Empat Belas ☁️ Drama Anak Remaja
Ini adalah minggu terakhir kami menetap sebagai kelas sepuluh. Juga hari terakhir tiga teman sekelasku bersekolah di SMA Negeri favorit ini. Gosal, Rina, dan Keenan akan pergi untuk pertukaran pelajar di sekolah Candala sebelumnya.
Untuk pertama kalinya, kulihat Giam memeluk kembarannya erat-erat, menggelayuti punggungnya, mengekori Gosal ke mana-mana sampai dia terpisah dari Jamal dan Abidine. Semisal kembarannya adalah perempuan, mungkin sedikit wajar menghawatirkan Gosal. Namun, mereka berdua, 'kan, laki-laki!
Senin lalu aku lupa mengambil payung lipatku sepulang sekolah, Dala pun demikian, tetapi bukan itu yang akan aku bicarakan kali ini. Kelas akselarasi diliburkan belajar sehari. Berkat apa? Pertama, upacara perpisahan dan pidato lima siswa yang akan pergi ke Jakarta. Kedua, setelah mendengar amanat upacara yang masuk telinga kiri keluar telinga kanan, OSIS dengan senang hati menggelar stand dan menaikkan hiasan panggung. Class meeting pertama di tahun ini akan dimulai.
Sayang sekali Gosal, Keenan, dan Rina harus pulang tanpa merasakan class meeting terakhir. Mereka akan bersiap mengangkut barang dan pergi ke bandara jam 9 nanti. Pak Faruq yang akan mengantar mereka sebagai perwakilan dari sekolah, sebab kami tidak diizinkan keluar dari gerbang selama bel pulang belum bernyanyi.
Dengan begini, resmilah sudah kelas akselerasi hanya memiliki tujuh orang siswa. Bila menangisi kepergian Rina, tetapi dia bilang itu adalah tangisan bahagia karena sahabatnya akan pergi ke tempat yang lebih baik-agak ambigu memang kalimatnya, disangka anak orang dipanggil Tuhan. Giam pun demikian, tetapi dia berusaha menutupinya dengan menepuk-nepuk pundak saudaranya dan berkata, "Kelak kita akan bertemu lagi, Bung."
Keenan satu-satunya dari kelima orang yang akan berangkat ke Jakarta tanpa perpisahan alay-alay. Dia mengarahkan kameranya bersama tripod di tengah lapangan setelah upacara, kemudian berseru kencang-kencang menyuruh semua orang menyingkir. "Foto dulu sekali, biar taun depan bisa bikin recap perbedaan pas kita lulus." Astaga senyumnya manis sekali, seakan tak ada penyesalan meninggalkan kami di sini. Pun pada sahabat karibnya sejak lama, Jamal, mereka hanya beradu tinju dan saling menepuk punggung.
"Aku nggak menerima kalau yang kembali padaku adalah seorang pecundang," kata Jamal sambil tersenyum miring, menyambut kepalan tangan Keenan.
Persahabatan laki-laki sedikit berbeda dari para perempuan. Mereka tak perlu banyak pembuktian seperti gelang persahabatan atau pesta bantal. Para lelaki hanya perlu kopi, bertukar aspirasi, dan jajan di angkringan. Besoknya bisa kalian lihat sendiri, kalau mereka makin dekat maka, sebuah hubungan mulai terbentuk.
Nah, kami berpamitan tepat sebelum CM dimulai, orang tua mereka sudah ada di depan gerbang. Setelah itu, baru aku menghela napas lega. Sejak dulu aku tak pernah menyukai perpisahan, bukan orangnya yang kutangisi, tetapi perasaan dalam dadaku sendiri. Sesuatu itu mengganjal di ulu hati, bertahan lama hingga beberapa hari ke depan sampai aku lupa sendiri. Paham tidak? Mungkin aku hanya tidak siap untuk perubahan.
"Nad, ke kelas bentar, yok?" Jamal menepuk pundakku pelan. Untuk kesekian kalinya, aku tak bisa mengartikan sorot mata anak itu, apa yang sebenarnya dia pikirkan.
Eh? Kenapa tiba-tiba anak ini jadi mau ngomong denganku? Sebelumnya Jamal hanya menganggapku sebagai angin lalu, dengan prinsip; kalau Nadir memang tidak mau didekati, buat apa dipaksa?
