidine, atau teman sekelas. Bukan Pak Faruq, karena suara ini lebih ringan dan lembut. Bukan ayah, sebab ada sebuah perasaan yang mengalir saat suara itu memanggilku.

Kutunggu sosok tadi menghampiriku, kalaupun tidak dan aku berakhir penasaran, maka biarlah orang itu berkeliaran di benakku semata-mata untuk melupakan yang lain. Namun, siluetnya mulai mendekat, aku tidak takut kalau itu orang jahat atau bukan. Lebih tepatnya, aku tak lagi memiliki hasrat untuk hidup.

"Nad?" Ujung sepatunya menyentuh ujung sepatuku. Celana panjang abu-abunya ... dia anak SMA juga. "Kau Nadir, 'kan?" Dia memanggil namaku berulang-ulang, tetapi aku terlalu sedih untuk sekadar mendongak.

Hingga tangannya hinggap di puncak kepalaku, mengusapnya pelan. Lantas turun dan membelai pipiku. Tanpa aba-aba daguku diambilnya mendongak hingga netra kami bertemu.

Candala?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top