Empat ☁️ Akselarasi Tipu-tipu

Kerumunan di tempat dudukku tak berlangsung lama. Sebab hujan yang kian menjadi, Jamal berani mengeluarkan gitar dari tempat persembunyiannya di belakang kelas lantas berseru, "Demi masa muda kita, buang saja lembar fisika!" Kakinya menepak di permukaan meja, memasang gaya bintang rock.

"Seberapa Pantas, Mal!" pekik Bila hendak mengalahkan derasnya rinai. "Rina mau nyanyi!" Gadis itu mengambil ponselnya, menyalakan flash.

Jamal mengedipkan sebelah mata. "La', jangan malu-malu. Kita malu-maluin kok." Dala hanya mengangguk singkat dengan senyum setengah kecut. Kemudian Jamal menyorot Riantana di tempat duduknya. "Rin, jadi nggak nih? Jariku dah panas."

Aku masih enggan beranjak, tiba-tiba merasa nyaman duduk mendepis di pojok depan kelas. Diam-diam kuperhatikan mereka semua. Taufan bersama Gosal masih sayang waktu rupanya, mereka belajar di tempat duduk absen 4 dan 10, sementara salah satu si pemilik bangku sudah joget-joget kesetanan di belakang.

Bila sudah melompat-lompat dengan Rina, Keenan ikut kesetanan drum pantat galon dengan Giam, bahkan Abidine juga di sana. Dala diam saja, memasang senyum iklan pasta gigi. Astaga mereka membuang-buang waktu, padahal tiga jam adalah waktu yang cukup untukku mengerjakan komisi seharga 120 ribu. Lumayan, duit jajan dapat, hobi tersalurkan pula.

"Nadir! Sini, dong. Diem-diem aja, ngapain di pojok situ?" panggil Bila, langkahnya seringan bulu menghampiriku. Rok kelabunya miring ke kanan-dia terlalu banyak polah.

Aku menggeleng tegas, menenggelamkan wajah di sketchbook dan kedua lutut. "Terlalu ramai." Mataku kembali melirik satwa kelas, saat pandangan kami tak sengaja bertemu.

Dala segera mengalihkan perhatiannya, pura-pura memandangi seisi kelas.

"Kau ini," desah Bila mengamit tanganku. "Kita masih remaja, Nad. Santai aja kali, jangan kaku-kaku." Gadis itu berhasil menarikku berdiri, kemudian dengan cepat merangkul pinggangku hingga diri ini tak bisa duduk di tempat yang sama untuk mengelak. "Seenggaknya ngumpul sama kita-kita aja, itu udah lebih dari cukup."

Dia terlalu baik, bahkan untukku yang tak peduli dengannya.

"Kelas sebelas nanti, kita jalan-jalan bareng ya! Kau wajib ikut, nggak ada penolakan-ea, mirip cowok alay gue jadinya." Senyumnya mengembang seperti matahari pagi, terus menyeretku macam anak kucing habis kena siram air dingin.

Rina siap dengan gagang sapu di depan dada. "Seberapa pantaskah kau untuk kutunggu?" Suara semerdu Murai Batu itu mampu membuatku merinding di tengah hujan sangking bagusnya.

"Gak pantas! Tinggal aja!" jawab Keenan dari belakang.

Anak-anak yang lain menyoraki Keenan, melemparinya dengan beberapa gumpalan kertas. Yang dilempari malah tertawa lebar. Aku tak begitu memperhatikan Rina, fokusku tertuju pada Dala yang kembali ke tempat duduknya setelah tadi diseret Jamal, tiba-tiba mereka sudah ada di pertengahan lagu sambil lompat-lompatan.

"Celakanya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu! Hanya kaulah yang benar-benar memahamiku! Kau pergi dan hilang ke manapun kau su ... ka!" Rina ikut naik ke atas meja bersama Jamal dengan gitar penuh tato-stiker.

Anak laki-laki di belakang menyambung lirik yang sengaja digantung Rina dengan semangat. "Celakanya hanya kaulah yang pantas untuk kubanggakan! Hanya kaulah yang sanggup untuk aku andalkan! Di antara perih aku slalu menan ... timu!"

Begitu reff usai, Jamal mulai menunjukkan keahlian jarinya memetik senar gitar dengan cepat. Semua terpana, termasuk aku yang kini mematung. Mereka partner musik yang serasi. Rina memang modis dan cocok untuk semua orang.

Mereka tampak seperti artis papan tulis. Tangis hujan terus menyamarkan suara gaduh kami, terbukti karena tidak ada satupun guru yang masuk untuk menegur. Sebab itu pula Jamal semakin liar dengan gitarnya-untung tidak dibantung macam bintang rock betulan.