Namun, aku mengangguk dan mengikutinya. Kalau Jamal memang mau bicara padaku, itu pasti hal penting. Senakal apapun preman kelas satu ini, ingatlah dia masih di kelas akselarasi, dan kalau kalian tahu ... anak inilah musuh abadiku kalau ulangan.
Aku sadar kalau Abidine melirikku dari kejauhan, tetapi kuacuhkan saja dia. Jamal berjalan di depanku, langkahnya lebih lebar dari para bodyguardku—Candala dan Abidine. Sampai di depan kelas, punggung Jamal berhenti mendadak. Hampir kutabrak dirinya seandainya refleksku tidak cepat.
"Kau," katanya. Otakku langsung menerka-nerka apa yang akan dia katakan. Pengungkapan cinta? Tidak. Minta tugas? Tidak. Mengibarkan bendera putih? Atau memintaku mengalah padanya saat ulangan nanti? "sempet dihadang Yoga?" Dia berbalik, kami jadi berhadapan begitu saja.
Lho?
Astaga, kupikir apa!
Iya, aku pernah dua kali dihadang Yoga. Kutatap matanya tajam, kemudian mendongakkan kepala sambil mengangkat alis sekali.
Melihatku, Jamal langsung memijat pangkal hidungnya sambil menunduk dan berkacak pinggang. "Kenapa kau tak bilang?"
Lah, buat apa bilang padamu? Kau mau menghajar Yoga lagi, terus dipanggil ke ruang Bu Endang? Atau kau mau belajar santet biar bisa membunuh tanpa menyentuh?
"Denger sini, aku tau kau nggak mau buang-buang mulut, tapi kalo Yoga ganggu lagi, tolong bilang sama aku—"
"Tau dari mana?" tanyaku. Lagi pula, kejadian itu sudah lumayan lama, kenapa dia malah baru tanya sekarang?
Jamal tertegun sejenak. Mungkin terkejut melihatku mau bicara dengannya. "Dala. Dia bilang ke aku dua hari lalu, kita nggak sengaja ketemu di jalan."
Oh, anak itu mulai berani bicara dengan orang lain. Baguslah.
"Dan Dala juga bilang Yoga mau baku hantam hari ini," sambung Jamal yang membuatku melotot heran.
Untuk apa Yoga melakukannya? Balas dendam? Itu menjijikkan, ini bukan zaman pra-aksara lagi. Ada yang namanya jalur diplomasi, atau yang paling tepat, kata masyarakat awam; musyawarah mufakat.
Namun, sepertinya aku melupakan fakta bahwa Yoga adalah anak yang bodoh—iya, terus terang saja, otaknya tidak akan sampai. Anak remaja sepertinya yang sering tawuran itu sama saja, raganya saja yang di era 2000-an, tetapi otaknya ketinggalan di zaman dinosaurus berkuasa.
"Kau nggak bakal ngeladeni dia, 'kan?" tanyaku memastikan setelah berpikir lumayan lama. Bagaimanapun, kalau Jamal sampai terlibat hal seperti itu, seluruh anak akselarasi juga akan kena imbasnya. "Atau kau mau jadi rakyat tak mutu sepertinya?"
Jamal mengusap rambut belah tengahnya hingga belahan itu tak tampak lagi. "Tergantung seberapa menyebalkannya anak itu—hei, aku nggak pernah menyangka bicara denganmu lumayan menyenangkan."
"Jangan, Mal," ajakku. Ini bisa berbahaya. Terakhir kali dia terlibat kasus sejenis ini di semester satu, dua orang kakak kelas retak tulang pengumpilnya. "Yoga cuma mau menjebakmu, tau. Kalo kau ngeladenin dia, berarti kau masuk ke dalam perangkapnya. Mau?"
Aku tak tahu jelas apa masalah dua orang ini sampai-sampai tidak pernah akur macam kucing oren rebutan kawin di depan rumah Pak Nur. Yang jelas, mereka sudah kemusuhan sejak SMP, dan kalau ketemu bawaannya mau mengajak Donald Terompet memulai perang dunia ketiga melawan Koretan.
Ketimbang bernegosiasi bersama Yoga, Jamal lebih mudah dipengaruhi dengan argumen-argumen kuat. Jamal jelas lebih pintar dari Yoga, sebab itu pula dia mampu memperhitungkan untung-rugi kalau dia adu jotos sama Yoga. Kali ini aku harus menghentikan mereka, setidaknya ini untukku sendiri dan keselamatan nilai teman-teman sekelas.
"Tidak, tapi aku nggak bisa biarin dia gangguin anak-anak terus." Tangannya mengepal di sisi kanan-kiri tubuh. Kudengar giginya bergemeletuk, kemudian menarik napas pelan demi mengendalikan emosi di depanku. "Aku tau kau merencanakan sesuatu, Nad."
"Memang." Aku tersenyum lebar, mendongak untuk melihat bagaimana cara Jamal menatapku saat ini.
Mukanya datar, menunduk dengan mata nyalang seakan hendak menerkamku. Tenang saja, Jamal bukan tipe orang yang akan menggigit temannya sendiri. "Apapun itu, ayo coba dulu."
。 ☆ 。
Rupanya, hanya aku seorang diri saja yang belum mengetahui berita tentang si Yoga-Yoga itu. Usai berdiskusi bersama Jamal tadi, aku langsung merapat pada Candala dan bertanya banyak hal yang rasaku tak perlu disebut satu-satu untuk kalian. Intinya, enam temanku yang lain sudah mengetahui hal ini kemarin, tetapi Candala berusaha menahan mereka untuk tidak memberitahuku. Dia takut aku malah merasa bersalah karena melibatkan mereka.
Satu setengah bulan bertemu dengannya membuatku berbeda dari Nadir sebelumnya. Kali ini aku lebih paham bagaimana cara menyikapi penyimpangan sosial. Dalam kasus ini mungkin sedikit berbeda dari Rachel. Yang kami hadapi kali ini anak laki-laki, otaknya lebih senang berpikir instan ketimbang perhitungan, hormonnya juga berbeda, ditambah latar belakangnya yang mungkin sama kerasnya dengan hidup anak itu sekarang.
Jam pertama pelajaran kami gunakan untuk menonton Jamal mengisi pentas seni di atas panggung bersama gitar kesayangannya. Bila yang paling kencang bertepuk tangan sambil jejeritan di ujung lapangan, di bawah pohon rindang. Gadis itu kemudian dimarahi Giam, bibirnya mengerucut sedemikian rupa hingga dagunya tertekuk. Dia mengadu padaku, lantas menjulurkan lidah panjang-panjang seraya memasaang wajah paling jeleknya.
Pentas seni masih berlanjut sampai jam pelajaran ketiga, sebelum akhirnya bel istirahat menjerit. Tak ada satu pun dari kami yang beranjak, termasuk Giam dan Abi yang biasanya langsung ngacir adu bentrok di kantin rebutan bakso. Kami berkumpul di sudut lapangan, orang-orang mungkin heran melihat anak akselarasi full team yang kalem-kalem dari luar, tetapi gila di dalam, malah berdiskusi di tengah ingar-bingar class meeting.
Jamal memulainya duluan, dia memperkirakan Yoga akan datang dari mana sepulang sekolah nanti. "Paling besar kemungkinan dari arah Gunsar, SMK Pangeran lewat situ biasanya."
"Berarti nggak dari jalan protokol, keknya dia mau ambil gerbang Utara. Bisa gawat banget kalo sampe tawuran," timpal Abi, sejak tadi dia tak berhenti memainkan kukunya sembari sesekali melirikku.
Seharusnya masih agak lama, sebab di sana mungkin masih jam pelajaran. Apapun itu, kami harus menyiapkan semuanya. Mulai dari alibi jika kepergok, strategi agar ini menjadi yang terakhir kalinya Yoga berurusan dengan kami, sampai kemungkinan terburuk bahwa kami mendapat cap jelek.
"Panggilan." Suara dari toa sekolah menampar kami cukup keras, karena jarak kami hanya terhalang sebuah pohon yang jelas tak kedap suara. "Kepada ... melapor ... terima kasih." Putus-putus, seperti kisah cinta remaja, saluran panggilan pun demikian. Selain beberapa kata, sisanya hanya suara dengungan lebah kawin.
Hah? Ngomong apaan, sih?
"Rapat guru doang," ujar Bila. Anak ini punya sensorik khusus atau bagaimana? "Kalo gini kita, mah, sempet masang garis aman. Iya nggak, Nad?"