"Siapa mau lawan aku, hah? Dewa gitar nih!" sombong Jamal membusungkan dadanya. "Dua makhluk di depan itu kayaknya nggak usah ditanya. Ah, cewek-ceweknya gak ada yang bisa main gitar!"

"Ga usah sombong kau!" Tuding Bila. Mereka adu teriakan ganal saung burung.

Sejak tadi, mataku tak lepas dari gerak-gerik Dala. Alhamdulillah anaknya tidak sadar kuperhatikan dari jauh. Kepalanya menunduk betah, dia tampak acuh dengan tawuran di belakang punggungnya. Bagian luar tempurung kepala Dala, surainya maksudku, lebat dan cukup untuk masuk kategori gondrong.

Sejenak aku terkagum kala melihat helai-helai itu ditiup angin. Otakku seakan melihat sesuatu yang aneh, tidak, lebih tepatnya limited edition. Sesuatu yang tidak kutemukan di kepala anak-anak sekelas. Namun, apa? Aku pun tak tahu.

"Dala!" panggil suara bariton dari belakangku.

Yang dipanggil siapa, yang menoleh aku.

Jamal memasang tampang sangar, mendongakkan kepala seolah memandang lawan bicaranya rendah. "Kau bisa main gitar?" Auranya mendadak gelap, lebih gelap dari ketiak Giam yang sering dipamerkan saat main basket.

Kepalaku menoleh lagi, pada orang yang namanya dipanggil. Dia hanya memutar bagian atas tubuhnya seraya menoleh. Kemudian menaikkan sebelah alis, minta pertanyaannya diulang lagi.

"Ayo," ajak Jamal, "adu gitar denganku."

Kelas hening, lagi-lagi menyisakan suara hujan di luar. Keenan tertawa lebih dulu mencairkan suasana. "Nggak cocok kau kek gitu, Mal. Mukamu aneh, serem kek Giam pas kesurupan."

Giam melotot saat itu juga, memukul kepala Keenan dengan pantat galon korban KDRT tadi. "Emangnya kapan aku kesurupan?!"

Saat pandangku menangkap dua orang lelaki nyaris mengundang perang dunia ketiga, Dala bergerak ke belakang kelas mendekati Jamal. Senyum preman kelas itu semakin semringah mendapati lawannya menerima tantangan.

Kalau diperhatikan lagi, begitu Jamal turun dari meja dan berdiri sejajar dengan Dala, tinggi mereka tampak berat sebelah. Jamal memang anak paling tinggi sekelas, sementara Dala hanya sepundaknya, padahal dia sedikit lebih tinggi dariku.

"Mau bawa lagu apa?" Rina bertanya, tangannya menjewer dua orang pemicu rudal balistik nuklir terlepas dan memisahkan mereka yang sudah peteng-petengan.

Alih-alih menjawab, Dala menekan senar gitar perlahan. Semuanya menatap dia dengan serius, tak terkecuali aku. Entahlah, aku hanya ingin memastikan bahwa teman sebangkuku itu waras dan tidak akan menikamku dengan cutter, atau tipikal cowok alay banyak gaya, tetapi berlagak sok dingin.

Ibu jari dan telunjuk kanannya yang panjang memetik senar, sementara tangan kirinya seperti bergerak cepat menekan senar yang mana-mana satu. Jarang ada genjrengan, rata-rata yang jemari lentik itu lakukan adalah memetik dan memetik senar dengan cepat bergantian.

Tak seperti Jamal yang kerap membawakan lagu rock atau aliran musik yang sejenis, Dala memainkan lagu santai. Sekilas terlihat mudah, tetapi cobalah kau mainkan sendiri, dan rasakan seberapa sulitnya menekan banyak senar dalam waktu bersamaan.

Jamal menelan ludah di sebelahku, menggertakkan gigi-geliginya. "Anak ini boleh juga," bisiknya, mungkin tak ada yang mendengar kecuali diriku. "Akaskero masuk ke dalam deretan gitar sukar."

Satu menit pertama, aku keluar dari gerombolan pemuda-pemudi melongo. Bila tidak menyadarinya, gadis itu terpukau dengan Dala di belakang kelas. Kulirik penanda waktu di dinding, baru sekiranya setengah jam sejak Pak Faruq memberi jam kosong.

Pantatku mengambil duduk di pojok depan kelas, bersebrangan dengan pintu. Sketchbook masih dalam dekapan, juga pensil dan antek-anteknya di genggaman. Mendadak hasrat menggambarku menguap entah ke mana. Yang ingin kulakukan saat ini hanyalah merebah dan memejamkan mata sampai bel istirahat.