Hah? Aku lagi? Kenapa?
Namun, Taufan yang tidak ditanya mengangguk lebih dulu. "Maksudnya Bila garis aman, tuh, kayak jaminan bahwa bukan kita yang salah. Sesuatu yang bisa kita jadikan bukti kalo memang bukan kita yang salah." Ketua kelas kami melirik arloji di pergelangannya. "Masih ada sepuluh menit sebelum bel masuk. Bila, kau punya ide ngomong kayak gitu?"
Gadis itu tersenyum lebar. "Serahkan padaku, Bung. Cewek satu ini pinter menguntit—apalagi masalah cowok." Dia kemudian menarik tanganku untuk berdiri. "Iya, 'kan, Nad?"
Sebelum aku sempat menjawabnya dengan gelengan, Bila lebih dulu menarikku menjauh dari kerumunan lima orang bujang. Dilihat dari gerak-geriknya, mungkin aku tahu apa yang anak ini rencanakan. Kepribadiannya cukup simpel, tidak terlalu ribet dan sedikit licik.
Biar kutebak, Bila akan meletakkan ponselnya di tempat tersembunyi yang mampu melihat seluruh gerbang Utara.
"Pinjem ponsel, dong, Nad?" Tepaknya menaiki tangga di sebelah koridor utama.
Tuh, 'kan!
Begini, ada dua gerbang di sekolah kami. Gerbang utama di bagian Timur, menghadap langsung ke jalan raya dan sebuah SMP. Yang kedua gerbang di Utara, dipisahkan dari taman kanak-kanak oleh sebuah jalanan aspal yang cukup sepi. Bila menggunakan ponselku untuk memantau gerbang utama dari ruang auditorium yang berada di paling depan sekolah, sementara ponselnya dia letakkan di pohon besar agar mampu melihat pergerakan gerbang Utara.
Meski kelihatannya gadis berambut panjang tergerai indah nan cantik itu feminin, sebenarnya Bila cukup mahir memanjat pohon. Dia mampu meletakkan ponselnya dengan mudah di antara dua dahan besar, kemudian melompat turun dengan selamat tanpa pincang-pincang—kalau aku mungkin sudah kayang encok.
"Sudah, aku masang ponsel kita biar terhubung ke sini," Bila mengeluarkan satu lagi ponsel bersarung hitam bergambar NASA, "yang udah merekam dua video call kita." Ponsel Candala?! Sejak kapan Bila mendapatkannya?
"Woi!" jerit seseorang yang sudah sering kudengar di rumah om.
Namun, suara knalpot besar lebih dulu mengalihkan pendengaranku pada sepinya jalan raya. Seharusnya tidak ada motor besar yang lewat di jam belajar. Tanpa disuruh pun itu memang merupakan sebuah adab. Tetapi, aku lupa bahwa antek-anteknya Yoga tidak punya jam belajar maupun adab.
Abidine menyambar ponsel Candala dari gengaman Bila. "Yang punya ponsel nyariin, tau! Bilang dulu, kek—" Sepupuku itu ikut mematung melihat belasan moge berbondong-bondong menuju sekolah kami.
Tidak, kami salah memprediksi datangnya Yoga.
"Panggil yang lain!" seruku panik.
Bila ngacir duluan, masuk ke gedung sekolah secepat angin. Abidine merapat denganku. "Ayo sembunyi, Nad," ajaknya menggandeng tanganku.
"Kau tau kita masang kamera, 'kan?" tanyaku tanpa bergerak sedikit pun. "Kalau mau memergoki mereka bersalah, maka aku yang jadi umpan—"
"Aish, mulai gobloknya. Kau nggak liat mereka bawa parang?" Abidine menepuk dahi melihatku mengernyit, tangannya kemudian mengambil kepalaku dan menolehkannya ke salah satu sisi di mana anak buah Yoga menggeret sabit.
Mataku membulat. "Serius?! Kita mau perang kayak zaman batu?!" Kutarik tangannya masuk ke gedung sekolah. Hanya masuk, kami harus melihat bagaimana keadaan sebenarnya. Jadi, aku dan Abidine bersembunyi di balik pintu ganda.
Sebelumnya aku belum pernah mengalami kondisi seperti ini, karena aku tak peduli sekitar dan tidak mau ambil pusing dengan masalah orang lain. Sekarang aku bingung sebab tak bisa membuat rencana. Apa Yoga akan menyerang langsung? Atau menyerukan nama kami lantang-lantang untuk adu pedang by one?
Biasanya tawuran seperti apa, sih?!
"JAMAL!"
Sekujur bulu kudukku berdiri menyambut seruan Yoga. Aku melirik Abi, dia melirikku balik sambil menarik garis melintang horizontal di tengah leher berkali-kali.
Aduh, aku tidak tahu hal ini bisa terjadi di jam sekolah.
Suara knalpot mereka terasa sangat dekat dan tidak sekencang tadi, tandanya mereka sudah berhenti. Kemudian gerbang besi kami dipukulnya dengan besi lain hingga suara memekakkan telinga merambat melalui udara.
Kenapa mereka lama banget, sih? Bila kesandung di tengah jalan, kah?
"Nad," panggil Abidine. Aku tak mengacuhkannya sebab panik duluan. Kalau adu senjata, bagaimana cara kami menjebak mereka tanpa terluka bahkan terbunuh?! "Nadir!" bisiknya seraya menghentakkan kaki.
Aku menoleh pasrah.
"Yang lain di depan, Nad. Yoga di gerbang utama!" Bola matanya bergetar setelah melihat ponsel Candala yang terhubung dengan ponselku di ruang auditorium.
Jantungku berdebar kencang. Untuk pertama kalinya aku bingung harus melakukan apa di saat-saat seperti ini. Kakiku bergerak lebih dulu tanpa berpikir, Abidine sepertinya langsung mengejarku detik itu juga.
Koridor sepi, semuanya ada di lapangan satu dan kantin. Guru-guru juga ada di ruang rapat, maka kemungkinannya kecil untuk mengetahui keributan di luar. Aku terus berlari, membiarkan rok sekolahku miring-miring dan helai rambutku tak lagi rapi.
Dari ujung lorong, bisa kulihat Bila bersembunyi di balik punggung Taufan. Dia memeluk dirinya sendiri, tetapi kala melihatku berderap tangannya langsung terangkat dan melambai, menandakan teman-teman kami masih di sana.
"Ke mana, sih, orang-orang yang lain? OSIS kek?" keluh Giam seraya mengintip dari jendela gelap koridor utama.
Kami berkumpul tepat di depan gerbang utama, hanya terhalang pintu ganda dan barisan kaca gelap dari belasan anak STM yang membawa parang dan batu. Sungguh aku tak menyangka hal ini akan terjadi, kupikir Dala dan Yoga sudah bermaaf-maafan waktu di trotoar itu. Tidak mungkin kami bertujuh melawan total mereka yang mencapai dua puluh lebih.
"Perlu panggil polisi?" kata Taufan, dia sedang membaca keadaan. Matanya bergerak cepat meneliti orang-orang di depan sana yang mirip Homo Sapiens rebutan api. "Bahaya juga kalo mereka keroyokan kayak gini. Satu, kita kalah jumlah. Dua, mereka bisa menyebabkan kerusakan lingkungan sekolah. Tiga, mereka bawa senjata, dan itu serem banget."
Di barisan paling depan, Jamal meremas tangannya sendiri. "Sisakan Yoga."
Giam menepuk jidatnya. "Gimana caranya, Mal? Kau mau main kucing-kucingan sama tu anak lagi?" Lelaki itu mendekati Jamal, menepuk pundaknya perlahan. "Kita kudu mikir bener-bener kalo nggak mau kena imbas."
"Panggil aja polisi," ujarnya mendongakkan kepala, kemudian menoleh ke belakang, ke arah kami semua. "Aku nggak peduli mereka mau diapain, aku cuma mau mukul Yoga sampe hidungnya tenggelam kayak Voldemort." Ditepisnya Giam dengan tak kasar, kemudian menyuruh kami berkumpul membuat lingkaran renggang. "Kayak katanya Giam, aku bakal kejar-kejaran sama Yoga. Gimana caranya? Aku bakal mancing dia kabur dari polisi tanpa motor, sampai antek-anteknya lenyap satu-satu."