Kutangkupkan wajahku di atas lutut dan mulai memejamkan mata. Ini akan membosankan, apanya yang masa remaja? Masa-masa banyak tekanan batin? Atau saat-saat peralihan dari anak-anak ke babu rumah tangga? Aku tidak tertarik.

"Nadir," panggil suara bariton. Tanpa mendongak pun aku tahu itu milik Taufan-ancang-ancangnya adalah suara yang paling sopan dan namamu akan disebut berakhiran panjang.

Aku hanya berdeham.

"Kenapa? Diputusin soang?" tanyanya. Bisa kulirik ujung sepatu Taufan mendekatiku, kemudian berjongkok beberapa langkah di depan.

Padahal dia sudah tahu, semua pertanyaan, apapun itu, tidak akan kujawab. Namun, dia tetap saja bertanya, apa saja dia tanyakan minimal sehari bertanya sekali. Dia selalu berusaha mengajakku bicara, mungkin karena dia ketua kelas, dan Pak Faruq yang memintanya secara khusus sebab sikap apatisku.

Beberapa menit memakan bisu dariku, Taufan ikut uduk bersandar pada dinding, menyelonjorkan kakinya. "Kau mau tau rahasia cepat kaya tanpa ribet? Ternak kuyang. Rasanya kayak metik mangga, tapi satu pohon cuma ada dua buah dan jualnya di web ilegal dunia."

Kesadaranku menguap perlahan, kelopak mataku kian berat.

"Nadir."

Netraku terbuka sempurna, beserta punggung dan kepala menegak, menatap lurus ke arah pintu. "Iya, Pak?"

Kilat menyambar detik itu juga, membuat bayangan Pak Faruq semakin menyeramkan di bawah cahaya guntur. Baru kusadari lampu-lampu dan kipas angin di kelas mati. Angin semakin kencang berembus, hiasan origami di langit-langit kelas tampak macam terbang betulan.

"Dari pada tidur sendiri, tolong antar Candala jalan-jalan keliling sekolah, biar nggak nyasar." Senyum tipisnya dipamerkan lagi. Tidak, dia sengaja melakukannya agar aku mau bersosialisasi dan membuka mulut.

Taufan sudah menghilang dari hadapanku. Saat kulirik, dia tengah duduk tenang di samping Gosal seperti tadi pagi. Aku hendak membantah, mengapa harus aku yang mengantar Dala, padahal ada anak lain. Namun, membuka suara sama saja masuk ke dalam jebakan wali kelasku.

Mau tidak mau, aku berdiri tanpa sepatah kata dan berjalan pelan ke tempat dudukku. Suasana mendadak kondusif, Jamal main kartu bersama Abidine, Giam, dan Keenan dengan tenang di belakang. Bila dan Rina scroll Toktok di meja absen satu.

Pak Faruq tak kunjung pergi dari ambang pintu-sepertinya dia tak akan pergi sebelum aku benar-benar membawa Dala keluar kelas. Kuletakkan semua benda yang tadi kutenteng ke depan kelas.

Kupandang Dala sejenak. Oh, namanya Candala. Nama apa itu? Artinya jelek amat.

Yang kutatap balas melirikku, kemudian mendongak dari tempat duduknya untuk bertukar pandang dengan jelas. Air wajahnya tenang. Kami seperti orang bodoh, hanya adu pandangan tanpa mengucap kata. Beberapa pasang mata menatap kami dengan pandangan tak mengerti.

Dari sudut mata, kudapati seisi kelas menaruh perhatian pada kami. Tak terkecuali Abidine yang mungkin menungguku membuka suara pada laki-laki lain selain dirinya. Peduli amat, itu takkan terjadi.

Seakan mampu membaca pikiranku, Dala berdiri kemudian keluar dari apitan meja dan kursi kami. Aku memutar bahu, melangkah lebih dulu ke pintu kelas, mendekati Pak Faruq. Dala mengekor di belakang, dia menundukkan kepalanya separuh tatkala kami melenggang melewati wali kelas kami.

Anak-anak di kelas menatap kami aneh dari jendela saat aku dan Dala melewatinya. Sementara Pak Faruq menepuk jidat di ambang pintu karena gagal membuatku membuka suara.

Langit masih belum puas menumpahkan tangisnya. Sesekali dia bersin, membuat dedaunan mati berhamburan tertiup anginnya, begitu juga nasib rok dan rambut panjangku.

Kami berjalan bersisian, sesekali aku berhenti untuk menunjuk papan penanda di atas masing-masing pintu. Dala hanya mengangguk tanpa ekspresi dan mata berbinar.

Ini kantor kepala sekolah, batinku.