"Kau yakin?" tanyaku. Aku mulai meragukan hal itu akan berhasil. Meski benar, dari seluruh tetek-bengeknya, Yoga yang paling lincah dan berkemungkinan besar scane seperti bayangan Jamal akan terwujud. Masalahnya, Jamal kalau sudah marah bisa bikin anak orang dipanggil Tuhan lebih cepat.
Jamal tidak menjawabku, tetapi dia langsung keluar dari lingkaran dan menyerahkan ponselnya pada Candala. "Titip. Bakal kuberesin anak itu. Kalian ke lapangan aja."
"Heh, mana bisa gitu!" Bila menarik sebelah tangan Jamal hingga lelaki itu berbalik. "Ini melenceng dari tujuan awal kita, lho, Mal!"
Pemuda itu menyungging senyum. "Mereka juga melenceng dari perkiraan kita, Bil. Daripada semua anak akselerasi yang kena imbas sebab Yoga ngadu ini ulah kita, mending aku sendiri aja yang nanggung—"
Cengkeraman tangan Bila semakin erat di lengan Jamal. "Kau ini goblok apa gimana?" Matanya berkaca-kaca.
"Iya. Jadi, tolong. Biar ini jadi yang terakhir buat aku sama Yoga. Selesaikan hari ini, dan janji sampai kedepannya aku nggak bakal berantem lagi." Jamal menoleh pada Candala. "Udah?"
Yang ditanya mengacungkan ibu jarinya.
。 ☆ 。
Polisi datang beberapa menit kemudian, tak lama sebab sekolah kami berada di pusat kota. Jamal segera melompati pagar dengan sekali percobaan—sepertinya dia memang sudah sering melakukannya. Kemudian skenario berjalan sesuai dengan perkiraan kami; Yoga mengejar, yang lain tertinggal, sekarang mereka menghilang di balik dinding, dan entah apa lagi yang terjadi.
Sirine merah biru membubarkan komplotan bermotor di depan SMA. Bapak-bapak itu sempat mengeluarkan toa dan memperingati cowok-cowok gendeng dengan parang dan senjata aneh-aneh. Keributan sempat terjadi di dalam sekolah sebab mereka mendengar kegaduhan di luar. Guru-guru pun sempat keluar dari ruang rapat, bertanya-tanya apakah yang terjadi sebenarnya.
Bila menjelaskan semuanya secara rinci pada Pak Faruq. Beliau seketika memijat pangkal hidung seraya berkacak pinggang, lantas menghela napas panjang kala menyadari kami hanya enam orang dan Jamal menghilang. Candala langsung menempelkan telunjuknya di depan bibir, aku hanya mengangkat alis, dan Taufan menunduk dalam.
Dari cara wali kelas kami menatap siswanya, beliau tahu ada yang tidak beres. Namun, rupanya pria itu juga menyadari bahwa ada suatu hal yang sedang kami lakukan dan perlu bantuannya untuk menutup mulut sebentar. Telunjuk dan ibu jarinya menyatu, membentuk tanda OK sebelum berlalu kembali ke dalam ruang rapat.
"Aku mau nangis," kata Bila, tubuhnya ngesot-ngesot di koridor utama yang kembali sepi setelah lima belas menit keramaian.
Kuulurkan tanganku padanya. "Aku juga nggak tau harus gimana. Mending kita ke lapangan, jagain pacarnya (baca: gitar) Jamal."
Gadis itu menerimanya, menyingkapkan tirai rambut yang tak sama seperti tadi pagi. "Makasih, yok. Nanti dicuri." Senyumnya kembali mekar.
Tidak ada tanda-tanda keributan dari luar setelahnya. Kami kembali ke lapangan, menonton orang-orang kesurupan dengan kuda jerami, dan bagi-bagi doorprize. Aku sudah empat kali bolak-balik ke kamar mandi. Bukan diare, lebih tepatnya aku mendekati dinding terluar sekolah untuk mengintip apakah Jamal sedang duduk-duduk santai bersama Yoga sambil ngopi atau malah perang catur.
Hasilnya nihil, mereka tetap tak terlihat. Atau aku telpon Jamal saja ... eh, ponselku!
"Nad?"
"APA KUDA?!" latahku terlonjak di atas wastafel. Pelan-pelan leherku memutar ke belakang, melirik dari sudut mata dan helai rambut yang sudah kubilang tak lagi rapi.
Candala di sana, di depan pintu, di luar kamar mandi perempuan, menatapku kaget dengan bibir sedikit terbuka. "Ekhem." Dia membuang pandang ke bawah sambil pura-pura batuk.
Cepat-cepat aku melompat turun kemudian mendekatinya. "Apa?"
Anak itu seakan kehilangan kata-kata, matanya hanya berkeliling melihat sekitar sebelum berhenti di mataku. "Enggak." Matanya beralih lagi ke arah lain.
"Kalo gitu temenin aku ambil ponsel." Aku melangkah lebih dulu melewatinya. Dari depan bisa kudengar suara sepatunya mengikutiku.
Seperti biasa, kami menghabiskan jalan dengan diam. Walaupun sudah lebih dekat, aku dan Dala masih sering menutup mulut rapat-rapat, lebih menikmati lingkungan sekitar juga suara selain milik sendiri.
Ponselku ada di lantai atas, aku mengambilnya sendiri di ruang auditorium, memanjat kursi dan meja yang kosong demi meraih ventilasi. Candala masih bengong di ambang pintu ruangan yang tidak dipakai. Entah apa yang ada di pikiran anak itu, dari matanya dia tampak kaget melihatku dua kali memanjati sesuatu dan mengintip melewati celah sirkulasi udara.
"Apa, sih?" tanyaku sengaja menyenggol bahunya ketika keluar dari auditorium. Mungkin aku harus mengambil ponselnya Bila juga.
"Enggak, lucu aja liat kau manjat." Tangan kanannya menyentuh tengkuk, mengusapnya sambil enggan menatapku. "Ayo, kau masih harus ngambil ponselnya Bila, 'kan?"
Aku mengangguk. Tiba-tiba kurasakan pipiku menghangat sendiri, seperti ada yang menarik sel-sel kulit wajahku. Kepala ini terus memutar kata-kata Candala barusan. Lucu aja liat kau manjat. Kini kepalaku seperti Chrome yang membuka beberapa tab dalam satu waktu, dan aku tak tahu dari mana suara Candala berasal.
Lucu aja liat kau manjat.
Lucu aja liat kau manjat.
Kugelengkan kepalaku cepat-cepat. Aku tidak boleh memikirkan hal tidak penting seperti itu. Kenapa kupikirkan?! Wahai, keluarlah dari kepalaku!
"Nad?"
"Ya?" Aku lekas menoleh pada Candala, kemudian sadar kami sudah ada di gerbang Utara. "Oh, aku ... nggak bisa manjat pohon."
Keningnya mengernyit. "Ponselnya Bila di atas pohon? Tadi kau manjat meja kursi—"
"Beda," selaku. "Jadi, tolong ambilin." Aku menunduk, malu menampakkan wajahku di depannya. Kira-kira tadi bagaimana ekspresiku saat naik meja auditorium?
Candala mendongak sebentar, tetapi tidak menemukan di mana ponsel Bila bersembunyi. Dia menatapku, meminta keterangan lebih lanjut. Jadi aku hanya menunjuk salah satu sisi dahan pohon, dan dia mengangguk, melepas sepatunya. "Titip."
Dari bawah, kulihat pemuda berseragam sepertiku mulai memanjati pohon. Gerakannya lugas dan cekatan meraih celah-celah yang bisa dicekal. Tak sampai semenit, tubuh itu sudah memeluk dahan pohon yang tadi kutunjuk. Dia nyaris tak terlihat di balik dedaunan yang lebat.
Kuacungkan jempol padanya, sebelum mendengar suara seng aneh bergelimpangan. Kucing berkelahi, barangkali. Namun, tatkala jidat seluas bandara Adisutjipto tampak dari kejauhan, di sanalah kuketahui itu bukan kucing berkelahi, tetapi anjing dan kucing kejar-kejaran.
Jamal melompati pagar dua setengah meter dengan mudah, rambut belah tengah ya berkibar setengah lepek terkena keringat. Dua detik kemudian, Yoga menyusul dengan seragam STM tidak dikancing, menampakkan kaus hitam yang dikenakannya. Wajah mereka memerah, Jamal terus berlari dikejar Yoga yang membawa parang.
"Minggir, Nad!" serunya melewatiku secepat anak gadis ketahuan belum membersihkan kamarnya.