Dala mengangguk. Aku dan dia berhenti di lorong depan gedung sekolah. Setelah ini, tidak ada satu pun siswa yang boleh berlalu di sana. Kuputar langkahku, hendak menuntunnya ke ruangan lain. Namun, begitu tak kudapati suara langkah di belakangku, aku menoleh dan cepat-cepat mencekal tangannya sebelum anak itu melangkahi koridor khusus guru dan tamu.

Lagi-lagi pandangan kami bertemu, dalam jarak yang lumayan dekat kami mematung bisu. Dala memiringkan sedikit kepalanya, bertanya ada apakah gerangan menggenggam pergelangan tangannya erat-erat. Dia menunduk, memperhatikan tangan kami.

Aku ikut menunduk, lantas sadar bahwa tak seharusnya ini terjadi. Kulepaskan tangannya pelan-pelan, kemudian mendongak lagi untuk menggeleng. Beberapa detik dia memerhatikanku, kepalanya mengangguk tanda paham apa yang terjadi.

Kami balik kanan bubar jalan, melangkah ke koridor lain yang aman dilewati siswa. Kadang tempias membelai kulit dan sepatu hitamku.

Kuantar Candala berkeliling sekolah, dari lantai satu hingga lantai tiga. Kadang, beberapa pasang mata melirik kami dari balik jendela kelas. Guru-guru sudah tahu siapa aku dan Candala, jadi tak ada yang menegur kami jalan-jalan saat jam pelajaran.

Selama itu pula, tak ada satu pun dari kami yang membuka suara. Aku hanya menunjuk papan penunjuk di atas pintu, kemudian Dala mengangguk kala paham. Seandainya dia tak mengerti apa maksudnya sebuah ruangan, kami akan memasukinya. Seperti sekarang ini.

Sejak kami tiba di lantai lantai dua bagian tenggara, Dala menotol-notol punggung tanganku seraya menunjuk lab kimia lama. Aku menggeleng tegas, kemudian menarik garis lurus di leher. Lagipula, tempat itu memang kadang berbahaya. Di samping jarang digunakan dan letaknya lumayan tersembunyi dari kelas-kelas lain, lab kimia lama terletak di gedung lama sekolah yang pernah diguncang gempa. Meski lebih kokoh dari tangganya, tetap saja aku tak mau ambil risiko kalau-kalau anak orang mati konyol.

Sialnya, Candala malah tersenyum lebar-padahal sejak tadi ekspresinya seolah lenyap. Dari mata hitam itu, aku tahu Dala ingin mengintip bagian dalam lab.

Kuangkat tangan kananku, memasang telapak lebar-lebar agar dia berhenti. Kupikir dia paham maksudku, tetapi mendadak wajahnya maju dan mengendus telapak tanganku. Kutangkap saja wajahnya, kemudian menarik anak itu untuk turun dan pergi ke kantin lewat tangga keramat.

Waktu merayap cepat, karena sejak tadi jalan kami benar-benar lambat dan Dala senang sekali berhenti di tempat-tempat asing untuk mengamati lamat-lamat. Bel istirahat pertama menggema di seluruh sekolah.

Kami makan pagi-karena ini masih jam sepuluh kurang seperempat. Duduk khidmat dan membaur dengan yang lain. Dala ikut-ikutan saja, dia sama sekali tidak protes, jadi kurasa dia menikmatinya juga.

Sudah, kami pulang ke kelas setelah jam Pak Faruq habis. Rupanya beliau singgah di kelas dan menungguku dan Dala kembali. Aku melangkah lebih dulu melewati meja guru untuk mengambil duduk di kursiku, sementara Dala ditahan Pak Faruq di mejanya.

"Gimana? Sudah lihat-lihat sekolah?" tanya Pak Faruq memegang kedua bahu Dala sambil berdiri.

Yang ditanya hanya mengangguk singkat.

"Tadi makan di mana? Kantin?"

Dala mengangguk lagi.

Pak Faruq terdiam, matanya kemudian menusukku dari tempatnya berdiri. Keningnya berkerut, kemudian menatap Candala lagi. "Jangan bilang kalian nggak ngomong sama sekali?"

Dala mengangguk, dan seisi kelas menatap kami dengan jidat mengernyit heran. Kudapati Abi mendesah lelah di tempat duduknya-mereka sudah selesai main karena setelah ini ada pelajaran bahasa.

Wali kelasku menekan pangkal hidungnya yang mancung dengan frustrasi. "Gimana caranya kalian berkomunikasi kalo nggak ngomong?!"

Candala menoleh kepadaku, kami bertukar pandangan beberapa saat. Seisi kelas memerhatikan. Kemudian saat kami mengangguk bersamaan, Pak Faruk tampak seperti ingin jungkir balik ke ruang guru.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top