Seharusnya aku menyingkir, jadi aku menurut saja dan melangkah mendekati pohon. Entahlah, kali ini otakku sedikit terlambat bekerja. Tiba-tiba saja seseorang mendekap perut serta lenganku dari belakang, hangat kurasakan deru napas dan dadanya yang bidang menempel pada punggungku.
Candala tidak mungkin langsung lompat dan memelukku, 'kan?
"Jamal!" teriak sosok di belakangku. Parangnya teracung tepat beberapa senti di depan leherku. "Masih mau lari?" Napasnya ngos-ngosan di puncak kepalaku.
Apa ini? Aku jadi sandera?
Teman sekelasku berhenti seketika, menoleh ke belakang di mana aku berdiri kaku dengan konyol. "Cih! Raflesia, pantaskah kau sebut dirimu lelaki kalau hanya berani mengancam?!"
Yoga terkekeh, mendekatkan parangnya dengan leherku lagi. "Oh, jadi ini pacarmu, eh? Berlutut, cium dulu kakiku, mengakulah kau kalah, dan kubebaskan Nadir." Mata bengis itu menatapku dari atas, sebab dia lebih tinggi. "Atau mungkin kau tak mendengar suara gadis ini lagi."
"Cuih!" Kuludahi wajahnya yang menatapku. "Apa kau benar-benar berani, hm? Memotong pita suaraku dari luar sama saja membunuhku. Ini masih lingkungan sekolah, kau sudah 17 tahun, 'kan? Hukumanmu bisa saja penjara, bukan rehabilitasi anak lagi—"
"Banyak cakap, ya?!" Yoga benar-benar membuat jarak parang dan leherku menghilang. Besi dingin itu sudah menyentuh kulitku terang-terangan. "Apa kau yang mengajari pacarmu bicara seperti ini, Jamal?!"
Yang ditanya menggeram. Tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Namun, gerakannya tidak lebih cepat dari gravitasi menarik Candala turun dari pohon.
Kaki telanjangnya telak mengenai ubun-ubun Yoga, di saat yang bersamaan tangan kirinya menampik parang hingga berpindah tangan. Semuanya terjadi sangat cepat, Yoga terpental jatuh terduduk, dan tubuhku berpindah ke dekapan Candala.
"Aku yang mengajarinya bicara seperti itu, kau punya masalah, Bung?" Suaranya dingin, dingin sekali. Bisa kurasakan degup jantungnya di punggungku.
Sementara Yoga berusaha berdiri, Candala sudah lebih dulu mengacungkan parang. Jamal mendekati kami, rambutnya acak-acakan. Dia meminta parang dari tangan Dala, lantas menodongnya tepat di leher Yoga.
Ini gila, sungguh. Apa lagi yang bisa lebih gila dari aku menjadi sandera, pertarungan jarak dekat, dan cowok yang terjun menyelamatkanku dari pohon dua meter.
"Coba bayangkan apa yang ayah katakan saat melihatmu." Yoga terkekeh, tak berani bergerak dari tempatnya setelah senjata di tangan Jamal benar-benar menyentuh dagunya.
Tunggu. Ayah? Mereka ... kakak adik?
Jamal menatap lawannya dengan angkuh. "Ambil orang tua itu untukmu. Kalian sama-sama busuknya."
Hah?
"Lantas apa? Kau mau membunuhku?!" seru Yoga menepis senjata di hadapannya dengan sebelah tangan. Naas, tindakannya barusan membuat Jamal marah dan memukul popor parang tepat di hidung mancung Yoga. Darah merembes ke kausnya perlahan-lahan, membuat warnanya semakin gelap.
Tentu anak itu menjerit, aku sendiri bergidik ngeri, membulatkan mata sebab terkejut. Jamal benar-benar tega melakukannya.
"Jamal!"
Bukan hanya empunya nama yang menoleh, tetapi kami semua. Pak Faruq di sana, beserta Taufan, Abidine, Giam, dan Bila. Sekali lagi, aku mematung di tempat. Dalam hati aku tahu, setelah ini akan menjadi perkara yang panjang. Bukan hanya melibatkan dua tersangka utama; Yoga dan Jamal, tetapi juga aku dan Dala.
Mereka mendekat, dan Jamal mengambil jarak. Reaksi Pak Faruq hampir sama sepertiku melihat tangan Yoga, keningnya berkerut dalam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top